Keajaiban Teks Klasik *)

Oleh: Ulil Abshar Abdalla **)

TAK ada yang lebih indah bagi kehidupan pikiran (life of mind) kecuali petualangan di taman teks, di hutan aksara dan kalimat yang lahir dari pikiran-pikiran besar sepanjang sejarah. Dan tiada kenikmatan mental melebihi momen ketika saya membaca teks klasik yang ditulis oleh orang-orang dari ratusan abad yang telah silam.

Teks-teks modern tentu saja banyak di antaranya yang mengagumkan, baik dari segi ide atau bentuk literernya. Saya, tentu saja, menikmati teks-teks modern yang ditulis dengan indah oleh para pengarang-cum-sarjana besar seperti Amartya Sen, Martha Nussbaum, Clifford Geertz, dll.

Tetapi, setelah bergulat dengan banyak teks, dengan pelbagai ragamnya, saya (mungkin untuk sementara, mungkin untuk seterusnya) sampai pada kesimpulan bahwa tak ada yang lebih lezat dan mengagumkan ketimbang teks klasik.

Tentu saja tak semua teks dari era klasik memiliki kualitas yang sama. Ada teks-teks klasik yang biasa saja, tak memiliki kekhususan yang istimewa. Tetapi, manakala teks-teks klasik berhasil melewati ujian waktu berabad-abad dan sampai ke tangan kita, tak bisa lain kecuali kita berkesimpulan bahwa: Teks ini memang hebat dan ampuh!.

Bagi saya, ukuran kebesaran peradaban suatu bangsa ditentukan (tentu saja bukan satu-satunya, tetapi antara lain) oleh ada-tidaknya teks kuno/klasik yang ditinggalkan oleh leluhur bangsa itu. Jika suatu bangsa memiliki teks kuno yang terus bertahan di tengah-tengah mereka, mengilhami mereka dalam merumuskan tanggapan atas masalah-masalah baru yang mereka hadapi, kita bisa berkesimpulan: bahwa bangsa semacam ini adalah bangsa besar, dengan peradaban besar.

Peninggalan fisik dan material berupa istana, gedung, candi, atau warisan material lain tentu saja bisa mengundang decak-kagum dan rasa gentar bagi yang melihatnya. Tetapi tak ada yang melebihi kebesaran sebuah teks kuno yang ditinggalkan oleh leluhur suatu bangsa dan terus dibaca oleh anak-cucu mereka, tanpa henti, melahirkan tafisr, anak-tafsir, cucu-tafsir, cicit-tafsir hingga seterusnya.

Dalam beberapa waktu terakhir ini, terutama selama bulan puasa, saya menikmati dua teks kuno yang sangat penting kedudukannya dalam masyarakat Islam, terutama di kalangan masyarakat Syiah. Yang pertama adalah Nahj al-Balaghah yang berisi kumpulan pidato dan renungan spritual-filosofis dari khalifah keempat, Ali ibn Abi Thalib (w. 661 M atau 40 H).

Yang kedua, al-Shahifah al-Sajjadiyyah, berisi kumpulan doa, munajat, dan meditasi dari Ali ibn Husain, cucu Ali ibn Abi Talib. Ia dikenal sebagai Ali Zainal Abidin, imam keempat dalam tradisi Syiah. Ia juga masyhur dengan jejuluk al-Sajjad, orang yang banyak bersujud. Imam Ali, putera Husain ini memang dikenal sebagai sosok ‘abid, orang yang banyak beribadah dan bersujud di hadapan Tuhan.

Membaca dua teks kuno ini membawa pengalaman, intelektual dan sekaligus spiritual, yang dahsyat bagi diri saya. Teks semacam ini, bagi saya, bukanlah sembarangan. Nilainya tak bisa kita samakan dengan teks yang kita baca dalam koran harian. Teks semacam ini mengandung daya keampuhan yang mirip dengan keris kuno bikinan Empu Gandring dari Kerajaan Singasari (jika keris ini masih ada).

Apa yang membedakan teks kuno semacam ini dengan teks modern? Ada sejumlah perbedaan yang bisa kita daftar. Tetapi saya hanya ingin menyebut satu saja. Teks-teks kuno yang mengandung “tuah” klasisisme semacam ini lahir bukan dari pikiran yang biasa. Ia lahir (saya berusaha keras mencari istilah yang tepat, tetapi hanya ini yang bisa saya peroleh) dari “keseluruhann-diri” pengarang bersangkutan.

Teks kuno yang bertahan berabad-abad seperti Nahj al-Balaghah dan al-Shahifah al-Sajjadiyyah itu lahir dari “the self’s wholeness”. Seluruh hidup pengarang dipertaruhkan padanya. They stake their whole lives on it.

Saya berhadapan dengan al-Shahifah al-Sajjadiyyah dengan perasaan gentar dan tertegun-tegun. Sebab di sana, saya membaca sebuah teks yang lahir dari intensitas iman yang berdarah-darah, iman yang memantik gejala demam “spiritual” yang akut (meminjam istilah yang ciamik dari William James dalam The Varieties of Religious Experience). Teks ini nyaris mustahil lahir dari orang dengan iman yang biasa-biasa saja. A dull habit, kebiasaan yang mentah, kata James.

Teks semacam ini agaknya sulit lahir dari kesunyian British Museum Library di mana dulu Karl Marx menghabiskan hari-harinya untuk menyiapkan naskah Das Kapital. Teks semacam ini hanya bisa lahir dari iman yang secara mendalam menghayati “encounter” atau perjumpaan dengan–meminjam istilah Rudolf Otto, seorang teolog Lutheran dari Jerman–Yang Suci (The Holy) yang memiliki tiga sifat utama: misterius (mysterium), menggetarkan (tremendum), menakjubkan (fascinans).

Membaca teks dari Imam Ali Zainal Abidin ini, kita seperti berhadapan dengan sesuatu yang karismatis. Karisma itu bisa kita rasakan dari setiap kalimat yang ada di dalamnya. Salah satu bagian yang paling menggetarkan saya dalam meditasi dan doa Imam Ali Zainal Abidin ini ialah meditasi ke-47 yang disebut dengan Doa Arafah. Saya ingin menyebut doa ini sebagai salah satu doa dan meditasi terindah dalam sejarah kerohanian Islam.

Kita bisa mengatakan hal yang serupa tentang teks-teks kuno yang lain yang lahir dari pelbagai tradisi agama dan intelektual. Kita bisa merasakan karisma tekstual pada karya-karya Plato, Aristoteles, dan Plotinus. Kita bisa merasakannya pada karya-karya Philo, filosof Yahudi yang hidup di Alexandria pada awal abad Masehi. Kita merasakannya pada tulisan-tulisan Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rushd dan al-Ghazali. Kita bisa merasakannya pada teks-teks St. Agustinus dan Thomas Aquinas. Et cetera et cetera.

Teks-teks ini menakjubkan karena ia hidup terus, melewati segala cuaca peradaban, dan menginspirasi jutaan manusia, dari dulu hingga sekarang. Inilah keajaiban sebuah teks. Bahwa teks semacam ini bisa bertahan terus hingga sekarang, pasti karena ada “daya linuwih” di dalamnya.

Daya itu tersimpan di dalam teks-teks, seperti sebuah magma yang siap meledakkan diri di setiap zaman. Inilah yang menjelaskan kenapa kita kerap menyaksikan lahirnya sebuah mazhab pemikiran baru karena telaah atas teks-teks klasik.

Jika momennya tepat, teks klasik bisa meledak menjadi kekuatan baru yang maha dahsyat dan menggerakkan rentetan perubahan. Contoh modern dari “textual burst” (ledakan tekstual) semacam ini ialah studi-studi yang dilakukan oleh Leo Strauss atas naskah-naskah klasik dari Maimonides (filsuf Yahudi yang hidup sezaman dengan Ibn Rushd di abad ke-12 M) dan Al-Farabi (filsuf Muslim dari Abad ke-10 M).

Leo Strauss adalah filsuf Amerika kelahiran Jerman yang mengajar di University of Chicago dan meninggal pada 1973. Studi-studinya atas karya klasik memicu lahirnya sebuah mazhab pemikiran di Amerika Serikat dan, konon, sebagian mempengaruhi wawasan politik kaum neo-konservatif di sana.

Membaca teks-teks klasik membuat saya merasa menjadi bagian dari atrium raksasa sejarah manusia. Teks-teks ini membuat saya merasa bukan sekedar insiden kecil yang cuma-cuma dalam hamparan sejarah spesies manusia. Saya merasa memiliki akar yang jauh, tetapi juga sekaligus kemungkinan yang lebih jauh lagi ke depan.

Teks klasik adalah sebuah keajaiban. Adalah pengalaman yang lezat untuk menjadi bagian dari keajaiban itu.[]

___________________________________________________

*) Sumber: http://www.qureta.com/post/keajaiban-teks-klasik

**) Peneliti dan Pemikir Muslim Indonesia

Gerakan Perempuan Iran

REVOLUSI Iran tak akan lengkap tanpa melibatkan perempuan sebagai motor penggeraknya. Sejarah mencatat bahwa perempuan Iran banyak terlibat dalam rangkaian revolusi di negeri para Mullah itu. Dalam catatan sejarah, Gerakan Perempuan Iran (al-Harakah al-Nisâ`îyyah al-Îrânîyyah) muncul sejak Revolusi Konstitusi (al-Tsawrah al-Dustûrîyyah al-Îrânîyyah ) pada 1911.

Revolusi konstitusi terjadi pada 1905-1911. Revolusi yang dipelopori para ulama ini menuntut dibentuk dan diterapkannya konstitusi untuk membatasi kekuasaan dan hak-hak raja. Rakyat Iran menuntut penyelenggaraan negara didasarkan pada konstitusi, bukan lagi diatur sepenuhnya oleh titah sang raja (sabda padita ratu).

Tokoh ulama terkemuka Iran saat itu, Ayatullah Sayyid Abdullah Bahabani dan Ayatullah Sayid Muhammad Thabatabai, ikut terlibat mengawal revolusi itu. Hasilnya, pada 1907, Shah Muzafaruddin Qajari, penguasa Iran waktu itu, menyetujui diterapkannya konstitusi dengan terlebih dulu membentuk parlemen.

Setahun setelah itu, tepatnya pada 23 Juni 1908, Muhammad Ali Qajari, pengganti Shah Muzafaruddin Qajari, membubarkan parlemen itu. Dengan dibantu tentara Kazaktan di bawah panglima dari Rusia mengepung parlemen dan menangkap semua pejuang revolusi konstitusi yang ada di gedung itu. Hingga pada 1921 Reza Shah Pahlevi, pemimpin militer Kerajaan Qajari, mengkudeta dan mengakhiri kekuasaan Muhammad Ali Qajari.

Shah Ridha Pahlevi

Di penghujuang Abad 20 seorang misionaris kristen pertama kali mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan. Mayoritas siswanya dari non-muslim. Kemudian diikuti oleh Haji Mirza Hassan Rushdie dan Baba Khanum Astar Abadi. Meskipun usia lembaga pendidikan khusus anak perempuan yang didirikan oleh keduanya hanya seumur jagung, tetapi gerakannya telah menginspirasi penguasa Iran kala itu. Pada 1918 pemerintah Iran mendirikan 10 sekolah anak untuk perempuan dan sebuah perguruan tinggi untuk guru-guru perempuan.

Pada 1906, meskipun mendapat penolakan dari parlemen, perempuan Iran menuntut hak konstitusional mereka agar bisa berpartisipasi dalam partai politik. Karena merasa aspirasi politiknya tak tertampung, beberapa perempuan kelas menengah atas membentuk organisasi bawah tanah. Inilah cikal-bakal oraganisasi-organisasi perempuan Iran. Baru pada 1918 terbentuk organisasi “Asosiasi Perempuan Patriot Iran” (The Women’s Association of Iran Patriots). Pada 1922, seorang wanita terhormat dari Iskandariyah mendirikan organisasi Wanita Iskandariyyah. Dalam waktu bersamaan, Zndocht Shirazim, seorang aktivis feminis Iran, mendirikan organisasi perempuan revolusioner.

Pada tahap ini organisai-organisaisi perempuan Iran masih terbatas pada perempuan-perempuan kelas menengah. Selain aktif dalam gerakan organisasi, para aktivis perempuan Iran mulai menerbitkan majalah khusus perempuan.

Pada 1910 terbit pertamakali majalah mingguan, Danseh (pengetahuan). Dicetak dan diterbitkan atas bantuan istri dokter. Selanjutnya pada 1913 terbit majalah Ckoh. Majalah ini diterbitkan oleh Maryam Muzayyan al-Sadat. Tujuan penerbitan majalah ini untuk membebaskan perepuan dari belenggu mitos dan tahayul. Juga untuk membuka wawasan perempuan Iran terhadap dunia luar.

Menyusul tahun 1920 terbit di Isfahan sebuah majalah perempuan Zaban Zanan (suara perempuan). Majalah yang didirikan Sadiqah Dowlatabadi (1261-1340 H), wartawan dan aktivis revolusi konstitusi Iran. Ia adalah pejuang hak-hak perempuan di Iran dan merupakan perempuan pertama Iran yang mendirikan majalah dalam bahasa Inggiris, Woman. Sadiqah juga perempuan pertama Iran yang hadir di Kongres Wanita Internasional di Berlin yang berbicara atas nama perempuan Iran. Ia salah satu perempuan Iran yang mengkritik keras penggunaan jilbab.

Alam Niswan (Dunia Wanita). Terbit pertama kali di Teheran pada 1920 atas inisiatif organisasi alumni sekolah wanita Amerika di Teheran. Pada awalnya konten majalah ini lebih banyak berisi infomasi ketimbang politik. Namun, seiring berjalannya waktu, majalah ini semakin kritis, terbuka, dan berorientasi ke Barat. Dari sekian banyak majalah perempuan di Iran, majalah ini termasuk berumur panjang.

Nameh Banwan (pesan perempuan). Diterbitkan pertamakali pada 1921. Majalah yang dieditori Shahnaz Azad (1280-1340 H), seorang wartawan sekaligus aktivis perempuan Iran ini, sangat kritis terhadap pemakaian jilbab. Di bawah nama majalah itu tertulis “kebengkitan perempuan Iran”.

Jahan Zanan (Wanita Dunia). Edisi pertamanya terbit pada 1921. Majalah ini terbit atas bantuan Fkhrafak Parsa (1277 H), wartawan dan aktivis perempuan. ia adalah wartawan perepuan pertama yang hidup dalam pengasingan. Majalah Jahan Zanah bertujuan membuka kesadaran perempuan akan pentingnya pendidikan sekaligus mengenalkan hak-hak mereka. Majalah yang terbit dua mingguan ini mengangkat isu utama pembebasan perempuan.

Neswan Wathan Khah (Perempuan Patriotis). Muncul pertama kali pada 1922. Diterbitkan oleh organisasi patriotis Iran dan dieditori oleh Muhtaram Iskandar (1274-1303/1304 H). Muktaram adalah pelopor gerakan perempuan Iran. Ayahnya, Mohammad Mirza Eskandari (Pangeran Ali Khan), merupakan pendiri organisasi kemanusiaan (Jami’ Adamiyat). Iskandari pertama kali belajar pada ayahnya, kemudian melanjutkan sekolah bahasa dan sastra Prancis. Ia sempat mendirikan sekolah untuk perempuan dewaaa. Iskandari meninggal diusia 29 tahun.

Dechteran Iran (Gadis Iran). Terbit pertamakali di Shiraz, salah satu dari enam kota besar di Iran. Diterbitkan oleh Zndhkht Shirazi (1909-1953), seorang jurnalis, penyair, penulis, juga aktivis perempuan. ketika usianya baru menginjak 18 tahun ia sudah menerbitkan majalah “Gadis Iran”. Lewat majalah ini ia berharap agar tercipta emansipasi bagi perempuan Iran. Zndhkht lahir dari elit keluarga terpelajar. Pada usia 10 tahun ia dipaksa kawin. Ia termasuk salah satu feminis Iran yang melakukan protes keras terhadap penggunaan jilbab.

Nasyariyah Saai Sa’adat al-Nisa (Peck Saadat Neswan), surat kabar kiri Iran. salah satu pendirinya adalah Rochenk Noadost (1277-1336), wartawan dan aktivis perempuan kiri Iran

Pada masa kepemimpinan Shah Ridha Pahlevi, tepatnya di tahun 1928, pemerintah sudah menyediakan kesempatan beasiswa bagi perempuan Iran untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Kemudian disusul pada 1935 perempuan Iran diberikan kesempatan belajar di universitas Teheran. Baru pada 1944 pemerintah mewajibkan pendidikan bagi perempuan.

Pada 1946 Shah Ridha Pahlevi menerapkan larangan jilbab bagi perempuan. Kebijakan ini kontroversial, namun bertujuan untuk menghilangkan segregasi kelas bagi perempuan.

Era 40-an mula muncul kesadaran dan peran perempuan di masyarakat. Tahun 50-an banyak bermunculan organisasi pembela hak-hak perempuan, seperti organisasi Rah Nou (Jalur Baru) yang didirikan oleh Mehrangiz Dowlatshahi pada 1955.

Setahun kemudian Shofiyah Fayrouz mendirikan asosiasi perempuan untuk mendukung Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pada 1959 dibentuk serikat 15 organisasi perempuan yang diberi nama “Majelis Tinggi Organisasi Perempuan Iran” (al-Majlis li Munazhzhamat Nisaiyyat Iran). Agenda utamanya adalahmendorong hak-hak suara bagi perempuan. Meskipun banyak ditentang para ulama, tahun 1963 perempuan Iran memperoleh hak suaranya.

Pada masa pemerintahan Mohammad Reza Pahlevi (1941-1979), tepatnya pada era 60-an, seorang wanita masuk dalam korps diplomatik, menjadi hakim pengadilan, terlibat dalam layanan kesehatan dan pendidikan. Pada 1968 seorang perempuan Iran terpilih untuk pertama kalinya sebagai menteri pendidikan, Varuchro Parsa. Tahun 1968 lima orang perempuan ditunjuk sebagai hakim peradilan, salah satunya Shirin Ebadi, perempuan pertama Iran peraih nobel Perdamaian.

Salah satu capaian terbesar gerakan perempuan Iran adalah terbitnya UU Perlindungan Keluarga tahun 1975. Dalam UU itu perempuan diberi hak yang sama dalam pernikahan, perceraian, hak asuh anak, peningkatan usia pernikahan 18 tahun untuk perempuan dan 20 tahun untuk laki-laki. Juga pembatasan poligami.

UU aborsi juga dibentuk. Di tahun itu semua peraturan ketenagakerjaan yang bias jender dihapus. Upah buruh perempuan dan laki-laki dipukul rata.

Pada 1978 hampir 40% anak perempuan usia enam tahunan dan 12000 perempuan di desa-desa masuk dalam dunia pendidikan. 33% mahasiswa di banyak perguruan tinggi adalah perempuan. 333 perempuan terpilih menjadi anggota parlemen lokal (DPRD), 22 perempuan masuk parlemen, dan 2 orang perempuan menjabat sebagai senat.

Ini adalah hasil perjuangan panjang aktivis perempuan Iran sejak revolusi konstitusi hingga menjelang revolusi Iran 1979.

Revolusi Iran 1979

Kebijakan pemerintahan baru pasca revolusi Iran adalah langsung menetapkan kewajiban jilbab bagi perempuan. Seluruh UU pernikahan (Qânûn Himâyah al-Usrah al-Îrânîy) dikembalikan pada sebelum 1975. Hak-hak perempuan kembali dikebiri.

Meskipun begitu, dalam banyak hal, peran dan aktivitas perempuan di ruang publik masih mendapat tempat. Pada pemilu pertama pasca revolusi, tahun 1980, partisipasi politik perempuan masih tinggi. Bahkan pada pemilu 1998 porsentasenya naik 61,9%. Di pelbagai kementerian banyak perempuan menempati pos-pos strategis.

Pada 1990 hingga awal 2000-an sejumlah LSM perempuan terus mengkampanyekan kesetaraan dan menghapus diskriminasi jender. Tahun 2006 aksi protes “satu juta tandatangan” digelar oleh para perempuan muslim dan sekuler menuntut dihapusnya UU diskriminatif, memprotes hukum rajam, menolak pemisahan laki-laki perempuan di ruang publik semacam stadion olah raga.

Keberhasilan perjuangan kaum perempuan Iran dalam menuntut hak-hak politiknya bisa dilihat dari terpilihnya Masoume Ebtekar sebagai Wakil Presiden perempuan pertama di Republik Islam Iran pada masa Presiden Khatami tahun 1997. Selain Masoume ada banyak aktivis perempuan Iran yang perannya sudah mendunia, seperti Shirin Ebadi, Marjane Setrapi, dan Ziba Mir Housseini. Merekalah yang menginspirasi gerakan perempuan Iran hingga hari ini.[]

Catatan dari Kongres WCFLCR Ke-7 di Dublin Irlandia

SAYA, bersama Nani Zulminarni dari PEKKA mendapat kehormatan hadir dan berpartisipasi dalam Kongres Dunia tentang Hukum Keluarga dan Perlindungan Anak (World Congress on Family Law and Children’s Rights) ke 7 di Dublin Irlandia 4-7 Juni 2017. Undangan khusus kami terima dari Ibu Leisha Lister, salah seorang anggota board dari kepanitiaan ini. Kami berdua memang kenal baik dengan Ibu Lister melalui program AIPJ – Kerjasama Australia Indonesia untuk Keadilan, sementara beliau sendiri adalah seorang executive arvisor untuk Family Court pemerintah Australia. Bersama ibu Cate Samner, Ibu Leisha mendukung berbagai program terkait perlindungan hukum bagi anak di Indonesia bekerjasama dengan Mahkamah Agung Indonesia.

Kongres Dunia tentang Family Law and Children’s Rights Conference & Exhibition ini adalah acara empat hari dari tanggal 4 Juni sampai 7 Juni 2017 di The Convention Centre Dublin (CCD) di Dublin, Irlandia. Acara ini menampilkan tema-tema penting seperti generasi anak-anak masa depan dan kepedulian terhadap pemeliharaan dan perlindungan hak asasi manusia, terutama bagi anak-anak.

Kongres Dunia Hak Hukum & Anak-anak Keluarga 2017 (WCFLCR 2017) ini menjadi kesempatan paling penting untuk pertukaran informasi dan diskusi untuk sektor Hukum Keluarga di sekitar seluruh dunia. Dengan program yang komprehensif dari 145 pembicara, 45 sesi dan 6 sesi pleno, para delegasi dipuaskan oleh kegiatan Kongres ini yang dilengkpai dengan sejumlah besar pengetahuan.

Kongres ini dihadiri oleh 650 peserta dari 28 negara. Dari Indonesia hanya kami berdua. Ini berbeda dari kegiatan serupa 3 tahun sebelumnya di Sydney Australia. Menurut Nani yang pada saat itu juga hadir, sejumlah peserta dari lembaga-lembaga yang terkait dengan isu hukum dan utamanya hukum keluarga dan perlindungan anak menjadi peserta aktif dan menyampaikan makalah mereka. Padahal jika dilihat pada isu-isu yang dibahas di Dublin, sungguh sangatlah tepat jika ada wakil-wakil dari pemerintah Indonesia terutama dari jajaran penegak hukum juga hadir dan berpartisipasi aktif. Betapa tidak, dari tema-tema baik yang digelar dalam sesi planeri maupun paralel terdapat isu-isu terbarukan yang relevan dengan perkembangan situasi di Indonesia dan membutuhkan pandangan hukum yang juga relevan dengan perubahan zaman.

Mengiringi acara pembukaan, kepada peserta disajikan film dokumenter sangat terkenal India’s Daughter karya sineas humanis Leslee Udwin tentang peristiwa gang rape di Delhi India yang menewaskan perempuan muda calon dokter yang menjadi korban gang rape itu. Segerombolan supir dan kernet bis kota yang menculiknya sepulang Jhoty (demikian nama samarannya) nonton biskop. Meskipun film itu ditolak untuk diputar di India, film itu menjadi salah satu nominator film dokumenter the Academy Award 2014. Dalam penjelasannya di forum paralel, Leslee menyakan bahwa ketika ia hendak mewawancarai para pelakunya, di penjara, ia sebagaimana yang lain yang marah atas peristiwa itu berharap akan bertemu dengan lelaki biadab, berwatak binatang dan dengan muka sangar dan kejam. Pada kenyataannya ia bertemu dengan para lelaki teramat biasa, ada di mana-mana yang menyuarakan pandangan dan cara berpikirnya yang telah lama kita kenali yang menganggap perempuan pantas menerima perlakukan itu karena perempuan telah melampaui batas yang mereka tentukan; menikmati kebebasannya, mandiri, berpendidikan, bebas bepergian keluar rumah, menikmati kehidupan pergaulan, berani, riang gembira, pintar, centil, dan marah jika dilecehkan lelaki. Mereka merasa perempuan harus dididik dengan caranya, diperkosa beramai-ramai. Dengan cara itu mereka mengirimkan pesan kemarahannya sebagai lelaki yang tersinggung dan merasa dikalahkan oleh kemajuan kaum perempuan. Di bagian lain Leslee menyatakan bahwa pokok soalnya ada pada pendidikan yang membiarkan maskulinitas menjadi panglima.

Berikut adalah tema-tema yang dibahas sepanjang 4 hari konferensi yang diselenggarakan d pusat kota Dublin. Tema-tema itu senantiasa dibuka oleh planeri dilanjutkan dengan diskusi paralel yang terbagi rata-rata perhari ada 4 palalel forum masing-masing 6 tema. Ada 10 tema yang dibahas baik dalam forum planeri maupun diskusi paralel adalah:

Violence and the Exploitation of Children, meliputi isu (1). Child trafficking; (2). Commercialisation of children, dan (3). Violence against children.

The Girl Child: (1). Child brides; (2). Education, dan; (3). Female genital cutting.

Protecting Especially Vulnerable Children: (1). Child abuse and neglect; (2). Children in conflict situations; (3). Children in detention and residential settings; (4). Immigration and unaccompanied children, dan; (5). International best practices.

Justice and Equality: (1). Realising rights, complaints and remedies; (2). Child-friendly juvenile justice; (3). Courts administration, legislation, policy and practice; (4). Gender and race as barriers to children’s rights, dan; (5). Children with disabilities.

Changing Family Formations: (1). Defining family life; (2). Marriage equality; (3). Civil partnership, dan; (4). Marriage as contract.

The Modern Family: (1). Surrogacy, dan; (2). Donor Assisted Human Reproduction.

Family Property Law: (1). Inter parte obligations; (2). Concept of Marital Property; (3). Pre-nuptial agreements, dan; (4). Private Ordering.

International Families: (1). Child abduction; (2). Hague Convention and the role of the central authority; (3). International adoption, dan; (4). Recognition and Enforcement of Judgments.

Social Media and Children: (1). Children’s Right to Information; (2). Safety and the internet, dan; (3). Criminal law and online behaviour.

Child Participation: (1). Representing the Child Client; (2). Children’s participation in legal proceedings; (3). Advocacy and representation for very young children, dan; (4). Children and healthcare.

Dari tema-tema di atas terdapat su-isu yang saat ini cukup relevan dengan Indonesia namun tak sedikit yang pada masa mendatang bisa menjadi kenyataan dan membutuhkan pembahasan baik secara sosial maupun ranah hukumnya. Misalnya soal perubahan formasi keluarga, anak yang dilahirkan dalam keluarga di mana “ayah ibunya” bukan orang tua kandung, dan tak selalu merupakan sepasang lelaki dan perempuan. Demikian halnya dalam isu keluarga modern seperti anak yang dilahirkan dari benih yang diperoleh dari bank sperma, kehamailan “pinjam rahim” atau sorrogesy. Sejauh ini Indonesia memang masih belum sepenuhnya terbuka pada isu-isu serupa itu, tetapi perkembangan dunia moderen niscaya Indonesia tak dapat tertis menerus menghindari dari persoalan serupa itu. Di luar tema-tema masa depan serupa itu pembahasan isu klasik masih tetap mendominasi seperti trafficking, pekawinan anak, kekerasan kepada anak, adopsi lintas negara, dan seterusnya.

Nani dan saya kebagian bicara di forum paralel ke-44 di hari terakhir sesi paralel paling terakhir sebelum planery penutupan. Nani dan Ibu Cate Samner membahas soal upaya yang diakukan PEKKA atas dukungan AIPJ dalam memebri kepastian hukum pada jutaan anak yang tak memiliki status hukum akibat tak memiliki sertifikat kelahiran. Hal ini disebabkan oleh status perkawinan orang tua mereka yang tak dapat dubuktikan oleh surat nikah. PEKKA bersama peradilan agama atas sukungan mahkamah agung menyelenggarakan upaya layanan hukum berupa sidang keliling untuk penetapan nikah pasangan sebelum mereka kembali ke KUA untuk isbat nikah. Dengan adanya peristiwa hukum itu sepasang orang tua bisa memperoleh surat nikah mereka dan dinas dikcail mengeluarkan akta kelahiran anak-anak mereka.

Saya sendiri menyampakan hasil penelitian Rumah KitaB tentang Kawin anak di 5 provinsi. Meski begitu apa yang dipresentasikan adalah menggambarkan situasi umum di Indonesia terkait naiknya angka praktik perkawinan anak. Secara lebih khusus saya menyoroti soal peran kelembagaan formal dan non formal yang menyebabkan maraknya praktik kawin anak serta upaya advokasi yang diakukan. Dalam konteks itu keluarnya fatwa KUPI yang meminta negara melakukan upaya-upaya konkrit untuk berakhirnya praktik kawin anak menjadi satu aspek yang didiskusikan karena ditanyakan oleh peserta.

Akhir acara kongres ini ditutup dengan pengumuman WCFLCR ke-8 di Singapura tahun 2020. Dan puncak penutupannya adalah laporan PEKKA dalam meningkatkan pendidikan anak perempuan melalui pemberian beasiswa untuk tingkatan SMA, D3 atau S1 yang disampain oleh Nani Zulminarni mewakili para penerima beasiswa. Upaya pemberian beasiswa ini mendapat pujian para peserta yang ditinjukan oleh aplaus yang panjang setelah Nani menyampaikan progres dari kegiatan itu dan tampilan video dokumenter yang sangat mengesankan tentang kesaksian para penerima beasiswa itu.

Lintasan dari Kongres ke Kongres

Sydney 2013

Sydney menyelenggarakan Kongres Dunia ke-6 tentang “Hukum Keluarga dan Hak Anak” pada bulan Maret 2013 di Sydney Australia. Kongres tersebut bertemakan “Membangun Jembatan dari Prinsip ke Realita”, berfokus pada hukum keluarga, hak asasi manusia dan hukum anak-anak. Topik seperti kekerasan keluarga, surrogacy, jenis kelamin dan identitas gender disfonia dibahas.

Halifax 2009

Kongres Dunia ke-5, “Anak Terperangkap dalam Konflik”, diadakan di Halifax, Nova Scotia, Kanada. Konferensi tersebut mencakup berbagai area:
• Konflik Anak dan Konflik Keluarga
• Perlindungan anak
• Menanggapi Perbedaan
• Anak-anak Perang
• Prajurit Anak

Cape Town 2005

Pada bulan Maret 2005, Cape Town, Afrika Selatan menyelenggarakan Kongres Dunia ke-4 tentang “Hukum Keluarga dan Hak-Hak Anak”. Sekitar 700 hakim, pengacara dan profesional lainnya berkomitmen terhadap hak anak-anak yang dikumpulkan untuk membahas keadaan anak-anak di seluruh dunia. Konsekuensinya berfokus pada anak-anak dalam kemiskinan, perdagangan manusia, anak-anak dalam proses hukum dan suara anak dalam proses hukum keluarga.

Bath – Inggris 2001

Tema keseluruhan Kongres Dunia ke-3 2001 adalah Kerjasama Internasional untuk Perlindungan Anak-anak. Kongres tersebut berfokus pada pelaksanaan Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak (UNCROC), pekerja anak dan perlindungan anak-anak dari hukuman kasar, kejam, dan pelecehan yang kejam.

San Fransisco 1997

San Francisco menjadi tuan rumah Kongres Dunia ke-2, pada bulan Juni 1997 bersamaan dengan Asosiasi Keluarga dan Pengadilan Konsiliasi (AFCC). Kongres berfokus pada Forum Pemuda, yang menyerukan tindakan melawan eksploitasi anak-anak dan isu kode etik sukarela untuk pekerjaan dan perlakuan terhadap anak-anak.

Sydney 1993

Lebih dari 850 delegasi dari 54 negara menghadiri Kongres Dunia perdana, yang diadakan di Sydney, Australia. Kongres bersama-sama melatih pengacara, hakim, akademisi, dan politisi, yang memiliki kepedulian bersama terhadap anak-anak dan untuk pemeliharaan dan perlindungan hak asasi manusia.[]

Tantangan Perempuan Yaman

REPUBLIK Yaman termasuk salah satu negara Arab. Di bagian selatan ia berbatasan langsung dengan Arab Saudi. Di sisi barat menghadap Laut Merah, sebelah selatan Teluk Aden dan Laut Arab, dan sebelah timur berbatasan dengan Oman.

Ibu kota Yaman terletak di Kota San’a. Yaman merupakan satu-satunya negara di semenanjung Arab yang menjalankan sistem Republik. Yaman juga negara Arab pertama yang memberikan hak pada perempuan untuk memilih.

Awalnya Negara Yaman terpecah dalam Yaman Utara dan Yaman Selatan. Pada 22 Mei 1990 keduanya dilebur dalam Republik Yaman. Presiden pertama pasca peleburan adalah Abdullah Saleh.

Negara termiskin di kawasan Timur Tengah ini tak pernah sepi dari konflik, baik etnis maupun agama. Terakhir kali terjadi pada 2011 dan terus berlanjut hingga hari ini. Salah satu suku terkuat dari sekte Syiah Zaidiyyah (Houti) memberontak dan menggulingkan pemerintahan Ali Abdullah Saleh.

Salah satu tokoh di balik revolusi menggulingkan Ali adalah seorang perempuan pegiat Hak Asasi Manusia Yaman, wartawan, sekaligus aktivis hak-hak perempuan, Tawakkul Karman.

Pendiri Women Journalist Without Chains ini memimpin ribuan perempuan bersama demonstran lain memprotes masalah pengangguran, krisis ekonomi, korupsi, serta berbagai usulan perubahan konstitusi

Prestasi Tawakkul Karman menjadi pucuk pimpinan gerakan demokrasi di Yaman, bisa dibilang prestasi luar biasa. Seperti halnya banyak negara Arab, Yaman tergolong negara yang konservatif. Kaum perempuan ditindas tradisi dan kerap diperlakukan sebagai warga kelas dua. Kasus kawin paksa gadis di bawah umur hampir setiap hari menghiasi halaman pertama surat kabar di Yaman. Sebagai penulis blog dan salah seorang pendiri organisasi “Jurnalis Tanpa Belenggu”, Tawakkul Karman memperjuangkan nasib kaumnya. Perempuan berusia 32 tahun itu sejak lama memperjuangkan agar sedikitnya 30 persen posisi di kantor pemerintahan diisi oleh perempuan.

Reaksi pertamanya ketika menerima kabar ia memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian, Karman mendedikasikan hadiah itu untuk seluruh gerakan pembebasan di negara Arab. Ia juga mengatakan, hadiah itu isyarat berakhirnya era penguasa otoriter di kawasan. Komitee Nobel menilai Karman layak menerima hadiah karena perannya sebagai pendukung perubahan yang damai. Karman dan rekan-rekannya menjauh dari bentrokan antara pasukan penguasa Ali Abdullah Saleh dengan saingannya dari suku-suku yang membangkang.

Ibu tiga anak itu juga terancam keselamatannya. Pasukan pemerintah berulang kali menembaki para demonstran damai dari atap-atap gedung di ibukota. Karman sendiri beberapa kali menerima ancaman pembunuhan. Meski pun begitu, ia tetap optimis memandang masa depan. Kepada surat kabar Swiss, ia mengkritik negara barat yang mengatakan, “Akan terjadi perang saudara di Yaman”. “Anda akan melihat, Yaman adalah negara yang beradab dan damai. Kami akan mengejutkan dunia.”

Perempuan seperti Tawakkul adalah salah satu pengecualian di Yaman. Di negara ini perempuan berada di kelas dua. Pada 2006, para aktivis perempuan membentuk koalisi Watan, kelompok lobi yang mendukung kandidat anggota parlemen perempuan. Hingga kini baru seorang perempuan yang berhasil.

Karman, perempuan pertama Arab yang menerima nobel perdamaian, bersama perempuan-perempuan lain di Yaman sedang memulai dan mengawal perubahan di negara yang sampai hari ini masih dilanda perang dan konflik itu. Perjuangan Karman masih jauh.

Salah satu tantangannya adalah pada UU Pernikahan yang masih mengadopsi hukum Islam. Di dalamnya masih mengandung bias dan menciderai hak-hak perempuan, terutama terkait dengan hak-hak perkawinan.

UU Pernikahan Yaman

Yaman merupakan negara Islam dan masih memberlakukan syariat Islam. Contohnya bisa dilihat pada Undang-Undang Pernikahan No 20 Tahun 1992 yang merupakan amandemen UU No 27 Tahun 1998, UU No 24 Tahun 1999, UU No 34 Tahun 2003.

Di sini tidak akan disebut satu-persatu isi dari UU tersebut, melainkan hanya beberapa pasal saja yang dianggap merugikan perempuan. Misalnya dalam Bab I Tentang Khitbah (lamaran) dan Akad Nikah, khitbah hanya boleh dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki atau walinya.

Dalam Bab II Tentang Akad Nikah, terkait dengan Rukun dan Syarat Nikah, pada Pasal 12 disebut bahwa seorang lelaki boleh berpoligami maksimal 4 istri dengan syarat-syarat sebagai berikut: (1). Bisa berlaku adil; (2). Mampu memberi nafkah; (3). Memberi tahu istri pertama.

Bab Wali. Pasal 15 menyebutkan bahwa Wali boleh menikahkan anak perempuannya yang masih kecil (al-shaghîrah) tetapi tidak boleh disetubuhi oleh suaminya sebelum bisa (kuat) disetubuhi, meskipun umurnya sudah menginjak 15 tahun. Mengawinkan anak diperbolehkan jika ada maslahat.

Pasal 23 menyebutkan bahwa pernikahan harus ada kerelaan dari pihak perempuan. Jika masih perawan, diamnya termasuk izin. Jika sudah janda maka harus ada pernyataan eksplisit dari yang bersangkutan.

Pasal 26: Seorang lelaki tidak boleh menikahi perempuan sebagai berikut:

1. Non-Muslim non Kitabiyah (agama abrahamik)
2. Murtaddah (perempuan murtad)
3. Perempuan bersuami
4. Perempuan mula’anah (dituduh zinah oleh yang bersangkutan)
5. Perempuan yang ditalak tiga
6. Perempuan ‘iddah
7. Perempuan yang sedang umruh/haji
8. Khuntsa musykil
9. Perempuan yang ditinggal pergi suaminya sebelum ada kejelasan statusnya

Pasal 29: Perempuan tidak boleh menikahi lelaki non-Muslim

Pasal 40: Hak-hak Suami
1. Suami berhak mendapat ketaatan istri demi kemaslahatan keluarga
2. Istri wajib mengikuti tempat tinggal suami selagi tidak ada kesepakatan sebelumnya di dalam akad
3. Melayani kebutuhan seksual suami
4. Istri wajib Mengikuti seluruh perintah suami kecuali perkara maksiat
5. Tidak boleh keluar rumah tanpa izin suami

Pasal 41: Kewajiban Suami
1. Menyediakan tempat tinggal bagi istri
2. Memberi nafkah, pakaian, juga seluruh kebutuhan istri
3. Bertindak adil pada semua istri (jika lebih dari satu)
4. Tidak boleh memakai harta istri
5. Tidak boleh menyakiti istri baik fisik maupun psikis

Puasa dalam Tradisi Pesantren

SAYA teringat satu penggalan pengalaman di masa lalu; pengalaman puasa dalam tradisi Pondok Pesantren. Setidaknya, pengalaman saya sewaktu belajar di Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, dan tentunya di pesantren kampung sendiri.

Di pesantren, kalau bisa saya sederhanakan para santri bisa dibagi dalam tiga golongan. Pertama, golongan santri aktivis organisasi, baik organisasi kekeluargan, madrasah, atau lebih tinggi lagi organisasi pesantren. Biasanya kalangan santri jenis pertama ini, mereka para santri yang supel dalam pergaulan, perduli dengan sesama atau dengan para junior yang bingung mengurus administrasi, suka membantu. Akhirnya banyak teman.

Kedua, golongan santri aktivis musyawarah kitab, Bahtsul Masail, dan pemburu kitab dan ‘ibarat yang unik, aneh, dan biasanya kutu buku, sehari hari baca kitab, buku, dan aktif di perpustakaan. Golongan kedua ini biasanya kurang begitu intens dalam pergaulan. Karena memang sulit mengatur waktu antara kitab dan pergaulan. Seolah-olah kitab tidak rela untuk dimadu dengan menongkrong lama lama di kantin.

Ketiga, golongan santri yang hobinya memburu doa-doa, wirid, hizib, kejadukan, kanuragan, dan sejenisnya. Golongan ini biasanya sibuk dengan berpuasa, ngerowot (vegetarian) dan bahkan tidak makan nasi.

Bagi golongan ketiga ini puasa merupakan gaya hidup. Ada banyak jenis puasa yang menjadi tradisi kalangan santri, di antaranya yaitu puasa 40 hari, puasa 3 tahun, puasa matigeni (tidak diselangi dengan berbuka), puasa yang bukanya hanya dengan cabe 7 butir dan air minum satu gelas, puasa sembari tidak tidur selama 3 atw 7 hari, dan berbagai macam jenis puasa yang lainnya.

Tujuan melakukan puasa pun beragam, ada yang tujuannya agar mudah untuk memahami kitab, mudah menghafal kitab atau nazham, futuh (membuka hati dan pikiran agar mudah memahami pelajaran), kekebalan tubuh, tidak terbakar api, agar ilmunya bermanfaat kelak kalau ada di tengah-tengah masyarakat, menjadi tokoh kiyai, agar bisa punya santri, dan tujuan-tujuan yang lainnya.

Biasanya puasa yang dilakukan cukup lama, 3 tahun misalkan, dengan tujuan mengamalkan kitab “Dalâ`il al-Khayrât”, sebuah kitab yang sebetulnya isinya shalawat yang dimodif berkat pengalaman spiritual sang penulisnya. Kitab “Dalâ`il al-Khayrât” adalah kitab mistik yang banyak digemari para santri golongan ketiga. Bahkan ada juga yang tujuannya untuk mahabbah (pelet) pada seorang perempuan agar mau menjadi istri. Tetapi secara keseluruhan, biasanya untuk kebaikan. Selain untuk mengamalkan wirid tertentu, puasa juga terkadang sebagai syarat untuk menyempurnakan latihan jurus-jurus pencak silat agar lebih tangguh.

Sementara golongan kedua, aktivis musyawarah kitab, biasanya mengamalkan puasa, doa, wirid, dan hizib, setelah selesai dan lulus. Bisa diamalkan pada saat khidmah di almamater atau diamalkan pada saat kuliah atau di pesantren lain demi tabarukan (ngalap berkah). Tapi tidak semua wirid dan doa harus berpuasa. Sehingga bisa juga dilakukan secara kontinyu, istiqamah. Ternyata istiqamah juga sama beratnya dengan berpuasa. Sedangkan kalangan pertama, aktivis organisasi, tidak sedikit juga yang tertarik sembari berpuasa dalam rangka mengamalkan wirid tertentu.

Tetapi, di golongan kedua ini sebetulnya juga ada sebagian kecil yang getol melakukan ritual puasa, wirid, doa, dan hizib pada saat sebelum lulus atau masih dalam setatus menjadi santri. Tetapi boleh dibilang minoritas. Sebab, pada prinsipnya pesantren sendiri melarang bagi para santri junior untuk mengamalkan wirid dan hizib tertentu yang mensyaratkan harus disertai dengan berpuasa, dengan alasan khawatir mengganggu kehusyu’an belajar dan memahami serta menghafal kitab. Seperti Pesantren Lirboyo, di depan masjid terpampang wasiat para pendiri pesantren yang melarang para santri untuk mengamalkan kitab yang belum waktunya. Lantaran, pesantren sejatinya adalah tempat tafaqquh fî al-dîn.

Namun, setelah selesai dan lulus pesantren, seluruh kiyai memberikan ijazah amalan doa, hizib, wirid, dan kitab-kitab mustik, yang rata-rata mengharuskan dengan berpuasa. Sebab, amalan wirid sembari puasa sejatinya adalah pelengkap dan bertujuan untuk melindungi diri mana kala sudah berjuang dan berdakwah di tengah-tengah masyarakat.
Di pesantren-pesantren tertentu, ada juga yang memang sedari awal dikhususkan bagi para santri yang hendak mencari wirid, doa, dan hizib yang diamalkan dengan berpuasa. Biasanya pesantren semacam ini banyak diisi oleh para santri senior lulusan pesantren lain yang memang sudah siap untuk mengamalkan wirid sambil berpuasa.

Dari ketiga golongan santri tersebut, saya menangkap satu titik-temu yang menyatukan ketiganya, yaitu mimpi agar mereka kelah di tengah masyarakat bisa berguna, bermanfaat, dan berkah. Kesadaran soal keumatan di mereka sangat tinggi. Sebab, puncak tujuan para santri adalah mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan berkah.[]

Undang-Undang Batasan Usia Kawin di Mesir Pasca Revolusi 2011

FENOMENA perkawinan anak di Negara-Negara Arab telah tersebar luas. Mesir telah melakukan berbagai upaya untuk melawan fenomena praktik kawin anak ini dengan pembatasan usia minimum perkawinan yang dilegalkan di dalam Undang-Undang sebagai syarat mutlak dalam sebuah perkawinan yang berlaku mutlak untuk seluruh warga negara Mesir. Meski demikian, itu tidak tidaklah cukup untuk menghentikan praktik perkawinan usia anak-anak. Praktik perkawinan yang bertentangan dengan Undang-Undang Mesir, masih saja terjadi saat ini.

Terlebih pasca revolusi Mesir dan kisruh politik pasca 2011, inflasi meningkat tidak terkendali. Dulu, sebelum 2011, 100USD bisa dapat 550EGP, namun pasca revolusi 100 USD bisa dapat 1400 – 1600 EGP, inflasi lebih dari 200 persen, biaya hidup dan pendidikan meningkat tajam tidak searah dengan jumlah lapangan pekerjaan yang semakin menghilang dari pasar tenaga kerja sebagai akibat terpuruknya sektor pariwisata yang menjadi jantung ekonomi Mesir dalam beberapa dekade. Kemiskinan, kelaparan, makin menjadi langganan para pencari warta berita dari berbagai media lokal. Praktik itu (nikah anak) pun kembali marak. Anak-anak perempuan menjadi martir dalam sebuah situasi yang menyakitkan.

Perlu diketahui bahwa Undang-Undang Mesir tahun 2014 dan Undang-Undang Anak (Qânȗn al-Thifl) mendefinisikan anak sebagai berikut:

Setiap orang yang usianya belum mencapai 18 tahun masehi dengan sempurna”, atau setiap orang yang belum mencapai usia 18 tahun penuh. Kata ”man” di dalam definisi yang diungkap dalam Undang-Undang tersebut secara literalis yaitu isim isyarah berlaku secara umum, isyarat yang ditujukan untuk laki-laki dan perempuan. Jadi bukan hanya mencakup laki-laki saja atau perempuan saja, namun berlaku untuk keduanya. Konstitusi Mesir mengatur hal itu sebagai kewajiban Negara melindungi anak-anak dari kekerasan dan eksploitasi seksual, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nasional Mesir nomor 80. Perintah di dalam Undang-Undang tersebut jelas, melindungi anak dari perkawinan anak yang dianggap sebagai praktik eksploitasi seksual (al-Istighlâl al-jinsiy).

Selain itu, Undang-Undang Mesir dengan tegas menyatakan dalam Undang-Undang nomor 28 tentang Ahwal Syakhsiyyah (Undang-Undang privat/keluarga):

Lâ yajȗzu tautsȋqu ’aqdi al-zawâj idzâ kânat sinnu al-zawji aqalla min tsamâniyata ’asyara sanatan wa sinnu al-zauujati aqalla min sittata ’asyara, (tidak boleh melegalisasikan akad nikah bila usia mempelai pria belum mencapai 18 tahun dan usia mempelai perempuan belum mencapai 16 tahun).

Undang-Undang ini dikritik oleh para akademisi di Mesir, misalnya Prof. Dr. Futuh al-Syadzili, wakil Dekan Fakultas Pascasarjana Universitas Iskandaria di tahun 2005, termasuk yang paling keras mengkritik Undang-Undang tersebut karena masih membedakan kedudukan hukum antara laki-laki dan perempuan yang mestinya diperlakukan sama di mata hukum.

Banyaknya kritik dari masyarakat akademisi dan tokoh agama di Mesir, akhirnya Undang-Undang tersebut di amandemen pada tahun 2008 di dalam kitab Undang-Undang Status Sipil (al-Ahwâl al-Madaniyyah) Nomor 31 tahun 2008 yang berbunyi:

“Lâ yajȗzu tautsȋqu ’aqdi al-zawâji li man lam yablugh mina al-jinsiyain tsamâniyata ’asyara sanatan milâdiyyatan kâmilatan” (tidak diperbolehkan melegalisasi akad perkawinan bagi orang dari kedua jenis tersebut yang belum mencapai 18 tahun masehi penuh).

Kedua jenis yang dimaksud di sini yaitu laki-laki dan perempuan. Namun yang menjadi celah untuk dikritik menurut Futuh al-Syadzilli yaitu di dalam teks Undang-Undang nomor 31 tahun 2008 itu, secara tekstual, hanya melarang untuk melegalkan akad perkawinan secara hukum. Ini masih memberi ruang terjadinya praktik nikah urfi atau nikah di bawah tangan yang tidak dicatat di pencatatan sipil, di Indonesia populer dengan sebutan nikah sirri, karena larangan itu hanya menyasar pada legalisasi akad nikah bukan larangan praktik nikah itu sendiri.

Terakhir, Presiden Abdel Fattah al-Sisi menerbitkan al-Qarâr al-Gomhourîy (ketetapan Republik) di Indonesianya setara dengan Keputusan Presiden, memperkuat Undang-Undang pembatasan usia minimum perkawinan 18 tahun untuk laki-laki dan perempuan pada akhir tahun 2016 yang oleh netizen diplesetkan menjadi al-Qarâr al-Gomhourîy li Ta’addud al-Zawjât (ketetapan Republik untuk Poligami) dengan bulan dan tahun yang sama (desember 2016) yang kemudian menjadi viral di sosmed dan menjadi perdebatan serius di kalangan ulama, meski kemudian pihak Kementerian Keadilan beberapa pekan lalu menyatakan bahwa itu hoax.

Perdebatan Ulama Al-Azhar di Gedung Parlemen

Pada saat rapat perumusan Undang-Undang di Majlisi al-Nuwab (Dewan Perwakilan Rakyat) Mesir, terjadi perdebatan panjang di kalangan para anggota dewan. Pro-kontra soal RUU tersebut berlangsung alot dan melibatkan berbagai argumentasi keagamaan yang panjang. Bagi yang kontra RUU berpendapat bahwa RUU tersebut bertentangan dengan syariat Islam, namun bagi yang pro terhadap RUU mengatakan justru RUU tersebut senafas dengan maqashid syariah dalam syariat Islam yang perlunya menjamin hak-hak dasar manusia. Kedua belah pihak, baik pro dan kontra masing-masing memiliki tradisi nalar keagamaan yang kuat karena para anggota dewan pada umumnya merupakan para tokoh agama dan tokoh masyarakat dari berbagai daerah di Mesir dan banyak di antaranya para ulama Al-Azhar dari berbagai daerah di Mesir. Perdebatan ini merupakan perdebatan yang lama terjadi di kalangan masyarakat Mesir, dan kembali mencuat saat RUU ini di bahas untuk di sahkan atau tidak. Namun pada akhirnya para anggota dewan menemukan kesepakatan bersama dan menyetujui RUU pembatasan usia kawin dan sepakat menjamin hak-hak anak-anak perempuan untuk tidak dikawinkan sebelum usia 18 tahun dilandasi argumentasi keagamaan yang kuat sebagai ciri khas perumusan Undang-Undang di negara-negara Arab.

Mayoritas referensi teks keagamaan yang pernah diproduksi dan digunakan ulama Al-Azhar secara tegas-literalis tidak mengatakan bahwa pembatasan usia kawin itu melanggar syariat Islam. Prof. Dr. Sa’duddin Hilali, salah seorang tokoh senior di Al-Azhar yang disertakan dalam rapat pembahasan RUU tersebut, menyuarakan dengan keras pentingnya Negara melindungi anak-anak dalam momen tersebut, ia berkata,

“Al-Qur’an itu selaras dengan masyarakat sesuai dengan tradisi dan karakter sosialnya menyepakati pembatasan usia ini sebagai upaya untuk memberi perlindungan dan menghormati hak-haknya sebagai anak-anak dan tidak melarang orang yang sudah mencapai usia kawin untuk berkawin. (pemberlakuan) batasan usia itu berbeda-beda di setiap zaman dan lokasinya bergantung pada peradaban manusia itu sendiri dan standar batasan usia kawin yang sesuai dengan syariat Islam itu bergantung pada masyarakat itu sendiri, ditinggikan atau dikurangi itu bergantung pada maslahat dan upaya menghindari mafsadat itu sendiri. Oleh karena itu, wajib bagi semua pihak untuk mengikuti peraturan perundang-undangan yang baru yang menaikkan batasan usia kawin dari 16 tahun ke 18 tahun.”

Senada dengan Sa’duddin Hilali, Prof. Dr. Ahmad Karimah, guru besar Jurusan Syariah Islamiyah, Al-Azhar University bahwa pembatasan usia kawin itu sudah sepakat dengan syariat Islam dengan menyertai argumentasi “Sesunggunya pendapat yang paling râjih (unggul) dalam mazhab Hanafi yaitu anak perempuan itu belum sah bertransaksi secara syar’i dan sahih kecuali bila sudah berusia 18 tahun lebih.” Kalau sudah Sa’duddin Hilali yang bicara tentu yang lain mengikuti dan mengamini pernyataannya, mengingat dia sebagai tokoh kharismatik, salah seorang yang paling penting dalam merumuskan fatwa di majelis fatwa Al-Azhar dan Mesir sejak era mufti Ali Jum’ah.

Dalam sebuah kasus praktik pernikahan anak berusia 14 tahun di sebuah perkampungan di Geza selatan, sebuah daerah dekat lokasi situs bersejarah Piramida, di era Syaikh Ali Jum’ah menjabat sebagai mufti Mesir, 2010 silam, seorang pengacara berasal dari lembaga bantuan hukum setempat mengadukan persoalan tersebut kepada mufti yang dianggap sebagai seorang yang punya otoritas pemberi fatwa, tentang persoalan tersebut. Syaikh Ali Jum’ah menjawab,” zawâj al-shighâr (Kawin Anak) merupakan eksploitasi seksual terhadap anak-anak, setiap orang yang terlibat di dalam proses akad nikah itu wajib diberi hukuman, termasuk pelaku, orang tua, ahli hukum, dan penghubung”.

Pandangan ulama Al-Azhar tersebut menghapuskan perisai teologis bagi para pendukung dan pelaku kawin anak di Mesir, sehingga para pendukung praktik kawin anak tidak memiliki legalitas keagamaan.

Fenomena Praktik Kawin Anak di Mesir

Meskipun Undang-Undang batasan usia kawin telah diamandemen dari semula 16 tahun menjadi 18 tahun untuk anak-anak perempuan dan laki secara setara namun tetap saja praktik kawin anak masih saja terjadi di Mesir.

Praktik kawin anak terbanyak di Mesir terpusat di dua provinsi, yaitu provinsi Geza yang berbatasan langsung dengan ibukota Kairo, dan Provinsi al-Sa’id.

Secara geografis dan ekonomi. Provinsi Geza merupakan destinasi wisata yang populer, di dalamnya terdapat Ahram (makam Fir’aun berupa gugusan piramida dan patung singa berkepala manusia). Sementara Provinsi Al-Sa’id merupakan sebuah daerah padang pasir luas yang membentang antara provinsi Geza hingga provinsi Aswan di sebelah barat Mesir, sebuah daratan tinggi yang dilalui sungai Nil. Mata pencaharian penduduknya bertani tebu dan tingkat kemiskinan sangat tinggi di wilayah ini. Provinsi al-Sa’id memiliki berbagai situs bersejarah di era keemasan dinasti keluarga Fir’aun dan makam para Nabi, sehingga wilayah ini menjadi destinasi wisata yang sangat berharga di musim gugur. Namun sayang sekali pembangunan proyek wisata di kedua wilayah besar tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi bagi para penduduknya. Pendidikan masyarakat di kedua wilayah ini juga sangat timpang dibanding pendidikan warga Mesir lainnya. Beruntung banyaknya cabang Universitas Al-Azhar di berbagai provinsi di Mesir yang memberikan beasiswa untuk satu strata diperuntukkan untuk warga Mesir, belum lagi paket beasiswa di era ibu negara Souzan Mobarok hingga akhir 2010. Namun kuota beasiswa itu sangatlah terbatas dibanding pertumbuhan penduduk usia kuliah, sehingga masih banyak anak-anak yang tidak bisa bersekolah hingga perguruan tinggi. Di samping itu kesempatan mendapatkan pekerjaan yang semakin rendah pasca revolusi Mesir 2011. Sementara paket beasiswa yang menjadi program mantan ibu Negara, Souzan Mobarok tidak lagi berjalan karena telah berganti penguasa baru.

Fenomena nikah sirri di kedua provinsi tersebut beragam. Pertama, “al-Zawâj al-Siyâhȋy” (Nikah Wisata), yaitu praktik menikahkan anak perempuan, masih kecil, dan belum berusia 18 tahun, dengan orang Arab yang kaya raya yang berasal dari luar Mesir (pada umumnya), di mana orang tua si anak menerima kompensasi berupa uang dengan jumlah tertentu yang dilakukan selama kunjungan wisatawan, setelah itu perempuan ditinggal begitu saja hanya diberikan sejumlah uang saja.

Praktik ini mirip sekali dengan praktik perdagangan manusia sebenarnya bisa diatasi dengan Undang-Undang anti trafficking yang disahkan DPR Mesir tahun 2010. Para mediator pernikahan anak itu sangat marak, mereka mencari anak-anak perempuan cantik dari keluarga yang sangat miskin dan sangat membutuhkan uang.

Al-Majlis al-Qaumi li al-Mar’ah (Dewan Nasional untuk Perempuan) menghitung terdapat 300 pasangan yang nikah anak perharinya terdaftar di badan pencatatan sipil, di mana anak-anak perempuan berkewarganegaraan Mesir dan laki-lakinya pada umumnya berasal dari luar Mesir (para pelancong). Jumlahnya pun meningkat pada musim panas menjadi 500 pasangan. Transaksi pernikahan biasanya dilakukan secara urfîy (sirri) atau kawin resmi dengan cara menaikkan usia si anak perempuan menjadi 18 tahun agar sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku sehingga pernikahan bisa dilegalisasi.

Kedua, Zawâj al-Qâshir bi Hukm ‘Adât (Kawin Anak karena Adat-Istiadat) diselenggarakan berdasar adat istiadat dan tradisi masyarakat pedalaman di Mesir. Pernikahan diselenggarakan seperti biasa, mempelai pria tidak diberikan syarat harus mengeluarkan sejumlah uang yang besar, namun keputusan nikah berada di tangan keluarga besar yang mengamalkan tradisi menikahkan anak-anak mereka di bawah umur. Tradisi kawin anak ini masih berada dalam koridor Undang-Undang yang berlaku tentang aturan tradisi penduduk pedalaman.

Dewan Nasional untuk Perempuan mencatat, anak-anak perempuan desa yang dikawinkan itu, 36% di antaranya berusia kurang dari 16 tahun. Kawin anak di pedalaman Mesir merupakan tradisi masyarakat setempat yang menikahkan anaknya karena khawatir menjomblo dan masih perawan saat usia 16 tahun. Tradisi ini masih berlaku di sana karena kurangnya pendidikan di wilayah pedesaan. Penduduk desa di Mesir memiliki bahasa dan dialek yang jauh berbeda dengan bahasa Arab sendiri. Bahasa arab yang dikenal pun kasar, berbeda dari bahasa Arab resmi. Mereka memiliki tradisi yang tidak dimiliki oleh masyarakat Arab secara umum. Kehidupan mereka seperti terisolasi secara ekonomi dan budaya. Pernikahan dilakukan dengan cara ‘Urfiy (sirri) lalu diresmikan dalam pencatatan sipil saat anak sudah mencapai usia 18 tahun. Berdasar data Dewan Nasional untuk Perempuan Mesir, terdapat 300-400 anak dinikahi di bawah 18 tahun setiap musim gugur setiap tahunnya.

Ketiga, pernikahan secara resmi dengan cara membuat akte kelahiran baru yang sudah dinaikkan usia si anak menjadi 18 tahun, meski kenyataannya masih berusia di bawah 16 tahun.

Undang-Undang Mesir Nomor 227 tentang pidana dengan tegas memberikan sanksi pidana penjara selama 2 tahun bagi yang sengaja melakukan pemalsuan dokumen dengan menaikkan usia agar bisa nikah resmi. Setiap musim gugur terdapat lebih dari 100 kasus pemalsuan dokumen yang melibatkan banyak pihak termasuk orang tua, penghubung, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Bunyi Undang-Undang nomor 227 sebagai berikut,

“Undang-Undang Pidana Mesir memberlakukan hukuman penjara selama masa tertentu sampai dua tahun (maksimal) untuk setiap orang yang menyatakan di hadapan petugas khusus dengan maksud menetapkan seseorang dari salah satu mempelai sudah mencapai usia yang minimum berdasar Undang-Undang untuk menyesuaikan akad perkawinan secara lisan meskipun ia tahu bahwa itu tidaklah benar, atau secara tertulis atau mengajukan beberapa lembaran kertas kepada petugas itu, hal itu dimaksud agar di dalam transksi akad perkawinan itu antara tulisan dan ucapat itu seragam.”

“Sanksi pidana penjara atau denda bagi setiap orang yang telah diberikan kekuasaan oleh Undang-undang untuk melaksanakan proses akad nikah sedangkan dia mengetahui bahwa salah satu pihak belum mencapai uusia yang ditentukan di dalam Undang-Undang.”

Undang-undang ini dianggap sebagai upaya untuk memerangi berbagai bentuk praktik penipuan terkait legalitas usia anak. Namun ancaman pidana penjara atau denda tidaklah cukup untuk menghentikan praktik ini. Perlu pendekatan sosial-budaya, agama-peradaban, pendidikan, ekonomi dan politik untuk mencegah terjadinya praktik ini.[]

Kebijakan Berbasis Riset

SERINGKALI sebuah kebijakan publik tidak didukung pengetahuan yang baik. Akibatnya, banyak kebijakan publik yang tidak tepat sasaran, atau malah kontraproduktif.

Hal tersebut dikatakan Ihsan Ali Fauzi, selaku moderator dalam peluncuran buku “Kebebasan, Toleransi dan Terorisme: Riset dan Kebijakan Agama di Indonesia” yang diadakan oleh PUSAD Paramadina di Hotel Borobudur, Rabu (31/05).

Buku bunga rampai hasil penelitian para peneliti dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Pengambil Kebijakan ini memuat banyak tema penting dan mendesak, terutama soal intoleransi dan kekerasan berbasis agama yang akhir-akhir ini banyak terjadi di Indonesia dan kondisinya sudah semakin mengkhawatirkan.

Buku ini, kata Ihsan, sangat penting untuk menjembatani antara hasil riset (pengetahuan) dan kebijakan publik. “Kita tidak sedang membangun tembok tinggi yang memisahkan keduanya,” ujarnya.

“Yang seringkali terjadi adalah, bukan kebijakan yang mengikuti pengetahuan, tapi pengetahuan dibangun untuk menjustifikasi kebijakan,” sesalnya.

Padahal, kata Ikhsan, para ahli kebijakan publik mengatakan bahwa kebijakan harus didasari bukti-bukti yang meyakinkan. Sayangnya, himbauan ini sering diindahkan oleh para pembuat kebijakan.

Menteri Agama, Lukman Hakim Syarifuddin, sangat mengapresiasi buku ini. Bahkan, menurut pengakuannya, ia rela membatalkan acara lain demi menghadiri acara ini.

“Buku ini sangat penting untuk dijadikan pertimbangan pemerintah dalam mengambil sebuah kebijakan,” katanya di hadapan ratusan peserta

Menag mengakui ada banyak kebijakan yang tak berbasis riset yang baik. Hal ini dipicu banyak hal dan didorong banyak persoalan. Antara lain, karena jarangnya komunikasi pemerintah dengan para peneliti, akademisi, maupun aktivis LSM

“Persoalan waktu juga seringkali menjadi pemicu lahirnya kebijakan yang tak berbasis pengetahuan,” tambah Lukman
Misalnya, dalam situasi dan waktu tertentu, sebuah kebijakan harus dibuat. Sementara tidak cukup waktu untuk melakukan riset terlebih dulu.

Di samping itu, kata Lukman, kompleksitas persoalan seringkali tidak bisa diselesaikan dengan satu teori saja.
Memang, kata Zainal Abidin Bagir, salah satu editor buku ini yang juga menjadi pembicara, membuat kebijakan berbasis pengetahuan yang baik tidaklah mudah. Faktanya ada banyak tantangan di lapangan.

Hakikatnya, kata dia, tidak ada kebijakan yang tak berbasis pengetahuan. Hanya saja, ada pengetahuan yang baik dan ada pengetahuan yang buruk. Keduanya dapat memengaruhi kualitas kebijakan. “Mustahil membuat kebijakan tanpa pengetahuan,” pungkasnya.[]

Catatan Ringkas dari Inhouse Capacity Building Staff Rumah KitaB Putaran 1, Minggu Pertama Bulan Ramadhan 2017

SANGAT menarik membandingkan situasi di Mesir dan Indonesia di awal tahun 80-an terkait politik tubuh dan seksualitas perempuan. Di kedua negara itu, kontrol atas tubuh perempuan di lakukan oleh rezim militer dengan niat “baik baik” membantu perempuan agar mendapatkan akses pada layanan KB. Peran ibu negara dan organisasi perempuan kelas menengah terdidik menjadi sangat instrumental. Di Mesir dukungan legitimasi agama datang dari para ulama independen dan Universitas al-Azhar yang punya sejarah panjang mengeluarkan fatwa yang berangkat dari tradisi kajian Islam tentang kebebasan perempuan yang dipelopori ulama Rifa’at al-Tahthawi di masa kolonial Perancis, dilanjutkan oleh ulama al-Azhar Muhammad Abduh melalui karya tafsir modernisnya di tahun 50-an, dan puncaknya Qasim Amin dengan bukunya “Tahrîr al-Mar’ah” (Pembebasan Perempuan) di era 60 – 70-an. Tahun 80-an Anwar Sadat kemudian melahirkan kebijakan dalam bentuk UU tentang kedudukan perempuan yang di dalamnya juga membahas soal batasan usia kawin yang dinaikkan menjadi 18 tahun.

Di Indonesia debat soal status perempuan tak terlalu masuk ke ranah agama sampai pada tahun 68 ketika membahas isu KB dan tahun 74 ketika membahas UU perkawinan. Legitimasi di era rezim militer Orde Baru dalam soal KB datang dari fatwa ulama yang dicurigai tidak independen.

Di Mesir gerakan perempuan telah lahir pada Februari 1799 yang ditandai dengan peristiwa berkumpulnya kaum perempuan di salah satu pemandian umum di kota Kairo membicarakan tentang keadaan mereka dan apa yang harus mereka lakukan untuk memperbaikinya. Ini adalah perkumpulan pertama kaum perempuan yang disaksikan Mesir sepanjang sejarah modernnya, baik untuk membahas apa yang harus dilakukan kaum perempuan untuk merubah kondisi mikro maupun makro, dan apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi cara kaum laki-laki memperlakukan mereka. Di Indonesia, yang serupa dengan itu adalah Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928 dengan agenda politik yang hampir sama soal penolakan atas penjajahan dan persoalan praktik kawin anak dan trafficking.

Pembeda lainnya, di Mesir, berkat tradisi akademisnya, terdapat lembaga riset sosial kemasyarakatan yang mengkaji secara independen situasi di masyarakat dan dilihat dari dua sisi kajian: kajian agama dan sosial ekonomi. Lembaga ini memberi rekomendasi didasarkan kajian itu terkait sejumlah aspek sosial termasuk isu perempuan. Pemerintah Mesir sangat berkepentingan dengan identitas modern dan maju, negara mengeluarkan dana besar untuk kajian, penerbitan buku, cetak ulang buku-buku yang mendukung kebebasan perempuan.

UU terkait peningkatan usia kawin didasarkan pada fakta sosial yang dibaca secara akademis oleh para ahli pembangunan di dasarkan pada riset yang sangat dalam di dua provinsi terbesar dan termiskin, yaitu Giza dan Sha’id. Di daerah itu terdapat tradisi kawin anak akibat kemiskinan akut dan permintaan turisme yang kemudian mempraktikkan kawin tamasya seperti di Puncak Jawa Barat. Namun kebiasaan baru itu memiliki “legitimasi” kultural dalam kebiasaan zawâj ‘urf—perkawinan adat di mana praktik kawin anak dianggap hal yang lumrah. Hasil penelitian ini kemudian dijadikan rekomendasi kepada negara untuk melahirkan UU 31/2008 antara lain tentang batas usia kawin 18 tahun.

Titik krusialnya terjadi ketika negara mengeluarkan kebijakan yang dari luarnya tampak memberdayakan perempuan namun pada waktu yang bersamaan sebetulnya sedang menunjukkan sikap politiknya: membujuk negara-negara super power dalam kaitannya dengan bantuan pembangunan dan menekan kalangan Islam fundamentalis. Itu artinya isu perempuan memang menjadi alat kontestasi politik. Kalangan feminis seperti Nawal el-Sa’dawi sadar akan hal itu. Mereka menyerukan agar perempuan [seharusnya] memiliki agenda politiknya sendiri sesuai dengan kepentingan mereka. Negara berkewajiban memenuhi hak-hak perempuan sesuai kebutuhan perempuan. Di titik ini fungsi lembaga-lembaga riset dengan pendekatan feminis menjadi sangat instrumental dan niscaya.[]