Akar Historis Kelompok Radikal di dalam Islam (4/8)

Banyak orang tak habis pikir mengenai pemboman terhadap para jamaah shalat Jum’at yang duduk tenang di rumah Tuhan oleh seorang teroris yang meneriakkan “Allahu Akbar”. Peristiwa ini terjadi di masjid yang berada di Markas Kepolisian Resor Kota (Mapolresta) Cirebon pada pada Jum’at, 15 April 2011, yang mengakibatkan 25 orang terluka termasuk Kapolresta Cirebon. Bom yang meledak di Mapolresta Cirebon ini merupakan bom bunuh diri yang menyebabkan sang pelaku tewas. Korban luka-luka langsung dibawa ke rumah sakit Pelabuhan Cirebon dan RS Tentara Cermai Cirebon.[1]

Fakta ini tentu bukanlah hal baru jika kita melihat rangkaian peristiwa masa kini yang terjadi di sekitar kita, atau membaca kembali peristiwa-peristiwa masa lalu dalam sejarah kita dan sikap abai kita terhadap fakta bahwa operasi-operasi teroris itu tidak hanya menyasar tentara, polisi, dan penguasa, tetapi juga orang-orang yang khusyuk beribadah di rumah-rumah ibadah.

Pemboman sejenis juga menghantam puluhan masjid di Arab Saudi, Yaman, Suriah, Irak, Afghanistan, Pakistan, dan lainnya, termasuk Masjid Nabawi di Madinah. Hal ini mengindikasikan adanya pendekatan terpadu dan teori pemahaman agama komprehensif yang membolehkan seseorang melakukan tindak kejahatan tak terbayangkan, dengan cara paling buruk dengan hati dingin, tenang, rileks, keyakinan kokoh, dan keimanan tak tergoyahkan sembari meneriakkan “mari dengan tenang kita menuju surga” seperti yang dilakukan orang-orang Khawarij pada perang Nahrawan.

Dengan keimanan yang kuat mereka membunuh Umar ibn al-Khatthab yang sedang menjadi imam shalat Shubuh di Masjid Nabawi, membunuh Utsman ibn Affan yang sedang membaca al-Qur`an, membunuh Ali ibn Abi Thalib pada Jum’at dini hari saat ia sedang mengajak manusia untuk pergi ke masjid guna menunaikan shalat Shubuh di bulan Ramadhan, serta membantai Abdullah ibn Khabbab dan keluarganya, sementara mereka menganggap bahwa makan buah kelapa tanpa izin pemiliknya adalah kerusakan di muka bumi!

 

Halalnya Darah Saudara Sendiri

Sebagaimana disebutkan di beberapa buku-buku sejarah, ketika Ali ibn Abi Thalib mengirim Abu Musa al-Asy’ari beserta pasukannya ke Daumatul Jandal, kelakuan kelompok Khawarij semakin menjadi-jadi. Mereka menentang Ali, menganggapnya kafir, memisahkan diri darinya dan memberontak terhadapnya. Setiapkali Ali menyampaikan khutbah di masjid, mereka selalu membantahnya, bahkan menghina dan mengutuknya dengan ayat-ayat al-Qur`an. Suatu saat, ketika Ali menyampaikan khutbahnya di sebuah masjid, ia menyinggung soal kekeliruan kaum Khawarij, tiba-tiba beberapa orang berdiri dan berkata, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah!” Ali berkata, “Kalian mempunyai hak atas kami supaya kami tidak melarang kalian memasuki masjid kami selama kalian tidak memberontak terhadap kami, tidak mencegah kalian untuk memperoleh bagian dari fay` (harta rampasan) selama tangan kalian berpegangan dengan tangan kami, dan tidak memerangi kalian selama kalian tidak memerangi kami.”[2]

Dikatakan, ketika Ali mengutus Abu Musa al-Asy’ari untuk menyelesaikan persoalan arbitrase, orang-orang Khawarij bertemu di rumah Abdullah ibn Wahb al-Rasibi dan membaiatnya sebagai pemimpin mereka. Dalam pidatonya Abdullah ibn Wahb al-Rasibi mengingatkan kelompok Khawarij untuk zuhud terhadap dunia, mengutamakan akhirat dan surga, memotivasi mereka melakukan amar ma’ruf nahy munkar. Ia juga mengajak mereka untuk keluar dari Kufah yang dianggapnya sebagai negeri berpenduduk zhalim menuju ke balik pegunungan di puncak-puncaknya atau di beberapa negeri lainnya untuk menunjukkan penolakan terhadap hukum-hukum yang zhalim. Mereka pun pergi ke Nahrawan.

Mereka keluar dari Kufah menyusup seorang demi seorang agar tidak ada yang mengetahui dan mencegah mereka. Mereka keluar dari Kufah dengan sebuah keyakinan—karena kebodohan dan ketidaktahuan mereka—bahwa apa yang mereka lakukan itu akan mendapatkan ridha dari Tuhan yang Kuasa atas bumi dan langit.[3]

Diriwayatkan, ketika Ali ibn Abi Thalib ingin memerangi Muawiyah dan para pendukungnya yang telah mengkhianatinya—setelah arbitrase menghasilkan keputusan sepihak mengenai pencopotan Ali sebagai khalifah dan pengangkatan Muawiyah sebagai khalifah menggantikan Ali—ia menulis surat kepada kaum Khawarij untuk mengajak mereka supaya ikut bersamanya. Tetapi mereka mengirim surat balasan yang menyatakan, “Kau marah bukan karena Allah, tetapi marah karena dirimu sendiri. Jika kau bersaksi atas kekafiran dirimu dan kau berusaha untuk bertaubat, kami akan pertimbangkan ikatan antara kami dan dirimu. Tetapi jika tidak, maka kami semua akan melawanmu.”[4]

Ketika Ali membaca surat balasan dari mereka, ia sangat menyesalkan keputusan mereka untuk tetap menentang dan memberontak terhadapnya. Ia lalu bergerak dari Kufah menuju Nakhilah dengan membawa enam puluh delapan ribu pasukan dan dua ratus pasukan berkuda. Ia sudah mendengar kabar bahwa kaum Khawarij telah menimbulkan banyak kekacauan, menumpahkan darah, merampok, dan melanggar larangan-larangan agama. Beberapa orang dari mereka telah membunuh Abdullah ibn Khabbab beserta istrinya yang sedang hamil tua, bahkan mereka membelah perut istrinya, mengeluarkan janinnya dan kemudian mencincangnya. Akibat ulah mereka, masyarakat menjadi panik, takut, merasa tak aman, dan khawatir atas keluarga mereka. Mereka berpikir, kalau kaum Khawarij semakin kuat, kerusakan yang mereka perbuat di muka bumi akan semakin besar. Semua orang, baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak akan dibantai habis. Karena bagi kaum Khawarij, semua orang di muka bumi sudah rusak serusak-rusaknya sehingga harus diperangi seluruhnya.[5]

Ali kemudian mengirim utusan kepada kaum Khawarij menuntut mereka menyerahkan para pembunuh Abdullah ibn Khabbab dan istrinya serta warga muslim lainnya, “Serahkan kepada kami para pembunuh saudara-saudara kami dan kami akan menghukum mereka, maka kami akan membiarkan kalian, dan kami akan pergi ke Syam. Semoga Allah menerima kalian dan mengembalikan kalian kepada kebaikan yang telah kalian tinggalkan.” Tetapi mereka menjawab, “Kami semua yang telah membunuhnya. Kami halalkan darah mereka dan darah kalian.”[6]

Pada bulan Shafar tahun 38 H Ali bergerak untuk memerangi mereka di Nahrawan. Dan sebelum perang, terjadi dialog-dialog penting antara sahabat-sahabat Nabi dengan kaum Khawarij dalam upaya menasihati mereka dan menunjukkan penyimpangan mereka dari agama yang benar. Tetapi mereka menolak dan meneriakkan, “Mari dengan tenang kita menuju surga!” Sejumlah riwayat mengatakan bahwa Qais ibn Sa’ad ibn Ubadah mencoba memberikan nasihat kepada mereka terkait kehajatan-kejahatan besar yang telah mereka lakukan. Tetapi semua nasihatnya tidak memberikan manfaat apapun bagi mereka. Selain itu, Abu Ayyub al-Anshari juga berupaya mengajak mereka berbicara secara baik-baik untuk memberi mereka nasihat, tetapi upayanya itu tidak sedikit pun memberikan pengaruh kepada mereka. Akhirnya Ali sendiri yang turun tangan memberikan mereka nasihat, peringatan, dan ancaman, “Kalian telah mengingkari perkara yang kalian ajak aku untuk melakukannya. Kalian tak memberiku jalan lain kecuali aku harus melakukannya. Aku sudah menolaknya, tetapi kalian tetap memaksa. Sekarang aku ajak kalian untuk kembali kepada apa yang kalian keluar darinya. Janganlah kalian melanggar larangan-larangan Allah. Kalian telah memandang baik perbuatan-perbuatan yang buruk, yaitu kalian membunuh sesama muslim. Demi Allah, membunuh seekor ayam tanpa alasan yang haqq, itu dosa besar di sisi Allah. Lantas bagaimana dengan darah sesama muslim?!” Mereka tidak memberikan jawaban apapun. Ali kemudian meninggalkan mereka. Mereka tampak maju ke depan dan memilih untuk berperang dengan meneriakkan, “Mari dengan tenang kita menuju surga!”, seakan mereka bersiap-siap untuk “bertemu dengan Tuhan”.[7]

Ali tidak mempunyai pilihan lain. Ia kemudian menyiapkan pasukannya untuk menghadapi kelompok Khawarij. Pada saat-saat terakhir Ali masih sempat memerintahkan Abu Ayub Al-Anshari untuk mengangkat bendera pengamanan kepada kelompok Khawarij sambil berteriak lantang, “Barang siapa menuju bendera ini maka ia akan aman. Barang siapa yang tidak ingin melanjutkan peperangan dan kembali ke Kufah dan daerah Madain maka ia aman. Kami tidak akan menyulitkan orang-orang seperti yang telah kami sebutkan. Kami hanya berurusan dengan orang-orang yang telah membunuh saudara-saudara kami.”[8]

Sekitar tiga ribu orang dari kelompok Khawarij kemudian meninggalkan induk pasukannya. Yang tersisa hanya seribu orang bersama dengan Abdullah ibn Wahb al-Rasibi. Ali berkata kepada Abu Ayub Al-Anshari, “Biarkan dan jangan berperang sampai mereka yang mendahului!”[9]

Kelompok Khawarij kemudian mulai menyerang dengan meneriakkan, “Tidak ada hukum kecuali Allah. Mari dengan tenang kita menuju surga!” Perang pun terjadi, tetapi tidak berlangsung lama. Banyak dari kelompok Khawarij yang terbunuh. Hanya sedikit dari mereka yang selamat.[10]

 

Pembunuhan Ali ibn Abi Thalib

Ali ibn Abi Thalib terbunuh pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 Hijriah. Berbagai riwayat menyebutkan bahwa tiga orang dari kaum Khawarij yaitu Abdurrahman ibn Muljam, al-Burk ibn Abdillah, dan Amru ibn Bakr al-Tamimi berkumpul membicarakan persoalan umat Muslim. Mereka membahas tokoh-tokoh penyebab konflik di tengah-tengah umat Muslim. Mereka juga mengenang sahabat-sahabat mereka yang terbunuh pada perang Nahrawan. Kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Kalau kita mengorbankan diri kita dengan membunuh para pemimpin kesesatan, tentu akan membuat tenang negeri ini!” Mereka lalu bersepakat: Abdurrahman ibn Muljam membunuh Ali ibn Abi Thalib, al-Burk ibn Abdillah membunuh Muawiyah ibn Abi Sufyan, dan Amru ibn Bakr membunuh Amru ibn al-Ash. Mereka bersumpah untuk tidak mundur dari rencana pembunuhan itu atau mereka mati. Mereka lalu mengambil pedang masing-masing, meracuninya, dan sepakat untuk melakukan kejahatan itu pada 17 Ramadhan. Kemudian masing-masing pergi ke tujuan yang telah direncanakan.[11]

Ibn Muljam pergi ke Kufah untuk melaksanakan niatnya membunuh Ali  ibn Abi Thalib. Di sana ia bertemu dengan sahabat-sahabatnya dari kaum Khawarij dari suku Taim al-Rabab. Dari suku ini banyak terbunuh oleh pasukan Ali ibn Abi Thalib pada perang Nahrawan. Dan di antara suku ini terdapat seorang perempuan bernama Qutham yang ayah dan saudara laki-lakinya tewas pada perang Nahrawan. Parasnya yang cantik membuat Ibn Muljam langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Ibn Muljam pun langsung melamarnya, dan Qutham mengajukan tiga syarat sebagai maharnya, yaitu uang 3000 dinar, seorang budak laki-laki, dan kematian Ali ibn Abi Thalib untuk menyembuhkan kekecewaannya. Ibn Muljam berkata, “Adapun mengenai kematian Ali tak perlu kau ceritakan lagi jika kau menyukaiku.” Qutham berkata, “Baiklah, jika kau berhasil membunuhnya, maka lenyaplah dendam dalam dirimu dan diriku. Jika kau yang terbunuh, maka apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada dunia dan segala isinya.”[12]

Ibn Muljam menyanggupi permintaan Qutham, ia meyakinkannya bahwa ia datang ke Kufah memang untuk membunuh Ali. Qutham lalu memanggil seorang laki-laki dari sukunya bernama Wirdan untuk membantu Ibn Muljam menjalankan misinya. Ibn Muljam sendiri juga meminta bantuan seorang laki-laki dari kaum Khawarij dari suku al-Asyja’ bernama Syabib ibn Bujirah. Syabib mulanya menolak membantu Ibn Muljam karena ia mengetahui keutamaan Ali, ia berkata, “Celakalah kamu. Jika selain Ali tentu lebih mudah. Aku tahu betul mengenai ketangkasan, keunggulan, dan kegigihannya dalam membela Islam. Aku tidak menemukan alasan sehingga aku tega membunuhnya.” Ibn Muljam berkata, “Tidakkah kau tahu bahwa ia telah membunuh penduduk Nahrawan yang merupakan orang-orang saleh?” Syabib mengiyakannya. Kemudian Ibn Muljam berkata, “Karena itu kita bunuh dia untuk menuntut balas kematian sahabat-sahabat kita.” Ibn Muljam terus memotivasi Syabib sampai ia menyanggupi untuk membantunya.[13]

Malam ketujuh belas Ramadhan bertepatan dengan malam Jum’at, yaitu malam di mana Ibn Muljam dan teman-temannya sepakat untuk membunuh Ali ibn Abi Thalib, Muawiyah ibn Abi Sufyan, dan Amru ibn al-Ash. Ibn Muljam menyiapkan pedangnya, dan ia berangkat bersama Syabib dan Wirdan. Ketika Ali ibn Abi Thalib keluar dari rumahnya menuju masjid untuk mengimami shalat Subuh, saat itu ia berpuasa, dan mengajak orang-orang untuk shalat, “Wahai manusia, shalat, shalat…,” tiba-tiba Syabib dan Ibn Muljam memukulnya dengan pedang. Ibn Muljam berkata, “Hukum hanya milik Allah, bukan milikmu, dan bukan pula milik teman-temanmu.” Secepat kilat ia mengayunkan pedangnya dan menghujam tepat di kepala Ali. Kepala Ali merengkah akibat tebasan tersebut.[14]

Terdengarlah suara riuh di dalam masjid. Orang-orang cepat berlarian mendekati Ali. Wirdan terbunuh saat itu juga, sementara Syabib berhasil meloloskan diri. Orang-orang mendapati Ali tergeletak di mihrab lalu membawanya pulang ke rumahnya dalam kedaaan kepala diikat balut, sementara masyarakat dari belakang mengikuti sambil menangis.[15]

Orang-orang berhasil menangkap Ibn Muljam. Ali berwasiat kepada putra tertuanya, al-Hasan ibn Ali, juga kepada anak-anaknya yang lain serta keluarganya agar memperlakukan Ibn Muljam secara baik. Ia berkata, “Nyawa dibalas dengan nyawa. Maka, jika aku mati, kalian harus mengqisasnya. Dan jika aku hidup, aku akan mengambil keputusan sesuai dengan pertimbanganku.” Tiga hari setelah itu Ali meninggal, dan Ibn Muljam akhirnya dihukum mati.[16]

Sementara itu, al-Burk ibn Abdillah menunggu Muawiyah ibn Abi Sufyan keluar untuk melaksanakan shalat di masjid. Ketika ia melihat Muawiyah keluar ia langsung mengayungkan pedangnya dan mengenai bagian belakang (bokong) tubuh Muawiyah. Muawiyah berusaha menghalau dan berhasil merampas pedang di tangan al-Burk. Al-Burk berkata kepada Muawiyah, “Aku punya berita yang akan membuatmu senang. Tetapi jika aku memberitahukannya padamu, apakah ada untungnya bagiku?” Muawiyah berkata, “Iya.” Al-Burk berkata, “Sesungguhnya salah seorang saudaraku telah membunuh Ali malam ini.” Muawiyah berkata, “Ia tidak akan bisa membunuhnya.” Al-Burk berkata, “Tentu bisa, karena tidak ada seorang pun yang menjaga Ali.” Kemudian Muawiyah memerintahkan untuk membunuh al-Burk.[17]

Adapun Amru ibn al-Ash malam itu sedang jatuh sakit, sehingga ia tidak bisa keluar untuk menunaikan shalat di masjid. Ia menyuruh Kharijah ibn Abi Habibah, komandan pasukannya, pergi ke masjid untuk shalat bersama orang-orang. Amru ibn Bakr yang mengira Kharijah ibn Abi Habibah adalah Amru ibn al-Ash langsung menyabetkan pedangnya ke tubuh Kharijah ibn Abi Habibah sampai tewas. Amru ibn Bakr pun ditangkap dan kemudian dihukum mati. Amru ibn al-Ash bersyukur bisa selamat dari pembunuhan itu. Ia berkata, “Ia (Amru ibn Bakr) menghendakiku, tetapi Allah menghendaki Kharijah.”[18]

_______________________

[1]          https://nasional.kompas.com/read/2018/05/14/13533731/inilah-deretan-aksi-bom-bunuh-diri-di-indonesia?page=all

[2]          Ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Juz 10), Beirut: Maktabah al-Ma’arif, 1990, hal. 578

[3]          Ibid., Juz 7, hal. 276

[4]          Ibn al-Atsir, al-Kâmil fî al-Târîkh (Juz 3), Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cet. 1, 1987, hal. 216

[5]          Ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Juz 7), Beirut: Maktabah al-Ma’arif, 1990, hal. 317

[6]          Ibid., hal. 276

[7]          Ibid., Juz 10, hal. 576

[8]          Abdus Sattar al-Syaikh, A’lâm al-Huffâzh wa al-Muhadzdzitsîn (Juz 2), Beirut: Dar al-Syamiyah, hal. 63

[9]          Ibid., Juz 1, hal. 274

[10]         Ibid.

[11]         Ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Juz 7), Beirut: Maktabah al-Ma’arif, 1990, hal. 356

[12]         Ibid.

[13]         Ibid.

[14]         Dr. Athiyah al-Qushi, ‘Ashr al-Khulafâ` al-Râsyidîn, al-Hayâh al-Siyâsîyyah wa al-Hadhârîyyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, Cet. 1, 2007, hal. 59

[15]         Ibid.

[16]         Ibid.

[17]         Ibid.

[18]         Ibid.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.