Akar Historis Kelompok Radikal di dalam Islam (5/8)

Doktrin Khawarij

Pandangan-pandangan fikih kelompok Khawarij telah menjadi rujukan mendasar bagi kelompok-kelompok Takfiri dan teroris, yang pada akhirnya mengarah pada pengkafiran masyarakat Muslim dan selanjutnya penghalalan harta dan darah masyarakat secara umum, pemberontakan terhadap penguasa, upaya membangun masyarakat Islam yang benar. Pandangan-pandangan mereka ini sejatinya bertentangan dengan kaidah-kaidah fikih yang sudah mengakar cukup kuat di kalangan umat Muslim, di antaranya “al-dharar lâ yuzâl bi al-dharar” (Bahaya tidak boleh dihilangkan menggunakan bahaya yang lain), “dar` al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalb al-mashâlih” (menghilangkan mafsadat lebih utama daripada menarik maslahat),  sementara kenyataannya mereka melakukan kejahatan dan kemungkaran yang lebih parah untuk menghilangkan apa yang mereka anggap sebagai kemungkaran, membawa lebih banyak kerusakan daripada kemaslahatan. Tentu saja ini bertentangan dengan maqâshid al-syarî’ah (tujuan-tujuan syariat). Berikut ini adalah di antara pandangan mereka yang paling menonjol:

 

Pelaku dosa besar adalah kafir dan keluar dari Islam

Mayoritas kaum Khawarij menganggap para pelaku maksiat adalah kafir, yaitu keluar dari Islam dan mereka abadi di neraka bersama orang-orang kafir lainnya.

Al-Syahrastani berkata, “Orang-orang Azariqah (salah satu sekte Khawarij) sepakat bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah kafir, karenanya ia keluar dari Islam dan kekal di dalam neraka bersama orang-orang kafir lainnya.”[1]

Oleh karena itu, orang yang meninggalkan shalat, menurut mereka, dan juga pelaku dosa besar adalah kafir. Mereka berkata, “Orang melakukan dosa besar karena ketidaktahuannya akan adanya Allah. Dan karena ketidaktahuan itu maka ia telah kafir, bukan karena ia melakukan maksiat.”[2]

Sebagian dari mereka mengkafirkan para pelaku maksiat dan pelaku dosa-dosa kecil. Mereka juga mengkafirkan orang yang melakukan suatu dosa bahkan meskipun ia tidak mengetahui hukumnya. Mereka berkata, “Orang yang melakukan suatu keharaman dan ia tidak tahu hukum pengharamannya, maka ia telah kafir.” Mereka menganggap setiap dosa kecil maupun dosa besar adalah kesyirikan, dan orang-orang yang melakukannya adalah penghuni neraka.[3]

Tetapi jika pelaku dosa atau dosa besar berasal dari golongan mereka, satu pandangan dengan mereka, dan satu wilayah dengan mereka, sehingga dengan begitu ia tidak dianggap kafir, maka mereka sepakat bahwa jika Allah menyiksanya, mungkin Allah menyiksanya bukan di neraka jahanam, dan selanjutnya akan memasukkannya ke surga. Sementara mengenai orang yang berbeda pandangan dengan mereka, jika orang tersebut melakukan dosa besar, maka ia termasuk golongan kafir dan musyrik.[4]

Dalam pandangan mereka yang ekstrem, orang yang bertaubat dari dosa, bahkan meskipun ia telah dikenakan hadd (sanksi yang sesuai dengan dosa yang diperbuatnya) sebagai upaya penyucian dirinya, ia adalah musyrik. Karena hadd menurut mereka tidak dikenakan kecuali kepada orang kafir yang sudah jelas kekafirannya. Sementara orang yang bertaubat, ia mengakui dosa dan taubatnya, maka ia kafir karena telah berbuat dosa. Pandangan mereka ini bertentangan dengan apa yang ada di dalam al-Qur`an, sunnah Nabi, dan konsensus ulama (ijmâ’ al-‘ulamâ`), bahwa penerapan hadd bagi pelaku dosa, khususnya orang yang bertaubat dan mengakui dosanya, menjadikannya termasuk golongan orang-orang bertaubat yang diampuni oleh Allah.

 

Pelaku maksiat kafir dan kekal di dalam neraka

Kaum Khawarij berpendapat bahwa pelaku maksiat akan kekal di neraka jika ia mati dengan kemaksiatannya, dan di dunia kedudukannya sama dengan orang munafik. Menurut mereka, ia berada dalam posisi yang mereka sebut dengan “manzilah bayna al-manzilatayn” (posisi di antara dua posisi), yaitu posisi di antara kesyirikan dan keimanan. Kemunafikan, dalam pandangan mereka, terkait dengan perbuatan (al-af’âl), bukan dengan keyakinan (al-i’tiqâd). Pandangan mereka ini bertentangan dengan apa yang disebutkan di dalam al-Qur`an, bahwa kemunafikan terkait dengan keyakinan, bukan dengan perbuatan.[5]

Mereka mengkafirkan pelaku dosa dengan menafsirkan sejumlah ayat dan hadits, dan membagi manusia menjadi mukmin dan kafir. Mengenai firman Allah, “Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir,” [QS. al-Ma’idah: 44], mereka menafsirkannya secara menyeluruh hingga mencakup semua orang yang melakukan dosa, karena orang yang melakukan dosa pasti telah menyimpang dari hukum yang Allah turunkan. Dan dalam pandangan mereka, orang yang tidak menerapkan hukum yang diturunkan Allah termasuk golongan kafir, sama halnya dengan orang fasik. Ketika berbuat dosa keduanya—orang yang tidak menerapkan hukum yang diturunkan Allah dan orang fasik—sama-sama tidak menerapkan hukum yang diturunkan Allah.

Begitu juga mereka memperlakukan hadits, mereka membebaninya dengan makna-makna yang tidak sesuai untuk menguatkan pandangan-pandangan mereka dalam mengkafirkan para pelaku maksiat dari umat Muslim, sebagaimana sabda Nabi, “Seorang pezina tidak akan melakukan perbuatannya itu dalam keadaan beriman, seorang peminum khamr tidak akan melakukan perbuatannya itu dalam keadaan beriman, seorang pencuri tidak akan melakukan perbuatannya itu dalam keadaan beriman, dan seorang perampok tidak akan melakukan perbuatannya itu dalam keadaan beriman,” [HR. al-Bukhari]. Kesimpulan mereka mengenai hadits ini, bahwa orang yang melakukan suatu dosa—dosa apapun—maka ia tidak beriman secara total. Pandangan mereka ini bertentangan dengan tafsir para ulama mengenai maksud dari hadits tersebut, bahwa keimanan seseorang bisa berkurang ketika ia melakukan dosa.

Penafsiran mereka terhadap hadits tersebut juga bertentangan dengan apa yang terkandung di dalam hadits Abu Dzar yang berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Tidaklah seorang hamba yang mengucapkan ‘Lâ Ilâha Illâllâh,’ kemudian ia mati di atas kalimat tersebut, melainkan ia akan masuk surga.’ Aku bertanya, ‘Walaupun ia berzina dan mencuri?’ Beliau menjawab, ‘Walaupun ia berzina dan mencuri.’ Aku bertanya kembali, ‘Walaupun ia berzina dan mencuri?’ Beliau menjawab, ‘Walaupun ia berzina dan mencuri.’ Seakan ingin memastikan, aku bertanya lagi, ‘Walaupun ia berzina dan mencuri?’ Lagi-lagi beliau menjawab, ‘Walaupun ia berzina dan mencuri.’ Dan beliau menambahkan, ‘Meskipun Abu Dzar tidak menyukainya,” [HR. al-Bukhari].

Sebagian dari mereka mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar, ia tetap bertauhid, tidak musyrik, tetapi tidak beriman, dan ia akan kekal di neraka seperti kekalnya kaum kafir jika ia mati dengan dosa besarnya tersebut.

 

Boleh menggunakan senjata untuk amar ma’ruf dan nahy munkar

Kaum Khawarij membolehkan penggunaan senjata dan terlibat dalam perang untuk mengubah kemungkaran, bahkan meskipun alasannya adalah kelalaian imam (pemimpin) melakukan sunnah, sunnah apapun. Al-Syahrastani berkata, “Kaum Khawarij berpendapat bahwa memberontak terhadap seorang imam (pemimpin) yang melanggar sunnah adalah hak yang wajib.”[6] Dengan pendapat ini mereka ingin semua manusia menerima pandangan-pandangan mereka dan menganggap segala hal yang tidak selaras dengan apa yang mereka yakini sebagai kemungkaran yang harus dicegah. Bahkan kalau perlu, dalam upaya mencegah kemungkaran itu, jihad (perang) harus dilakukan untuk melawan orang-orang yang tidak sejalan dengan mereka, terutama jika pelaku kemungkaran itu adalah seorang penguasa muslim di dalam kekhilafahan Islam yang diamanahi dengan hukum Allah, maka memberontak terhadapnya adalah sangat wajib dan utama.

Mereka juga berpandangan bahwa rakyat menjadi kafir jika pemimpinnya kafir.[7]

Diriwayatkan, bahwa Nafi’ ibn al-Azraq, pemimpin kelompok Azariqah, berpandangan bahwa orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka adalah kafir yang harus diperangi seperti memerangi orang kafir yang tidak mengucapkan kalimat syahadat. Di  dalam suratnya kepada penduduk Basrah ia mendesak mereka untuk memberontak, katanya, “Demi Allah, sesungguhnya kalian benar-benar mengetahui bahwa syariat adalah satu dan agama juga satu, lantas kenapa kita masih berada di tengah orang-orang kafir? Kalian melihat kezhaliman siang dan malam, dan Allah menyeru kalian untuk berjihad.”[8]

Ahmad Amin, sejarawan Mesir, menggambarkan mereka sebagai kelompok “yang paling keras, paling kasar dan paling kejam”. Ketika mereka meyakini kebenaran atas sesuatu, mereka akan langsung mengeksekusinya dengan pedang. Karena itu, sejarah mereka adalah sejarah serangkaian perang dan pemberontakan terhadap khalifah.

Menurut Ibn al-Qayyim, kaum Khawarij telah memberikan kemungkinan untuk memerangi manusia dalam rangka amar ma’ruf dan nahy munkar. Ia berkata, “Kaum Khawarij keluar memerangi para imam dan memberontak terhadap mereka dengan pedang dalam rangka amar ma’ruf dan nahy munkar.”[9]

 

Orang yang tidak percaya pada doktrin al-walâ` dan al-barâ`,[10] maka ia musyrik dan tak beragama

Kaum Khawarij menganggap orang-orang yang tidak berhijrah kepada mereka atau tidak berperang bersama mereka adalah kafir sebagaimana orang-orang lain yang tidak sepaham dengan mereka. Mereka berkata, “Orang yang tidak berhijrah dan bergabung dengan pasukan (tentara), maka ia adalah munafik yang halal darah dan hartanya.”[11] Tetapi ada sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa orang yang tidak berhijrah kepada mereka atau tidak berperang bersama mereka itu bukan kafir dan bukan musyrik, dan tidak ada yang salah dengannya selama ia berpijak pada akidah yang kokoh, kesetiaan penuh, dan membenci orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Mereka berlepas diri dari orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dari umat Muslim. Mereka tidak menganggap kecuali hanya diri mereka sendiri. Al-Mubarrad berkata, “Kaum Khawarij dalam semua jenisnya berlepas diri dari pembohong dan pelaku maksiat yang nyata.” Mereka menganggap orang-orang selain mereka termasuk golongan pelaku maksiat yang nyata.

Bagi mereka ajaran al-walâ` dan al-barâ` sangat penting setelah tauhid. Orang yang tidak setia dan tidak memusuhi orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka maka ia dianggap tidak beragama. Sebab orang beragama harus setia/patuh kepada para kekasih Allah sehingga ia disebut mukmin, atau sebaliknya ia membenci mereka sehingga ia disebut tidak mukmin.

Ajaran al-walâ` dan al-barâ` harus diketahui begitu seseorang mencapai usia taklîf (usia di mana seseorang wajib melaksanakan semua perintah agama), dan tidak ada alasan bagi orang yang tidak tahu. Setiap orang wajib mengetahuinya, dan orang yang tidak meyakini bahwa itu wajib maka ia musyrik.

 

Mengkafirkan dan memurtadkan sahabat Nabi

Kaum Khawarij mengkafirkan para sahabat Nabi, di antaranya Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Thalhah ibn Ubaidillah, al-Zubair ibn al-Awwam, Abu Musa al-Asy’ari, Muawiyah ibn Abi Sufyan, Amru ibn al-Ash, dan orang-orang yang menerima hasil tahkîm (arbitrase). Bagi Kaum Khawarij, mereka semua akan berada di neraka.

Mereka berlepas diri dari Utsman ibn Affan dan kekhilafahannya. Mereka menganggapnya murtad dan kafir. Sebagaimana mereka juga berlepas diri dari Ali ibn Abi Thalib, bahkan sebagian dari mereka menganggapnya bukan muslim secara mutlak.

Di dalam suratnya kepada Abdul Malik, Abdullah ibn Ibadh, pemimpin sekte Ibadhiyah (salah satu sekte Khawarij), berkata mengenai Utsman ibn Affan, Muawiyah ibn Abi Sufyan, dan Yazid ibn Abi Sufyan, “Sesungguhnya kami bersaksi demi Allah dan para malaikat, kami berlepas diri dari mereka semua. Kami adalah musuh mereka dengan tangan, lisan, dan hati kami. Kami hidup berdasarkan itu, mati berdasarkan itu, dibangkitkan berdasarkan itu, dan dihisab berdasarkan itu di sisi Allah.”

 

Menghalalkan darah dan harta, serta membunuh anak-anak dari orang-orang yang berlawanan dengan mereka

Kaum Khawarij menghalalkan darah dan harta orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, terutama penguasa. Mereka memandang bahwa melenyapkan para pemimpin zhalim dan mencegah mereka untuk menjadi penguasa dengan cara apapun yang memungkinkan, baik dengan pedang ataupun dengan yang lainnya, itu sangat dianjurkan, bahkan diwajibkan. Mereka mengkafirkan seluruh bangsa yang menurut mereka telah keluar dari Islam sehingga halal darahnya.

Mereka menganggap bahwa negeri orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka adalah negeri kekafiran. Mereka berpendapat boleh mengkhianati amanah (kepercayaan) yang terjalin dengan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dan tidak melaksanakannya. Mereka mengharamkan kepemimpinan salah seorang dari orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, atau menikahi mereka, atau mewarisi mereka, atau tinggal bersama mereka, atau memberikan kesaksian untuk mereka, atau menerima pengetahuan agama dari mereka.

Beberapa pemimpin kaum Khawarij sepakat mengatakan, “Adapun mengenai bolehnya mengkhianati amanah, maka barangsiapa yang berlawanan dengan kami, Allah menghalalkan darah dan hartanya untuk kami. Darahnya halal secara mutlak, dan hartanya adalah fay` (harta rampasan) yang boleh diambil oleh umat Muslim (maksudnya kaum Khawarij, red.). Negerinya adalah negeri kesyirikan, semua penduduknya musyrik, sehingga boleh diperangi, dibunuh, dirampas hartanya, dan ditawan.”[12]

__________________________

[1]          Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halab, 1967, hal. 132

[2]          Muhammad Salim al-Majlisi, Ithâf al-Bararah bi Mawâni’ al-Takfîr al-Mu’tabarah, Mimbar al-Tauhid wa al-Jihad, 1428, hal. 69

[3]          Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halab, 1967, hal. 122 – 123

[4]          Ibid., hal. 118

[5]          Abdullah ibn Baz, Majmû’ah Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ah (Juz 2), Riyadh: Dar al-Qasim, tt., hal. 28

[6]          Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halab, 1967, hal. 113

[7]          Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqâlât al-Islâmîyyîn wa Ikhtilâf al-Mushallîn (Juz 1), Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah,  hal. 194

[8]          Abu al-Abbas Muhammad ibn Yazid al-Mubarrad, al-Kâmil fî al-Lughah wa al-Adab (Juz 2), Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt., hal. 199

[9]          Muhammad al-Abduh dan Thariq Abdul Halim, Muqaddimah fî Asbâb Ikhtilâf al-Muslimîn wa Tafarruqihim, Kuwait: Dar al-Arqam, Cet. 2, 1987, hal. 30

[10]         Al-Walâ` artinya kesetian dan kecintaan, yaitu setia dan mencintai umat Muslim, membantu dan menolong mereka atas musuh-musuh mereka dan bertempat tinggal bersama mereka. Sedangkan al-Barâ` artinya berlepas diri dan kebencian, yaitu memutus hubungan atau ikatan hati dengan kaum kafir, sehingga tidak lagi mencintai mereka, membantu dan menolong mereka serta tidak tinggal bersama mereka.

[11]         Ibn Hazm al-Zhahiri, al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ` wa al-Nihal (Juz 5), Beirut: Dar al-Jail, tt., hal. 53

[12]         Dr. Muhammad Abu al-Syabab, al-Khawarij: Tarikhuhum, Firaquhum wa ‘Aqa`iduhum, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1971, hal. 215

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.