Akar Historis Kelompok Radikal di dalam Islam (7/8)

Azariqah

Sekte ini dipimpin oleh Nafi’ ibn al-Azraq ibn Qais, yaitu orang pertama yang membuka ruang perselisihan di kalangan kaum Khawarij. Perselisihan itu terjadi, menurut Imam al-Asy’ari, karena seorang perempuan asing dari penduduk Yaman yang menikah dengan seorang laki-laki Khawarij. Keluarga si perempuan tidak setuju dengan pernikahan itu, sampai akhirnya ia mengajukan tiga pilihan kepada suaminya: membawanya hijrah dan tinggal di perkemahan Khawarij, atau menyembunyikannya, atau menceraikannya. Si suami memilih menceraikannya, dan perempuan itu kemudian dinikahkan dengan sepupunya oleh keluarganya. Ketika kaum Khawarij mengetahui hal ini, terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Nafi’ ibn al-Azraq, yang merupakan salah seorang pemuka Khawarij, berpendapat bahwa wajib hukumnya bagi perempuan tersebut hijrah dan tinggal di perkemahan Khawarij. Ia menyatakan tidak sepakat dengan orang yang membolehkan taqîyyah (merahasiakan keyakinan dari para lawan yang bisa merugikan agama dan jiwanya) dan mengizinkan manusia untuk tidak hijrah dan berperang melawan kaum kafir.

Nafi’ ibn al-Azraq disebut-disebut sebagai tokoh yang punya andil besar dalam menciptakan perpecahan di kalangan umat Muslim menjadi beberapa sekte dan kelompok. Ia mengkafirkan orang-orang yang tidak sepaham, melarang menikah dengan mereka, melarang memakan daging hewan sesembelihan mereka, dan melarang berbagi warisan dengan mereka. Ia mewajibkan orang-orang untuk hijrah, mengkafirkan ahlul qiblah (sesama muslim), merampas harta mereka, dan menangkapi keturunan-keturunan mereka.

Sejumlah riwayat menyebut Nafi’ ibn al-Azraq memimpin kelompok Azariqah dari Basrah menuju Ahwaz untuk menguasainya dan sebagian wilayah Persia. Golongan Khawarij yang ada di Amman dan al-Yamamah bergabung dengan mereka, dan jumlah mereka pun menjadi lebih dari tiga puluh ribu orang. Mereka menumpahkan darah, membunuh anak-anak, dan menebar ketakutan di berbagai tempat. Mereka pun dikenal dengan kekerasan, kekejaman, kebrutalan, pembunuhan, dan penjarahan. Mereka sangat cerdik dan licik. Tentara yang secara khusus disiapkan Dinasti Umayyah, yang dipimpin oleh al-Muhallab ibn Abi Shufrah, memerlukan waktu sembilan belas tahun untuk menghancurkan mereka.

Mereka menganggap Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Thalhah ibn Ubaidillah, al-Zubair ibn al-Awwam, Aisyah, Abdullah ibn Abbas, dan seluruh umat Muslim sebagai kafir yang akan kekal di neraka berdasarkan interpretasi mereka yang salah terhadap ayat-ayat al-Qur`an. Mereka mengklaim bahwa Allah berfirman mengenai Ali ibn Abi Thalib, “Dan di antara manusia itu ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah [atas keebnaran] isi hatinya, padahal ia adalah penentang yang paling keras,” [QS. al-Baqarah: 104]. Sementara mengenai Ibn Muljam, pembunuh Ali ibn Abi Thalib, mereka mengklaim bahwa Allah berfirman, “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah,” [QS. al-Baqarah: 209].[1]

Mereka menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka yang sangat ekstrem. Mereka berpandangan bahwa orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dari umat Muslim adalah musyrik, negeri yang ditempati adalah negeri kafir, perempuan dan anak-anak di sana boleh dibunuh. Siapapun orang dari golongan yang tidak sepaham ingin bergabung dengan mereka diuji terlebih dahulu dengan memintanya menyerahkan tawanan dari golongan yang tak sepaham itu, lalu mereka menyuruhnya untuk membunuh tawanan itu. Kalau ia membunuh, maka ia akan dianggap sebagian bagian dari mereka, tetapi kalau tidak membunuh, maka berkata, “Orang ini munafik, musyrik,” lalu mereka membunuhnya. Mereka menganggap anak-anak dari golongan yang tidak sepaham adalah musyrik yang akan kekal di neraka, dan bahwa orang yang tinggal di negeri kafir adalah kafir, tidak ada yang bisa menyelamatkannya kecuali jika ia keluar dari negeri itu dan bergabung dengan mereka.

Diriwayatkan bahwa seseorang dari Bani Hasyim datang kepada Nafi’ ibn al-Azraq dan berkata, “Sesungguhnya anak-anak kaum musyrik berada di dalam neraka, dan siapapun yang berlawanan dengan kami adalah musyrik, dan darah anak-anak itu halal bagi kami.” Nafi’ berkata kepadanya, “Kau telah kafir dan menyesatkan dirimu sendiri.” Orang itu berkata, “Kalau aku tidak menunjukkan [dalil] dari Kitabullah atas [apa yang aku katakan] itu, maka bunuhlah aku.” Kemudian ia membaca sebuah ayat, “Nuh berkata, ‘Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir,’ [QS. Nuh: 26 – 27].” Setelah itu ia berkata, “Inilah nasib orang-orang kafir dan nasib anak-anak mereka.” Nafi’ bersaksi atas itu, bahwa mereka semua berada di dalam neraka, dan karenanya harus diperangi. Ia juga mengatakan bahwa negeri mereka adalah negeri kafir, tidak boleh memakan daging sesembelihan mereka, tidak boleh menikah dengan mereka, dan tidak boleh berbagi warisan dengan mereka. Menurutnya, mereka semua sama seperti orang-orang kafir Arab, “Kami tidak menerima apapun dari mereka kecuali [mereka masuk] Islam atau [mereka mati dengan] pedang [kami].”    

Setiap dosa besar, kata Nafi’ ibn al-Azraq, adalah penyimpangan menyeluruh dari Islam, pelakunya akan kekal di neraka bersama orang-orang kafir. Untuk menguatkan pandangannya ini ia menyebutkan kekafiran Iblis, bahwa Iblis tidak melakukan kesalahan apapun selain satu dosa besar yaitu ketika Iblis menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam.

Nafi’ ibn al-Azraq mengatakan bahwa taqîyyah tidak boleh, baik dalam perkataan maupun perbuatan, meskipun itu akan mengakibatkan kebinasaan bagi yang bersangkutan. Ia meniadakan hukuman rajam (hadd al-rajam) bagi pelaku zina muhshan (pelaku zina yang sudah menikah) dengan dalih tidak ada pernyataan tegas (nash) di dalam al-Qur`an. Ia meniadakan hukuman pengusiran (hadd al-qadzaf) bagi laki-laki yang menuduh seseorang melakukan zina muhshan, dan mewajibkan hukuman itu bagi perempuan yang menuduh seseorang melakukan zina muhshan, dengan dalih—menurut klaimnya—apa yang terkandung di dalam al-Qur`an. Ia mewajibkan hukuman potong tangan bagi pencuri tanpa mempertimbangkan kadar barang curiannya (sedikit atau banyak), dan pemotongan itu dilakukan dari pundak. Ia bahkan mewajibkan perempuan haid untuk melaksanakan shalat dan puasa.

Sebagian pengikutnya mengatakan, “[Shalat dan puasa bagi perempuan haid] tidak wajib, tetapi ketika sudah suci maka ia wajib mengganti shalat yang ditinggalkannya sebagaimana mengganti puasa.” Mereka membolehkan melanggar amanah yang Allah perintahkan untuk melaksanakannya. Mereka berkata, “Kaum musyrik (golongan yang tidak sepaham, red.) tidak boleh diserahi amanah.”

Imam al-Baghdadi menggambarkan sekte Azariqah dengan perkataannya, “Di antara sekte-sekte Khawarij yang lain, mereka (sekte Azariqah) adalah yang paling banyak jumlahnya dan paling kuat.” Itulah sebabnya masyarakat menjadi sangat ketakutan, sebab mereka suka melakukan kekacauan di mana-mana tanpa mengenal ketenangan atau kedamaian.[]

_____________________

 

[1]          Menurut para ahli tafsir, ayat pertama (QS. al-Baqarah: 104) diturunkan untuk al-Akhnas ibn Syuraiq yang menampakkan keislaman secara lahir dan menyembunyikan ketidaksukaannya di dalam batinnya. Dan menurut Ibn Abbas, ayat tersebut diturunkan mengenai sekelompok munafik yang hendak menghancurkan Islam. Sedangkan ayat kedua (QS. al-Baqarah: 209) diturunkan mengenai Shuhaib al-Rumi, di mana ketika ia masuk Islam dan ingin berhijrah ke Madinah dengan membawa hartanya, ia dicegat oleh orang-orang Makkah. Ia lantas membagi-bagikan hartanya kepada mereka supaya ia dibiarkan hijrah ke Madinah.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses