Pos

Reportase Sosialisasi Buku Fikih Perwalian dan Sosialisasi Revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, Untuk Pencegahan Perkawinan Anak – Jakarta Utara

Rumah Kita Bersama atas dukungan The Oslo Coalition – University of Oslo Norwegia, pada hari Jumat 8 Oktober 2021 menyelenggarakan kegiatan “Sosialisasi Buku Fikih Perwalian dan Sosialisasi Revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, untuk Pencegahan Perkawinan Anak.”

Kegiatan tersebut berlokasi di Pondok Pesantren Al-Miftahiyyah, Kelurahan Kalibaru, Kec. Cilincing Jakarta Utara. Wilayah ini merupakan salah satu wilayah terpadat, terkumuh dan termiskin di Provinsi DKI Jakarta.

Kegiatan ini melibatkan 20 orang peserta, terdiri dari para ustaz muda dan ustazah yang aktif dalam kegiatan pesantren, perwakilan 14 RW di Kelurahan Kalibaru, Kec. Cilincing, Jakarta Utara. Jumlah peserta yang hadir pada kegiatan tersebut berjumlah 22 orang, terdiri dari 5 Laki-laki dan 18 perempuan.

Narasumber yang hadir dan berpartisipasi dalam kegiatan ini di antaranya Dr. KH. Abdul Moqsith Ghozali (Majelis Ulama Indonesia Pusat),  Dr. Drs. H. Muhammad Fauzi Ardhi SH. MH. (Wakil Ketua Pengadilan Agama Kota Adm. Jakarta Utara), dan Achmat Hilmi, Lc., MA., Peneliti Senior Rumah KitaB. Sementara moderator kegiatan yaitu Gus Jamaluddin Mohammad.

Kegiatan ini diselenggarakan di Aula Pondok Pesantren Al-Miftahiyyah lantai 3, pukul 14.30 WIB, dan berakhir pukul 17.15 WIB.

Kegiatan ini diselenggarakan dengan standar penyelenggaraan protokol kesehatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Adm. Jakarta Utara di masa pandemi covid, saat Provinsi Jakarta berstatus PPKM level 3 (Oktober 2021).

Kegiatan ini diselenggarakan di wilayah yang memiliki suhu di atas 30 derajat, dengan keterbatasan pendingin ruangan, dan ruang yang tersedia memang sangat terbatas. Namun kondisi itu tidak menyurut semangat peserta dalam menghadiri kegiatan. Untuk mengantisipasi dehidrasi, panitia menyediakan lebih banyak air minum dari biasanya, termasuk fasilitas minuman dingin dari panitia bagian konsumsi.

Isu yang diangkat

Setidaknya dua hal penting yang disosialisasikan yaitu Sosialisasi Fikih Perwalian, dan Sosialisasi Revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 sekaligus Peraturan Mahkamah Agung RI No. 5 Tahun 2019.

Terselenggarana kegiatan ini berhasil merealisasikan beberapa tujuan penting dalam upaya pencegahan perkawinan anak; Pertama, tersosialisasikannya Konsep Qiwamah dan Walayah yang berpihak pada perempuan dan anak. Sebelumnya konsep kedua isu besar ini (Qiwamah dan Walayah) ini dipraktikkan dalam masyarakat yang berada dalam sistem patriarkhi, untuk melegalkan ketimpangan relasi gender antara suami dan isteri, dan antara anak perempuan dengan ayahnya. Suami sebagai pemimpin di dalam rumah tangga sementara perempuan sebagai makmumnya, yang nasib hidup dan masa depannya berada di bawah suaminya, semua keputusan berada di tangan suami, sehingga banyak terjadi kekerasan di dalam rumah tangga yang diakibatkan oleh cara pandangan yang tidak adil gender.

Kedua, tersosialisasikannya revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019, yang menaikkan batas usia minimum pernikahan, dan revisi Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2019 tentang ”Pedoman Mengadili Perkara Dispensasi Usia Kawin”.

Ketiga, terpetakannya problem, tantangan dan hambatan dalam pencegahan perkawinan anak, terutama paska berlakunya revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019,dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2019. Hakim Fauzi yang hadir sebagai Wakil Ketua Pengadilan Agama Kota Adm. Jakarta Utara, menuturkan bahwa kelemahan dari revisi UU Perkawinan Nomor 16 tahun 2019 ini hanya merevisi batas minimum usia kawin, tidak menyertakan tambahan penting lainnya yang harus disertakan dalam upaya mendukung pencegahan perkawinan usia anak seperti pemberian sanksi, karena memang itu ranah perdata.

Soal lain Fauzi menyinggung revisi UU Perkawinan tersebut langsung berdampak pada kenaikkan angka permohonan dispensasi kawin ke pihak Pengadilan Agama Kota Adm. Jakarta Utara. Fenomena perempuan menikah di usia 18 tahun banyak terjadi di Jakarta Utara, namun karena terdapat revisi UU Perkawinan tersebut, sehingga mereka mengajukan permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama. Tantangan lainnya, para pemohon dispensasi kawin karena anaknya sudah hamil.

Meski begitu, Fauzi mengklaim bahwa Pengadilan Agama telah menolak permohonan dispensasi usia kawin sekitar 20 persen dari jumlah permohonan selama 2021. Namun pengabulan permohonan dispensasi usia kawin masih tinggi, yakni kurang lebih 80 persen.

Hal tersebut merekognisi pengalaman masyarakat yang dibagikan dalam kegiatan tersebut terkait tantangan pencegahan perkawinan usia anak, yaitu “hamil duluan”. Di samping itu rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat yang menyebabkan banyak anak putus sekolah, lebih memilih menjadi pengamen jalanan karena menghasilkan uang untuk kebutuhan primer seperti makan,  “jajan”, nongkrong bersama teman-temannya di luar rumah, dan beli kuota intenet. Problem lain, yaitu buruknya relasi orangtua dengan anaknya dilihat dari terdapatnya kasus kehamilan yang disebabkan oleh ayah kandungnya sendiri.

Pertanyaan yang muncul pada akhirnya terkait hukum/status wali bagi orangtua yang telah menghamili anaknya. Pertanyaan ini secara spesifik dijawab oleh para narasumber, termasuk Dr. KH. Abdul Moqsith Ghozali, dia mengatakan bahwa status wali bagi orangtua tersebut secara otomatis gugur, bahkan status ayahnya pun gugur, karena tidak lagi dianggap sebagai ayah atau orangtua si anak tersebut yang menjadi korban kekerasan seksual di rumahnya sendiri.

Sementara itu Achmat Hilmi, narasumber dari Rumah KitaB, menekankan dua hal, pertama, perkawinan anak yang dipaksakan meskipun dalam kasus anak hamil duluan, bukanlah solusi, justru menambah derita anak, menghindari “afsadul mafasid” (kemafsadatan terbesar) lebih diutamakan ketimbang membela sesuatu yang maslahatnya masih bersifat dugaan. Terlebih, menurut Syariat Islam, kemaslahatan harus berpihak pada kepentingan anak.

Kedua, sejalan dengan keberpihakan pada kepentingan anak, syariat Islam memiliki tujuan luhur berupa kemaslahatan manusia. Bahkan kemaslahatan dan kebijaksanaan merupakan prinsip utama dalam ajaran Islam.

 

 فإن الشريعة مبناها وأساسها على الحكم ومصالح العباد في المعاش والمعاد وهي عدل كلها ورحمة كلها ومصالح كلها وحكمة كلها فكل مسألةخرجت عن العدل إلى الجور وعن الرحمة إلى ضدها وعن المصلحة إلى المفسدة وعن الحكمة إلى العبث فليست من الشريعة وإن أدخلت فيها بالتأويل

 

Berdasarkan hal itu, syariat Islam tidak berpihak pada kemadharatan. Segala bentuk pandangan keagamaan yang berdampak pada kemadharatan maka bertentangan dengan tujuan luhur Syariat Islam. AH[]

Reportase Sosialisasi Buku Fikih Perwalian dan Sosialisasi Revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, Untuk Pencegahan Perkawinan Anak – Cirebon

Kegiatan yang bertema, “Sosialisasi Buku Fikih Perwalian dan Sosialisasi Revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, Untuk Pencegahan Perkawinan Anak,” terselenggarakan pada Selasa, 05 Oktober 2021, bertempat di aula utama masjid As-Shighor, pondok pesantren As-Shigor, Desa Gedongan Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Acara dibuka pada pukul delapan lebih tiga puluh menit (08.30 WIB), yang dimulai dengan Test Rapid Antigen Covid-19 terlebih dahulu sebagai bagian dari penerapan protokol kesehatan secara ketat dan optimal di masa pandemi Covid-19.

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Rumah Kita Bersama atas dukungan The Oslo Coalition on Freedom of Religion or Believe – University of Oslo Norwegia.

Mewakili keluarga besar pesantren As-Shigor sekaligus sambutan tuan rumah untuk pengantar kegiatan, pengasuh pondok pesantren As-Shigor yakni Kyai Syauqi, menegaskan perihal posisi pesantren terhadap isu-isu aktual atau masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat dalam konteks pencegahan perkawinan anak pada situasi hari ini. Melalui sambutannya, ia menyampaikan mengenai prinsip yang diketengahkan oleh tradisi pesantren adalah Al-Mukhafadhatu Ala Al-Qodim As-Sholih, Wal Ashlu bil Jadidil Aslah. Dari prinsip tersebut, terejawantahkan bahwa kegiatan yang diselenggarakan oleh Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah Kitab) semata-mata ditujukan sebagai implementasi dari proses ijtihad atau upaya pembaharuan hukum agar tradisi pesantren dapat secara komperhensif merespon persoalan perkawinan anak.

Kegiatan berlanjut dengan penyelenggaran diskusi sekaligus sosialisasi tentang Buku Fikih Perwalian dan Sosialisasi Revisi UU Perkawinan Nomor 2019, serta Perma Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin untuk Pencegahan Perkawinan Anak. Di awal diskusi, Ustad Hilmi dari Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah Kitab) memaparkan kepada seluruh peserta yang hadir perihal sejarah berdirinya Rumah KitaB. Menurutnya, Rumah Kitab dibentuk oleh individu-individu yang memiliki latar belakang keluarga pesantren atau kyai-kyai yang berasal dari pesantren Cirebon, seperti Gus Jamaluddin, Mukti Ali, dan lain-lain. Ustad Hilmi, yang berperan sebagai moderator dalam diskusi ini juga memberikan informasi tentang mandat yang diimplementasikan oleh Yayasan Rumah Kitab, sebagai organisasi yang punya konsen terhadap kajian dan penelitian yang berbasis pada tradisi kitab kuning pesantren dalam merespon isu kemanusiaan.

Gus Jamaluddin, narasumber pertama dalam diskusi ini, menginformasikan kilas-balik perjalanan hadirnya buku Fikih Perwalian yang dibuat dan diterbitkan oleh Yayasan Rumah Kita. Buku Fikih, menurut cerita Gus Jamal, berawal dari proses diskusi yang diselenggarakan oleh Rumah Kitab secara berkala. Di dalamnya, dua tema penting diproyeksikan, pertama, soal relasi suami-istri yang berperspektif keadilan dan kesetaraan gender, kedua, soal relasi orangtua dengan anak. Kedua tema tersebut didekati dengan metode penelitian lapangan dan metode penelitian berbasis teks-teks keislaman. Dalam proses tersebut, Rumah Kitab memiliki kekhasan dalam pendekatan yang melakukan suatu pendekatan dialektis antara teks-teks keagamaan dan realitas. “Teks seperti Al-Quran dan Hadist itu berbicara soal apa dan bagaimana tentang relasi suami-istri serta relasi orangtua, lalu realitas yang terjadi di masyarakat itu seperti apa. Sehingga, goalnya adalah menawarkan suatu cara pandang keadilan dan kesetaraan dalam proses dialektika antara teks dan realitas tersebut,” Pungkas Gus Jamal.

Melanjutkan yang disampaikan oleh Gus Jamaluddin, Kyai Taufiqurrohman menerangkan tentang kedudukan teks dan realitas secara lebih holistik. Menurut pemaparan Kyai Taufiqorrohman, teks itu terbatas, sementara peristiwa itu tidak terbatas. Dalam merespon kondisi tersebut, penting memposisikan Fiqh itu sebagai yurisprudensi, dan rujukan untuk advokasi pada kenyataan yang berkembang. Lanjutnya, “Jadi jangan sampai, apa yang sudah menjadi Qaul ulama, kita posisikan sebagai turats, peninggalan dalam bentuk pengetahuan dan pemikiran yang dihadirkan saat sekarang.”

Pemateri berikutnya adalah Kyai Husein Muhammad dari Pesantren Darut Tauhid dan Bapak Wasadin dari Pengadilan Agama (PA) Sumber Kabupaten Cirebon. Buya Husein menerangkan soal problem dualisme hukum yang terjadi di Indonesia, ada hukum positif juga hukum kebiasaan yang berjalan di masyarakat yang berlandaskan pada teks-teks keagamaan. Dalam konteks isu keseteraan gender, Buya Husein memberikan satu pemahaman berharga kepada para peserta tentang kedudukan perempuan di Islam, dari era kenabian dan sekarang. Sedangkan penjelasan Bapak Wasadin dari Pengadilan Agama Cirebon menceritakan soal-soal masalah dispensasi perkawinan yang dihadapi oleh dirinya sebagai hakim. Kegiatan selesai pada pukul 12.30 Wib, dengan diikuti oleh 20 peserta dari perempuan dan laki-laki, baik santri, pengurus pesantren serta pengajar di pesantren As-Shigor sendiri. AH[]

Anak Kampung Pulang Kampung Mengurus Warga Kampung

Saya berasal dari Boyolali. Sejak lulus SMA tahun 2013 saya merantau ke Jakarta karena diterima di perguruan tinggi terkemuka di Jakarta. Tahun 2017 saya berhasil menyelesaikan kuliah dan bekerja di sebuah Lembaga Pendidikan Semi Internasional di Bogor. Tapi saya merasa kerja-kerja pendampingan masyarakat sangat menarik minat saya. Karenanya ketika Rumah KitaB mengajak bergabung untuk penelitian tentang perkawinan anak dan mendalami sosial media untuk publikasi saya mengambil kesempatan itu.

Namun, Maret 2020 lalu, saya “terpaksa” pulang ke kampung halaman. Sempat bimbang haruskah saya pulang atau tetap di Jakarta. Saat awal pandemi, tempat saya bekerja dan belajar, Rumah KitaB, sigap mengambil kebijakan pencegahan dengan mewajibkan kami untuk bekerja dari rumah guna mengurangi risiko penularan. Semula saya berpikir untuk tetap di Jakarta.  Namun saya segara putuskan pulang ketika situasi Covid-19 semakin tidak menentu dan tidak dapat dituggu kapan bisa kembali bekerja di kantor. Akhirnya saya putuskan pulang sambil berfikir apa yang bisa saya lakukan ketika di kampung halaman selain tetap terus bekerja jarak jauh. Lalu saya teringat bahwa di kampung halaman saya masih banyak praktik perkawinan anak. Situasi itu menghubungkan saya dengan isu yang sampai saat ini digeluti oleh Rumah KitaB. Ini adalah kesempatan bagus bagi saya untuk kembali ke kampung karena sejak kuliah hingga bekerja saya menghabiskan banyak waktu di tanah perantauan.

Saat sampai di kampung, saya mulai menyusun hal-hal yang bisa saya lakukan untuk mengurangi angka kawin anak di daerah saya. Kasus-kasus yang sudah terjadi biasanya karena alasan ekonomi keluarga, sehingga anak putus sekolah dan keluarga mengawinkan anaknya supaya sang anak bukan lagi menjadi tanggungan orangtuanya.

Praktik ini tidak hanya melanggar peraturan, tetapi juga melanggar hak anak dan memunculkan kemiskinan yang lain. Perkawinan tersebut semakin mudah terjadi karena anak-anak tidak memiliki akte kelahiran, sebuah dokumen penting sebagai penduduk untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Pihak keluarga dengan aparat desa biasanya “main mata” dalam menaikkan umur anak sehingga anak seolah-olah sudah memiliki usia sesuai undang-undang perkawinan.

Bagaimana bisa dokumen sepenting ini tidak diurus oleh orang tua ketika anak lahir? Dari yang aku dengar hal ini terjadi karena  biaya  pembuatan akta lahir anak biasanya dipatok sapai ratusan ribu hingga jutaan oleh para calo. Tinggi rendahnya biaya tergantung kepada kesulitan dalam pemrosesan. Dan mirisnya, para orang tua tidak tahu bahwa akta lahir dapat diurus dengan gratis.

Di kampung, saya bertemu dengan anak perempuan yang baru saja lulus dari SMP. Anak tersebut tergolong pintar, namun berasal dari keluarga yang sangat tidak mampu. Seorang piatu yang tinggal bersama ayah dan adiknya. Santer terdengar dari tetangga mengatakan bahwa ia tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, kasian ayahnya harus banting tulang menyekolahkan dan menghidupi dua anak. Ada diantara mereka yang “mencarikan” jodoh untuk anak perempuan tersebut. Saya geram, karena perkawinan bukanlah solusi dari masalah yang dihadapi anak tersebut. Yang ia butuhkan saat ini adalah akses kepada pendidikan. Saya ajak ke rumah dan berbicara dengannya. Rupanya ia bercita-cita menjadi seorang pengacara. Saat itu ia ingin belajar di salah satu SMA terbaik di daerah sini, namun terhalang biaya dan juga tidak memiliki akte kelahiran untuk kelengkapan administrasi. Saya lantas menemui ayahnya di gubug kecil tempatnya berjualan. Saya meminta izin ayahnya untuk saya buatkan akte kelahiran dan saya daftarkan ke SMA yang ia mau melalui skema afirmasi keluarga tidak mampu. Ayahnya menyetujui asalkan biaya sekolah yang dikeluarkan tidak membebaninya. Akhirnya, langkah kecil itu membuahkan hasil, anak tersebut memiliki akte kelahiran, diterima di sekolah impian, dan terselamatkan dari perkawinan anak.

Saya menyadari bahwa harapan saya untuk setidaknya mengurangi perkawinan anak di wilayah tempat saya tinggal adalah sebuah perjalanan panjang dan mungkin melelahkan. Namun dengan membantu mengedukasi orang tua untuk membuat akta lahir, saya punya harapan  di masa yang akan datang setidaknya masih ada lapisan penting yang harus ditembus jika orang tua mau memalsukan kelahiran anak. Upaya ini ternyata diterima dengan senang hati oleh masyarakat, mereka antusias untuk membuatkan akta lahir, baik anak-anak yang baru lahir hingga anak yang sudah SMA. Melihat mereka bahagia dengan mata berbinar menjadi kebahagiaan tersendiri bagi saya. Setiap mereka yang datang selalu heran kenapa bisa gratis, kenapa di tempat lain berbiaya mahal. Lantas tugas saya untuk mengedukasi dimulai. Saya selalu mengatakan kepada mereka begini “Pak/Bu, dulu saya kuliah, dikuliahkan oleh rakyat, dibiayai oleh rakyat, jadi sudah kewajiban saya untuk membantu rakyat”.

Di masa pandemi yang sulit ini, saya menyadari bahwa kita dapat membantu orang lain dengan kemampuan apapun yang kita punya. Bantuan tidak serta merta harus berupa uang atau makanan. Hal kecil bagi kita ternyata sesuatu yang besar bagi orang lain. Tebarlah kebaikan dimanapun kamu berada []. FZ

Penyaluran Hasrat Atas Nama Agama, Menyoal Poligami Sebagai Gerakan Sunnah

Oleh: Harkaman

Poligami sebagai gerakan sunnah tampaknya menjadi semakin marak. Hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya seminar dan kursus poligami yang ada. Dari banyak aspek, poligami sebagai gerakan sunnah semacam ini punya problem yang sangat akut.

Hukum dalam Islam senantiasa memiliki keterbukaan untuk selalu mengalami perubahan. Hukum dalam Islam tidak rigid karena berelasi kuat dengan realitas, terutama sebagai upaya mengimplementasikan visi kemaslahatan bagi manusia dan semesta.

Dalam konteks pernikahan misalnya dalam kitab-kitab fikih, asal hukum pernikahan yaitu mubah (boleh), namun kemudian dapat mengalami perubahan hukum tergantung kondisi subjek dan realitasnya. Hukum pernikahan bisa menjadi Sunnah, bisa juga menjadi wajib, bahkan ada orang yang diharamkan menikah dengan seseorang yang telah ditentukan kategorinya oleh agama menimbang kemaslahatan manusia. Sehingga hukum pernikahan dalam Islam dikembalikan kepada kondisi masing-masing individu. Mereka yang memenuhi syarat, siap secara mental, dewasa lahir batin, dan berniat membangun keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah dengan meneladani Nabi, hukumnya sunnah untuk menikah. Sebaliknya, orang yang dikhawatirkan membahayakan hidup orang lain karena pernikahan, hukumnya haram, seperti kekhawatiran terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Keutamaan menikah disebutkan di beberapa hadis Nabi, salah satu di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim: Hai sekalian pemuda (orang dewasa), barangsiapa di antara kalian sudah memiliki kemampuan, segeralah menikah, karena menikah dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum sanggup menikah, berpuasalah, karena puasa akan menjadi benteng baginya”. Hadits ini berbicara tentang kedewasaan sebagai aspek penting dalam pernikahan. Saran menikah yang muncul dari Nabi ini

Dan pernikahan tidak dapat dipaksakan karena desakan hasrat seks seseorang. Hadits ini justru memberi contoh terkait kontrol atas hasrat seks. Kedewasaan itulah yang membuat manusia memiliki kemampuan mengontrol hasrat seksualnya dengan baik dan sehat. Salah satu media untuk mengontrol hasrat seks ini adalah berpuasa, maksudnya berpuasa menjadi sarana pelatihan kedewasaan manusia. Jadi saran dari Nabi kepada orang yang ingin menikah dan memiliki hasrat seks namun dipandang belum memiliki kedewasaan secara biologis dan sosiologis maka disarankan untuk berpuasa.

Menikah memiliki banyak faedah bagi mereka yang memenuhi syarat, namun tidak berarti orang yang tidak menikah menjadi hina di sisi Allah. Kemuliaan di sisi Allah dilihat dari nilai taqwanya. (al-Hujrat/49:13). Beberapa ulama memilih jomblo dan tidak menikah hingga akhir hayatnya, seperti Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 923 M), Imam Nawawi ad-Dimasyqi (w. 1227 M), Imam az-Zamakhsyari al-Khawarizmi (w. 1144), dan Ibnu Taimiyyah al-Harani ad-Dimasyqi (w. 1328).

Dewasa ini poligami dijadikan sebagai sebuah gerakan dengan alasan untuk menghidupkan sunnah Nabi. Mereka yang mendukung gerakan ini kemudian membuka kelas pendampingan bagi yang berkeinginan untuk memiliki istri lebih dari satu orang.

Gerakan tersebut tentunya cacat nalar dalam memahami Sunnah Nabi dan bagaimana seharusnya menghidupkan sunnah. Penulis sepemahaman dengan M. Quraish Shihab, ahli tafsir kenamaan Indonesia, mengatakan bahwa  poligami adalah pintu darurat. Sebagaimana pesawat memiliki pintu darurat, pintu tersebut hanya dibuka bila dalam keadaan mendesak atau tidak ada pilihan lain.

Ada beberapa fakta penting yang harus diperhatikan tentang pernikahan Nabi, bahwa: Pertama;  Nabi menikah untuk yang kedua kalinya setelah dua tahun wafatnya Khadijah, yang dikenal dengan ‘am al-huzniy (tahun kesedihan). Kedua; Perempuan yang dinikahi Nabi kebanyakan janda tua. Ketiga; Nabi menikah bukan karena dorongan hawa nafsu, namun untuk mengayomi dan melindungi perempuan, di saat terjadinya krisis keamanan yang mengancam hidup dan nyawa perempuan.

Pertanyaannya kemudian, apakah kelas gerakan poligami tersebut mempraktikkan seperti yang dilakukan oleh Nabi? Tentu tidak. Jika demikian, maka gerakan poligami sebagai sunnah Nabi tidak sama. Para praktisi poligami memiliki kecenderungan untuk menikahi perempuan muda dengan paras yang cantik.

Di dalam Surah an-Nisa/4:3, disebutkan semangat pernikahan adalah monogami. Faktanya, sebelum Surah an-Nisa ini diturunkan, ada banyak sahabat Nabi memiliki lebih dari empat orang istri. Namun setelah ayat tersebut turun, mereka diperintahkan oleh Nabi untuk menceraikan istrinya dan memilih empat istri dengan syarat yang ketat, bahkan diperintahkan menikahi satu perempuan saja karena tidak mungkinnya manusia berlaku adil terhadap pasangan yang lebih dari satu. Ini menunjukkan bahwa sahabat di masa itu lebih banyak mengurangi istri dibanding menambah istri.

Mereka yang berpoligami tidak seharusnya berbangga dan mempublikasikannya seakan poligami merupakan sebuah prestasi. Keluarga harusnya dipertahankan dan itulah yang harus dicarikan solusinya, agar bisa meraih keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Sementara poligami lebih dekat kepada perceraian. Bahkan poligami merupakan praktik kekerasan terhadap perempuan itu sendiri. Hal ini bertentangan dengan tujuan pernikahan ideal, yakni meraih kebahagian. Bahkan Rasulullah Saw dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, disebutkan perbuatan halal yang dibenci oleh Allah adalah perceraian. Namun perempuan yang dalam kondisi terzalimi dan mengalami kekerasan justru wajib bercerai, karena menghindari madharat dan kerusakan adalah perintah agama.

درئ المفاسد مقدم على جلب المصالح

Menghindari kemadharatan lebih diutamakan ketimbang memihak kemaslahatan (yang semu) (As-Suyuthi, Al-Asybâh wa Al-Nazhâir:87)

Badan Pusat Statistik (bps.go.id) menyebutkan angka perceraian meningkat menjadi 6,4% pada tahun 2020. Ada 394.246 kasus terjadi pada tahun 2015, ada 401.717 kasus terjadi pada tahun 2016, ada 415.510 terjadi pada tahun 2017, ada 444.358 kasus terjadi pada tahun 2018, ada 480.618 kasus terjadi pada tahun 2019, dan ada 306.688 kasus terjadi pada bulan Agustus 2020. Salah satu faktor utama penyebab terjadinya perceraian adalah perselisihan di dalam rumah tangga.

Berdasarkan fakta di atas, dapat dikatakan bahwa gerakan kampanye poligami berkontribusi besar pada potensi kekerasan terhadap perempuan dan berpotensi meningkatkan angka perceraian di Indonesia. Sebaliknya, program yang berhubungan dengan pelestarian perkawinan monogami harus didukung, karena mengurangi potensi terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak. []

Harkaman, Peserta Pengaderan Kiai Muda Sensitif HAM dan Gender 2021, Rumah KitaB didukung oleh The Oslo Coalition – University of Oslo, Norwegia.

 

Artikel ini telah terbit di harakah.id

These Girls Are Being Cut and Married in Droves

In Samburu County, economic and social strife from the pandemic is helping turn a generation of girls into commodities.

A deep, sonorous melody pierces the night sky when young Samburu warriors celebrate an impending marriage. These songs, which echo across the arid plains of rural northern Kenya, are beautiful. They also often herald danger for girls in the region’s pastoralist communities — and during the coronavirus pandemic, they’ve grown alarmingly more frequent.

Selected by her family to marry an older man she’d never met, 10-year-old Jacinta was taken from her bed in Samburu County early one morning in August and doused in a mixture of milk and water before being painted from head to toe in red ocher — the traditional preparations for a genital cutting ceremony, a near-compulsory procedure for Samburu girls on the cusp of marriage.

“I didn’t know they would marry me off,” said Jacinta, speaking from her husband’s home through a translator. But when she was subjected to the cutting, often called female genital mutilation, she said, “I realized I was going to be married off.”

As the world has focused on combating the coronavirus, a parallel pandemic no less devastating has struck communities like Jacinta’s. Curfews, quarantines and lockdowns to suppress the virus have aggravated existing economic and social strife; these conditions, in turn, have hurt efforts to combat child marriage and genital cutting.

For now, information about child marriages and genital cutting in the pandemic remains largely anecdotal. Accurate data on rates of child marriage in Kenya and elsewhere is difficult to come by in normal times. Cases are only infrequently reported to law enforcement, and communities dispute the legitimacy of national laws against child marriage and cutting.

But the pandemic appears to be leading to a surge in child marriages and the cutting ceremonies that can precede them — a young bride can fetch a considerable price, securing livestock, blankets, food and money for her struggling parents and siblings. Girls are also being coerced into sex in exchange for basic necessities, leading to unexpected pregnancies that in turn create pressure to marry.

“Covid-19 has just been a disaster — These girls are being cut and married in droves,” said Sayydah Garrett, the co-founder and president of the Pastoralist Child Foundation in Samburu County.

Josephine Kulea, founder and executive director of the Samburu Girls Foundation, said her organization had referred more than 500 new cutting and child marriage cases to the authorities between March and September, a steep rise over previous periods.

And according to Domtila Chesang, founder and director of the I Rep Foundation in West Pokot County, another pastoralist area in Kenya, forced marriages and cutting have spiked during the pandemic. “Girls are not safe in their own homes,” she said in a broadcast interview with my colleague. “With time, things are going to skyrocket.”

Sexual violence against girls surged by 230 percent after schools closed this spring, according to calls logged from March to September by the national child protection hotline. Because gender-based violence is consistently underreported worldwide, this number is likely to be a gross underestimate; it doesn’t account for tens of thousands of girls without access to phones or the knowledge that they can call for help.

Before the pandemic, an underage girl somewhere in the world was forced into marriage every two seconds. With Covid-19 still on the rise, the United Nations says an additional 13 million child marriages could occur over the next decade — the result of factors from the consequences of the economic slowdown to the disruption of programs seeking to prevent these marriages.

In northern Kenya, the pandemic has combined with the effects of climate change and the sudden loss of safari tourism. Naeku, 15, had been studying at boarding school — a safe haven providing critical support beyond education — when her school suddenly closed in the spring and she had to return home. She found a household battling starvation.

“Sometimes we go hungry and can’t find clothes to put on,” she said. That’s why her mother “started marrying us off,” she said, referring to herself and her sisters, “so that she can find money to bring up her other children.”

Despite national laws and international agreements against child marriage, it remains a persistent threat to the human rights, lives and health of girls in more than 100 countries.

Kenya, in fact, has outlawed child marriage and genital cutting. But while President Uhuru Kenyatta has pledged to eradicate child marriage by the end of this year and cutting by 2022, turning aspirational statements into real change is difficult work, even without a pandemic.

Girls in nations that have not taken such steps have likely fared far worse.

Yet Mr. Kenyatta seemed to undercut his pledge in July by cracking down on clinics offering contraceptives to underage girls, saying the practice encouraged promiscuity. Experts worry that as more girls become pregnant, their fears of the social and economic consequences of revealing their pregnancy, combined with clinic closures and the disruptions of the supply of abortion pills, will lead to an escalation in unsafe, makeshift abortions.

In the best of times, girls still lag in pastoral communities in Kenya when it comes to the keys to upward mobility, such as access to secondary education, and are among the last to receive resources. For millions of girls forced to marry and give birth during this pandemic, how do we salvage their rights to safety, health and education?

At minimum, girls who survive these traumas need financial support, reproductive and mental health care, child care and the resources to return to school. The authorities must prosecute perpetrators. Chiefs and other authorities should aid girls in annulling their marriages. In the Dedza District of Malawi, the paramount chief, Theresa Kachindamoto, told me she had annulled about 2,549 child marriages over the years.

More global and local investment is critical to prevent further harm to vulnerable girls around the world, including rigorous accountability mechanisms and enforcement of policies. To lead by example and reinforce a commitment to protecting girls, the United States must also bring its domestic laws in sync with its global rhetoric by restoring a federal ban on genital cutting and enacting one on child marriage.

These are critical concerns for girls like Jacinta who hoped for, and deserved, so much more.

“I really wanted to go to school,” she said softly. “I really wanted to become a teacher.”

 

Source: https://www.nytimes.com/2020/12/10/opinion/kenya-covid-child-marriage.html?fbclid=IwAR3vfsaKBvq-oiD6ozrfxRKWbh7W-jmiEEhyIcuFdFmzIZf4LLqEO6__MQM

Pernikahan Dini di Jateng Meningkat, 8.338 Remaja Lepas Status Lajang

SuaraJawaTengah.id – Pernikahan anak di bawah umur di Provinsi Jawa Tengah (Jateng) masih mengalami peningkatan dalam setahun belakangan ini.

Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Jateng, ada sekitar 1.377 anak laki-laki dan 672 anak perempuan yang melakukan pernikahan pada 2019. Jumlah ini melonjak di tahun 2020, di mana 1.070 anak laki-laki yang melakukan pernikahan dini, sedangkan anak perempuan mencapai 7.268 orang.

Dilansir dari Solopos.com, Kepala DP3A Jateng, Retno Sudewi, mengatakan pernikahan dini atau anak di bawah umur disebabkan berbagai faktor seperti ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan hamil di luar nikah.

Selain itu, lonjakan pernikahan dini itu juga disebabkan adanya perubahan batasan usia menikah yang ditetapkan dalam UU No.16/2019 tentang perubahan atas UU No.1/1974 tentang Perkawinan.

Semula, batasan usia menikah adalah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Namun, kini batasan usia menikah bagi laki-laki dan perempuan adalah sama yakni 19 tahun.

“Angka untuk Jateng terdapat 10,2% yang menikah pada usia anak. Ini banyak terjadi di Jepara, Pati, Blora, Grobogan, Cilacap, Brebes, Banjarnegara, dan Purbalingga. Angka perkawinan anak termasuk tinggi,” ujar Retno Rabu (18/11/2020).

Retno mengaku berbagai upaya telah dilakukan Pemprov Jateng dalam menekan angka pernikahan dini itu. Meski demikian, ia menilai upaya itu tidak akan berhasil tanpa dukungan dari masyarakat.

“Harus ada sinergi antara pemerintah, komunitas, dunia usaha, akademisi, dan media,” katanya.

Sementara itu, aktivis anti-perkawinan usia anak dari Yayasan Kita Bersama, Lies Marcoes Natsir, menilai Jateng memiliki modal bagus untuk menjadi penggerak pencegahan perkawinan anak.

“Jateng punya modal sosial, politik, ekonomi yang bisa mencegah perkawinan anak. Berdirinya PKK di Indonesia juga diawali dari Jateng. Dari segi keagamaan, Jateng memiliki banyak pesantren. Sedangkan kekuatan ekonomi, Jateng memiliki banyak industri. Ini modal besar sebenarnya,” ujar Lies Marcoes.

Sedangkan Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Rahesli Humsona, menilai tingginya angka perkawinan anak di Jateng merupakan pelanggaran hak-hak anak.

Meskipun terdapat budaya masyarakat yang menempatkan kawin usia anak sebagai sebuah keharusan, namun itu harus diubah dengan cara diberi pengertian.

“Perkawinan anak adalah pelanggaran. Hak pendidikan anak menjadi hilang. Anak perempuan yang kawin tidak boleh sekolah. Ini membuat kesempatan berkreativitas juga terhambat. Ini juga memasukkan anak pada lingkaran kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun psikis,” terang Rahesli.

Sumber: https://jateng.suara.com/read/2020/11/20/114036/pernikahan-dini-di-jateng-meningkat-8338-remaja-lepas-status-lajang?page=all

Atasi Kawin Bocah di Jateng, Gebrakan Multisektor Harus Kompak

RATNA (nama samaran), seorang anak usia 14 tahun berasal dari sebuah desa di Kabupaten Rembang, mengaku ketakutan ketika ia dipaksa oleh orangtuanya untuk menikah. Kala itu ia masih duduk di kelas 2 sebuah sekolah setingkat SMP. Orangtua Ratna adalah keluarga miskin. Kondisi ini membuat mereka saat itu langsung menerima saja lamaran dari seorang juragan kapal yang ingin meminang anak gadisnya, dengan tawaran mahar sebesar Rp 150 juta.

Beruntung di Rembang ada Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) yang sangat peduli terhadap kasus-kasus pernikahan bocah. Menurut Abdul Baastid, salah seorang pendamping Puspaga Kabupaten Rembang, untuk mendapatkan dispensasi pernikahan harus melalui syarat yang cukup banyak.

“Kami juga berusaha mengetahui apakah pernikahan itu karena paksaan ataukah hal-hal tertentu lainnya,” kata Abdul Baastid, saat menjadi pembicara di webinar “Gerakan Bersama Jo Kawin Bocah: Upaya Pencegahan Perkawinan Anak di Jawa Tengah”, Rabu (18/11/2020).

Dalam kegiatan yang digelar kerjasama antara Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Jawa Tengah, Kantor Perwakilan UNICEF Wilayah Jawa, Yayasan Setara,  dan didukung kalangan akademisi itu terungkap fakta, bahwa berdasar data di BPS tahun 2019, sebanyak 10,82 persen dari total anak di Indonesia melakukan kawin pada usia anak. Sementara di Jawa Tengah sendiri angkanya mencapai 10,2 persen dari total anak, juga melakukan kawin usia pada anak.

Pada kasus Ratna, Abdul Baastid menjelaskan, semula kedua orang tua Ratna mengaku, anaknya dan calon suaminya sudah pacaran. Namun saat ditelisik lebih jauh, Ratna ternyata ragu untuk menikah. Ia masih ingin bersekolah.

“Ketika ada kabar mahar Rp 150 juta, saya kemudian menduga ini ada unsur human trafficking. Namun ketika saya bertanya ke Polresta Rembang, unsur human trafficking itu belum bisa dikenakan apabila belum terjadi pembayaran. Nah, jika sudah ada pembayaran berarti kan sudah menikah. Itu sama dengan terlambat. Kami lalu berusaha mencari cara lain menyelamatkan Ratna lebih jauh,” tutur Baastid.

Tim Puspaga Kabupaten Rembang akhirnya menemukan fakta yang kuat, bahwa Ratna benar-benar belum mau menikah. Ia masih ingin melanjutkan sekolah. Dengan alas an tersebut maka rencana pernikahan yang sudah disusun pun akhirnya batal.

”Ratna kemudian melanjutkan sekolahnya. Sekarang ia duduk di kelas 11 di Madrasah Aliyah. Dia tinggal di pesantren. Biaya sekolah dan di pesantren ditanggung oleh Pemerintah Kabupaten Rembang. Bahkan para donatur pun ada yang sanggup membiayai,” ujar Baastid.

Menurut Child Protection Officer UNICEF Indonesia Derry Ulum, berdasarkan data proyeksi BPS di tahun 2018, sebanyak 30 persen dari total jumlah penduduk di Indonesia adalah anak-anak atau sekitar 79,55 juta jiwa.

“Dari data laporan BPS juga diketahui, pada tahun 2019, satu dari sembilan anak perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Sementara untuk anak laki-laki, satu dari 100 anak mengaku menikah di bawah usia 18 tahun,” ujar Derry.

Derry juga menceritakan kasus anak bernama Fatma (bukan nama sebenarnya), 16 tahun, dari Bone, Sulawesi Selatan. Fatma dikisahkan Derry, harus menghadapi kenyataan pahit ketika dirinya sesampainya di rumah sepulang sekolah, sudah dinanti oleh calon suami pilihan orang tuanya. Orang tua Fatma hendak menikahkan anak yang masih duduk di bangku kelas 1 SMA itu dengan saudara jauh mereka yang berusia 34 tahun. Fatma jelas menolak, karena ia masih ingin sekolah.

“Kebetulan orang tua Fatma adalah orang berkecukupan. Fatma ke sekolah naik sepeda motor, punya laptop, punya HP.  Namun ia harus berhadapan dengan kebiasaan di daerahnya. Anak gadis sebelum lulus sekolah harus dapat jodoh.  Harus menikah. Itu sudah keputusan keluarga,” kata Derry.

Pengetahuan Fatma yang cukup membuat gadis ini memilik nyali untuk melapor ke kader perlindungan anak di desa. Lalu dengan cara mediasi bersama kepala desa, rencana pernikahan itu pun akhirnya batal. Fatma kini tetap bersekolah, bisa belajar dan bergaul dengan teman-teman sebayanya. Sehingga, pengetahuan remaja tentang kemana melapor dan adanya layanan perlindungan anak sampai di tingkat desa sangatlah penting.

Jika melihat data yang disajikan oleh BPS pada tahun 2019, maka sebanyak 10,82 persen perempuan usia 20-24 tahun di Indonesia menikah di awah usia 18 tahun. Kalau diperkirakan ini sekitar 1,2 juta anak-anak di negeri ini yang mengalami pernikahan di bawah umur.

”Tentunya ini yang tercatat atau terdata. Belum bisa dibayangkan mereka yang menikah siri atau tidak tercatatkan,” ujar Derry.

Sementara Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Jawa Tengah Retno Sudewi mengungkapkan, Provinsi Jawa Tengah yang berpenduduk 34,7 juta (BPS tahun 2019), sepertiganya adalah anak-anak. Jumlah usia anak ini menjadi lebih besar ketika UU No.16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan. Karena batasan usia nikah bagi laki-laki dan perempuan harus 19 tahun.

”Angkanya untuk Jawa Tengah terdapat 10,2 persen yang menikah pada usia anak. Ini banyak terjadi di Jepara, Pati,  Blora, Grobogan, Cilacap, Brebes, Banjarnegara, dan Purbalingga. Penyebanya adalah faktor ekonomi atau kemiskinan, faktor sosial budaya masyarakat, pendidikan, dan hamil di luar nikah. Angka perkawinan anak termasuk tinggi,” kata Retno Sudewi.

Menurut Retno Sudewi, pada tahun 2019 jumlah pernikahan anak  laki-laki 1.377 dan perempuan 672. Setelah terbit undang-undang yang baru, maka hingga September 2020 jumlah anak laki-laki yang menikah ada 1.070 dan perempuan 7.268.Dari hasil penelitian, anak perempuan dari keluarga yang berpenghasilan rendah lebih berpotensi menikah pada usia di bawah 18 tahun daripada keluarga yang berpenghasilan tinggi.

“Karena beberapa faktor tadi pemerintah Jateng, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan gerakan masif agar kawin bocah tercegah. Di sini harus ada sinergi antara pemerintah, komunitas, dunia usaha, akademisi, dan media,” kata Retno.

Sementara itu Ketua Pengadilan Agama (PA) Purworejo, Abdurrahman mengatakan, selama ini asumsi yang berkembang adalah PA adalah instansi penyubur perkawinan anak.

“Terus terang kami juga memiliki problematika. Sebab pintunya lewat Pengadilan Agama. Bahkan ada tulisan tidak perlu dispensasi pernikahan. Kami memiliki problematika sendiri. Kami justru menjaga jangan sampai terjadi pernikahan anak,” kata Abdurrahman.

Abdurrahman melihat perlunya kolaborasi aktif dari seluruh pihak yang memiliki kaitan dengan masalah perkawinan usia anak di Jawa Tengah ini. Ia ingin ada kerjasama intensif untuk bersama-sama menanggulangi masalah ini.”Saya ingin kita semua bergandengan tangan. Bergerak bersama-sama. Karena ini tidak mungkin bisa ditangani satu sektor saja,” ujar Abdurrahman, yang mengaku bersedia dengan tangan terbuka jika diajak bekerjasama menekan angka kawin anak di Jawa Tengah.

Data di PA Purworejo, pada tahun 2017 ada pengajuan dispensasi 96, yang dikabulkan 80. Lalu pada tahun 2018 pengajuan dispansasi 79, dikabulkan 61, tahun 2019 setelah ada UU No 16 Tahun 2919, pengajuan dispensasi mencapai 137. Tahun 2020 hingga Oktober permohonan ada 282 dan dikabulkan 261.

Aktivis anti perkawinan usia anak dari Yayasan Rumah Kita Bersama (Yayasan Rumah KitaB) Lies Marcoes Natsir, tahun ini menurutnya menjadi momen bagus untuk Jawa Tengah untuk pencegahan perkawinan usia anak. Jateng punya modal sosial, politik, ekonomi yang bisa mencegah perwakinan anak. ”Berdirinya PKK di Indonesia juga diawali dari inspirasi Jawa Tengah saat itu. Dari segi keagamaan, Jawa Tengah juga memiliki pesantren dengan jumlah cukup banyak. Sementara untuk kekuatan ekonomi, industri banyaknya di Jawa Tengah. Ini modal besar sebenarnya,” ujar Lies Marcoes Natsir.

Lies menilai ada korelasi antara hilangnya akses masyarakat terhadap lahan (agrarian) dengan jumlah perkawinan usia anak. Perubahan politik ekonomi di pusat berpengaruh pada relasi jender.

”Harus ada lembaga pendidikan tingkat desa setingkat SMA. Harus ada lapangan kerja setelah anak-anak lulus SMA. Itu jalan keluar terbaik untuk mencegah perkawinan usia anak,”jelas Lies Marcoes.

Fenomena tingginya angka perkawinan usia anak di Jateng diakui Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret, Rahesli Humsona, merupakan pelanggaran dari hak-hak anak. Meskipun terdapat budaya masyarakat yang menempatkan kawin usia anak sebagai sebuah keharusan, namun itu harus diubah dengan cara diberi pengertian.

”Perkawinan anak adalah pelanggaran. Hak pendidikan anak menjadi hilang. Anak perempuan yang kawin tidak boleh sekolah. Ini membuat kesempatan berkreativitas juga terhambat. Ini juga memasukkan anak pada lingkaran kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun psikis,” terang Rahesli.

Di saat pandemi seperti saat sekarang, juga dinilai Rahesli turut mempengaruhi anak-anak lebih banyak mengkonsumsi internet dengan alasan belajar daring. Kondisi ini membuat anak-anak menjadi jenuh. Mereka ingin hiburan namun tidak bisa bebas keluar, sehingga konten porno di internet menjadi salah satu pelarian.

Rahesli mengingatkan para orang tua agar lebih sering mengawasi anak-anak saat mengkonsumsi internet, sekalipun saat belajar daring. Orang tua juga harus berani memanggil anak-anak mereka yang telah berpacaran, dan memberi pemahaman tentang pendidikan seksualitas yang benar.

Sumber: https://www.suaramerdeka.com/news/liputan-khusus/247536-atasi-kawin-bocah-di-jateng-dobrakkan-multisektor-harus-kompak

Angka Pernikahan Anak di Jateng Naik Jadi 8.338 Kasus

SEMARANG, KOMPAS.com – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Jawa Tengah mencatat adanya peningkatan pernikahan anak di bawah umur. Pada tahun 2019 ada 2.049 pernikahan anak. Adapun hingga September 2020 jumlahnya meningkat sebanyak 8.338 kasus. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Jawa Tengah Retno Sudewi mengungkapkan, meningkatnya kasus pernikahan anak ketika UU No.16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan disahkan. Sebab, batasan usia menikah bagi laki-laki dan perempuan harus 19 tahun. “Angkanya untuk Jawa Tengah terdapat 10,2 persen yang menikah pada usia anak. Ini banyak terjadi di Jepara, Pati, Blora, Grobogan, Cilacap, Brebes, Banjarnegara, dan Purbalingga,” jelasnya dalam diakusi webinar “Gerakan Bersama Jo Kawin Bocah: Upaya Pencegahan Perkawinan Anak di Jawa Tengah”, Rabu (18/11/2020). Baca juga: Cegah Pernikahan Dini di Mataram, Paslon Selly-Manan Akan Buat Balai Mediasi di Kelurahan Menurutnya, tingginya kasus pernikahan anak disebabkan karena faktor ekonomi atau kemiskinan, faktor sosial budaya masyarakat, pendidikan, dan hamil di luar nikah. “Dari hasil penelitian, anak perempuan dari keluarga yang berpenghasilan rendah lebih berpotensi menikah pada usia di bawah 18 tahun daripada keluarga yang berpenghasilan tinggi,” ujarnya. Karena beberapa faktor tadi, kata dia, Pemerintah Provinsi Jateng, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan gerakan masif agar penikahan anak di bawah umur bisa dicegah. “Di sini harus ada sinergi antara pemerintah, komunitas, dunia usaha, akademisi, dan media,” katanya.

Sementara itu, aktivis anti perkawinan usia anak dari Yayasan Rumah Kita Bersama (Yayasan Rumah KitaB) Lies Marcoes Natsir mengatakan, upaya pencegahan pernikahan anak di bawah umur bisa dilakukan dengan berbagai cara. “Jawa Tengah punya modal sosial, politik, ekonomi yang bisa mencegah perwakinan anak. Berdirinya PKK di Indonesia juga diawali dari inspirasi Jawa Tengah saat itu. Dari segi keagamaan, Jawa Tengah juga memiliki pesantren dengan jumlah cukup banyak. Sementara untuk kekuatan ekonomi, industri banyaknya di Jawa Tengah. Ini modal besar sebenarnya,” ujarnya. Lies yang selama belasan tahun melakukan penelitian pernikahan usia anak di Jawa Tengah menilai ada korelasi antara hilangnya akses masyarakat terhadap lahan atau agrarian dengan jumlah perkawinan usia anak. Sehingga, perubahan politik ekonomi di pusat berpengaruh pada relasi gender. Menurutnya, banyak memiliki lembaga riset terbaik di Jateng yang mempunyai akses besar ke pusat. Hal itu bisa menempatkan Jateng menjadi tolok ukur pembangunan pencegahan perkawinan anak. “Harus ada lembaga pendidikan tingkat desa setingkat SMA. Harus ada lapangan kerja setelah anak-anak lulus SMA. Itu jalan keluar terbaik untuk mencegah perkawinan usia anak,” terangnya. Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret, Rahesli Humsona juga menyoroti fenomena tingginya angka pernikahan anak di Jawa Tengah. Menurutnya, pernikahan anak di bawah umur merupakan bentuk pelanggaran dari hak-hak anak, meski terdapat budaya masyarakat yang menempatkan kawin usia anak sebagai sebuah keharusan. “ Pernikahan anak adalah pelanggaran. Hak pendidikan anak menjadi hilang. Anak perempuan yang kawin tidak boleh sekolah. Ini membuat kesempatan berkreativitas juga terhambat. Ini juga memasukkan anak pada lingkaran kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun psikis,” terangnya. Dia berpendapat, kondisi ekonomi masyarakat yang berada di garis kemiskinan, juga menyebabkan kontrol orangtua kepada anak-anak menjadi lebih sedikit. “Orangtua lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja di bidang-bidang informal yang penghasilannya sedikit,” katanya. Selain itu, kata dia, penyebab lainnya adalah konsumsi video porno. “Ini akan meningkat pada situasi untuk mempraktikkan. Mereka yang malu akan mengajak pacarnya. Yang tidak punya pacar akan beralih ke prostitusi,” jelasnya. Dia menilai situasi pandemi juga turut mempengaruhi anak-anak lebih banyak mengonsumsi internet dengan alasan belajar daring. “Kondisi ini membuat anak-anak menjadi jenuh. Mereka ingin hiburan namun tidak bisa bebas keluar, sehingga konten porno di internet menjadi salah satu pelarian,” ungkapnya. Maka dari itu, dia mengingatkan para orangtua agar lebih sering mengawasi anak-anak saat mengonsumsi internet, sekalipun saat belajar daring. “Orangtua juga harus berani memanggil anak-anak mereka yang telah berpacaran, dan memberi pemahaman tentang pendidikan seksualitas yang benar,” pungkasnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Angka Pernikahan Anak di Jateng Naik Jadi 8.338 Kasus”, Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2020/11/21/17464361/angka-pernikahan-anak-di-jateng-naik-jadi-8338-kasus?page=all.
Penulis : Kontributor Semarang, Riska Farasonalia
Editor : Dony Aprian

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: 
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

“GERAKAN BERSAMA JO KAWIN BOCAH” Upaya Pencegahan Perkawinan Usia Anak

Oleh Achmat Hilmi

Rabu, 18 November 2020

DP3AKB Provinsi Jawa Tengah, Yayasan Setara, dan UNICEF Indonesia

 

Rumah KitaB diundang sebagai salah satu narasumber dalam kegiatan “Gerakan Bersama Jo Kawin Bocah: Upaya Pencegahan Perkawinan Usia Anak”, yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (melalui DP3AKB) dan Yayasan Setara atas dukungan Unicef Indonesia. Kegiatan ini diselenggarakan secara dari melalui Zoom Meeting dan Aplikasi Youtube, pada hari Rabu 18 November 2020, dimulai pukul 12.30 WIB, dan berakhir pukul 16.00 WIB. Peserta aktif yang terlibat dalam kegiatan ini merupakan 25 orang jurnalis; merupakan anggota Jurnalis Sahabat Anak (JSA), dan jurnalis media massa lain, baik cetak, elektronik, online.

Narasumber yang berpartisipasi dalam kegiatan ini di antaranya Ibu Lies Marcoes, MA. (Rumah Kita Bersama), Derry Ulum (Unicef Indonesia), Dra. Rahesli Humsona, M.Si. (Dosen Sosiologi Universitas Negeri Sebelas Maret), Abdul Basitd (Pendamping Komunitas di Rembang), Abdurrahman, S.Ag. (Kepala Pengadilan Agama Purworedjo), dan Dwi Yunanto. kegiatan ini dimoderatori oleh ibu Retno Manuhoro.

Kegiatan tersebut dibuka oleh Ibu Dra. Retno Sudewi, APT., M.Si., M.M.,, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Tengah. Dalam sambutannya Ibu Retno menyampaikan arahan Gubernur Provinsi Jawa Tengah terkait pentingnya peningkatan pemberdayaan perempuan melalui kewirausahaan, peningkatan peran orang tua dalam pengasuhan anak, penurunan angka kekerasan perempuan dan anak, penurunan pekerja anak, dan penurunan angka perkawinan anak. Ibu Retno juga menyampaikan data dan fakta terkait masih tingginya angka perkawinan usia anak di beberapa Kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Menurut Ibu Retno, di antara faktor yang melatarbelakangi praktik perkawinan anak di Jawa Tengah yaitu kemiskinan, budaya masyarakat, pendidikan, dan hamil di luar nikah (KTD). Berkenaan dengan itu Pemerintah Provinsi Jawa Tengah berkomitmen penuh mensukseskan program “Gerakan Bersama Jo Kawin Bocah, sebagai upaya pencegahan perkawinan usia anak”.

Selanjutnya, Ibu Retno Manuhoro, memimpin sesi diskusi, dan mempersilahkan para narasumber mempresentasikan materinya masing-masing sebanyak 10 Menit. Narasumber pertama, Ibu Lies Marcoes, MA. (Rumah KitaB), menjelaskan beberapa hal; Pertama, terkait data dan fakta perkawinan anak di Indonesia dan Jawa Tengah. Kedua, Ibu Lies juga menjelaskan terkait pengalaman Rumah kitaB terkait penelitian tentang “Efektivitas Peraturan Desa Pencegahan Perkawinan Anak di Kabupaten Rembang tahun 2019, dan penelitian Rumah KitaB terkait faktor pendorong terjadinya perkawinan anak di tahun 2016. Ketiga, peluang dan tantangan pencegahan perkawinan anak di Provinsi Jawa Tengah. Menurut ibu Lies., di antara faktor pendorong terjadinya perkawinan anak yaitu perubahan ruang hidup, alih fungsi lahan menyebabkan terjadinya perkawinan anak. Kedua, perubahan tersebut mendorong perubahan relasi gender di komunitas, seiring dengan perubahan lahan, laki-laki tidak dipersiapkan mengambil alih tugas domestik, pada akhirnya anak perempuan harus menggantikan peran domestik yang ditinggal ibunya setelah pergi bekerja di luar kota. Faktor ketiga, peran kelembagaan formal dan non formal. Dan faktor keempat, peran pandangan keagamaan. Jadi menurut ibu lies, perkawinan anak merupakan problem struktural.

Narasumber kedua, Mas Derry Ulum, Unicef Indonesia, menjelaskan beberapa hal. Pertama, fakta populasi anak di Indonesia sebanyak 79,55 Juta jiwa, jumlah tersebut jauh lebih besar dari populasi penduduk di berbagai negara di dunia seperti Inggris dan Singapura, namun tingkat kemiskinan anak masih tinggi. Kedua, fakta perkawinan anak di Indonesia, satu dari sembilan perempuan menikah di usia anak, sementara laki-laki satu berbanding seratus. Ketiga, pentingnya upaya massif di tingkat akar rumput untuk menurunkan angka perkawinan anak. Keempat, perlunya strategi yang tepat dalam upaya pencegahan perkawinan anak.

Narasumber ketiga, Ibu Rahesli Humsona, M.Si, memaparkan hasil penelitian yang dilakukan oleh para mahasiswanya, dari riset itu dirinya bersama mahasiswa melakukan pengabdian kepada masyarakat di wilayah Kota Surakarta dengan melibatkan Forum Anak dalam kegiatan-kegiatan kampanye pencegahan perkawinan anak. Hasil temuan-temuan lapangan dari mahasiswa-mahasiswa UNS memperlihatkan beberapa hal; Pertama, terdapat peningkatan pemohon dispensasi usia kawin di kota Solo akibat “hamil di luar nikah”. Sementara pihak sekolah tidak pernah memperkenankan anak hamil untuk melanjutkan sekolah. Kedua, peningkatan kekerasan terhadap perempuan dan anak, Ketiga, pemaksaan perkawinan anak. Di antara faktor yang mendorong terjadinya kekerasan terhadap anak yaitu minimnya pengasuhan orang tua terhadap anak (terjadi di masyarakat kelas bawah), dan kesenjangan usia laki-laki dan perempuan yang timpang berpotensi terjadinya kekerasan. Ibu Rahesli juga menjelaskan faktor pendorong terjadinya kehamilan di luar nikah, salah satu penyebabnya adalah aktivitas sebagian remaja mengakses konten-konten pornografi, remaja yang sering mengakses konten tersebut semakin berani mengajak pacarnya melakukan hubungan seksual. Sebagian pacar perempuan menganggap bahwa perempuan adalah pelayan bagi pacarnya. Sementara di kalangan masyarakat kelas atas, kontrol orang tua terhadap anak sangat kuat, setelah pulang dari sekolah, anak-anak mereka mengikuti kegiatan-kegiatan ekstra-kurikuler seperti kursus-kursus. Sementara di kalangan bawah, orang tua yang gaptek teknologi, tidak memiliki kemampuan mengontrol anak.

Narasumber keempat, Bapak Abdul Basith, pendamping komunitas menjelaskan, beberapa wilayah dampingan Plan Indonesia telah berhasil mendorong lahirnya PERDES untuk pencegahan perkawinan anak di Kabupaten Rembang. Namun upaya tersebut tidak cukup menghentikan maraknya perkawinan usia anak, sehingga kegiatan pendampingan masyarakat sangat penting dalam mendorong penghentian perkawinan usia anak. Basitd juga menjelaskan pengalamannya telah berhasil membangun kerjasama (MoU) dengan Pengadilan Agama Kabupaten Rembang sebagai upaya pencegahan perkawinan anak. Selain itu Basitd menceritakan beberapa praktik baik di lapangan dalam pencegahan kasus perkawinan anak.

Narasumber kelima, Abdurrahman, S.Ag, Kepala Pengadilan Agama membeberkan fakta peningkatan permohonan dispensasi perkawinan anak di Pengadilan Agama dari tahun 2018 hingga 2020. Pada tahun 2018, permohonan dispensasi sebanyak 79, lalu mengalami peningkatan di tahun 2019 sebanyak 137 permohonan, dan peningkatan drastis (di atas 100%) di tahun 2020 sebanyak 282 perkara, paska di berlakukannya UU perkawinan No. 16 Tahun 2019 dan PERMA No. 5 tahun 2020 di penghujung tahun 2019. Menurut Abdurrahman, penyebab utama peningkatan permohonan dispensasi usia kawin ialah pemberlakuan UU perkawinan yang baru direvisi dan diberlakukan di penghujung tahun 2019. Karena itu, menurut Abdurrahman, Pengadilan Agama tidak bisa bekerja sendiri dan menjadi pihak yang disalahkan, Pengadilan Agama sangat berkepentingan membangun relasi yang erat dengan berbagai komunitas di masyarakat, NGO, dan Pemerintah sebagai upaya pencegahan perkawinan anak.

Moderator membuka sesi diskusi hingga berakhirnya kegiatan di pukul 16.00 WIB. []

Kisah penjual sayur keliling di Pulau Kulambing, korban kekerasan rumah tangga yang kampanyekan risiko pernikahan anak

Seorang penjual sayur, korban kekerasan rumah tangga, mengkampanyekan risiko pernikahan anak sambil mendorong gerobak jualan, langkah yang membantu menurunkan angka perkawinan dini.

Pernikahan anak berlangsung secara turun temurun di dua pulau kecil Desa Mattiro Uleng, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan.

Namun beberapa tahun terakhir, tradisi itu perlahan ditinggalkan berkat kampanye risiko pernikahan di bawah umur yang digelorakan Indotang, pedagang sayur yang menjadi aktivis pencegah pernikahan anak.

“Dulu saya korban KDRT (kekerasan dalam rumah tangga),” ujar Indotang, yang selama dua belas tahun terakhir membesarkan anak perempuan satu-satunya sendirian, setelah menceraikan sang suami delapan bulan usai ia melahirkan.

Indotang, yang menikah di usia 18 tahun, bukan korban pernikahan anak. Namun, pengalamannya ketika berada dalam ikatan perkawinan yang tidak sehat, berbagai kisah pilu kasus pernikahan di bawah umur yang didengarnya, hingga mimpi untuk melihat anak perempuan semata wayangnya hidup lebih baik, cukup untuk membuatnya berempati dan tergerak untuk menghentikan siklus tersebut.

“Saya bertekad, kalau ada begitu (pernikahan usia anak), saya akan menghapuskannya supaya ke depannya tidak ada lagi,” ujarnya lantang.

Peta Pulau Kulambing dan Pulau Bangko-Bangkoang

Berdagang sayur sambil kampanye

E cakalang e, panasa lolo, boddo-boddo, lawi-lawi, tempe, tahu…” pekik Indotang sambil mendorong gerobak birunya yang dipenuhi beragam jenis sayur dan lauk pauk, satu sore pertengahan Juli lalu saat BBC News Indonesia mengunjungi kampung halamannya di Pulau Kulambing, Desa Mattiro Uleng, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.

“Kalau ndak pagi, jam-jam tiga begini banyak ibu-ibu yang kumpul di luar rumah,” ujar Indotang, dengan dialek Bugis, menjelaskan alasannya berjualan sayur di sore hari, “biasanya untuk siapkan makan malam.”

Indotang aktivis anti-pernikahan usia anak

Sejumlah warga yang membeli sayur di gerobak Indotang bukan cuma mendapat bahan masakan, tetapi cuma pengetahuan tentang risiko pernikahan usia anak

 

Benar saja, belum jauh kami berjalan dari rumah Indotang yang berada di pinggir pantai, beberapa perempuan tampak berkumpul sambil bercengkerama santai di halaman depan. Mereka mulai menghampiri Indotang saat ia menghentikan gerobaknya di depan rumah mereka.

Sembari menawarkan barang dagangannya, Indotang langsung mengeksekusi misi keduanya: mengampanyekan risiko pernikahan usia anak kepada para pembeli.

“…Jangan dulu menikahkan anak (di bawah umur), karena itu akan berdampak pada kita sebagai orang tua,” tuturnya akrab sambil membungkuskan sekantong kecil ikan teri untuk salah satu pelanggannya.

Selepas itu, Indotang mendorong lagi gerobak sayur ke gang berikutnya, “e cakalang e, pao lolo, utti, bonte…” teriaknya lagi menjajakan ikan dan sayur mayur.

Sekelompok warga kembali mengerubuti gerobak Indotang. Kampanye pun berlanjut.

“…(Pernikahan anak) berisiko pada alat reproduksi anak perempuan kita, beda kalau dengan anak laki-laki, itu tidak apa-apa,” beber Indotang sambil memilihkan ikan cakalang yang paling segar untuk salah seorang pembelinya.

“Jangan seperti dulu, masih memakai adat bahwa kalau anak kita tidak dinikahkan, tidak ada lagi yang akan melamar. Sekarang sudah zaman now, bukan zaman dulu,” imbuhnya disambut tawa sejumlah pembeli.

Indotang aktivis anti-pernikahan usia anak

Indotang menerima penghargaan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, sebagai pelopor pencegahan perkawinan anak Desember 2018 lalu

 

‘Wejangan’ itu ia sampaikan setiap hari, setiap kali bertemu warga yang berbelanja sayur di gerobaknya. Sebagian bahkan tampak tak lagi mendengarkan seksama pesan yang tak henti-hentinya diulang Indotang sejak lima tahun lalu.

Meski demikian, hal itu ia anggap efektif untuk mengingatkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya pernikahan di bawah umur yang sudah menjadi tradisi di Mattiro Uleng.

“Kan memang dulu adat istiadat itu kan masih berlaku,” ujarnya, “dia menganggap sepele (pernikahan usia anak), karena tidak tahu risikonya apakah ini berdampak kepada anak atau kita.”

Indotang ingin para orang tua lebih memedulikan nasib anak-anak mereka yang dinikahkan di kala fisik dan mental mereka belum ‘matang’.

Tak jarang, pernikahan itu tak hanya dilangsungkan karena budaya yang mereka yakini – yang menganggap pamali jika menolak rezeki berupa lamaran orang lain – tetapi juga akibat faktor ekonomi.

“Banyak juga yang beranggapan begini: kalau saya mengawinkan anak perempuan saya, itu kan keluar dari beban saya, sudah kurang lagi beban (ekonomi) saya.

“(Tetapi) yang menanggung risiko kan anak, misalnya terjadi KDRT, dia berpisah, bercerai. Kan minimal anak perempuan yang jadi korban, terus orang tua juga tidak mungkin kan tidak ada penyesalan,” imbuhnya mencontohkan.

Perlahan meninggalkan praktik perkawinan anak

Indotang mulai aktif berkampanye lima tahun lalu. Ia bergabung dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam isu kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan bernama Sekolah Perempuan Pulau.

Masa-masa awal dirinya mengampanyekan risiko pekawinan anak tidak mudah, sebab sebagian warga menolak pesan yang dibawanya.

“Dulu-dulu banyak juga yang kayak ‘apa itu (risiko pernikahan usia anak)? Dia kan anakku (bukan anakmu)’, itu jadi tantangan buat saya,” imbuh Indotang.

Dua tahun pertama, akunya, ia dan LSM tempatnya bernaung sempat dituduh macam-macam oleh warga dan tokoh masyarakat.

“Kita dulu dikata-katai aliran sesat,” ujar Indotang.

Namun, perlahan sikap masyarakat berubah setelah ia duduk bersama dan menjelaskan tujuannya.

Indotang aktivis anti-pernikahan usia anak

Sapiana (kanan) rutin mendengar ‘wejangan’ Indotang tentang bahaya pernikahan usia anak setiap ia membeli sayur dari gerobaknya

Sejak tiga tahun terakhir, sebagian besar masyarakat tidak keberatan dengan aksi Indotang yang berjualan sayur sambil berkampanye. Beberapa justru mengaku apa yang disampaikan Indotang bermanfaat.

Seperti Sapiana, warga Pulau Kulambing yang punya anak perempuan yang masih duduk di kelas satu SMA. Ia mengaku bahwa anaknya pernah dilamar sepupunya sendiri saat masih duduk di bangku SMP.

Saat lamaran tiba, Sapiana otomatis teringat risiko pernikahan usia anak yang kerap didengarnya dari mulut Indotang saat ia berjualan.

“Selalu kuingat itu pesan-pesannya (Indotang),” tuturnya, “ada cerita (pernikahan anak) di bawah umur (yang jadi) sakit-sakitan, sempat bilang (soal) dampaknya di belakang.”

Ia lantas memutuskan untuk menolak lamaran tersebut.

“Saya kasih tahu saja (pelamarnya), ‘tunggu, dia kan baru tamat SMP. Tunggu tamat SMA dulu, kalau ada jodohnya bisa ketemu lagi’,” ungkap Sapiana.

Ucapan Indotang juga terngiang di benak Nada, warga lainnya.

Berbeda dengan Sapiana, Nada sudah terlanjur menikahkan anak perempuannya yang berusia 17 tahun.

“Bapaknya ndak ada, jadi saya nikahkan lebih cepat, karena ada yang lamar,” imbuhnya.

Meski demikian, Nada mengaku tidak akan melakukan hal yang sama terhadap anak perempuannya yang lebih kecil setelah mendengar berbagai kisah dari Indotang.

Ia berharap mampu menyekolahkan anaknya hingga lulus SMA.

“Maunya saya sih menyekolahkan,” tutur Nada, “karena berbahaya juga untuk janinnya kalau (menikah) masih muda.”

Gotong royong cegah pernikahan di bawah umur

Upaya Indotang bertahun-tahun tidak sia-sia.

Satu per satu tokoh masyarakat setempat yang sebelumnya memandang sebelah mata kampanyenya, justru kini berbalik menyokongnya.

Salah satu tokoh masyarakat yang mendukung Indotang sejak awal adalah Tepo. Ia yang menjembatani Indotang dengan para tetua dulu.

Tepo mengaku bahwa ia sudah sejak dulu menentang pernikahan usia anak.

Meski mengakui adanya aspek tradisi dalam praktik tersebut – bahkan ia menyebut adanya budaya perjodohan oleh orang tua dari sejak anak mereka masih berada dalam kandungan – Tepo menilai faktor ekonomi lah yang mendorong suburnya pernikahan usia anak di desa Mattiro Uleng.

“(Kondisi) ekonomi (yang) tidak mampu sehingga terjadi seperti itu (pernikahan usia anak). Menurut pandangan saya, mulai dari dulu sampai sekarang ya ekonomi (penyebabnya),” tutur Tepo yang kini sudah berada di usia senja.

Ia juga memahami bahwa pernikahan anak berarti “merampas hak anak-anak”.

“(Sayangnya) orang boleh dikatakan mau menempuh pendidikan, tapi apa boleh buat, (ada) hak orang tua (untuk menikahkan), jarang anak menolak,” imbuhnya.

Alasan kondisi ekonomi sebagai biang keladi juga diamini oleh tokoh masyarakat lainnya, Alimaphan.

Imam Desa Mattiro Uleng itu menganggap bahwa aspek lemahnya ekonomi masyarakat berperan besar terhadap langgengnya praktik pernikahan anak di pulaunya.

“Kalau lagi bapaknya (pengantin anak perempuan) ndak ada kerjaan, susah cari uang, (lalu) tiba-tiba ada yang melamar gitu, lihat orangnya sudah bagus, sudah ada pekerjaan, ya tinggal terima (lamarannya),” paparnya.

Sekarang, Alimaphan juga ikut mengampanyekan pencegahan pernikahan anak di sana. Baik ia maupun Tepo, sebagai tokoh masyarakat yang biasanya didatangi para orang tua yang ingin menikahkan anak mereka, selalu mengingatkan agar usia para pengantin harus sudah dewasa.

“Kalau memang ada yang, istilahnya orang sini, mak duta (melamar), tolong lihat umurnya dulu lah, apa sudah cukup umurnya?” ujar Ali.

Sementara itu, pemerintah desa Mattiro Uleng juga menangkap kekhawatiran Indotang yang berusaha menghentikan siklus perkawinan anak yang turun temurun di sana.

“Sudah ada surat edaran untuk melarang anak usia di bawah umur untuk menikah,” ungkap Lukman Jurumiah, kepala desa Mattiro Uleng.

Kepala Desa Mattiro Uleng bersama BPD mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk tidak melakukan: PERNIKAHAN ANAK USIA MUDA YAITU DI BAWAH UMUR 18 TAHUN, bunyi penggalan surat edaran tersebut.

“Pada intinya, imbauan untuk menyadarkan masyarakat bahwa usia anak itu mestinya duduk di sekolah, bukan untuk mengurus rumah tangga,” jelas Lukman.

Selain itu, pemerintah desa Mattiro Uleng juga telah bekerja sama dengan sejumlah instansi lain untuk mencegah praktik tersebut.

“Saya sudah sepakat dengan mungkin dari KUA kecamatan bahwa kami tidak akan memberikan surat izin untuk menikah,” tuturnya.

Tren pernikahan usia anak di Sulawesi Selatan

Dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang didukung oleh UNICEF tahun 2016 lalu, Sulawesi Selatan – provinsi di mana Desa Mattiro Uleng, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, berada – menduduki peringkat 20 provinsi dengan tingkat prevalensi pernikahan usia anak tertinggi di Indonesia.

Secara kasat mata, ranking itu jauh lebih baik ketimbang provinsi-provinsi tetangga, seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara yang bertengger di posisi lima teratas.

Grafik prevalensi pernikahan usia anak di Sulawesi selatan

Meski demikian, tren prevalensi perkawinan anak di Sulawesi Selatan tak bisa disebut membaik.

Pasalnya, dari data tersebut, angka prevalensi dari tahun ke tahun masih tidak stabil dan justru meningkat cukup tajam pada tahun 2015.

Di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, data pernikahan anak yang direkam pemerintah berasal dari jumlah laporan dispensasi kawin (pengajuan izin untuk menikahkan anak di bawah umur) di Pengadilan Agama Pangkajene.

Angka laporan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Pangkajene

Serupa dengan data BPS-UNICEF, selama lima tahun terakhir, jumlah laporan dispensasi kawin yang diterima pengadilan pun tidak stabil.

Menurut Amir Indara, panitera Pengadilan Agama Pangkajene, alasan pengajuan dispensasi oleh orang tua beragam.

“Pada prinsipnya, orang tua mau menikahkan anaknya karena sudah ada yang melamar. Alasannya, dari pada di luar tidak terkontrol, lebih baik dinikahkan,” ungkap Amir.

Ia menjelaskan, bahwa sebelum menjalani sidang dispensasi kawin, sebenarnya para orang tua, termasuk anak-anak calon pengantin, diberi pemahaman tentang risiko yang mereka hadapi dengan menikah dini, termasuk risiko bercerai karena belum matangnya kondisi mental pengantin.

Usia minimal perempuan menikah 16 tahun dan laki 19 tahun

“Ada (pengantin anak yang) mengajukan perceraian, karena itu, kelabilan berpikir itu, sehingga ada beberapa yang ujung-ujungnya cerai,” bebernya.

Orang tua dan pengantin anak juga disarankan untuk menunda pernikahan hingga memenuhi usia minimal untuk dapat menikah.

Sayangnya, menurut Amir, “cuma satu-dua orang yang seperti itu. Kebanyakan memang, istilahnya, suka sama suka yang paling dominan.”

Pernikahan usia anak

Terkait usia minimal seseorang untuk menikah sendiri, DPR masih memiliki pekerjaan rumah untuk menentukan batas usia minimal perempuan dalam perkawinan hingga akhir tahun 2021.

Hal itu diamanatkan keputusan Mahkamah Konstitusi pada Desember lalu, yang mengabulkan sebagian gugatan uji materi UU 1/1974 tentang Perkawinan.

MK salah satunya memutuskan bahwa perbedaan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan bisa menimbulkan diskriminasi.

Saat ini, usia minimal perempuan untuk dapat menikah adalah 16 tahun, sementara untuk laki-laki 19 tahun. MK menilai hal itu bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Perlindungan Anak yang mengkategorikan anak sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun.

Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49094275?fbclid=IwAR2b0j_y9PqQ3Dh5pWRWpwjrr7IxuBHs8v3DPQDSASJz7vYYsNMfZO0Ua_o