Antara Maslahat dan Muslihat

Ketika membahas berbagai persoalan, seseorang biasanya akan berakhir pada perdebatan maslahat dan mafsadat. Mana yang lebih banyak, keuntungan atau kerugian. Sebagai contoh: aktivitas pertambangan bagi ormas keagamaan, apakah itu mendatangkan maslahat atau mengundang madharat. Kalau pun mengandung maslahat, maslahat yang seperti apa yang diharapkan? Bagi mereka yang mengkritik akan melihat bahwa kerusakannya jauh lebih besar dari pada keuntungannya.

Persoalan maslahat memang sudah dibahas sejak dulu oleh para ulama. Pun tak menemukan kata sepakat kecuali pada aspek bahwa kemaslahatan itu menjadi dasar syariat. Semua ajaran agama pasti mendatangkan kemaslahatan. Hanya apa bentuk maslahatnya, ada yang mencoba mencari jawaban, ada pula yang berdiam diri.

Dalam tradisi ushul fiqh, dikenal metode istishlah, artinya mencari kemaslahatan. Secara istilah, menurut Abdul Wahhab Khallaf dalam kitab al-Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, istishlah adalah mencari kemaslahatan dengan mensyariatkan hukum-hukum yang bersifat aplikatif dalam permasalahan yang belum disyariatkan hukumnya.

Tidak semua ulama sepakat menggunakan istishlah dalam pengambilan hukum. Sebab yang dijadikan landasan dalam proses ini adalah kemaslahatan, bukan dalil tekstual. Secara teks tidak ditemukan penjelasan secara spesifik, kemaslahatanlah yang memberikan jawaban apakah itu boleh atau tidak dikerjakan.

Dalam perkembangan berikutnya, menggali kemaslahatan dalam memahami ajaran agama menjadi kebutuhan. Terutama dalam konteks memahami maqasid atau tujuan agama. Tetapi, pada saat yang sama konsep maslahat ini perlu disikapi dengan bijak karena juga riskan digunakan untuk kepentingan tertentu.

Kembali pada ilustrasi di atas, ketika menyebutkan bahwa aktivitas pertambangan itu sah dilakukan dengan pertimbangan maslahat, maslahat untuk siapa? Ternyata maslahatnya untuk pengusaha tambang. Maka ini justru bertentangan dengan konsep maslahat.

Imam al-Syathibi sebagaimana diuraikan oleh Hannan Al-Lahham dalam pengantar Kitab Maqashid al-Qur`an al-Karim menegaskan kriteria yang bisa disebut sebagai maslahat. Pertama, maslahat itu harus ditimbang dalam sinaran tujuan kehidupan di akhirat, bukan dunia. Dalam hal ini, maslahat tidak boleh tercampur dengan urusan hawa nafsu.

Justru kehadiran agama sebenarnya adalah untuk mengendalikan hawa nafsu yang dapat menyesatkan. Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah membedakan hawa nafsu dan naluri kemanusiaan. Naluri kemanusiaan atau insting itu berupa rasa lapar, ketakutan, kebutuhan seksual, bersosialisasi dan berkelompok. Ini adalah naluri dasar manusia yang perlu disalurkan.

Bagaimana penyalurannya? Di sinilah ajaran agama berperan untuk mengatur. Manusia boleh makan, tetapi jangan berlebihan. Boleh berhubungan seksual tetapi melalui bingkai pernikahan. Boleh berjual beli tetapi dengan transaksi yang sama-sama menguntungkan. Ketika hal tersebut dilanggar, maka yang terjadi bukan lagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia, tetapi sudah terjerumus pada hawa nafsunya.

Jadi, nafsu tidak mengacu pada naluri. Naluri kemanusiaan tersebut jika diatur dapat menjadi upaya menjaga kehidupan individu dan masyarakat. Sebaliknya, hawa nafsu yang tidak dikekang akan melahirkan keegoisan, kesukuan, seksualitas yang tanpa batas dan berujung pada kebinasaan. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Shad ayat 26:

يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ ۢبِمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِ ࣖ

(Allah berfirman,) “Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.”

Kedua, maslahat itu perlu mempertimbangkan kepentingan orang banyak dan dalam jangka waktu yang lama. Dalam hal ini, ijtihad terbaru seputar kehidupan kontemporer perlu mempertimbangkan kemaslahatan umat dan keberlanjutan yang sering dikenal dengan istilah sustainability.

Maslahat itu tidak hanya untuk hari ini dan di sini, tetapi juga untuk generasi mendatang. Ketika ada aktivitas pertambangan, maka kemaslahatan yang dicari bukan hanya untuk orang yang hidup sekarang, tetapi juga mereka yang datang belakangan.

Ketiga, maslahat itu akan mendatangkan kemudahan dan mencegah kesukaran. Ini sebagaimana prinsip ajaran Islam yaitu at-taysir bukan al-ta’sir. Kesukaran atau kesulitan itu pun ada yang bersifat pribadi dan publik.

Contoh kesukaran pribadi adalah rasa sakit. Sebagai manusia, tentu pernah dan bisa merasakan sakit. Tatkala sakit, disediakan kemudahan dalam beribadah, seperti mengganti wudu dengan tayamum, salat duduk jika tidak bisa berdiri, dan sebagainya. Ini adalah kemaslahatan bagi mereka yang sedang sakit.

Tentu hal tersebut tidak berlaku bagi orang yang sehat tetapi malas beribadah. Maka prinsip maslahat itu mengharuskan ada kondisi yang menyertainya sehingga mendatangkan kemudahan. Tidak bisa konsep maslahat digunakan untuk menggampangkan ajaran agama.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dipahami bahwa maslahat erat kaitannya dengan prinsip ajaran Islam. Maslahat dapat digapai dengan kesungguhan menjalankan tuntunan Ilahi, bukan menuruti hawa nafsu duniawi. Kalau masih ada yang mengatasnamakan maslahat demi kenikmatan sesaat, maka sejatinya dia telah mencoreng ajaran syariat.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses