Anak Kampung Pulang Kampung Mengurus Warga Kampung
Saya berasal dari Boyolali. Sejak lulus SMA tahun 2013 saya merantau ke Jakarta karena diterima di perguruan tinggi terkemuka di Jakarta. Tahun 2017 saya berhasil menyelesaikan kuliah dan bekerja di sebuah Lembaga Pendidikan Semi Internasional di Bogor. Tapi saya merasa kerja-kerja pendampingan masyarakat sangat menarik minat saya. Karenanya ketika Rumah KitaB mengajak bergabung untuk penelitian tentang perkawinan anak dan mendalami sosial media untuk publikasi saya mengambil kesempatan itu.
Namun, Maret 2020 lalu, saya “terpaksa” pulang ke kampung halaman. Sempat bimbang haruskah saya pulang atau tetap di Jakarta. Saat awal pandemi, tempat saya bekerja dan belajar, Rumah KitaB, sigap mengambil kebijakan pencegahan dengan mewajibkan kami untuk bekerja dari rumah guna mengurangi risiko penularan. Semula saya berpikir untuk tetap di Jakarta. Namun saya segara putuskan pulang ketika situasi Covid-19 semakin tidak menentu dan tidak dapat dituggu kapan bisa kembali bekerja di kantor. Akhirnya saya putuskan pulang sambil berfikir apa yang bisa saya lakukan ketika di kampung halaman selain tetap terus bekerja jarak jauh. Lalu saya teringat bahwa di kampung halaman saya masih banyak praktik perkawinan anak. Situasi itu menghubungkan saya dengan isu yang sampai saat ini digeluti oleh Rumah KitaB. Ini adalah kesempatan bagus bagi saya untuk kembali ke kampung karena sejak kuliah hingga bekerja saya menghabiskan banyak waktu di tanah perantauan.
Saat sampai di kampung, saya mulai menyusun hal-hal yang bisa saya lakukan untuk mengurangi angka kawin anak di daerah saya. Kasus-kasus yang sudah terjadi biasanya karena alasan ekonomi keluarga, sehingga anak putus sekolah dan keluarga mengawinkan anaknya supaya sang anak bukan lagi menjadi tanggungan orangtuanya.
Praktik ini tidak hanya melanggar peraturan, tetapi juga melanggar hak anak dan memunculkan kemiskinan yang lain. Perkawinan tersebut semakin mudah terjadi karena anak-anak tidak memiliki akte kelahiran, sebuah dokumen penting sebagai penduduk untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Pihak keluarga dengan aparat desa biasanya “main mata” dalam menaikkan umur anak sehingga anak seolah-olah sudah memiliki usia sesuai undang-undang perkawinan.
Bagaimana bisa dokumen sepenting ini tidak diurus oleh orang tua ketika anak lahir? Dari yang aku dengar hal ini terjadi karena biaya pembuatan akta lahir anak biasanya dipatok sapai ratusan ribu hingga jutaan oleh para calo. Tinggi rendahnya biaya tergantung kepada kesulitan dalam pemrosesan. Dan mirisnya, para orang tua tidak tahu bahwa akta lahir dapat diurus dengan gratis.
Di kampung, saya bertemu dengan anak perempuan yang baru saja lulus dari SMP. Anak tersebut tergolong pintar, namun berasal dari keluarga yang sangat tidak mampu. Seorang piatu yang tinggal bersama ayah dan adiknya. Santer terdengar dari tetangga mengatakan bahwa ia tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, kasian ayahnya harus banting tulang menyekolahkan dan menghidupi dua anak. Ada diantara mereka yang “mencarikan” jodoh untuk anak perempuan tersebut. Saya geram, karena perkawinan bukanlah solusi dari masalah yang dihadapi anak tersebut. Yang ia butuhkan saat ini adalah akses kepada pendidikan. Saya ajak ke rumah dan berbicara dengannya. Rupanya ia bercita-cita menjadi seorang pengacara. Saat itu ia ingin belajar di salah satu SMA terbaik di daerah sini, namun terhalang biaya dan juga tidak memiliki akte kelahiran untuk kelengkapan administrasi. Saya lantas menemui ayahnya di gubug kecil tempatnya berjualan. Saya meminta izin ayahnya untuk saya buatkan akte kelahiran dan saya daftarkan ke SMA yang ia mau melalui skema afirmasi keluarga tidak mampu. Ayahnya menyetujui asalkan biaya sekolah yang dikeluarkan tidak membebaninya. Akhirnya, langkah kecil itu membuahkan hasil, anak tersebut memiliki akte kelahiran, diterima di sekolah impian, dan terselamatkan dari perkawinan anak.
Saya menyadari bahwa harapan saya untuk setidaknya mengurangi perkawinan anak di wilayah tempat saya tinggal adalah sebuah perjalanan panjang dan mungkin melelahkan. Namun dengan membantu mengedukasi orang tua untuk membuat akta lahir, saya punya harapan di masa yang akan datang setidaknya masih ada lapisan penting yang harus ditembus jika orang tua mau memalsukan kelahiran anak. Upaya ini ternyata diterima dengan senang hati oleh masyarakat, mereka antusias untuk membuatkan akta lahir, baik anak-anak yang baru lahir hingga anak yang sudah SMA. Melihat mereka bahagia dengan mata berbinar menjadi kebahagiaan tersendiri bagi saya. Setiap mereka yang datang selalu heran kenapa bisa gratis, kenapa di tempat lain berbiaya mahal. Lantas tugas saya untuk mengedukasi dimulai. Saya selalu mengatakan kepada mereka begini “Pak/Bu, dulu saya kuliah, dikuliahkan oleh rakyat, dibiayai oleh rakyat, jadi sudah kewajiban saya untuk membantu rakyat”.
Di masa pandemi yang sulit ini, saya menyadari bahwa kita dapat membantu orang lain dengan kemampuan apapun yang kita punya. Bantuan tidak serta merta harus berupa uang atau makanan. Hal kecil bagi kita ternyata sesuatu yang besar bagi orang lain. Tebarlah kebaikan dimanapun kamu berada []. FZ
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!