Reportase Sosialisasi Buku Fikih Perwalian dan Sosialisasi Revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, Untuk Pencegahan Perkawinan Anak – Jakarta Utara
Rumah Kita Bersama atas dukungan The Oslo Coalition – University of Oslo Norwegia, pada hari Jumat 8 Oktober 2021 menyelenggarakan kegiatan “Sosialisasi Buku Fikih Perwalian dan Sosialisasi Revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, untuk Pencegahan Perkawinan Anak.”
Kegiatan tersebut berlokasi di Pondok Pesantren Al-Miftahiyyah, Kelurahan Kalibaru, Kec. Cilincing Jakarta Utara. Wilayah ini merupakan salah satu wilayah terpadat, terkumuh dan termiskin di Provinsi DKI Jakarta.
Kegiatan ini melibatkan 20 orang peserta, terdiri dari para ustaz muda dan ustazah yang aktif dalam kegiatan pesantren, perwakilan 14 RW di Kelurahan Kalibaru, Kec. Cilincing, Jakarta Utara. Jumlah peserta yang hadir pada kegiatan tersebut berjumlah 22 orang, terdiri dari 5 Laki-laki dan 18 perempuan.
Narasumber yang hadir dan berpartisipasi dalam kegiatan ini di antaranya Dr. KH. Abdul Moqsith Ghozali (Majelis Ulama Indonesia Pusat), Dr. Drs. H. Muhammad Fauzi Ardhi SH. MH. (Wakil Ketua Pengadilan Agama Kota Adm. Jakarta Utara), dan Achmat Hilmi, Lc., MA., Peneliti Senior Rumah KitaB. Sementara moderator kegiatan yaitu Gus Jamaluddin Mohammad.
Kegiatan ini diselenggarakan di Aula Pondok Pesantren Al-Miftahiyyah lantai 3, pukul 14.30 WIB, dan berakhir pukul 17.15 WIB.
Kegiatan ini diselenggarakan dengan standar penyelenggaraan protokol kesehatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Adm. Jakarta Utara di masa pandemi covid, saat Provinsi Jakarta berstatus PPKM level 3 (Oktober 2021).
Kegiatan ini diselenggarakan di wilayah yang memiliki suhu di atas 30 derajat, dengan keterbatasan pendingin ruangan, dan ruang yang tersedia memang sangat terbatas. Namun kondisi itu tidak menyurut semangat peserta dalam menghadiri kegiatan. Untuk mengantisipasi dehidrasi, panitia menyediakan lebih banyak air minum dari biasanya, termasuk fasilitas minuman dingin dari panitia bagian konsumsi.
Isu yang diangkat
Setidaknya dua hal penting yang disosialisasikan yaitu Sosialisasi Fikih Perwalian, dan Sosialisasi Revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 sekaligus Peraturan Mahkamah Agung RI No. 5 Tahun 2019.
Terselenggarana kegiatan ini berhasil merealisasikan beberapa tujuan penting dalam upaya pencegahan perkawinan anak; Pertama, tersosialisasikannya Konsep Qiwamah dan Walayah yang berpihak pada perempuan dan anak. Sebelumnya konsep kedua isu besar ini (Qiwamah dan Walayah) ini dipraktikkan dalam masyarakat yang berada dalam sistem patriarkhi, untuk melegalkan ketimpangan relasi gender antara suami dan isteri, dan antara anak perempuan dengan ayahnya. Suami sebagai pemimpin di dalam rumah tangga sementara perempuan sebagai makmumnya, yang nasib hidup dan masa depannya berada di bawah suaminya, semua keputusan berada di tangan suami, sehingga banyak terjadi kekerasan di dalam rumah tangga yang diakibatkan oleh cara pandangan yang tidak adil gender.
Kedua, tersosialisasikannya revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019, yang menaikkan batas usia minimum pernikahan, dan revisi Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2019 tentang ”Pedoman Mengadili Perkara Dispensasi Usia Kawin”.
Ketiga, terpetakannya problem, tantangan dan hambatan dalam pencegahan perkawinan anak, terutama paska berlakunya revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019,dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2019. Hakim Fauzi yang hadir sebagai Wakil Ketua Pengadilan Agama Kota Adm. Jakarta Utara, menuturkan bahwa kelemahan dari revisi UU Perkawinan Nomor 16 tahun 2019 ini hanya merevisi batas minimum usia kawin, tidak menyertakan tambahan penting lainnya yang harus disertakan dalam upaya mendukung pencegahan perkawinan usia anak seperti pemberian sanksi, karena memang itu ranah perdata.
Soal lain Fauzi menyinggung revisi UU Perkawinan tersebut langsung berdampak pada kenaikkan angka permohonan dispensasi kawin ke pihak Pengadilan Agama Kota Adm. Jakarta Utara. Fenomena perempuan menikah di usia 18 tahun banyak terjadi di Jakarta Utara, namun karena terdapat revisi UU Perkawinan tersebut, sehingga mereka mengajukan permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama. Tantangan lainnya, para pemohon dispensasi kawin karena anaknya sudah hamil.
Meski begitu, Fauzi mengklaim bahwa Pengadilan Agama telah menolak permohonan dispensasi usia kawin sekitar 20 persen dari jumlah permohonan selama 2021. Namun pengabulan permohonan dispensasi usia kawin masih tinggi, yakni kurang lebih 80 persen.
Hal tersebut merekognisi pengalaman masyarakat yang dibagikan dalam kegiatan tersebut terkait tantangan pencegahan perkawinan usia anak, yaitu “hamil duluan”. Di samping itu rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat yang menyebabkan banyak anak putus sekolah, lebih memilih menjadi pengamen jalanan karena menghasilkan uang untuk kebutuhan primer seperti makan, “jajan”, nongkrong bersama teman-temannya di luar rumah, dan beli kuota intenet. Problem lain, yaitu buruknya relasi orangtua dengan anaknya dilihat dari terdapatnya kasus kehamilan yang disebabkan oleh ayah kandungnya sendiri.
Pertanyaan yang muncul pada akhirnya terkait hukum/status wali bagi orangtua yang telah menghamili anaknya. Pertanyaan ini secara spesifik dijawab oleh para narasumber, termasuk Dr. KH. Abdul Moqsith Ghozali, dia mengatakan bahwa status wali bagi orangtua tersebut secara otomatis gugur, bahkan status ayahnya pun gugur, karena tidak lagi dianggap sebagai ayah atau orangtua si anak tersebut yang menjadi korban kekerasan seksual di rumahnya sendiri.
Sementara itu Achmat Hilmi, narasumber dari Rumah KitaB, menekankan dua hal, pertama, perkawinan anak yang dipaksakan meskipun dalam kasus anak hamil duluan, bukanlah solusi, justru menambah derita anak, menghindari “afsadul mafasid” (kemafsadatan terbesar) lebih diutamakan ketimbang membela sesuatu yang maslahatnya masih bersifat dugaan. Terlebih, menurut Syariat Islam, kemaslahatan harus berpihak pada kepentingan anak.
Kedua, sejalan dengan keberpihakan pada kepentingan anak, syariat Islam memiliki tujuan luhur berupa kemaslahatan manusia. Bahkan kemaslahatan dan kebijaksanaan merupakan prinsip utama dalam ajaran Islam.
فإن الشريعة مبناها وأساسها على الحكم ومصالح العباد في المعاش والمعاد وهي عدل كلها ورحمة كلها ومصالح كلها وحكمة كلها فكل مسألةخرجت عن العدل إلى الجور وعن الرحمة إلى ضدها وعن المصلحة إلى المفسدة وعن الحكمة إلى العبث فليست من الشريعة وإن أدخلت فيها بالتأويل
Berdasarkan hal itu, syariat Islam tidak berpihak pada kemadharatan. Segala bentuk pandangan keagamaan yang berdampak pada kemadharatan maka bertentangan dengan tujuan luhur Syariat Islam. AH[]