Akar Historis Kelompok Radikal di dalam Islam (3/8)

Sejarah mencatat perang pemikiran para ulama dan ahli fikih dengan kelompok-kelompok Khawarij untuk menjelaskan agama yang benar, memperbaiki pemahaman-pemahaman yang salah dari kelompok Takfiri itu, khususnya yang terkait dengan hâkimîyyah (kedaulatan hukum di tangan Allah atau penentu hukum adalah Allah), takfîr (pengkafiran), jihad, hijrah, pemberontakan senjata kepada penguasa, penghalalan darah dan harta umat Muslim, tindakan kekerasan atas nama agama, penegakan negara khilafah, kewarganegaraan, dan isu-isu ekstrimisme lainnya.

Di Indonesia, ketika belakangan isu radikalisme menghangat karena maraknya aksi-aksi teror di sejumlah tempat di Tanah Air, beberapa media nasional mulai melakukan wawancara eksklusif dengan narapidana teroris yang disiarkan secara langsung dan disaksikan oleh jutaan orang melalui televisi. Namun demikian, sejumlah pihak menganggap bahwa wawancara tersebut justru membuahkan hasil-hasil negatif yang dapat mempengaruhi masyarakat awam, di mana dalam wawancara itu narapidana teroris tampil bak seorang pahlawan yang seakan membela kepentingan umat Muslim dengan argumen-argumen teologis yang kokoh.

Banyak pakar media berpandangan bahwa media bisa menjadi ‘sahabat utama’ terorisme. Terorisme tidak berdiri sendiri, tetapi publikasi adalah segalanya, terutama jika ‘kepahlawanan palsu’ disematkan kepada para teroris dengan detail operasi terorisme dan disorot oleh kamera. Dengan begitu media seakan memberi mereka publisitas gratis, sehingga mendorong mereka untuk melanjutkan tindakan-tindakan kriminal mereka, dan memotivasi para pemuda untuk bergabung dengan mereka. Padahal media seharusnya bekerja untuk membangun opini publik dalam melawan terorisme dan kelompok-kelompok teroris, dengan menunjukkan kepalsuan klaim-klaim kelompok tersebut dan pelanggarannya terhadap hukum dan agama, serta mengekspos kekeliruan yang mereka promosikan untuk menyesatkan pikiran-pikiran kaum muda, terutama untuk memprovokasi dan memobilisasi mereka dan memanfaatkan antusiasme mereka untuk membela Islam. Dalam hal ini peran kaum agamawan sangat diperlukan untuk menanggapi klaim-klaim kelompok teroris dengan menunjukkan kepalsuan mereka dari sisi syariat.

 

Debat Ibn Abbas dengan Kelompok Khawarij

Debat terkenal antara Abdullah ibn Abbas dan kelompok Haruriyah, salah satu nama yang disematkan kepada kelompok Khawarij, bisa menjadi salah satu contoh bagaimana ahli agama berdialog dengan aliran-aliran Takfiri dan kelompok-kelompok ekstremis.

Orang-orang Khawarij telah memberontak kepada Ali ibn Abi Thalib dan mengkafirkannya, juga setiap orang yang berbeda pandangan dengan mereka setelah peristiwa tahkîm (arbitrase) selama perang Shiffin pada tahun 37 H. Mereka mengangkat slogan “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah” dengan sebuah keyakinan bahwa orang yang menerima hasil tahkîm—padahal mereka sendiri yang memaksa Ali untuk menerima permohonan tahkîm dari kubu Muawiyah—sesungguhnya telah melanggar prinsip bahwa “hukum hanya milik Allah”. Peristiwa ini merupakan awal munculnya kelompok-kelompok Takfiri yang kerap menggunakan kekerasan dan senjata untuk memerangi masyarakat dan memberontak kepada penguasa.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, ketika Ibn Abbas mengetahui bahwa sekitar enam ribu orang Khawarij berkumpul di suatu tempat, ia meminta izin kepada Ali ibn Abi Thalib untuk menemui dan berdiskusi dengan mereka. Ia datang kepada mereka dengan memakai jubah terbaik dari Yaman. Ia sampai di tempat mereka pada tengah hari, saat itu mereka sedang makan. Ia berkata, “Sungguh aku mendapati diriku berada di tengah-tengah kaum yang belum pernah kujumpai suatu kaum yang bersemangat dalam ibadah seperti mereka. Dahi-dahi mereka penuh luka bekas sujud, tangan-tangan mereka menebal bak lutut-lutut unta. Wajah-wajah mereka pucat pasi karena tidak tidur menghabiskan malam untuk beribadah.”[1]

Ketika melihat Ibn Abbas datang, orang-orang Khawarij menyambutnya sembari berkata, “Selamat datang, wahai Ibn Abbas. Kenapa kau berpakaian seperti itu?” Ibn Abbas berkata, “Kenapa kalian mencelaku karena aku berpakaian seperti ini? Aku pernah melihat Rasulullah memakai pakaian yang lebih bagus dari ini.” Kemudian Ibn Abbas membacakan sebuah ayat yang berbunyi, “Katakan [Muhammad], siapakah yang berani mengharamkan perhiasan dari Allah dan rizki yang baik yang Allah keluarkan untuk hamba-hamba-Nya?” [QS. al-A’raf: 32].[2]

Mereka lalu bertanya, “Apa yang membuatmu datang ke sini?” Ibn Abbas berkata, “Aku datang mewakili Amirul Mukminin (Ali ibn Abi Thalib), juga para sahabat Nabi dari kaum Muhajirin dan Anshar. Aku tidak melihat seorang pun dari kalian yang termasuk sahabat Nabi. Al-Qur`an diturunkan di tengah-tengah mereka, dan mereka lebih memahami makna al-Qur`an daripada kalian. Aku tidak melihat seorang pun dari kalian yang termasuk dari mereka. Aku akan menyampaikan pesan mereka kepada kalian dan menyampaikan perkataan kalian kepada mereka. Sampaikan kepadaku alasan kalian memerangi putra dari paman Nabi (Ali ibn Abi Thalib).”[3]

Mereka menjawab, “Karena tiga perkara. Pertama, ia telah menjadikan manusia sebagai hakim (pemutus perkara) dalam urusan Allah, padahal Allah berfirman, ‘Sesungguhnya hukum itu hanyalah milik Allah,’ [QS. al-An’am: 57]. Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan hukum Allah. Kedua, ia memimpin perang [melawan Aisyah dan pasukannya] tetapi tidak menawan tawanan dan tidak mengambil ghanîmah (harta rampasan perang). Kalau mereka (Aisyah dan pasukannya) itu mukmin, tentu tidak halal bagi kita memerangi dan membunuh mereka, dan tidak halal pula tawanan-tawanannya. Ketiga, ia telah menghapus sebutan Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang mukmin) dari dirinya. Kalau ia bukan Amirul Mukminin (karena menghapus sebutan itu), berarti ia adalah Amirul Musyrikin (pemimpin orang-orang musyrik).”[4]

Ibn Abbas bertanya, “Adakah alasan kalian selain ini?” Mereka menjawab, “Itu sudah cukup.”[5]

Ibn Abbas berkata, “Bagaimana menurut kalian jika aku membacakan ayat al-Qur`an dan sunnah Nabi yang akan membantah pendapat kalian, apakah kalian akan kembali [kepada barisan umat Muslim]?” Mereka berkata, “Iya.” Ibn Abbas berkata, “Mengenai perkataan kalian bahwa Ali telah menjadikan manusia memutuskan perkara [untuk mendamaikan persengketaan di antara umat Muslim], aku mendengar Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh hewan buruan dalam keadaan berihram. Barangsiapa yang membunuhnya di antara kamu secara sengaja, maka dendanya adalah mengantinya dengan hewan yang seimbang dengannya, menurut putusan hukum dua orang yang adil di antara kamu,’ [QS. al-Maidah: 95]. Ini di antara hukum yang Allah serahkan putusannya kepada manusia. Jika Allah menghendaki, tentu Allah kuasa memutuskan hukumnya. Namun Allah membolehkan berhukum kepada manusia. Kalian juga tahu, dalam pertikaian antara istri dan suaminya, Allah berfirman, ‘Dan apabila kamu mengkhawatirkan perceraian antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (penengah yang memberi putusan) dari keluarga laki-laki dan seorang penengah dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu,’ [QS. al-Nisa`: 35]. Allah menjamin hukum manusia. Apakah ini sudah menjawab alasan kalian?” Mereka menjawab, “Ya.”[6]

Ibn Abbas berkata, “Mengenai perkataan kalian bahwa Ali berperang [melawan Aisyah dan pasukannya] namun tidak menawan tawanan dan tidak mengambil ghanîmah, Allah berfirman bahwa Nabi lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istri beliau adalah ibu-ibu mereka. Jika kalian menganggap Aisyah bukan ibu kalian, maka kalian kafir. Jika kalian menganggap Aisyah sebagai ibu kalian, maka tidak boleh menawannya. Apakah ini sudah menjawab alasan kalian?” Mereka menjawab, “Ya.”[7]

Ibn Abbas berkata, “Adapun mengenai perkataan kalian bahwa Ali menghapus gelar Amirul Mukminin darinya (sebagai hasil dari arbitrase), aku akan memberikan penjelasan mengenai hal itu. Kalian tentu mengetahui bahwa Nabi pada peristiwa Hudaibiyah membuat perjanjian dengan Suhail ibn Amru wakil dari kaum Musyrik. Beliau berkata kepada Ali ibn Abi Thalib, ‘Tulislah wahai Ali, ‘Ini adalah perjanjian damai yang dinyatakan oleh Muhammad Rasulullah (utusan Allah).’ Namun kaum Musyrik berkata, ‘Tidak! Andai kami percaya bahwa engkau adalah Rasulullah, tentu kami tidak akan memerangimu. Tulislah namamu dan nama ayahmu.’ Maka Nabi berkata, “Ya Allah, sungguh Engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasul-Mu. Kalau begitu, wahai Ali, hilangkan tulisan ‘Rasulullah’. Dan tulislah, ‘Ini adalah perjanjian damai yang dinyatakan oleh Muhammad ibn Abdillah.’ Nabi lebih utama daripada Ali, tetapi beliau sendiri pernah menghapus gelar ‘Rasulullah’ dari namanya. Dan itu tidak berarti menghapus kenabian beliau. Apakah ini sudah menjawab alasan kalian?” Mereka berkata, “Ya.”[8]

Sepertiga dari mereka kembali ke barisan Ali ibn Abi Thalib, sementara sisanya tetap memberontak dan terbunuh di dalam perang.[9]

________________________

[1]          Abu Abdillah al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhayn (Juz 2), Kairo: Dar al-Haramain, Cet. 1, 1997, hal. 179

[2]          Ibid.

[3]          Ibid.

[4]          Ibid.

[5]          Ibid.

[6]          Ibid., hal. 180

[7]          Ibid.

[8]          Ibid.

[9]          Ibid.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.