Perjalanan Pemikiran Ibn Rusyd: Pembelaan dan Purifikasi Filsafat (3/4)

Ibn Rusyd dengan purifikasi pemikiran dalam segala bidang berusaha mengkorelasikan antara agama dan filsafat tanpa meleburkan keduanya. Mengkorelasikan keduanya tidak berarti peleburan antara dua pemikiran yang berbeda. Hal pertama yang dilakukan dalam proses pengkorelasian itu adalah memisahkan antara agama dengan filsafat dengan tujuan menyelamatkan agama dan filsafat itu sendiri. Keduanya bisa dibilang saudara sesusuan dari seorang ibu yang bernama kebenaran. Keduanya mempunyai kesamaan tujuan dengan perantara yang berbeda.

Adalah sesuatu yang tidak mungkin kebenaran yang ditemukan melalui pemikiran filsafat akan berseberangan dengan kebenaran wahyu Tuhan. Pertentangan tersebut hanya akan muncul ketika agama dan filsafat tidak mampu dipahami dengan baik, yaitu ketika retorika penyampaian kebenaran dalam agama tidak mampu dipahami secara tepat dengan melakukan takwil, juga ketika premis dalam filsafat tidak dapat dimengerti dengan benar; keduanya mempunyai kebenarannya masing-masing. Kebenaran yang ditemukan oleh filsafat dan agama hanya bisa diketahui melalui piranti-piranti yang dibangun oleh masing-masing agama dan filsafat itu sendiri.

Dalam membela filsafat, Ibn Rusyd tidak menempuh jalur filsafat seperti Ibn Sina, al-Kindi dan al-Farabi. Ibn Rusyd lebih cenderung menempuh jalur fikih dalam menjustifikasi signifikansi pemikiran filsafat dalam kehidupan beragama. Ibn Rusyd berusaha membuktikan bahwa filsafat bukan hanya boleh dipelajari, tetapi sudah menjadi bagian dari perintah agama.

Berpikir secara filosofis tidak lebih dari sekedar memikirkan alam semesta. Bahkan demi mencapai kesempurnaan iman, secara tegas Tuhan memerintahkan kepada hamba-Nya untuk memikirkan alam semesta. Selain itu, dalam al-Qur`an, tidak sedikit Tuhan menyebut orang-orang kafir dengan sebutan-sebutan tidak berakal atau tidak mampu mempertimbangkan ciptaan-Nya.

Apabila memikirkan alam semesta dengan segala isinya merupakan perintah Tuhan, sedang metode paling utama dalam memikirkan semua itu adalah argumentasi demonstratif, maka argumentasi demonstratif adalah bagian dari perintah Tuhan. Meski demikian, argumentasi demonstratif tidak mungkin digunakan secara langsung oleh manusia dengan sempurna. Ia memerlukan pembelajaran serius terhadap pernik-pernik di dalamnya, yang semuanya terangkum dalam ilmu logika.

Keilmuan manusia tidak mungkin terbentuk dari kehampaan. Salah satu karakteristik keilmuan adalah selalu mengalami komplikasi, di mana yang datang terakhir mengambil manfaat dari yang sebelumnya. Ketika ilmu logika tidak dikenal pada masa-masa pertama Islam, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk mempelajari ilmu tersebut melalui para pendahulu kita, seagama maupun tidak.

Ilmu logika adalah sekumpulan sistem yang berfungsi sebagai perantara dalam memahami sesuatu. Perantara dapat diambil dari mana saja dan dari siapa saja. Tidak dikenalnya ilmu logika pada masa awal Islam bukanlah alasan yang tepat untuk melarangnya. Sama seperti ilmu usul fikih yang juga tidak dikenal pada masa itu.

Jadi, ketika ilmu usul fikih tidak dianggap sebagai bid’ah, ilmu logika juga tidak bisa dianggap bid’ah. Sehingga, hukum mempelajari ilmu logika yang identik dengan filsafat adalah wajib dalam Islam, apabila, tentu saja, tujuannya sesuai dengan anjuran syariat.

Tetapi, kewajiban mempelajari filsafat tidak ditujukan kepada semua orang (fardhu ‘ayn), hanya orang-orang tertentu yang boleh mempelajari ilmu tersebut (fardhu kifayah), yaitu mereka yang memiliki kecerdasan akal, berpegang kuat terhadap syariat (‘adalah syar’iyyah)—dengan kata lain, bersikap adil dalam menjalankan syariat—serta harus mempunyai kredibilitas intelektual yang mapan. Kecerdasan akal merupakan keharusan dalam mempelajari filsafat. Artinya ia mempunyai kesiapan akal dalam menerima pengetahuan filsafat.

Ketiga syarat tersebut merupakan mengejawantahan dari persyaratan melakukan persaksian dalam fikih. Orang yang mempelajari filsafat adalah orang yang sedang melakukan persaksian terhadap karya tulis para pendahulunya. Ia harus berlaku adil dalam persaksiannya sendiri; tidak menolak atau menerima sebuah pemikiran karena pengaruh hawa nafsu semata.

Dari itu, kredibilitas intelektual merupakan syarat paling menentukan. Dan orang yang mempelajari filsafat, di samping harus mengambil pemikiran filsafat yang dianggap benar tanpa melakukan distorsi, juga harus menempatkannya pada posisi yang semestinya. Menggunakan filsafat bukan pada tempatnya, seperti membohongi orang lain, berbangga diri dengan apa yang dimilikinya, atau dengan tujuan menopang aliran dan politik tertentu, menurut Ibnu Rushd adalah perbuatan tercela.

Dapat dilihat, Ibn Rusyd sebenarnya ingin membuktikan bahwa para penentang filsafat tidak mempunyai persyaratan tersebut. Mereka yang mampu memahami filsafat dengan benar serta menempatkannya pada posisi yang semestinya tidak akan mengharamkan filsafat. Al-Ghazali, yang dalam hal ini dipandang telah mengkafirkan filsafat, adalah figur yang dianggap tidak memenuhi persyaratan itu.

Sebetulnya, dalam hal serangan terhadap filsafat, al-Ghazali bukanlah orang pertama. Sebelumnya, tokoh-tokoh ahli kalam seperti al-Asy’ari dan al-Baqillani telah memulainya dengan memerangi gerakan atheisme dan filsafat secara bersamaan. Bahkan tidak hanya para ahli kalam, seorang sufi seperti Haris al-Muhasibi juga melakukannya. Dalam memerangi filsafat, ia memerankan dirinya sebagai seorang ahli kalam sekaligus sufi. Model semacam inilah yang nampaknya dikembangkan oleh al-Ghazali.

Perlawanan terhadap filsafat ternyata juga terjadi dalam pemikiran Kristen dan Yahudi. Yahya al-Nahwi adalah akademisi Kristen yang telah melakukan perlawanan terhadap filsafat jauh sebelum kelahiran al-Ghazali. Pemikiranya sedikit banyak berhasil mempengaruhi paradigma berpikir al-Ghazâlî dalam memerangi filsafat.

Meski demikian, serangan al-Ghazali tidak bisa disamakan dengan sebelumnya. Sampai saat ini belum ditemukan satupun akademisi yang mampu menyamai atau bahkan melebihinya. Salah satu karyanya, “Tahâfut al-Falâsifah”, dinobatkan sebagai karya terbesar yang nyaris tidak terbantahkan. Dalam artian, belum ada yang mampu mengikis pengaruhnya dalam peradaban Islam. “Tahâfut al-Falâsifah” merupakan sebuah kitab yang dipandang berisikan “fatwa pengharaman” seorang agamawan terhadap filsafat.

Hanya saja perlu digarisbawahi, bahwa faktor pengkafiran al-Ghazali terhadap filsafat tidak kembali pada esensi filsafat itu sendiri. Pengkafiran tersebut lebih terkait dengan tujuan ideologi tertentu, yaitu ideologi negara Saljuk yang berada di bawah naungan aliran Asy’ariyah; ini jika dilihat dari kritik al-Ghazali yang hanya ditumpahkan kepada pemikiran Ibn Sina, padahal banyak filsuf lain yang mempunyai pemikiran lebih berbahaya dari Ibnu Sina, sebut saja misalnya Ibn Ruwandi, yang luput dari serangan al-Ghazali.

Pengkafiran tersebut lebih diakibatkan oleh adanya bahaya ideologis filsafat Ibn Sina yang pada waktu itu dianggap akan merobohkan aliran Asy’ariyah. Pemikiran Ibn Sina yang diusung oleh aliran Syi’ah Ismailiyah atau Imamiyah dianggap sebagai “badai” yang akan menggoyahkan ideologi Abbasiyah, tempat al-Ghazali bernaung. Maka, pengkafiran terhadap filsafat secara menyeluruh tidak bisa dibenarkan dalam etika intelektual.

Pengkafiran terhadap filsafat, dengan mengacu pada teks-teks Ibn Sina, menuntut Ibn Rusyd melakukan purifikasi terhadap filsafat dari distorsi penerjemahan yang tidak akurat. Upaya tersebut dimaksudkan untuk membuktikan bahwa pegangan al-Ghazali dalam mengkafirkan filsafat bukanlah representasi dari pemikiran filsafat itu sendiri, melainkan hanya filsafat Ibn Sina atau Aristoteles yang telah mengalami distorsi. Purifikasi tersebut juga dimaksudkan untuk membuktikan adanya kebenaran yang sama antara agama dan filsafat.

Purifikasi yang dimaksud Ibn Rusyd adalah purifikasi filsafat Aristoteles yang dianggap sebagai representasi kematangan pemikiran Yunani. Aristoteles dianggap mampu meluruskan dan mengembangkan filsafat para pendahulunya. Filsafatnya merupakan penjelmaan dari komplikasi filsafat terdahulu. Keluar dari filsafat Aristoteles, dengan menjadikan filsafat pendahulunya sebagai acuan, tidak akan mampu mendesain filsafat lebih bagus dari pada filsafat Aristoteles, seperti aliran Neo-Platonisme yang ditengarai jauh dari nilai ilmiyah dengan menjadikan Plato sebagai acuan dalam berfilsafat.

Dalam mempurifikasi filsafat Aristoteles, Ibn Rusyd melakukan peringkasan, komentar, harmonisasi dan sekaligus melakukan penafsiran. Itu semua dilakukannya demi membersihkan filsafat Aristoteles dari pelbagai distorsi. Ibn Rusyd berusaha membersihkan filsafat Aristoteles dari kerancuan yang ditimbulkan oleh pemikiran lain yang tidak termasuk dalam bingkai filsafat Aristoteles. Kemampuannya mengomentari filsafat Aristoteles telah menghantarkan dirinya meraih gelar sebagai komentator terbaik terhadap filsafat Aristoteles, bahkan pemikirannya menjadi pintu gerbang proses pencerahan di Eropa.[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.