Kebijakan Berbasis Riset

SERINGKALI sebuah kebijakan publik tidak didukung pengetahuan yang baik. Akibatnya, banyak kebijakan publik yang tidak tepat sasaran, atau malah kontraproduktif.

Hal tersebut dikatakan Ihsan Ali Fauzi, selaku moderator dalam peluncuran buku “Kebebasan, Toleransi dan Terorisme: Riset dan Kebijakan Agama di Indonesia” yang diadakan oleh PUSAD Paramadina di Hotel Borobudur, Rabu (31/05).

Buku bunga rampai hasil penelitian para peneliti dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Pengambil Kebijakan ini memuat banyak tema penting dan mendesak, terutama soal intoleransi dan kekerasan berbasis agama yang akhir-akhir ini banyak terjadi di Indonesia dan kondisinya sudah semakin mengkhawatirkan.

Buku ini, kata Ihsan, sangat penting untuk menjembatani antara hasil riset (pengetahuan) dan kebijakan publik. “Kita tidak sedang membangun tembok tinggi yang memisahkan keduanya,” ujarnya.

“Yang seringkali terjadi adalah, bukan kebijakan yang mengikuti pengetahuan, tapi pengetahuan dibangun untuk menjustifikasi kebijakan,” sesalnya.

Padahal, kata Ikhsan, para ahli kebijakan publik mengatakan bahwa kebijakan harus didasari bukti-bukti yang meyakinkan. Sayangnya, himbauan ini sering diindahkan oleh para pembuat kebijakan.

Menteri Agama, Lukman Hakim Syarifuddin, sangat mengapresiasi buku ini. Bahkan, menurut pengakuannya, ia rela membatalkan acara lain demi menghadiri acara ini.

“Buku ini sangat penting untuk dijadikan pertimbangan pemerintah dalam mengambil sebuah kebijakan,” katanya di hadapan ratusan peserta

Menag mengakui ada banyak kebijakan yang tak berbasis riset yang baik. Hal ini dipicu banyak hal dan didorong banyak persoalan. Antara lain, karena jarangnya komunikasi pemerintah dengan para peneliti, akademisi, maupun aktivis LSM

“Persoalan waktu juga seringkali menjadi pemicu lahirnya kebijakan yang tak berbasis pengetahuan,” tambah Lukman
Misalnya, dalam situasi dan waktu tertentu, sebuah kebijakan harus dibuat. Sementara tidak cukup waktu untuk melakukan riset terlebih dulu.

Di samping itu, kata Lukman, kompleksitas persoalan seringkali tidak bisa diselesaikan dengan satu teori saja.
Memang, kata Zainal Abidin Bagir, salah satu editor buku ini yang juga menjadi pembicara, membuat kebijakan berbasis pengetahuan yang baik tidaklah mudah. Faktanya ada banyak tantangan di lapangan.

Hakikatnya, kata dia, tidak ada kebijakan yang tak berbasis pengetahuan. Hanya saja, ada pengetahuan yang baik dan ada pengetahuan yang buruk. Keduanya dapat memengaruhi kualitas kebijakan. “Mustahil membuat kebijakan tanpa pengetahuan,” pungkasnya.[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.