Maqasid Menjaga Kehidupan
Ketika membahas maqasid syariah, biasanya kita lebih fokus pada pendekatan dalil naqli. Tentu pemahaman ini tidak sepenuhnya keliru, sebab agama memang dibangun dalam peradaban teks (hadharah al-nash). Tetapi, membatasi kajian maqasid hanya sebatas pendekatan teks semata juga kurang tepat. Inilah sumbangan pemikiran yang disampaikan Allal al-Fasi.
Beliau adalah seorang ulama sekaligus akademisi dari Maroko sekaligus penerus pemikiran maqasid ala Ibn Asyur. Karya monumentalnya, Maqasid al-Syariah al-Islamiyyah wa Makarimuha, menjadi ulasan selanjutnya yang dibahas Hannan Lahham dalam kitabnya, Maqasid al-Quran al-Karim.
Al-Fasi mempunyai titik penting dalam memahami maqasid, sebab ia melandaskannya pada pendekatan burhani (rasionalitas), selain pendekatan bayani (teks). Dalam karyanya, ia menegaskan prinsip agama yang selaras dengan akal sebagai berikut:
ليس في الإسلام أصل ديني فوق العقل – أي يستحيل في العقل تصوره – كما أنه ليس هنالك عقل فوق الدين.. وإنما هنالك دين مطابق للعقل وعقل مساعد للدين
“Dalam Islam tidak ada prinsip agama yang berada di atas akal—yakni sesuatu yang mustahil dibayangkan oleh akal, demikian pula sebaliknya. Agama pasti sejalan dengan akal, dan akal menjadi penolong bagi agama”.
Pernyataan tersebut menegaskan pentingnya mendudukkan akal dan agama pada level yang setara dan saling membantu. Meski pada saat yang sama, perlu dipahami pula bahwa ada hal-hal yang tidak dapat dirasionalkan dalam agama. Pun juga ada bagian yang tidak dapat diagamakan dalam sains.
Namun, pernyataan al-Fasi tersebut hendak menegaskan peran akal yang memang sering kali disampingkan ketika memahami agama. Alhasil, agama sering dipahami secara tekstual dan kering dengan muatan spiritual. Peranan akal dalam keberagamaan itu tampak dari pernyataannya bahwa adat atau budaya dapat menjadi sumber hukum syariat. Dalam kaidah ushul fikih dikenal ungkapan, al-‘adah al-muhakkamah.
Kaidah ini lahir dari semangat memahami agama dengan nuansa rasionalitas. Bahkan mengombinasikan ajaran agama dengan budaya. Sebab dalam realitasnya, agama memang tak dapat diimplementasikan tanpa kebudayaan.
Selain persoalan budaya, al-Fasi juga menerima konsep menutup pintu keburukan (sadd al-dzari’ah). Logika ini juga hanya dapat dipahami ketika teks dipahami dengan konteks. Sebab dalam perspektif sadd al-dzari’ah, sesuatu yang asalnya boleh, bisa jadi terlarang agar mencegah mafsadat yang lebih besar.
Contohnya, dalam teks Al-Quran, poligami dibolehkan sampai dengan maksimal empat istri. Tetapi, banyak kasus yang menunjukkan praktik poligami berujung pada sikap diskriminatif dan ketidakadilan yang dirasakan oleh perempuan. Dengan alasan ini, maka poligami pun dilarang. Hal ini juga yang diamalkan oleh Buya Hamka. Sebab ia melihat sendiri dampak dari poligami dari orang tuanya.
Dengan memahami adat dan sadd al-dzari’ah, al-Fasi menekankan pembedaan antara illat (alasan) hukum dan maqasid. Ia memberikan contoh tentang kesaksian perempuan dalam pencatatan utang, yang menurut al-Quran, kesaksian satu orang laki-laki setara dengan dua orang perempuan (QS. Al-Baqarah [2]: 282).
Dalam ayat tersebut dijelaskan illat hukumnya, yaitu agar keduanya saling mengingatkan jika salah satunya lupa. Sedangkan maqasid dari pemberlakukan aturan tersebut adalah untuk menegakkan keadilan (tahqiq al-‘adl). Dengan demikian, illat hukumnya bisa berubah, tetapi maqasid-nya tetap. Dari sini dapat dipahami, dengan membawa maqasid dalam pembacaan burhani, teks agama dapat menemukan realitas keadilan hakiki.
Keadilan hakiki itu menjadi salah satu tujuan syariat sebagaimana yang diulas oleh al-Fasi di akhir bukunya. Ia menegaskan bahwa maqasid syariah erat kaitannya dengan hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Hal ini dapat dilihat dari kisah kedua anak Nabi Adam, Qabil dan Habil. Kisah ini mengandung makna betapa penting menjaga kehidupan sekaligus dosa besar bagi mereka yang merampas kehidupan manusia.
Tidak hanya berhenti pada hak hidup secara individu, al-Fasi pun menegaskan bahwa negara dan masyarakat sosial perlu menjamin kehidupan dan kemaslahatan bersama dengan menekankan beberapa poin sebagai berikut.
Pertama, setiap orang wajib menghormati kehidupan, tidak boleh ada yang menyerangnya. Hal ini perlu dipahami, bahwa tujuan agama justru untuk menjaga kehidupan. Bahkan dalam Al-Quran, Allah menegaskan mereka yang membunuh satu orang sama dengan membunuh seluruh umat manusia. Menunjukkan betapa berharga satu nyawa di hadapan Tuhan.
Kedua, perlu mencegah dari bunuh diri. Dengan menekankan pentingnya menjaga kehidupan, di saat yang sama, Islam juga melarang bunuh diri. Sehingga perlu mitigasi, upaya pencegahan agar seseorang tidak sampai memilih untuk mengakhiri hidup.
Persoalan ini menjadi topik krusial di tengah arus tingkat bunuh diri yang cukup tinggi. Alih-alih menghakimi mereka yang sudah menyelesaikan hidupnya di dunia ini, tragedi ini menjadi catatan keras bagi kita yang masih hidup.
Mengapa orang bisa bunuh diri? Apakah lingkungan dunia hari ini memang sudah sangat timpang untuk ditinggali? Pertanyaan tersebut membawa kita lebih jauh untuk memahami bahwa kesehatan mental adalah hal yang urgen. Seseorang yang pergi ke psikolog atau psikiater, bukanlah orang gila, tetapi itu adalah bagian dari merawat kehidupan.
Ketiga, melarang segala bentuk balas dendam. Upaya membalas rasa sakit hati yang membuncah ini juga berkaitan erat dengan kondisi mental yang tak baik. Mereka yang tersakiti sangat rentan untuk menyakiti orang lain. Mereka yang tak mendapatkan kasih sayang, akan kesulitan mengungkapkan rasa cintanya. Maka memutus mata rantai rasa sakit ini menjadi misi utama agama untuk memulihkan kehidupan.
Dalam Islam, ada pendekatan hati (tazkiyah al-nafs) agar orang bisa hidup dengan lebih baik. Dengan senantiasa menata hati dan jiwa, ditambah dengan penguatan mental dari psikolog, diharapkan seseorang dapat menjalani kehidupan dengan lebih bijak dan menjauhi segala dendam kesumat yang terpatri dalam hati.
Keempat, menolak segala konflik yang berujung pada pembunuhan demi harta atau ideologi. Poin ini menjadi catatan penting bagi banyak individu, komunitas bahkan negara. Konflik perebutan tanah, harta warisan hingga perbedaan ideologi makin sering terjadi. Agama seharusnya menjadi tameng untuk mencegah kekerasan komunal, bukan justru menjadi minyak yang memperparah kobaran api.
Kelima, menghindari segala epidemi sosial yang menghancurkan kehidupan, kesehatan, dan keturunan manusia (memerangi kemerosotan moral). Masih ada kaitannya dengan poin sebelumnya, al-Fasi juga menekankan pentingnya memahami agama sebagai upaya yang selaras dengan perkembangan zaman. Wabah sosial, seperti virus, penyakit menular, dan sebagainya adalah epidemi serius yang harus dicegah.
Beberapa tahun silam, dunia terdiam dengan covid-19. Saat itu, kita pun menyaksikan ada sebagian umat beragama yang memilih beribadah seperti biasa di tengah tuntutan untuk tinggal di rumah. Spirit agama yang benar seharusnya sejalan dengan menolak madharat yang lebih besar.
Puncak dari upaya menjaga kehidupan adalah bekerja dalam solidaritas dengan semua orang untuk memberantas perang. Sudah terlampau banyak darah yang ditumpahkan dari peperangan. Terutama perempuan dan anak yang menjadi korban paling banyak dari setiap konflik. Al-Laham pun senantiasa bersuara untuk menolak segala bentuk kekerasan. Sebab kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan lain yang tak pernah berkesudahan.
Keenam poin tersebut memberikan pemahaman, ketika agama dipahami dengan tepat, akan tercipta kemaslahatan bersama. Sebaliknya, kala agama salah ditafsirkan, hak hidup bisa menjadi redup. Tugas kita sebagai umat beriman adalah mengembalikan semangat agama yang menghidupkan. Wallahu a’lam bis shawwab.






