Kawin Anak dalam Perspektif Islam *)
Oleh: K.H. Ahmad Ishomuddin, Rais Syuriyah PBNU 2010 – 2021
PERKAWINAN adalah sesuatu yang sangat penting. Di dalam bahasa Arab perkawinan disebut “al-zawâj” yang bermakna keberpasangan (al-iqtirân), yaitu berkumpulnya antara laki-laki dan perempuan atau antara dua hal (al-jam’u bayna al-dzakar wa al-untsâ aw bayna al-syay`ayn). Di dalam mazhab Syafi’i, pernikahan didefinisikan dengan “‘aqdun yatadhammanu ibâhata wath’in bi lafzhi inkâhin aw tazwîjin aw ma’nâhumâ” (suatu akad yang membolehkan wath’ [hubungan seksual] dengan menggunakan lafazh inkâh [menikahkan] atau tazwîjin [mengawinkan] atau semakna dengan keduanya). Adapun perkawinan anak (zawâj al-qâshirât/nikâh al-shaghîr aw al-shaghîrah) adalah istilah kontemporer, di mana wali mujbir yang punya hak untuk ijbâr (memaksa) seringkali tidak bisa membedakan antara ijbâr dengan ikrâh. Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa ijbâr adalah permintaan wali mujbir kepada istrinya untuk merayu anaknya dengan kasih sayang dan lemah lembut agar mau dikawinkan, sedangkan ikrâh adalah pemaksaan yang mengandung ancaman.
Disebut perkawinan anak karena pasangan yang menikah masih belum mencapai usia baligh (dewasa). Definisi tentang baligh tidak sama di antara mazhab-mazhab fikih. Sebagian menyebut tanda baligh perempuan adalah menstruasi, dan sebagian lainnya menetapkan baligh berdasarkan usia. Kita bisa melihat perbedaan pendapat di antara empat mazhab fikih terkait perbedaan usia baligh di dalam kitab “al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah”. Mazhab Hanafi menetapkan usia dewasa 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Mazhab Maliki menetapkan 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Mazhab Syafi’i menetapkan usia 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Mazhab Hanbali menetapkan usia 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan, namun perempuan ditambah dengan menstruasi.
Tanda-tanda baligh berdasarkan pendapat sejumlah mazhab adalah keluarnya sperma (mani) baik saat tidur maupun terjaga, mengalami menstruasi, tumbuhnya rambut dengan lebat di sekitar kemaluan, dan bertambah besarnya suara (laki-laki). Imam Nawawi di dalam kitab “Rawdhah al-Thâlibîn” mengatakan bahwa anak kecil tidak diukur dengan tanda-tanda baligh tersebut. Menurutnya, anak kecil adalah anak yang belum mampu melakukan aktivitas persetubuhan. Dan anak yang sudah mencapai masa pubertas dianggap dewasa.
Terkait perkawinan anak, ada tiga pendapat ulama. Pertama, akad perkawinan anak kecil dianggap sah, namun disunnahkan atau ‘disukai’ apabila anak perempuan yang dikawinkan oleh wali mujbir (bapak atau kakek) adalah yang sudah mencapai usia dewasa dan telah dimintai persetujuannya. Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama. “Ketahuilah sesungguhnya Imam Syafi’i dan para muridnya berkata bahwa bapak atau kakek dianjurkan untuk tidak mengawinkan anak gadis yang masih kecil sampai ia dewasa sehingga ia tidak berada dalam kungkungan suaminya sedangkan ia tidak menyukainya,” sebagaimana disampaikan oleh Imam Nawawi.
Kedua, wali mujbir hanya boleh mengawinkan anak kecil perempuan, tetapi tidak perlu menganjurkan anak kecil laki-laki untuk kawin. Pendapat ini bisa dilihat di dalam kitab “al-Muhallâ” karya Ibn Hazm.
Ketiga, tidak ada seorang pun yang boleh menjadi wali bagi anak kecil. Abdullah ibn Syubrumah, Abu Bakr al-Ashamm, dan Utsman al-Batti menyatakan bahwa tidak seorang pun, baik bapak, kakek, maupun hakim, boleh mengawinkan anak kecil laki-laki dan perempuan. Sebab, menurut mereka, anak kecil tidak butuh kawin. Tujuan perkawinan adalah menyalurkan syahwat secara sah dan memperoleh keturunan, sementara anak kecil tidak memungkinkan melakukan persetubuhan dan mendapatkan keturunan. Pendapat ini mungkin dianggap sebagai pendapat yang lemah di masa lalu, namun sekarang bisa menjadi pendapat yang kuat dan bahkan bisa dijadikan dasar dalam perumusan undang-undang.
Kita harus berada pada posisi yang tegas antara pendapat jumhur ulama yang menyebut bahwa anak kecil boleh dikawinkan tetapi harus dimintai persetujuannya, dengan pendapat para ulama yang menyebut bahwa siapapun tidak boleh menjadi wali yang mengawinkan anak-anak. Dalam hal ini, ada empat produk hukum Islam yang harus diperhatikan, yaitu:
Pertama, fikih. Fikih adalah produk hukum dari para ulama zaman dulu yang kemudian dikembangkan oleh para ulama di zaman berikutnya hingga hari kiamat. Fikih adalah hasil penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur`an, hadits, dan sumber-sumber lainnya yang telah disepakati. Produk hukum fikih yang ada di dalam kitab-kitab klasik mungkin relevan atau kuat pada masa dulu, tetapi tidak relevan atau tidak kuat pada masa sekarang, sehingga diperlukan penafsiran ulang terhadap sumber-sumber yang ada untuk menghasilkan produk hukum baru yang sesuai dengan realitas kontemporer.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah menyatakan bahwa perubahan hukum terjadi karena perubahan waktu, tempat, situasi, dan adat-istiadat (taghayyur al-ahkâm bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwâl wa al-‘awâ`id). Penduduk Kufah dan Basrah punya pendapat hukum yang berbeda terkait nabidz (fermentasi kurma). Cuaca Kufah lebih dingin sehingga mazhab Hanafi tidak mengharamkan penduduk Kufah meminum nabidz. Guru Imam al-Syafi’i, Imam Waqi’ ibn al-Jarrah, dikenal sebagai peminum nabidz, bahkan pernah sampai mabuk dan memerlukan seseorang untuk mengantarnya karena ia tidak tahu arah pulang. Imam Waqi’ ibn al-Jarrah adalah seorang ahli hadits dan fikih yang dipercaya.
Kedua, fatwa. Ulama yang mengeluarkan fatwa harus memahami realitas. Kasus bisa sama, tetapi karena tempat, waktu, dan adat-istiadat berbeda maka fatwa bisa tidak sama.
Ketiga, putusan hakim (al-qadhâ`). Sepanjang putusan hakim selaras dengan semangat Islam maka itu bisa menjadi pedoman untuk memutuskan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat.
Keempat, produk perundang-undangan (al-qânûn). Ini adalah produk hukum Islam yang tertinggi. UU No.1/1974 dari pemerintah yang kemudian direvisi menjadi UU No.16/2019 sudah mengatur batas usia perkawinan, 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Pemerintah boleh mengambil pendapat yang berbeda dari yang diperdebatkan oleh para ahli fikih karena di dalam kitab-kitab klasik ada kaidah yang justru menganjurkannya. “Hukm al-hâkim ilzâmun wa yarfa’ al-khilâf,” (ketentuan pemerintah [hakim] mengikat seluruh warga dan menghilangkan perbedaan pendapat di antara mereka).
Izzuddin ibi Abdissalam di dalam kitab “Qawâ`id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm” menyatakan bahwa tindakan pemimpin atau perwakilannya harus membawa kemaslahatan bagi orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya, menghindarkan bahaya, meraih kemanfaatan, dan dapat membimbing ke arah yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih yang menyatakan, “Tasharruf al-imâm ‘alâ al-ra’îyyah manûthun bi al-mashlahah,” (Tindakan pemimpin atas rakyatnya harus berdasarkan kemaslahatan). UU No.1/1974 yang kemudian diperbaharui menjadi UU No.16/2019 jelas dimaksudkan untuk melaksanakan kaidah ini.
Dengan demikian, kita tidak boleh lagi kembali kepada pendapat jumhur ulama karena sudah ada al-qânûn, UU No.16/2019 tentang batas minimal usia perkawinan. UU ini mengikat semua warga negara Indonesia. Mereka tidak diperkenankan menikah kecuali jika sudah berusia 19 tahun ke atas. Sosialiasi UU ini harus menjangkau semua pihak, terutama orangtua dan anak. Meskipun orangtua, khususnya ayah dan kakek, punya hak ijbâr (memaksa), tetapi mereka harus memperhatikan batas-batas wilayah haknya itu.
Di dalam kitab “Mughnîy al-Muhtâj” disebutkan ada sembilan syarat yang harus dipenuhi wali (orangtua) agar boleh mengawinkan anaknya yang masih kecil. Pertama, wali yang mengawinkan adalah wali mujbir, bapak atau kakek. Kedua, dalam perkawinan itu tidak mengandung bahaya bagi si anak. Ketiga, tidak ada pertentangan yang nyata antara wali (bapak dan kakek) dengan si anak yang akan dikawinkan. Keempat, dikawinkan dengan orang yang setara. Kelima, dinikahkan dengan mahar yang sepantasnya. Keenam, mahar harus berupa mata uang di negeri tersebut. Ketujuh, si calon suami tidak boleh susah atau keberatan membayar mahar. Kedelapan, perempuan kecil tidak boleh dikawinkan dengan laki-laki yang akan menyusahkannya seperti laki-laki buta atau tua renta. Kesembilan, tidak ada permusuhan yang bersifat kekal antara anak perempuan dengan calon suaminya. Hal ini bisa dilihat secara lahir dan batin oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.
Melihat banyaknya syarat tersebut, para ulama di masa lalu hampir tidak membolehkan praktik perkawinan anak. Sebab, semakin banyak syarat yang harus dipenuhi maka semakin sedikit orang yang bisa memenuhinya. Lagi pula, perkawinan anak dapat menimbulkan banyak mudarat, di antaranya: pertama, terbengkalainya pendidikan anak atau tidak terpenuhinya hak pendidikan anak. Jika itu dibiarkan terus-menerus, masa depan bangsa bisa hancur. Orang yang melakukan perkawinan anak dan tidak sekolah akan melahirkan generasi yang bodoh juga. Karena itu, negara harus campur tangan, bukan hanya menetapkan batas usia perkawinan tetapi juga mewajibkan rakyat untuk memenuhi syarat tersebut. Kedua, terganggunya kesehatan atau tidak terpenuhinya hak-hak kesehatan anak. Organ reproduksi anak tidak siap, berpotensi mengalami kesulitan saat melahirkan, merusak kehidupan masyarakat karena anak kecil tidak mampu hidup secara bertanggungjawab.[]
*) Disarikan dari presentasi K.H. Ahmad Ishomuddin dalam forum Bahtsul Masail “Mengapa Islam Melarang Perkawinan Anak?” yang diselenggarakan oleh Rumah KitaB pada Kamis, 6 Oktober 2022, di Pondok Pesantren Darus Sa’adah, Kab. Lampung Tengah.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!