Rapat Koordinasi dan Kick off Program Berdaya 3 Wilayah Jakarta Utara

KAMIS, 27 Oktober 2022, bertempat di Ruang Meeting Kantor Suku Dinas PPAPP (Pemberdayaan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk) Kota Adm. Jakarta Utara, Rumah KitaB bekerjasama dengan Sudin PPAPP Jakarta Utara menyelenggarakan rapat koordinasi pencegahan perkawinan anak sekaligus kick off program Berdaya 3 di wilayah Jakarta Utara.

Acara ini dihadiri 18 orang undangan (7 laki-laki dan 11 orang perempuan), yang terdiri dari perwakilan Wali Kota Jakarta Utara, Suku Dinas Pendidikan Jakarta Utara 1, Suku Dinas Pendidikan Jakarta Utara 2, Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara, Suku Dinas Sosial Jakarta Utara, Konselor P2TP2A Jakarta Utara, Forum Anak Jakarta Utara, penyuluh KUA Kecamatan Tanjung Priok, Kasubag Umum Kecamatan Koja, perwakilan Kecamatan Pademangan, Kecamatan Cilincing, perwakilan Kecamatan Tanjung Priok, perwakilan Kecamatan kelapa Gading, perwakilan Kecamatan Penjaringan, perwakilan Kelurahan Kalibaru dan PATBM Kalibaru. Mewakili Rumah KitaB 6 orang (3 orang tim Rumah KitaB dan 3 orang mahasantri magang dari Ma’had Aly Kebon Jambu Cirebon).

Dalam sambutannya, Achmat Hilmi, perwakilan Rumah KitaB sekaligus penanggung jawab program Berdaya 3 wilayah Jakarta Utara, menyampaikan ucapan terima kasih kepada para peserta undangan yang telah berkenan hadir, juga telah berkenan menerima Rumah KitaB untuk melanjutkan pencegahan perkawinan anak di Jakarta Utara melalui program Berdaya 3. Ia juga menyampaikan secara keseluruhan latar belakang program Berdaya 3, dan hasil temuan asesmen menunjukkan masih terjadi praktik kekerasan pada anak dan sangat erat kaitannya dengan praktik perkawinan anak, perdagangan anak, prostitusi anak dan tawuran antar remaja.

Hilmi juga menyampaikan bahwa Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing adalah wilayah dampingan Rumah KitaB sejak 2017 hingga sekarang, namun problem darurat yang dihadapi hingga sekarang adalah masih terjadi kekerasan seksual yang berdampak pada terjadinya kehamilan. Sehingga pilihannya adalah mengawinkan anak di bawah tangan (nikah sirri) apabila tidak mendapatkan surat dispensasi kawin dari Pengadilan Agama. Di sana juga banyak yang menawarkan jasa nikah sirri online. Di samping nikah sirri, problem lainnya adalah dispensasi kawin karena sebanyak 86 persen pengajuan dispensasi kawin dikabulkan oleh hakim. Hal ini menunjukkan bahwa perspektif hakim masih memperlihatkan lemahnya implementasi PERMA nomor 5 Tahun 2019.

Setelah itu, Hilmi memandu diskusi untuk menghimpun masukan dan update apa saja yang  telah dan sedang dilaksanakan oleh para pihak yang hadir dalam rangka pencegahan perkawinan anak, juga untuk menemukan peluang agar Rumah KitaB bisa berkolaborasi dengan para pihak untuk dapat bersama-sama berjuang dalam upaya pencegahan perkawinan anak di wilayah Jakarta Utara.

Para pihak menyampaikan tanggapan positif upaya pencegahan perkawinan anak di wilayah Jakarta Utara melalui program Berdaya 3. Para pihak menyampaikan temuan-temuan dan sharing pendapat, juga siap berkolaborasi bersama untuk pencegahan perkawinan anak di wilayah Jakarta Utara. Masukan dan harapan dari para pihak adalah agar melibatkan peran serta masyarakat dimulai dari tingkat bawah, yaitu melibatkan anak, remaja, orang tua, para kader, para penyuluh KUA, hakim, dan dinas-dinas terkait. Khususnya Dinas Pendidikan terkait sosialisasi kepada para peserta didik tentang bahaya hubungan seksual sebelum menikah, juga Dinas Kesehatan terkait sosialisasi kesehatan reproduksi bagi calon pengantin perempuan dan laki-laki.

Para peserta menyampaikan bahwa pencegahan perkawinan anak merupakan tantangan bagi semua pihak. Ada beberapa pintu masuk untuk pencegahan perkawinan anak: memaksimalkan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) sebagai ruang aman pengaduan bagi anak yang mengalami kekerasan seksual, sosialisasi bahaya berhubungan seksual sebelum menikah, sosialisasi kesehatan reproduksi bagi siswa, remaja dan calon pengantin, dan sosialisasi PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) bagi anak putus sekolah.

Setelah mendengar pendapat, masukan dan harapan para pihak yang hadir, Hilmi menyimpulkan bahwa pencegahan perkawinan anak di wilayah Jakarta Utara harus dimulai dari 3 wilayah, yaitu rumah, sekolah dan lingkungan secara lebih luas (wilayah). Hilmi menyampaikan ucapan terima kasih karena para pihak yang hadir siap berkolaborasi bersama dengan Rumah KitaB melalui program Berdaya 3. Selanjutnya para pihak yang hadir menandatangi dan komitmen bersama pencegahan perkawinan anak di wilayah Jakarta utara. Acara ditutup dengan foto bersama.[SQ]

Workshop Pendampingan Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Untuk Mitra (Bagian Ketiga)

RABU-Jum’at, 19-21 Oktober 2022, Rumah KitaB kembali mengadakan pendampingan ketiga kepada mitranya di Cianjur. Acara yang diberi judul Workshop Pendampingan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan Untuk Mitra di Cianjur ini dihadiri oleh 19 peserta (2 laki-laki dan 17 perempuan) dari PHC, Dinas DPPKB, dan perwakilan dari MUI.

Pada pendampingan ketiga ini secara khusus membahas tiga tema. Pertama, mengenai penggunaan media, baik media online atau offline, dalam kampanye pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Kedua, tentang pandangan Islam terhadap perempuan. Ketiga, pendekatan hukum dalam penanganan kasus. Hadir dalam sebagai narasumber sekaligus fasilitator dalam acara ini adalah Pandu Padmanegara (Digital Campaign Comcap), K.H. Imam Nahe’i (Komisioner Komnas Perempuan & Pengajar di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo), Ratna Batara Munti (Direktur LBH APIK Jawa Barat).

Pada setiap sesi dibawakan oleh narasumber secara interaktif, sehingga peserta bisa langsung bertanya, mengonfirmasi atau berdiskusi mengenai topik atau kasus tertentu. Pada sesi media, Pandu menyampaikan materi bagaimana media sosial bisa digunakan sebagai salah satu medium berkampanye pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Selain media sosial, Pandu juga menjelaskan pendekatan offline yang bisa digunakan untuk mendistribusikan informasi terkait dengan pencegahan atau penanganan kasus terhadap perempuan. Para peserta juga diajak secara langsung untuk mendesain kampanye pencegahan kekerasan terhadap perempuan.

Sementara pada sesi Islam dan hak-hak perempuan, Imam Nahe’i memulainya dengan menyusur kembali sejarah Islam lewat Nabi Muhammad Saw. Setelah itu, ia juga mulai mengupas satu persatu teks-teks keagamaan, seperti al-Qur`an dan hadits terkait dengan perempuan, misalnya terkait dengan menstruasi, pernikahan anak, kebolehan memukul pasangan, dan poligami. Paparan yang disampaikan oleh Imam Nahe’i bertumpu pada pendekatan maqâshid al-syarî’ah (tujuan-tujuan syariat) yang memperhatikan 5 dasar prinsip utama yaitu: hifzh al-‘aql (menjaga akal), hifzh al-dîn (menjaga agama), hifzh al-nafs (menjaga jiwa), hifzh al-nasl (menjaga keturunan), hifzh al-mâl (menjaga harta). Pada sesi ini, peserta juga diminta untuk berdiskusi kelompok untuk membahas empat kasus yang marak terjadi di Cianjur, seperti kawin kontrak, kawin anak, KDRT, dan kekerasan seksual.

Dan pada hari terakhir, peserta diajak untuk membahas bagaimana menangani kekerasan yang dialami perempuan dalam ranah hukum. Ratna Batara Munti mengajak peserta untuk belajar mengidentifikasi jenis kasus-kasus sesuai dengan KUHP, KUHAP, UU TPKS, atau UU PKDRT. Menurut Ratna, pendamping korban penting untuk mengetahui jenis-jenis kasus dan cantolan hukumnya supaya korban bisa mendapatkan keadilan. Setelah mengetahui jenis-jenis kasus dan rujukan hukumnya, peserta diajak Ratna untuk bermain peran mengenai alur pelaporan adanya kasus sejak dari pendampingan sampai masuk dalam proses peradilan.

Selama tiga hari berproses bersama, ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh peserta, di antaranya pada sesi media, misalnya, ada peserta bukan digital native sehingga memerlukan waktu dan usaha yang lebih untuk bisa memahami materi yang disampaikan. Pun di sesi agama dan hukum, meski bahasan yang disampaikan cukup berat dan membutuhkan konsentrasi yang tinggi, tetapi peserta tetap antusias dalam mengikuti acara. Pasalnya, pada sesi agama ada beberapa istilah keagamaan yang barangkali baru pertama didengar atau pernah didengar, tetapi belum memahaminya dengan baik, seperti metode maqâshid al-syarî’ah. Atau pada sesi hukum, peserta dipaksa untuk melihat satu per satu pasal yang berkaitan dengan kasus-kasus yang dihadapi perempuan dan anak.[NA]

Kawin Anak dalam Perspektif Islam *)

Oleh: K.H. Ahmad Ishomuddin, Rais Syuriyah PBNU 2010 – 2021

 

PERKAWINAN adalah sesuatu yang sangat penting. Di dalam bahasa Arab perkawinan disebut “al-zawâj” yang bermakna keberpasangan (al-iqtirân), yaitu berkumpulnya antara laki-laki dan perempuan atau antara dua hal (al-jam’u bayna al-dzakar wa al-untsâ aw bayna al-syay`ayn). Di dalam mazhab Syafi’i, pernikahan didefinisikan dengan “‘aqdun yatadhammanu ibâhata wath’in bi lafzhi inkâhin aw tazwîjin  aw ma’nâhumâ” (suatu akad yang membolehkan wath’ [hubungan seksual] dengan menggunakan lafazh inkâh [menikahkan] atau tazwîjin [mengawinkan] atau semakna dengan keduanya). Adapun perkawinan anak (zawâj al-qâshirât/nikâh al-shaghîr aw al-shaghîrah) adalah istilah kontemporer, di mana wali mujbir yang punya hak untuk ijbâr (memaksa) seringkali tidak bisa membedakan antara ijbâr dengan ikrâh. Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa ijbâr adalah permintaan wali mujbir kepada istrinya untuk merayu anaknya dengan kasih sayang dan lemah lembut agar mau dikawinkan, sedangkan ikrâh adalah pemaksaan yang mengandung ancaman.

Disebut perkawinan anak karena pasangan yang menikah masih belum mencapai usia baligh (dewasa). Definisi tentang baligh tidak sama di antara mazhab-mazhab fikih. Sebagian menyebut tanda baligh perempuan adalah menstruasi, dan sebagian lainnya menetapkan baligh berdasarkan usia. Kita bisa melihat perbedaan pendapat di antara empat mazhab fikih terkait perbedaan usia baligh di dalam kitab “al-Fiqh alâ al-Madzâhib al-Arba’ah”. Mazhab Hanafi menetapkan usia dewasa 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Mazhab Maliki menetapkan 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Mazhab Syafi’i menetapkan usia 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Mazhab Hanbali menetapkan usia 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan, namun perempuan ditambah dengan menstruasi.

Tanda-tanda baligh berdasarkan pendapat sejumlah mazhab adalah keluarnya sperma (mani) baik saat tidur maupun terjaga, mengalami menstruasi, tumbuhnya rambut dengan lebat di sekitar kemaluan, dan bertambah besarnya suara (laki-laki). Imam Nawawi di dalam kitab “Rawdhah al-Thâlibîn” mengatakan bahwa anak kecil tidak diukur dengan tanda-tanda baligh tersebut. Menurutnya, anak kecil adalah anak yang belum mampu melakukan aktivitas persetubuhan. Dan anak yang sudah mencapai masa pubertas dianggap dewasa.

Terkait perkawinan anak, ada tiga pendapat ulama. Pertama, akad perkawinan anak kecil dianggap sah, namun disunnahkan atau ‘disukai’ apabila anak perempuan yang dikawinkan oleh wali mujbir (bapak atau kakek) adalah yang sudah mencapai usia dewasa dan telah dimintai persetujuannya. Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama. “Ketahuilah sesungguhnya Imam Syafi’i dan para muridnya berkata bahwa bapak atau kakek dianjurkan untuk tidak mengawinkan anak gadis yang masih kecil sampai ia dewasa sehingga ia tidak berada dalam kungkungan suaminya sedangkan ia tidak menyukainya,” sebagaimana disampaikan oleh Imam Nawawi.

Kedua, wali mujbir hanya boleh mengawinkan anak kecil perempuan, tetapi tidak perlu menganjurkan anak kecil laki-laki untuk kawin. Pendapat ini bisa dilihat di dalam kitab “al-Muhallâ” karya Ibn Hazm.

Ketiga, tidak ada seorang pun yang boleh menjadi wali bagi anak kecil. Abdullah ibn Syubrumah, Abu Bakr al-Ashamm, dan Utsman al-Batti menyatakan bahwa tidak seorang pun, baik bapak, kakek, maupun hakim, boleh mengawinkan anak kecil laki-laki dan perempuan. Sebab, menurut mereka, anak kecil tidak butuh kawin. Tujuan perkawinan adalah menyalurkan syahwat secara sah dan memperoleh keturunan, sementara anak kecil tidak memungkinkan melakukan persetubuhan dan mendapatkan keturunan. Pendapat ini mungkin dianggap sebagai pendapat yang lemah di masa lalu, namun sekarang bisa menjadi pendapat yang kuat dan bahkan bisa dijadikan dasar dalam perumusan undang-undang.

Kita harus berada pada posisi yang tegas antara pendapat jumhur ulama yang menyebut bahwa anak kecil boleh dikawinkan tetapi harus dimintai persetujuannya, dengan pendapat para ulama yang menyebut bahwa siapapun tidak boleh menjadi wali yang mengawinkan anak-anak. Dalam hal ini, ada empat produk hukum Islam yang harus diperhatikan, yaitu:

Pertama, fikih. Fikih adalah produk hukum dari para ulama zaman dulu yang kemudian dikembangkan oleh para ulama di zaman berikutnya hingga hari kiamat. Fikih adalah hasil penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur`an, hadits, dan sumber-sumber lainnya yang telah disepakati. Produk hukum fikih yang ada di dalam kitab-kitab klasik mungkin relevan atau kuat pada masa dulu, tetapi tidak relevan atau tidak kuat pada masa sekarang, sehingga diperlukan penafsiran ulang terhadap sumber-sumber yang ada untuk menghasilkan produk hukum baru yang sesuai dengan realitas kontemporer.

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah menyatakan bahwa perubahan hukum terjadi karena perubahan waktu, tempat, situasi, dan adat-istiadat (taghayyur al-ahkâm bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwâl wa al-‘awâ`id). Penduduk Kufah dan Basrah punya pendapat hukum yang berbeda terkait nabidz (fermentasi kurma). Cuaca Kufah lebih dingin sehingga mazhab Hanafi tidak mengharamkan penduduk Kufah meminum nabidz. Guru Imam al-Syafi’i, Imam Waqi’ ibn al-Jarrah, dikenal sebagai peminum nabidz, bahkan pernah sampai mabuk dan memerlukan seseorang untuk mengantarnya karena ia tidak tahu arah pulang. Imam Waqi’ ibn al-Jarrah adalah seorang ahli hadits dan fikih yang dipercaya.

Kedua, fatwa. Ulama yang mengeluarkan fatwa harus memahami realitas. Kasus bisa sama, tetapi karena tempat, waktu, dan adat-istiadat berbeda maka fatwa bisa tidak sama.

Ketiga, putusan hakim (al-qadhâ`). Sepanjang putusan hakim selaras dengan semangat Islam maka itu bisa menjadi pedoman untuk memutuskan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat.

Keempat, produk perundang-undangan (al-qânûn). Ini adalah produk hukum Islam yang tertinggi. UU No.1/1974 dari pemerintah yang kemudian direvisi menjadi UU No.16/2019 sudah mengatur batas usia perkawinan, 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Pemerintah boleh mengambil pendapat yang berbeda dari yang diperdebatkan oleh para ahli fikih karena di dalam kitab-kitab klasik ada kaidah yang justru menganjurkannya. “Hukm al-hâkim ilzâmun wa yarfa’ al-khilâf,” (ketentuan pemerintah [hakim] mengikat seluruh warga dan menghilangkan perbedaan pendapat di antara mereka).

Izzuddin ibi Abdissalam di dalam kitab “Qawâ`id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm” menyatakan bahwa tindakan pemimpin atau perwakilannya harus membawa kemaslahatan bagi orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya, menghindarkan bahaya, meraih kemanfaatan, dan dapat membimbing ke arah yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih yang menyatakan, “Tasharruf al-imâm ‘alâ al-ra’îyyah manûthun bi al-mashlahah,” (Tindakan pemimpin atas rakyatnya harus berdasarkan kemaslahatan). UU No.1/1974 yang kemudian diperbaharui menjadi UU No.16/2019 jelas dimaksudkan untuk melaksanakan kaidah ini.

Dengan demikian, kita tidak boleh lagi kembali kepada pendapat jumhur ulama karena sudah ada al-qânûn, UU No.16/2019 tentang batas minimal usia perkawinan. UU ini mengikat semua warga negara Indonesia. Mereka tidak diperkenankan menikah kecuali jika sudah berusia 19 tahun ke atas. Sosialiasi UU ini harus menjangkau semua pihak, terutama orangtua dan anak. Meskipun orangtua, khususnya ayah dan kakek, punya hak ijbâr (memaksa), tetapi mereka harus memperhatikan batas-batas wilayah haknya itu.

Di dalam kitab “Mughnîy al-Muhtâj” disebutkan ada sembilan syarat yang harus dipenuhi wali (orangtua) agar boleh mengawinkan anaknya yang masih kecil. Pertama, wali yang mengawinkan adalah wali mujbir, bapak atau kakek. Kedua, dalam perkawinan itu tidak mengandung bahaya bagi si anak. Ketiga, tidak ada pertentangan yang nyata antara wali (bapak dan kakek) dengan si anak yang akan dikawinkan. Keempat, dikawinkan dengan orang yang setara. Kelima, dinikahkan dengan mahar yang sepantasnya. Keenam, mahar harus berupa mata uang di negeri tersebut. Ketujuh, si calon suami tidak boleh susah atau keberatan membayar mahar. Kedelapan, perempuan kecil tidak boleh dikawinkan dengan laki-laki yang akan menyusahkannya seperti laki-laki buta atau tua renta. Kesembilan, tidak ada permusuhan yang bersifat kekal antara anak perempuan dengan calon suaminya. Hal ini bisa dilihat secara lahir dan batin oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.

Melihat banyaknya syarat tersebut, para ulama di masa lalu hampir tidak membolehkan praktik perkawinan anak. Sebab, semakin banyak syarat yang harus dipenuhi maka semakin sedikit orang yang bisa memenuhinya. Lagi pula, perkawinan anak dapat menimbulkan banyak mudarat, di antaranya: pertama, terbengkalainya pendidikan anak atau tidak terpenuhinya hak pendidikan anak. Jika itu dibiarkan terus-menerus, masa depan bangsa bisa hancur. Orang yang melakukan perkawinan anak dan tidak sekolah akan melahirkan generasi yang bodoh juga. Karena itu, negara harus campur tangan, bukan hanya menetapkan batas usia perkawinan tetapi juga mewajibkan rakyat untuk memenuhi syarat tersebut. Kedua, terganggunya kesehatan atau tidak terpenuhinya hak-hak kesehatan anak. Organ reproduksi anak tidak siap, berpotensi mengalami kesulitan saat melahirkan, merusak kehidupan masyarakat karena anak kecil tidak mampu hidup secara bertanggungjawab.[]

 

*) Disarikan dari presentasi K.H. Ahmad Ishomuddin dalam forum Bahtsul Masail “Mengapa Islam Melarang Perkawinan Anak?” yang diselenggarakan oleh Rumah KitaB pada Kamis, 6 Oktober 2022, di Pondok Pesantren Darus Sa’adah, Kab. Lampung Tengah.

Workshop Review Dokumen Indikator Perguruan Tinggi Responsif Gender

Pada Rabu-Jumat, 12-14 Oktober 2022, Rumah KitaB bersama mengadakan Workshop Review Dokumen Indikator Perguruan Tinggi Responsif Gender di Surakarta. Acara ini dihadiri oleh 16 orang ( 1 laki-laki dan 15 perempuan) dari 8 perguruan tinggi, perwakilan Jass, Hivos, dan Rumah KitaB.

Review ini dimaksudkan untuk mendapatkan masukan mendasar pada dokumen, selain juga untuk melihat kekokohan dan kohesifitas antar indikator.

Hadir sebagai reviewer dari internal adalah Elfa Murdiana dari IAIN Metro yang secara detail membahas tentang logika kalimat dan pilihan diksi di tiap-tiap Indikator.  Untuk perspektif gender dan inklusi sosial, dokumen ini diberi masukan oleh Yuniati Chuzaifah (aktivis perempuan yang juga gender advisor UIN). Yuni banyak memberikan masukan paradigmatik dan konseptual mengenai gender dan inklusi sosial pada dokumen indikator PTRG.

Adapun terkait indikator kelembagaan dan tridarma perguruan tinggi, Witriani (PSGA UIN Sunan Kalijaga) memberikan masukan mengenai urgensi dan siginikansi PSGA di perguruan tinggi, serta pengayaan pada materi inklusi sosial di tridarma perguruan tinggi yang masih terlihat “tipis” dalam dokumen indikator PTRG.

Pada acara ini, Tim Penyusun Operasionalisasi Indikator PTRG diberi kesempatan untuk berbagi mengenai implementasi tridarma perguruan tinggi di kampus masing-masing, mulai dari pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang fesponsif gender dan inklusi sosial.[]

Islam Menolak Kawin Anak!

KAMIS, 6 Oktober 2022, Rumah KitaB kembali melakukan sosialisasi buku hasil diskusi Bahtsul Masail bertajuk “Bahtsul Masail Mengapa Islam Melarang Perkawinan Anak?” di Aula Pondok Pesantren Darussa’adah, Lampung Tengah.

Hadir dalam kesempatan ini Abah K.H. Muhsin Abdillah (Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’dah Kab. Lampung Tengah), K.H. Ishomuddin (Rais Syuriah PBNU 2015 – 2021), Muhammad Ilhamuddin, S.Ag., S.H. (Hakim Pengadilan Agama [PA] Kab. Lampung Tengah), K.H. Jamaluddin Mohammad (Peneliti Senior Rumah KitaB dan Pengasuh Pondok Pesantren Ciwaringin Cirebon), Usth. Dr. Mufliha Wijayati, M.Si. (Ketua PSGA IAIN Metro Lampung), Ust. Muhammad Nasruddin, M.H. (Dosen IAIN Metro Lampung, Peneliti Rumah KitaB), dan K.H. Achmat Hilmi, Lc., M.A. (P.O. Bahtsul Masail Rumah KitaB).

Dalam sambutannya, K.H. Achmat Hilmi, Lc., M.A. menjelaskan latarbelakang lahirnya buku “Mengapa Islam Melarang Perkawinan Anak?“. Menurutnya, buku ini lahir didorong oleh keprihatinan Rumah KitaB atas fenomena perkawinan anak di Indonesia yang dari waktu ke waktu selalu mengalami peningkatan.

“Kasus pernikahan anak di Indonesia ada di peringkat ketujuh sedunia. Mengalami kenaikan karena pandemi dan perubahan regulasi. Rumah KitaB bersama koalisi organisasi masyarakat sipil berhasil mendorong perubahan usia minimal menikah dari 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki (UU Perkawinan 1974) menjadi 19 tahun untuk keduanya. Kita berangkat dari lapangan dan kemudian mengeceknya dengan teks-teks keagamaan,” ungkapnya.

Abah K.H. Muhsin Abdillah mengucapkan selamat datang kepada para peserta kegiatan ini dan menyambut baik langkah Rumah KitaB yang menginisiasi perhelatan diskusi mengenai isu perempuan dan anak di Pesantren Darussa’adah. “Saya senang menyimak diskusi mengenai tema ini, di mana hak-hak anak kerapkali diabaikan. Semoga Allah membukakan pintu kemudahan sehingga bisa menghasilkan sesuatu yang maslahah bagi kita dan masyarakat luas,” tuturnya.

Pada sesi diskusi, K.H. Jamaluddin Mohammad, yang hadir sebagai narasumber, menyatakan bahwa buku “Mengapa Islam Melarang Perkawinan Anak?” merupakan ringkasan dari sejumlah buku hasil diskusi Bahtsul Masail yang diselenggarakan Rumah KitaB sejak awal berdiri.

“Buku ini sebenarnya adalah ringkasan dari beberapa buku yang sudah diterbitkan Rumah KitaB seperti “Fikih Kawin Anak”, yang membahas persoalan kawin anak dengan perspektif fikih, hukum nasional, dan internasional; “Fikih Perwalian”, yang membahas mengenai relasi suami-istri; relasi orang tua-anak; dan “Maqashid al-Islam”, membahas hak-hak asasi manusia dalam perspektif Islam. Kita membutuhkan sesuatu yang praktis sehingga kita meringkas buku-buku tersebut menjadi “Mengapa Islam Melarang Perkawinan Anak?””

Menurut kiyai yang akrab disapa Gus Jamal ini, hukum pernikahan anak di dalam fikih tidak tunggal. Beberapa ulama seperti Ibnu Syubramah, al-Asham dan Utsman al-Batti mengharamkannya, meski mayoritas membolehkannya asal syarat dan rukunnya terpenuhi. Rumah KitaB melanjutkan perdebatan yang sudah berkembang sejak lama itu dengan perspektif dan pendekatan modern. Rumah KitaB menggunakan metodologi maqashid al-syari’ah li al-nisa’  untuk membaca teks-teks keagamaan. Maqashid al-syari’ah li al-nisa’ adalah sebuah cara baca yang menghubungkan antara teks dan realitas (konteks). Teks adalah sumber hukum. Realitas juga bisa dijadikan sebagai sumber hukum (al-‘adah muhakkamah). Kebenaran dalam teks dan dalam realitas harus didialogkan.

Melanjutkan apa yang disampaikan oleh Gus Jamal, K.H. Ahmad Ishomuddin memaparkan bahwa banyak syarat yang harus dipenuhi wali supaya boleh menikahkan anaknya yang masih kecil, di antaranya dalam perkawinan itu tidak ada bahaya, tidak ada permusuhan antara bapak/kakek dan anak kecil yang akan dinikahkannya dengan permusuhan yang nyata, si anak harus dinikahkan dengan orang yang setara, dan seterusnya.

Melihat banyaknya syarat tersebut, mazhab Syafi’iyah hampir tidak membolehkan praktik perkawinan anak itu. Karena semakin banyak syarat yang harus dipenuhi maka semakin sedikit orang yang bisa memenuhinya.

Kiyai Ishom kemudian menegaskan, “Selain itu, perkawinan anak menimbulkan banyak mudarat. Pertama, terbengkalainya pendidikan anak atau tidak terpenuhinya hak pendidikan anak. Jika itu dibiarkan terus-menerus, masa depan bangsa bisa hancur. Orang yang melakukan kawin anak dan tidak sekolah akan melahirkan generasi yang bodoh juga. Karena itu, negara harus ikut campur, bukan hanya menetapkan batas usia menikah tetapi juga mewajibkan rakyat untuk memenuhi syarat usia nikah. Kedua, terganggunya kesehatan atau tidak terpenuhinya hak-hak kesehatan anak. Organ reproduksinya tidak siap, mengalami kesulitan saat melahirkan, merusak kehidupan masyarakat karena anak kecil tidak mampu hidup secara bertanggungjawab.”

Upaya pemerintah mengeluarkan peraturan khusus tentang pembatasan usia perkawinan menurut Kiyai Ishom adalah langkah yang sangat baik. Dan, sebagaimana ditegaskan di dalam kaidah fikih, ketentuan pemerintah (hakim) mengikat seluruh warga dan menghilangkan perbedaan pendapat di antara mereka, hukm al-hakim ilzamun wa yarfa’u al-khilaf. Dengan adanya peraturan pemerintah ini, seluruh warga tidak diperkenankan menikah kecuali mereka sudah berusia 19 tahun ke atas. Semua pihak harus didorong untuk menerapkan peraturan tersebut.

Muhammad Ilhamuddin menyampaikan kegembiraannya dengan diadakannya diskusi ini. Ia mengakui bahwa selama menjadi hakim di Pengadilan Agama Kab. Lampung Tengah baru kali ini ia diundang menjadi narasumber dalam diskusi mengenai isu yang sangat sensitif seperti perkawinan anak, yang juga dihadiri oleh para kiyai yang sangat dihormatinya di Lampung. Pengadilan Agama mempunyai kepentingan dengan diadakannya acara-acara sepertinya, terutama untuk menyosialisasikan perubahan UU No. 1/1974 dengan UU No. 16/2019 mengenai usia minimal perkawinan dan Perma No. 5/2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.

Ilhamuddin mencatat Mahkamah Agung (MA) menerima 13 ribu perkara kawin anak pada 2018; 24 ribu pada 2019; dan 64 ribu pada 2020. Rata-rata usia pernikahan anak di Indonesia adalah 14,5 tahun untuk perempuan dan 16,5 tahun untuk laki-laki. Menurutnya, “Ini disebabkan di antaranya karena Undang-Undang mengatur adanya dispensasi nikah yang memperbolehkan perkawinan anak di bawah usia 19 tahun dengan alasan-alasan yang sangat mendesak dan didukung bukti-bukti dari pihak ketiga seperti KPAI, psikolog, pihak kesehatan, dinas sosial, dan lainnya.”

Oleh sebab itu, Ilhamuddin setuju bila dispensasi nikah dihapuskan saja karena dispensasi nikah itu ibarat keran bagi masyarakat untuk menikahkan anak-anak mereka. Padahal Pengadilan Agama dibuat sejatinya untuk mempersulit persoalan-persoalan yang seharusnya tidak ada seperti kawin anak, perceraian, dan itsbat nikah.

Narasumber lain, Usth. Dr. Mufliha Wijayati, M.Si., membicarakan perkawinan anak dalam konteks Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Menurutnya, salah satu jenis kekerasan yang diatur dalam UU TPKS adalah pemaksaan perkawinan, termasuk kawin anak dan pemaksaan perkawinan korban pemerkosaan. Pemidanaan dalam UU TPKS ini adalah penjara, denda, dan restitusi. Penjara paling sebentar adalah sembilan bulan dan itu menyasar kasus-kasus ringan seperti pelecehan, cat calling, dan lainnya, sementara penjara paling lama adalah 15 tahun. Dendanya adalah antara Rp10 juta hingga Rp1 miliar.

“UU TPKS ini menarik karena memberikan porsi yang besar bagi masyarakat dalam proses pencegahan dan penanganan. Urgensi UU ini adalah; pertama, negara harus hadir dan memberikan perlindungan kepada warganya dari kasus kekerasan seksual. Kedua, UU TPKS menutup kekosongan hukum yang ada. Hukum yang ada belum bisa memberikan perlindungan yang memadai kepada korban dan menghukum yang memadai kepada pelaku,” jelasnya.

Sementara itu, Ust. Muhammad Nasruddin, M.H. menyoal efektivitas UU pembatasan usia minimal perkawinan. Dalam pengamatannya UU yang ada sekarang ini belum efektif mencegah perkawinan anak karena praktik perkawinan anak tetap ada dan malah semakin meningkat. Orangtua punya peran besar terkait banyaknya praktik ini.

“Karena itu, sebagai rekomendasi, pemerintah sangat perlu menggalakkan pelatihan tentang hakim anak karena tidak semua pengadilan agama punya hakim yang bersertifikat pelatihan tersebut; menambah hakim perempuan yang menangani perkara dispensasi kawin karena mayoritas pemohon dispensasi kawin adalah perempuan dan hakim perempuan bisa menggali informasi dengan baik jika pemohonnya adalah juga perempuan; dan menguatkan visi reproduksi dan tanggung jawab soal istri dalam kehamilan anak; mengoptimalkan peran kursus calon pengantin (suscatin) dan bimbingan perkawinan (bimbin); membuat forum khusus untuk mereka yang sudah mendapatkan dispensasi kawin; berkoordinasi dengan petugas kesehatan untuk memberikan pembekalan khusus terkait kesehatan reproduksi kepada calon pengantin yang usianya masih anak-anak; memperketat itsbat nikah agar itu tidak menjadi pintu keluar bagi mereka yang melakukan kawin anak; mengoptimalisasi pranata sosial untuk menjaga norma; melakukan sosialisasi UU No. 16/2019 ke masyarakat terutama sekolah; memberikan pemahaman kepada anak terkait dampak kawin anak dan kawin yang tidak dicatat; memberikan pendidikan seksual yang komprehensif bagi remaja; dan perlu aturan turunan di Bimas dan KUA, dan menyinkronkannya dengan Perma agar tidak saling lempar,” pungkasnya.[]

 

Diskusi Maqâshid Al-Syarî’ah li Al-Nisâ`

Rumah KitaB kembali mengadakan diskusi Maqâshid Al-Syarî’ah li Al-Nisâ` Putaran kedua. Diskusi ini kedua ini bertujuan untuk merumuskan gagasan/draf awal Maqâshid Al-Syarî’ah li Al-Nisâ`. Diskusi ini diselenggarakan secara Virtual melalui Zoom, pada hari Kamis, 22 September 2022, pukul 13.00-16.30 wib.

Narasumber yang hadir dalam diskusi ini yaitu Iffatul Umniyati Ismail, Lc., M.,A., Merupakan pengasuh pesantren di Sampang Madura, lulusan master di Al-Azhar University Cairo, dan masih menjadi mahasiswa Doktoral di Al-Azhar University, dengan judul disertasi Manhaj Istinbath Al-Mu’ashir (metode Perumusan Hukum Kontemporer).

Para peserta yang hadir masih dalam komposisi para pakar akademisi dan tokoh pesantren di antaranya Prof.Dr. H. Abdul Mustaqim, Dr. Yunus Masrukhin, Ustazah Umdah Baroroh, Ustazah  Hj. Badriyah Fayumi, Lc., M.A., Gus Ulil Abshar Abdalla, Dr. Abdul Moqsith Ghozali, Dr. Ibnu Sahroji, Dr. Zain Maarif, Suhardiansyah, Lc.

Beberapa capaian dalam diskusi ini, terumuskannya draft awal Maqâshid Al-Syarî’ah li Al-Nisâ`, dalam bentuk poin-poin masukan dari para peserta. Rumusan ini akan menyumbang pada bentuk tulisan utuh yang akan disusun oleh tim penyusun Maqâshid Al-Syarî’ah li Al-Nisâ`, di antaranya Achmat Hilmi, Jamaluddin Mohammad dan Roland Gunawan.

Diskusi ini menghadirkan perdebatan akademis konstruktif dalam perumusan Maqâshid Al-Syarî’ah li Al-Nisâ`. Maqâshid Al-Syarî’ah dapat menjadi falsafah bagi perumusan hukum, berkontribusi dalam membangun nilai nilai kemanusiaan dan kemaslahatan dalam setiap upaya perumusan hukum Islam. Diskusi kedua ini juga menghasilkan beberapa tawaran rumusan Maqâshid Al-Syarî’ah li Al-Nisâ`, yang relevan sebagai kerangka metode Perumusan Hukum Islam yang sensitif gender.

Catatan pembelajaran dalam diskusi ini, peserta perempuan yang hadir belum memberikan kontribusi signifikan dalam merumuskan metode Maqâshid Al-Syarî’ah li Al-Nisâ`. Peserta laki-laki yang sensitif gender justru lebih dominan dalam menyuarakan gagasan Maqâshid Al-Syarî’ah li Al-Nisâ`, yaitu sebuah metode perumusan hukum yang sensitif gender.[]

Workshop Perumusan “Maqâshid Al-Syarî’ah li Al-Nisâ`”

 

BERTEMPAT di ruang virtual difasilitasi oleh Aplikasi Zoom Meeting, Rumah KitaB menyelenggarakan Serial Workshop Perumusan “Maqâshid Al-Syarî’ah li Al-Nisâ`, Sebuah upaya Menyusun Metode Alternatif dalam Memahami Teks dan Menggali Hukum yang Berpihak pada Perempuan”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Yayasan Rumah Kita Bersama atas dukungan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ)2.

Tujuan pelaksanaan kegiatan ini yaitu merumuskan “Draft Maqâshid Al-Syarî’ah li Al-Nisâ`”, sebagai sebuah konsep pendekatan, dalam memahami teks, dan dapat juga hadir sebagai metode menggali (istinbâth) hukum yang memiliki keberpihakan terhadap perempuan dan kelompok rentan.

Diskusi ini telah diselenggarakan sebanyak dua putaran, dan sedang persiapan menuju putaran ketiga di Awal November 2022. Putaran Pertama Diskusi ini membahas pemetaan problematika hukum Islam, dan pembacaan awal terkait maqâshid al-syarî’ah sebagai jembatan penghubung antara Syariat Islam dengan Hak-Hak Perempuan, memetakan kelemahan/kekurangan dan keunggulan maqâshid al-syarî’ah yang sudah tersedia.

Diskusi pertama Maqâshid Al-Syarî’ah li Al-Nisâ` (MSN) ini diselenggarakan pada hari Selasa, 13 September 2022 pukul 13.00 – 16.30 WIB secara virtual melalui aplikasi zoom meeting online.

Diskusi ini dihadiri para tokoh akademisi dan para tokoh pesantren, di antaranya Prof. Dr. Amin Abdullah, Prof. Dr. Al-Habib Said Aqil Husein Al-Munawar, Dr. Yunus Masrukhin, Dr. Abdul Moaqith Ghozali, KH. Ahmad Ishomuddin, Dr. Ibnu Sahroji, Jamaluddin Mohammad, dan Achmat Hilmi.

Diskusi ini menghasilkan sejumlah poin: pertama, pemetaan problem hukum Islam, banyak produk hukum Islam dinilai masih mendiskriminasi pihak perempuan misalnya hukum bolehnya perkawinan usia anak, hukum bolehnya pemaksaan kawin oleh orang tua terhadap anak perempuannya, hukum bolehnya poligami, hukum wajib dan sunnahnya sunat perempuan, dan lainnya, di mana produk hukum masih mendiskriminasi perempuan dan bertolak belakang dengan tujuan hukum yaitu kemashalatan manusia. Sementara itu, konsep maqâshid al-syarî’ah masih mengalami kendala dalam implementasi, masih tunduk dalam logika patriarkhi, bahkan maqâshid al-syarî’ah dapat tunduk pada logika ekstrimisme, yang meniadakan aspek kemanusiaan dalam hukum Islam.

Kedua, berdasarkan alasan alasan rasional tersebut, maka muncullah sebuah  gagasan perlunya merekonstruksi maqasid syariah menjadi Maqâshid al-Syarî’ah li al-Nisâ`, sebuah metode maqasid dengan perspektif feminisme.

Ketiga, perlunya perluasan referensi dan bacaan terkait maqâshid al-syarîah.

Catatan pembelajaran dari diskusi ini, bahwa panitia memiliki kesulitan tersendiri dalam mencari perempuan yang memiliki kepakaran dalam fikih dan ushul fikih, namun memiliki perspektif gender. Sementara beberapa tokoh muda ulama perempuan ahli fikih yang pernah dihadirkan oleh panitia pada diskusi keagamaan sebelumnya, masih memiliki pandangan patriarkhis.[]