Islam Menolak Kawin Anak!
KAMIS, 6 Oktober 2022, Rumah KitaB kembali melakukan sosialisasi buku hasil diskusi Bahtsul Masail bertajuk “Bahtsul Masail Mengapa Islam Melarang Perkawinan Anak?” di Aula Pondok Pesantren Darussa’adah, Lampung Tengah.
Hadir dalam kesempatan ini Abah K.H. Muhsin Abdillah (Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’dah Kab. Lampung Tengah), K.H. Ishomuddin (Rais Syuriah PBNU 2015 – 2021), Muhammad Ilhamuddin, S.Ag., S.H. (Hakim Pengadilan Agama [PA] Kab. Lampung Tengah), K.H. Jamaluddin Mohammad (Peneliti Senior Rumah KitaB dan Pengasuh Pondok Pesantren Ciwaringin Cirebon), Usth. Dr. Mufliha Wijayati, M.Si. (Ketua PSGA IAIN Metro Lampung), Ust. Muhammad Nasruddin, M.H. (Dosen IAIN Metro Lampung, Peneliti Rumah KitaB), dan K.H. Achmat Hilmi, Lc., M.A. (P.O. Bahtsul Masail Rumah KitaB).
Dalam sambutannya, K.H. Achmat Hilmi, Lc., M.A. menjelaskan latarbelakang lahirnya buku “Mengapa Islam Melarang Perkawinan Anak?“. Menurutnya, buku ini lahir didorong oleh keprihatinan Rumah KitaB atas fenomena perkawinan anak di Indonesia yang dari waktu ke waktu selalu mengalami peningkatan.
“Kasus pernikahan anak di Indonesia ada di peringkat ketujuh sedunia. Mengalami kenaikan karena pandemi dan perubahan regulasi. Rumah KitaB bersama koalisi organisasi masyarakat sipil berhasil mendorong perubahan usia minimal menikah dari 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki (UU Perkawinan 1974) menjadi 19 tahun untuk keduanya. Kita berangkat dari lapangan dan kemudian mengeceknya dengan teks-teks keagamaan,” ungkapnya.
Abah K.H. Muhsin Abdillah mengucapkan selamat datang kepada para peserta kegiatan ini dan menyambut baik langkah Rumah KitaB yang menginisiasi perhelatan diskusi mengenai isu perempuan dan anak di Pesantren Darussa’adah. “Saya senang menyimak diskusi mengenai tema ini, di mana hak-hak anak kerapkali diabaikan. Semoga Allah membukakan pintu kemudahan sehingga bisa menghasilkan sesuatu yang maslahah bagi kita dan masyarakat luas,” tuturnya.
Pada sesi diskusi, K.H. Jamaluddin Mohammad, yang hadir sebagai narasumber, menyatakan bahwa buku “Mengapa Islam Melarang Perkawinan Anak?” merupakan ringkasan dari sejumlah buku hasil diskusi Bahtsul Masail yang diselenggarakan Rumah KitaB sejak awal berdiri.
“Buku ini sebenarnya adalah ringkasan dari beberapa buku yang sudah diterbitkan Rumah KitaB seperti “Fikih Kawin Anak”, yang membahas persoalan kawin anak dengan perspektif fikih, hukum nasional, dan internasional; “Fikih Perwalian”, yang membahas mengenai relasi suami-istri; relasi orang tua-anak; dan “Maqashid al-Islam”, membahas hak-hak asasi manusia dalam perspektif Islam. Kita membutuhkan sesuatu yang praktis sehingga kita meringkas buku-buku tersebut menjadi “Mengapa Islam Melarang Perkawinan Anak?””
Menurut kiyai yang akrab disapa Gus Jamal ini, hukum pernikahan anak di dalam fikih tidak tunggal. Beberapa ulama seperti Ibnu Syubramah, al-Asham dan Utsman al-Batti mengharamkannya, meski mayoritas membolehkannya asal syarat dan rukunnya terpenuhi. Rumah KitaB melanjutkan perdebatan yang sudah berkembang sejak lama itu dengan perspektif dan pendekatan modern. Rumah KitaB menggunakan metodologi maqashid al-syari’ah li al-nisa’ untuk membaca teks-teks keagamaan. Maqashid al-syari’ah li al-nisa’ adalah sebuah cara baca yang menghubungkan antara teks dan realitas (konteks). Teks adalah sumber hukum. Realitas juga bisa dijadikan sebagai sumber hukum (al-‘adah muhakkamah). Kebenaran dalam teks dan dalam realitas harus didialogkan.
Melanjutkan apa yang disampaikan oleh Gus Jamal, K.H. Ahmad Ishomuddin memaparkan bahwa banyak syarat yang harus dipenuhi wali supaya boleh menikahkan anaknya yang masih kecil, di antaranya dalam perkawinan itu tidak ada bahaya, tidak ada permusuhan antara bapak/kakek dan anak kecil yang akan dinikahkannya dengan permusuhan yang nyata, si anak harus dinikahkan dengan orang yang setara, dan seterusnya.
Melihat banyaknya syarat tersebut, mazhab Syafi’iyah hampir tidak membolehkan praktik perkawinan anak itu. Karena semakin banyak syarat yang harus dipenuhi maka semakin sedikit orang yang bisa memenuhinya.
Kiyai Ishom kemudian menegaskan, “Selain itu, perkawinan anak menimbulkan banyak mudarat. Pertama, terbengkalainya pendidikan anak atau tidak terpenuhinya hak pendidikan anak. Jika itu dibiarkan terus-menerus, masa depan bangsa bisa hancur. Orang yang melakukan kawin anak dan tidak sekolah akan melahirkan generasi yang bodoh juga. Karena itu, negara harus ikut campur, bukan hanya menetapkan batas usia menikah tetapi juga mewajibkan rakyat untuk memenuhi syarat usia nikah. Kedua, terganggunya kesehatan atau tidak terpenuhinya hak-hak kesehatan anak. Organ reproduksinya tidak siap, mengalami kesulitan saat melahirkan, merusak kehidupan masyarakat karena anak kecil tidak mampu hidup secara bertanggungjawab.”
Upaya pemerintah mengeluarkan peraturan khusus tentang pembatasan usia perkawinan menurut Kiyai Ishom adalah langkah yang sangat baik. Dan, sebagaimana ditegaskan di dalam kaidah fikih, ketentuan pemerintah (hakim) mengikat seluruh warga dan menghilangkan perbedaan pendapat di antara mereka, hukm al-hakim ilzamun wa yarfa’u al-khilaf. Dengan adanya peraturan pemerintah ini, seluruh warga tidak diperkenankan menikah kecuali mereka sudah berusia 19 tahun ke atas. Semua pihak harus didorong untuk menerapkan peraturan tersebut.
Muhammad Ilhamuddin menyampaikan kegembiraannya dengan diadakannya diskusi ini. Ia mengakui bahwa selama menjadi hakim di Pengadilan Agama Kab. Lampung Tengah baru kali ini ia diundang menjadi narasumber dalam diskusi mengenai isu yang sangat sensitif seperti perkawinan anak, yang juga dihadiri oleh para kiyai yang sangat dihormatinya di Lampung. Pengadilan Agama mempunyai kepentingan dengan diadakannya acara-acara sepertinya, terutama untuk menyosialisasikan perubahan UU No. 1/1974 dengan UU No. 16/2019 mengenai usia minimal perkawinan dan Perma No. 5/2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.
Ilhamuddin mencatat Mahkamah Agung (MA) menerima 13 ribu perkara kawin anak pada 2018; 24 ribu pada 2019; dan 64 ribu pada 2020. Rata-rata usia pernikahan anak di Indonesia adalah 14,5 tahun untuk perempuan dan 16,5 tahun untuk laki-laki. Menurutnya, “Ini disebabkan di antaranya karena Undang-Undang mengatur adanya dispensasi nikah yang memperbolehkan perkawinan anak di bawah usia 19 tahun dengan alasan-alasan yang sangat mendesak dan didukung bukti-bukti dari pihak ketiga seperti KPAI, psikolog, pihak kesehatan, dinas sosial, dan lainnya.”
Oleh sebab itu, Ilhamuddin setuju bila dispensasi nikah dihapuskan saja karena dispensasi nikah itu ibarat keran bagi masyarakat untuk menikahkan anak-anak mereka. Padahal Pengadilan Agama dibuat sejatinya untuk mempersulit persoalan-persoalan yang seharusnya tidak ada seperti kawin anak, perceraian, dan itsbat nikah.
Narasumber lain, Usth. Dr. Mufliha Wijayati, M.Si., membicarakan perkawinan anak dalam konteks Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Menurutnya, salah satu jenis kekerasan yang diatur dalam UU TPKS adalah pemaksaan perkawinan, termasuk kawin anak dan pemaksaan perkawinan korban pemerkosaan. Pemidanaan dalam UU TPKS ini adalah penjara, denda, dan restitusi. Penjara paling sebentar adalah sembilan bulan dan itu menyasar kasus-kasus ringan seperti pelecehan, cat calling, dan lainnya, sementara penjara paling lama adalah 15 tahun. Dendanya adalah antara Rp10 juta hingga Rp1 miliar.
“UU TPKS ini menarik karena memberikan porsi yang besar bagi masyarakat dalam proses pencegahan dan penanganan. Urgensi UU ini adalah; pertama, negara harus hadir dan memberikan perlindungan kepada warganya dari kasus kekerasan seksual. Kedua, UU TPKS menutup kekosongan hukum yang ada. Hukum yang ada belum bisa memberikan perlindungan yang memadai kepada korban dan menghukum yang memadai kepada pelaku,” jelasnya.
Sementara itu, Ust. Muhammad Nasruddin, M.H. menyoal efektivitas UU pembatasan usia minimal perkawinan. Dalam pengamatannya UU yang ada sekarang ini belum efektif mencegah perkawinan anak karena praktik perkawinan anak tetap ada dan malah semakin meningkat. Orangtua punya peran besar terkait banyaknya praktik ini.
“Karena itu, sebagai rekomendasi, pemerintah sangat perlu menggalakkan pelatihan tentang hakim anak karena tidak semua pengadilan agama punya hakim yang bersertifikat pelatihan tersebut; menambah hakim perempuan yang menangani perkara dispensasi kawin karena mayoritas pemohon dispensasi kawin adalah perempuan dan hakim perempuan bisa menggali informasi dengan baik jika pemohonnya adalah juga perempuan; dan menguatkan visi reproduksi dan tanggung jawab soal istri dalam kehamilan anak; mengoptimalkan peran kursus calon pengantin (suscatin) dan bimbingan perkawinan (bimbin); membuat forum khusus untuk mereka yang sudah mendapatkan dispensasi kawin; berkoordinasi dengan petugas kesehatan untuk memberikan pembekalan khusus terkait kesehatan reproduksi kepada calon pengantin yang usianya masih anak-anak; memperketat itsbat nikah agar itu tidak menjadi pintu keluar bagi mereka yang melakukan kawin anak; mengoptimalisasi pranata sosial untuk menjaga norma; melakukan sosialisasi UU No. 16/2019 ke masyarakat terutama sekolah; memberikan pemahaman kepada anak terkait dampak kawin anak dan kawin yang tidak dicatat; memberikan pendidikan seksual yang komprehensif bagi remaja; dan perlu aturan turunan di Bimas dan KUA, dan menyinkronkannya dengan Perma agar tidak saling lempar,” pungkasnya.[]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!