Catatan Gus Jamal: NAMBANG DAWA
NAMBANG DAWA [1]
Oleh: Jamaluddin Muhammad
Dalam sebuah obrolan ngopi malam, seorang kawan bercerita tentang kejadian di desanya. Seorang perempuan hamil di luar nikah. Untuk menutupi aib dan menjaga marwah keluarga, sebelum perutnya membesar ia segera dinikahkan secara siri dengan lelaki pilihan orang tuanya. Kabarnya, lelaki yang menghamili tak mau bertanggung jawab.
Dalam kehidupan kampung yang masih menjunjung tinggi norma-norma dan nilai-nilai komunal, peristiwa tersebut bukanlah peristiwa kecil yang hanya menimpa perempuan tersebut, melainkan sebuah “peristiwa sosial” yang beban dan dampaknya harus ditanggung bersana oleh keluarga. Hamil di luar nikah menciptakan stigma dan dosa sosial. Inilah kenapa banyak orang tua panik ketika mendapati anaknya hamil di luar nikah dan segera mengambil solusi cepat menikahkannya dengan atau tanpa orang yang menghamili.
Kembali pada cerita perempuan tadi. Tragisnya, tak lama setelah menikah, suaminya pergi menghilang tanpa kabar. Tujuh tahun ia menanti suaminya kembali. Hingga suatu ketika datang seorang lelaki melamarnya. Ia bingung dan tak bisa mengambil keputusan karena ia merasa masih terikat perkawinan dengan suaminya. Meski tak pernah mendapat nafkah, suaminya belum menceraikannya. Perempuan tersebut bertanya kepada kawan saya soal status perkawina yang menggantung ini.
Saya menyarankan utk diselesaikan di pengadilan. Namun, menurut kawan saya, karena perkawinannya tak dicatat negara (kawin siri) maka tak bisa diselesaikan lewat pengadilan. Inilah dampak kawin siri. Yang paling dirugikan dan korban pertamanya adalah perempuan. Hak dan kewajibannya terabaikan dan tak mendapat perlindungan negara.
Kawan saya meminta penyelesaian lewat fikih: bagaimana fikih menyikapi kasus seperti ini. Saya mencoba mencari ibarat (rujukan) dalam kitab-kitab yang dianggap otoritatif (mu’tabarah). Dalam beberapa kitab fikih disebutkan bahwa seorang istri yang ditinggal pergi suaminya (zaujatul mafkud) tak boleh menikah lagi sampai mendapat kepastian status suaminya, apakah ia sudah meninggal atau sudah menceraikannya. Selama masih belum ada kepastian, kadi/hakim tak boleh memutuskan status perkawinan tersebut. Juga tak boleh menikahkan dengan orang lain. Jika ia terpaksa menikah, kemudian suami pertama kembali lagi, maka pernikahan kedua batal dan ia harus kembali pada suami pertama. Karena “pernikahannya diketahui secara pasti dan hanya bisa dibatalkan dengan sesuatu yang pasti pula” (li ann al-nikah ma’lum biyaqin fala yazalu illa biyaqin). [2]
Al-Nawawi dalam Raudlatut Thalibin menyebut dua pendapat antara qaul qadim dan qaul jadid. Yang pertama senada dengan pendapat ulam di atas. Sementara menurut pendapat kedua, perempuan tersebut boleh menikah lagi setelah empat tahun masa penantian ditambah masa iddah (iddah ditinggal mati suami). [3]
Saya belum menemukan pendapat ulama yang bisa memenuhi rasa keadilan perempuan. Dari sekian banyak pendapat ulama, posisi perempuan (istri) tetap bergantung dan di bawah kekuasaan laki-laki (suami). “Remot” pernikahan (hak cerai) tetap dikendalikan laki-laki. Fikih seolah-olah memberikan otoritas tanpa batas kepada suami utk menceraikan istrinya kapan pun dan di manapun. Sementara istri melalui hak gugat cerai (khulu) tetap harus mendapat persetujuan suami dan harus melewati beberapa syarat.
Dalam banyak hal, fikih kita masih menyisahkan pelbagai persoalan. Dalam konteks keluarga (al-ahwal al-syahsiyyah), peran dan otoritas suami (qiwamah) sangat besar dan menentukan. Suami memiliki hak cerai (talak), hak ekonomi ( nafkah), hak poligami, hak pelayanan seksual, dll. Begitu pun peran dan relasi orang tua (ayah) terhadap anak perempuannya (walaya). Perempuan tak bisa menikah tanpa wali, wali boleh memaksa anak perempuannya menikah (hak ijbar), bagian waris perempuan setengah laki-laki, dan seterusnya. Jadi, sebelu menikah, anak perempuan adalah milik bapaknya (walaya). Dan setelah menikah milik suaminya (qiwamah). Dengan kata lain, perempuan adalah separuh laki-laki. Relasi yang timpang dan tidak seimbang ini (asimetris) menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan. [4]
Inilah problem pengambilan keputusan hukum (istinbat al-ahkam) berdasarkan “manhaj qauli” : mencari pendapat ulama masa lalu utk menghukumi kasus yang sama di masa sekarang. Sementara “alam pikir” ulama-ulama masa lalu belum tentu akseptabel dan kompatibel dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini.
Dalam konteks negara bangsa, kita berhadapan dengan institusi negara sebagai pemilik otoritas tertinggi. Negara memiliki norma-norma hukumnya sendiri yang harus dipatuhi dan merupakan konsensus bersama.
Kita tak bisa berjalan sendiri-sendiri, apalagi saling membelakangi. Dualisme hukum (hukum agama dan hukum negara) tak seharusnya terjadi karena berpotensi mengganggu ketertiban sosial dan melanggar kesepakatan bersama. Karena itu, dalam merumuskan hukum atau fatwa keagamaan, seorang ulama harus dibekali wawasan dan konteks kebangsaan. Wallahu alam bi sawab
[1] Nambang Dawa merupakan kata kiasan. Artinya, suami yang tidak mau mengurus isteri dan tidak pula menceraikarmya dalam waktu yang cukup lama.
[2]
اه (قوله: مهمة لو تزوجت زوجة المفقود الخ) هذه المهمة مختصرة من عبارة الروض وشرحه ونصهما. (فصل) زوجة المفقود المتوهم موته لا تتزوج غيره حتى يتحقق: أي يثبت بعدلين موته أو طلاقه وتعتد لانه لا يحكم بموته في قسمة ماله وعتق أم ولده فكذا في فراق زوجته ولان النكاح معلوم بيقين فلا يزال إلا بيقين، ولو حكم حاكم بنكاحها قبل تحقق الحكم بموته نقض لمخالفته للقياس الجلي
إعانة الطالبين – (ج 4 / ص 95)
( وَلَوْ نَكَحَتْ ) زَوْجَةُ الْمَفْقُودِ ( بَعْدَ التَّرَبُّصِ وَ ) بَعْدَ ( الْعِدَّةِ ) وَقَبْلَ ثُبُوتِ مَوْتِهِ أَوْ طَلَاقِهِ ( فَبَانَ ) الزَّوْجُ ( مَيِّتًا ) وَقْتَ الْحُكْمِ بِالْفُرْقَةِ ( صَحَّ ) نِكَاحُهَا ( عَلَى الْجَدِيدِ ) أَيْضًا ( فِي الْأَصَحِّ ) اعْتِبَارًا بِمَا فِي نَفْسِ
مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج – (ج 14 / ص 313)
[3]
الْغَائِبُ عَنْ زَوْجِتِهِ إِنْ لَمْ يَنْقَطِعْ خَبَرُهُ فَنِكَاحُهُ مُسْتَمِرٌّ وَيُنْفِقُ عَلَيْهَا الْحَاكِمُ مِنْ مَالِهِ إِنْ كَانَ فِي بَلَدِ الزَّوْجَةِ مَالٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ كَتَبَ إِلَى حَاكِمِ بَلَدِهِ لِيُطَالِبَهُ بِحَقِّهَا وَإِنِ انْقَطَعَ خَبَرُهُ وَلَمْ يُوْقَفْ عَلَى حَالِهِ حَتَّى يُتَوَهَّمَ مَوْتُهُ فَقَوْلَانِ الْجَدِيْدُ الْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَجُوْزُ لَهَا أَنْ تَنْكِحَ غَيْرَهُ حَتَّى يَتَحَقَّقَ مَوْتُهُ أَوْ طَلَاقُهُ ثُمَّ تَعْتَدُّ وَالْقَدِيْمُ أَنَّهَا تَتَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِيْنَ ثُمَّ تَعْتَدُّ عِدَّةَ الْوَفَاةِ ثُمَّ تَنْكِحُ وَمِمَّا احْتَجُّوا بِهِ لِلْجَدِيْدِ أَنَّ أُمَّ وَلَدِهِ لَا تَعْتِقُ وَلَا يُقْسَمُ مَالُهُ وَالْأَصْلُ
روضة الطالبين وعمدة المفتين
[4] Untuk bacaan lebih lanjut tentang qiwamah dan walaya baca buku “Fikih Perwalian” terbitan Rumah KitaB
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!