Workshop Perumusan “Maqâshid Al-Syarî’ah li Al-Nisâ`”
BERTEMPAT di ruang virtual difasilitasi oleh Aplikasi Zoom Meeting, Rumah KitaB menyelenggarakan Serial Workshop Perumusan “Maqâshid Al-Syarî’ah li Al-Nisâ`, Sebuah upaya Menyusun Metode Alternatif dalam Memahami Teks dan Menggali Hukum yang Berpihak pada Perempuan”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Yayasan Rumah Kita Bersama atas dukungan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ)2.
Tujuan pelaksanaan kegiatan ini yaitu merumuskan “Draft Maqâshid Al-Syarî’ah li Al-Nisâ`”, sebagai sebuah konsep pendekatan, dalam memahami teks, dan dapat juga hadir sebagai metode menggali (istinbâth) hukum yang memiliki keberpihakan terhadap perempuan dan kelompok rentan.
Diskusi ini telah diselenggarakan sebanyak dua putaran, dan sedang persiapan menuju putaran ketiga di Awal November 2022. Putaran Pertama Diskusi ini membahas pemetaan problematika hukum Islam, dan pembacaan awal terkait maqâshid al-syarî’ah sebagai jembatan penghubung antara Syariat Islam dengan Hak-Hak Perempuan, memetakan kelemahan/kekurangan dan keunggulan maqâshid al-syarî’ah yang sudah tersedia.
Diskusi pertama Maqâshid Al-Syarî’ah li Al-Nisâ` (MSN) ini diselenggarakan pada hari Selasa, 13 September 2022 pukul 13.00 – 16.30 WIB secara virtual melalui aplikasi zoom meeting online.
Diskusi ini dihadiri para tokoh akademisi dan para tokoh pesantren, di antaranya Prof. Dr. Amin Abdullah, Prof. Dr. Al-Habib Said Aqil Husein Al-Munawar, Dr. Yunus Masrukhin, Dr. Abdul Moaqith Ghozali, KH. Ahmad Ishomuddin, Dr. Ibnu Sahroji, Jamaluddin Mohammad, dan Achmat Hilmi.
Diskusi ini menghasilkan sejumlah poin: pertama, pemetaan problem hukum Islam, banyak produk hukum Islam dinilai masih mendiskriminasi pihak perempuan misalnya hukum bolehnya perkawinan usia anak, hukum bolehnya pemaksaan kawin oleh orang tua terhadap anak perempuannya, hukum bolehnya poligami, hukum wajib dan sunnahnya sunat perempuan, dan lainnya, di mana produk hukum masih mendiskriminasi perempuan dan bertolak belakang dengan tujuan hukum yaitu kemashalatan manusia. Sementara itu, konsep maqâshid al-syarî’ah masih mengalami kendala dalam implementasi, masih tunduk dalam logika patriarkhi, bahkan maqâshid al-syarî’ah dapat tunduk pada logika ekstrimisme, yang meniadakan aspek kemanusiaan dalam hukum Islam.
Kedua, berdasarkan alasan alasan rasional tersebut, maka muncullah sebuah gagasan perlunya merekonstruksi maqasid syariah menjadi Maqâshid al-Syarî’ah li al-Nisâ`, sebuah metode maqasid dengan perspektif feminisme.
Ketiga, perlunya perluasan referensi dan bacaan terkait maqâshid al-syarî’ah.
Catatan pembelajaran dari diskusi ini, bahwa panitia memiliki kesulitan tersendiri dalam mencari perempuan yang memiliki kepakaran dalam fikih dan ushul fikih, namun memiliki perspektif gender. Sementara beberapa tokoh muda ulama perempuan ahli fikih yang pernah dihadirkan oleh panitia pada diskusi keagamaan sebelumnya, masih memiliki pandangan patriarkhis.[]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!