Pos

Haji Tanpa Visa Haji

Sebuah pertanyaan yang selalu muncul setiap kali musim haji: Apakah sah melakukan ibadah haji menggunakan visa non-haji? Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui lembaga Bahtsul Masailnya (LBM-PBNU) mengeluarkan keputusan bahwa orang yang beribadah haji tanpa menggunakan visa resmi (visa haji) cacat secara syariat dan hukumnya berdosa, meskipun ibadah hajinya tetap sah.

Keputusan ini sejalan dengan fatwa dari Lembaga Fatwa Mesir (Dar al-Ifta al-Misriyyah). Menurut lembaga ini, visa (ta’syirah) dibuat berdasarkani keputusan undang-undang untuk kemaslahatan setiap orang. Jika tak dibatasi visa haji, kita tak dapat membayangkan betapa crowdednya  jamaah menumpuk di tanah suci.

Masing-masing negara memiliki peraturan dan perundang-undangnya  sendiri. Kerajaan Saudi Arabia (KSA) sendiri mengeluarkan visa khusus untuk haji (ta’syiratu hajj). Tanpa menggunakan visa haji, pendatang tidak diperbolehkan melakukan ibadah haji, meskipun ia sudah mengantongi visa umroh (ta’syirah umroh) atau visa kunjungan pribadi (ta’syirat al-ziarah al-syakhsiyyah). Yang melanggar akan didenda dan dideportasi. Peraturan haji tidak hanya berlaku bagi pendatang, penduduk asli (pribumi) Saudi Arabia pun harus mengantongi izin haji dan tidak boleh melakukan ibadah haji berturut-turut setiap tahun.

Peraturan seperti ini memang tidak dijumpai pada masa Nabi Muhammad SAW, sehingga para ulama tidak memasukkan “visa’ sebagai bagian dari syarat dan rukun haji. Karena itu, syarat kepemilikan visa tak mempengaruhi keabsahan ibadah haji. Jika tak memiliki visa haji maka berdosa karena melanggar aturan dan ketentuan yang dibuat pemerintah Republik Indonesia (RI) dan KSA. Ibarat orang yang berhaji menggunakan uang hasil korupsi, ibadah hajinya tetap sah walaupun berdosa karena menggunakan uang haram.       

Pemerintah RI melalui Kementerian Agama juga berkepentingan dengan peraturan ini, terutama untuk mencegah dan menertibkan maraknya haji ilegal yang biasanya dikelola travel-travel swasta. Tanpa visa haji, mereka berani memberangkatkan banyak jamaah.  Jamaah haji ilegal ini rawan tertangkap dan dideportasi pemerintah KSA. Mereka akan “diselundupkan” bersama jamaah haji pemerintah (legal). Tahun ini saja banyak yang tertangkap dan dipulangkan pemerintah KSA, namun tak sedikit pula yang selamat.

Animo dan minat masyarakat Indonesia untuk berhaji cukup tinggi, namun tak berbanding  dengan kuota haji yang dimiliki pemerintah setiap tahunnya. Akibatnya, banyak masyarakat yang harus mengantre puluhan tahun dengan resiko ongkos haji yang terus merangkak naik. Akhirnya, bagi mereka yang memiliki kelebihan uang, berangkat haji lewat travel swasta atau agan resmi pemerintah (haji furoda) — legal maupun ilegal— menjadi pilihan alternatif.

Saya kira realitas seperti ini harus dilihat dan dijadikan pertimbangan sebelum menentukan dan memutuskan bagaimana hukum haji non-visa resmi ini. Mengingat masih banyak sekali ketimpangan dan ketidakadilan yang diterima masyarakat. Satu sisi banyak sekali masyarakat yang harus menunggu hingga puluhan tahun, namun pada sisi yang lain ada segelintir orang memiliki akses dan kesempatan melakukan ibadah haji berkali-kali bahkan setiap tahun. Ini bukan soal “panggilan Tuhan” tapi soal akses dan kesempatan yang timpang. Wallahu a’lam bishawab.

 

 

Gelar Haji

SEPENDEK pengetahuan saya, baru di era Gus Yaqut petugas haji dibuka untuk masyarakat umum. Sebelumnya, hanya diketahui lingkaran orang-orang dalam dan proses rekrutmennya tertutup, seperti kebanyakan proses lelang projek di kementerian.

Terobosan dan kebijakan ini membawa rejeki dan berkah tersendiri bagi banyak orang. Setiap musim haji Kemenag membuka ribuan kuota untuk petugas haji. Setidaknya, untuk tahun ini saja ada puluhan teman saya yang berhaji sambil berkhidmah menjadi petugas haji. Menjadi petugas haji adalah pilihan paling rasional di saat ongkos dan daftar tunggu haji yang tak masuk akal.

Bagi kebanyakan umat Muslim di Indonesia, ritual haji merupakan prestise tersendiri. Selain untuk menggenapi rukun Islam, sepulang ibadah ia akan medapat gelar (panggilan) yang akan dibawa sampai mati: haji.

Ritual haji bukan untuk orang miskin atau ekonomi pas-pasan. Ia harus punya “istitha’ah” (kemampuan) baik secara ekonomi maupun kesehatan (fisik/psikis). Syarat ini tampaknya tak banyak digubris masyarakat kita. Tak sedikit masyarakat di desa-desa yang memaksa berangkat haji meski harus menjual dan menghabiskan harta bendanya, dengan satu keyakinan harta itu akan dikembalikan Allah Swt. selepas haji. Apalagi didukung sebuah kayakinan dan ekspektasi bahwa di sana banyak “maqam mustajab”, tempat di mana segala doa akan dikabulkan Alllah Swt.. Allah Swt. akan menggantinya berlipat-lipat ganda.

Orang-orang berusia lanjut pun tak merasa khawatir dengan kondisi kesehatan mereka, bahkan tak sedikit yang malah berharap bisa meninggal di tanah suci dalam keadaan haji (mati syahid). 

Ritual haji merupakan impian bagi sebagian besar masyarakat kita—minimal sekali dalam seumur hidup. Rasanya butuh waktu lama untuk menyadarkan masyarakat bahwa haji bukan segala-galanya, sebagaimana telah disampaikan Ketum PBNU. Doktrin tentang ritual haji (Fikih Haji) sudah mengendap dan menjadi bagian keyakinan.

Selamat kepada para jamaah haji karena telah menyelesaikan seluruh manasik haji. Semoga menjadi haji mabrur dan kembali ke tanah air dalam keadaan selamat![]

Qurban, Korban dan Haji

DENGAN dimulainya kehidupan manusia, mulai tumbuhnya akal manusia, dan ketidakmampuan manusia untuk memahami norma-norma yang terbentang luas di cakrawala, manusia dikuasai oleh rasa takut kepada alam, sehingga ia berusaha menenangkannya dengan mengorbankan sesama manusia sebagai qurban (persembahan). Dan dengan lahirnya peradaban manusia enam ribu tahun yang lalu, polusi perang mulai menginfeksi, yang membutuhkan qurban-qurban manusia dalam jumlah besar yang tak dapat dihitung dan tak dapat ditulis dengan tinta, untuk memuaskan rasa lapar dewa-dewa perang baru.

Kemudian datanglah perintah Ilahi kepada Ibrahim as. untuk menyembelih putranya. Dan ketika ia mematuhi perintah itu, Allah menurunkan tebusan untuknya, sebagai petunjuk bahwa harta paling berharga dan terbesar yang harus dijaga dan dilindungi adalah manusia itu sendiri.

Di belahan dunia lain, ratusan tahun yang lalu, pada dini hari, kerumunan besar orang berkumpul di sekitar kuil di kota Tenochtitlan, ibu kota Kekaisaran Aztec. Di kaki kuil terbaring seorang pemuda tampan bertubuh kuat, yang ditangkap oleh beberapa pendeta dan diikat dengan tali. Harum dupa menyeruap dan nyanyian religius menggema. Pendeta Kepala maju, ia mengenakan pakaian mewah dengan warna cerah, dan di tangannya tergenggam belati berbilah sangat tajam. Ia membaca beberapa doa. Segera setelah itu ia menancapkan ujung belati ke dada pemuda malang itu yang membuatnya menjerit kesakitan akibat teror kematian.

Kemudian sang pendeta mengeluarkan jantung yang masih berdetak dari dada sang pemuda, dan memperlihatkannya di hadapan para hadirin yang gembira menyaksikan adegan ini. Tubuh sang pemuda jatuh ke tangga kuil, darahnya yang merah cerah memercik membasahi tanah. Dan pada saat yang sama, senyum kepuasan tersungging di wajah para pendeta yang berhasil melaksanakan tugas suci!

Ritual ini adalah pemandangan rutin tahunan peradaban Aztec di Amerika Tengah, di ibukota Tenochtitlan, yang saat ini telah menjadi New Mexico, setelah bangsa Spanyol menghancurkan peradabannya, menghilangkan jejak terakhirnya dan menguburnya di tanah dengan cara mempersembahkan qurban lain; menghapus peradaban qurban lama dengan mempersembahkan qurban-qurban perang baru.

Demikianlah peradaban qurban lama bertemu dengan peradaban qurban baru; yang pertama dilakukan oleh para pendeta dengan mengorbankan seorang pemuda tampan dan kuat, dan yang kedua dilakukan dengan mengorbankan satu bangsa secara keseluruhan di atas altar sejarah baru. Qurban baru (satu bangsa) dipersembahkan sebagai dalih untuk menghapus peradaban qurban lama (satu orang manusia).

Kerancuan antara (pengorbanan satu manusia) dan (pengorbanan satu bangsa) ini memerlukan penjelasan, melalui peristiwa agung Nabi Ibrahim as. dan putranya, Ismail as., yang buahnya adalah tidak ada lagi pengorbanan manusia setelah itu. “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis[nya], [nyatalah kesabaran keduanya]. Dan Kami panggillah ia, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar,” [Q.S. al-Shaffat: 103 – 107].

Will Durant, sejarawan Amerika, di dalam buku “The Story of Civilization”, mengatakan bahwa tradisi mengorbankan manusia telah diadopsi oleh manusia di hampir semua bangsa. Di pulau Carolina, Teluk Meksiko, ditemukan sebuah patung logam dewa kuno berongga besar. Di dalamnya terdapat sisa-sisa manusia yang dipastikan mati dengan cara dibakar sebagai persembahan kepadanya. Juga, orang-orang Fenisia, Kartago, dan bangsa Semit dari waktu ke waktu mempersembahkan qurban-qurban manusia kepada dewa yang disebut Malakh.

Namun, sejarah juga mencatat bagaimana sikap Umar ibn al-Khaththab ra. selama masa penaklukan Mesir, dengan tradisi masyarakat setempat yang melemparkan seorang gadis hidup-hidup setiap tahun ke sungai Nil sebagai persembahan kepadanya. Dengan cara ini mereka mengharapkan tanah Mesir menjadi subur. Ketika Umar mengetahui apa yang mereka lakukan, ia mengirimi mereka surat dan meminta mereka untuk membuangnya ke sungai Nil, dan isinya sebagai berikut: “Dari hamba Allah, Umar ibn al-Khaththab, Amirul Mukminin, kepada sungai Nil Mesir. Wahai sungai Nil, jika kamu mengalir dengan aturan Allah, maka mengalirlah seperti biasa kamu mengalir. Tetapi jika kamu mengalir dengan aturan setan, maka kami tidak membutuhkan aliranmu.” Pada tahun itu seorang gadis diselamatkan dari kematian. Dan tradisi ini pun dihapuskan sejak Islam masuk ke tanah Mesir.

Mungkin sumber gagasan “qurban” adalah ketakutan kepada alam menurut manusia primitif, yang tidak mampu menjelaskan fenomena kosmik sehingga membuat mereka takut. Durant menjelaskan, bahwa munculnya ketakutan, terutama ketakutan kepada kematian, dikarenakan kehidupan manusia primitif yang dikelilingi oleh ratusan bahaya, dan kematian pada mereka jarang terjadi karena penuaan alami. Sebelum penuaan dimulai pada tubuh, banyak manusia primitif terbunuh karena serangan yang kejam. Oleh karena itu, manusia primitif tidak percaya bahwa kematian adalah fenomena alam, dan mereka cenderung mengaitkannya dengan tindakan makhluk gaib.

Di antara problem mentalitas dan pikiran manusia primitif adalah bahwa menyembelih manusia dan memercikkan darahnya ke tanah pada saat menabur benih akan membuat panen lebih baik. Karena itu, fenomena pengorbanan manusia terjadi berulang-ulang di dalam sejarah sebagai upaya menemukan jawaban untuk memahami alam, atau untuk memecahkan masalah yang sangat besar. Di sinilah benih-benih perang muncul sebagai penyakit kromosom yang menyertai lahirnya peradaban manusia.

Ada dua pembenaran dalam mengorbankan manusia: pertama, seperti disebutkan di atas, takut kepada alam dan berusaha menenangkannya. Kedua, memakannya, yang jamak dikenal dengan “kanibalisme”. Fenomena ini ada pada beberapa sisa suku kuno yang diakui sejarah modern, sebuah fakta yang sulit kita bayangkan, tetapi merupakan fakta yang tercatat! Namun, fenomena perang telah menghadirkan pengorbanan jenis baru yang lebih besar dan menakutkan, dan itu adalah sekresi pembentukan negara dan pertumbuhan peradaban pada awal sejarah manusia; negara muncul di atas kekerasan, tetapi menurut garis yang dibangunnya, ia terinfeksi oleh kekerasan yang sama, tetapi dalam bentuk lain.

Pada saat negara mampu menjamin keamanan internalnya, ia mengubah kekerasan ke tingkat benturan dengan negara lain, dan kekerasan yang dikendalikan di dalam satu negara ini tetap bersembunyi di bawah tanah, sampai meledak dengan cara yang paling mengerikan dalam kerangka perang saudara, seperti perang saudara Amerika, Spanyol, dan Rusia, atau Afghanistan, atau seperti yang kita lihat di Rwanda, di mana 800.000 orang terhapus dari peta kehidupan hanya dalam beberapa minggu, atau dalam catatan tragis di Bosnia. Kemudian, di bawah rezim Assad dan lain sebagainya di Timur Tengah, dua juta orang tewas, empat juta orang ditangkap, ratusan ribu orang dihabisi di kamp-kamp tahanan, dan hampir setengah populasi meninggalkan negeri asal mereka dalam pesta teror kolektif.

Penebusan Ismail dan disyariatkannya qurban adalah deklarasi implisit perdamaian dunia. Allah tidak akan pernah memakan daging dan meminum darah qurban. Allah hanya menerima ketulusan niat dan ketakwaan, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai [keridhaan] Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya,” [Q.S. al-Hajj: 37].

Fenomena ibadah haji adalah puncak perdamaian dalam masyarakat manusia. Tidak ada satu kota pun di muka bumi kecuali ada satu orang atau beberapa orang yang datang ke Makkah untuk mengunjungi Ka’bah dengan berbagai cara. Seorang Muslim bertemu dengan saudara-saudaranya sesama Muslim dari berbagai ras, suku, bangsa dan negara. Haji adalah pertemuan kosmik terbesar, dan karena itu sangat relevan dengan pesan global, yang salah satu pesan terpentingnya adalah deklarasi perdamaian dunia.

Banyak umat Muslim yang ingin melaksanakan ibadah haji tidak memahami makna besar ini. Padahal mereka harus mencapai tujuan mereka beribadah haji dengan memahami maknanya yang sangat agung, yang dapat mereka jadikan sebagai sumber pengisian spiritual tahunan seluruh dunia Islam dan dunia pada umumnya.

Kita harus tahu bahwa haji ada sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw., yaitu dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. yang memulainya empat ribu tahun yang lalu. Bahkan al-Qur`an menunjukkan bahwa Ka’bah adalah rumah pertama yang didirikan untuk manusia. Keberadaannya sudah lama, dan itu disebut “haram”, yaitu dilarang membunuh manusia di dalamnya.

Untuk memastikan tujuan haji ini, Islam mengatur kesucian “bulan-bulan haram”. Karena sebelumnya, orang-orang menculik orang-orang di sekitar mereka. Dan Ka’bah adalah tempat pertama dalam upaya menggeneralisasikan pesan perdamaian kepada seluruh umat manusia, untuk mengubah dunia menjadi danau keamanan dan kebahagiaan. Upaya ini berhasil dan bertahan selama ribuan tahun dengan misi utama mengisi seluruh dunia dengan semangat perdamaian agar berhenti mengorbankan manusia dan menjadikannya persembahan untuk segala bentuk ilusi kekuatan tuhan-tuhan palsu dan berhala-berhala palsu.

Makna yang sangat agung ini dibutuhkan oleh dunia saat ini, khususnya dunia Islam, yang dipenuhi dengan perang-perang saudara dan antarnegara yang tersirat dan tersurat di mana-mana. Di dunia saat ini kita perlu mendeklarasikan piagam keamanan dan jaminan sosial bagi setiap manusia, apakah ia penguasa atau rakyat, untuk melestarikan dialog di dalam kehidupan sosial.

Kisah qurban yang terdapat di dalam al-Qur`an di tengah-tengah amukan konflik dan perang antarmanusia, merupakan hal yang luar biasa, karena mengingatkan pada masalah pengorbanan manusia dan penyebab-penyebab konflik antarmanusia dan akibat-akibat tragisnya.[]

Makna Simbolis Haji

HAJI adalah niat pergi ke Baitullah, Rumah Allah, dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya dengan melakukan amalan-amalan khusus. Para jamaah berpindah dari suatu tempat ke tempat lain secara berurutan, untuk kembali ke asal melalui adegan-adegan simbolis yang menciptakan di arena haji sebuah zona kedamaian spiritual yang secara vertikal menyingkap tabir antara bumi dan langit, dan secara horizontal jiwa setiap individu melebur ke dalam semangat kolektif. Di sini, haji, di ranah spiritual, mewujudkan rasa persatuan dengan seruan bersama: labbaykallâhumma labbayk

Zona aman dan damai ini tidak hanya diperuntukkan bagi bangsa manusia, “Maka tidak boleh berkata jorok, berbuat maksiat dan bertengkar dalam [melaksanan ibadah] haji,” [Q.S. al-Hajj: 197], bahkan pada masa pra-Islam, seseorang bertemu dengan pembunuh ayahnya di tanah suci tetapi ia sama sekali tidak melakukan hal buruk apapun kepadanya. Lebih dari itu, zona aman dan damai ini juga mencakup hewan dan tumbuhan, sehingga tidak ada hewan yang diburu dan dibunuh atau pohon yang ditebang.

Ini adalah zona damai di mana umat Muslim berkumpul dalam jumlah besar sebagai percontohan bagi seluruh umat manusia. Pesannya jelas; pesan keamanan, perdamaian, persatuan, ingat Tuhan, perjuangan melawan diri sendiri dan setan, serta kembali ke asal. Kita dapat mengikutinya melalui adegan-adegan simbolis berikut:

Pertama, “Dan [ingatlah], ketika Ibrahim meninggikan [membina] dasar-dasar Rumah Allah (Baitullah) bersama Ismail [seraya berdoa]: ‘Ya Tuhan kami, terimalah dari kami [amalan kami], sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” [Q.S. al-Baqarah: 127]. Di sini, atas kehendak dan hikmah dari Allah, Ibrahim mendirikan rumah pertama di muka bumi sebagai penanda tauhid, di sebuah tempat tandus di Jazirah Arab. Allah telah mempercayakan hamba-Nya yang saleh, Ibrahim as., bersama istrinya, Hajar, untuk pindah dari tanah subur Mesopotamia ke “lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman” guna mendirikan sebuah institusi monoteisme (tauhid).

Hendaklah mereka melakukan tawaf [mengelilingi] rumah yang tua itu (Baitullah),” [Q.S. al-Hajj: 29]. Dari segi waktu, rumah itu sudah sangat tua, karena ia merupakan rumah pertama yang didirikan untuk mentauhidkan Allah, jauh dari segala bentuk keburukan politeisme, dan jauh dari segala bentuk kezhaliman—sebagaimana seharusnya sebagai Rumah Allah. Di sinilah landasan pertama berdirinya masyarakat Muslim.

Kedua, “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka,” [Q.S. al-Hajj: 27 – 28]. Haji adalah pemandangan menakjubkan dan agung. Ibrahim, setelah selesai membangun Baitullah di lembah tandus tak berpenghuni, diperintah oleh Tuhannya untuk menyampaikan seruan kepada umat manusia mengenai kewajiban haji. Ia melaksanakan perintah itu seperti yang selalu ia lakukan kepada Tuhannya dengan ketundukan dan keberserahan diri. Ia melaksanakannya sebisa dan sebaik mungkin, dan membiarkan Tuhannya mengurus sisanya.

Seruan tersebut terus bergema melintasi cakrawala tanpa henti, ujungnya terhubung dengan permulaannya, dan gelombang frekuensinya meluas ke seluruh muka bumi seiring dengan meluasnya cakupan dakwah Islam yang menjangkau seluruh dunia. Saat ini, nyaris tidak ada masjid di kampung manapun di dunia melainkan di dalamnya terdapat jiwa-jiwa yang dipenuhi kerinduan dan nostalgia untuk berkunjung ke rumah tua tersebut.

Begitulah pemandangan megah seorang manusia yang berseru di tengah-tengah padang pasir, dengan keyakinan di dalam hatinya bahwa ia hanya bertugas menyampaikan risalah, namun memberi petunjuk ada di tangan Sang Pencipta. Hal inilah yang memberikan energi yang tidak ada habisnya bagi para juru dakwah untuk terus menyampaikan risalah dalam aspek positifnya sebagai pernyataan kebenaran dan dalam aspek negatifnya sebagai ketidakpercayaan terhadap tiran dan serangan terhadap setan. Tidak peduli betapa tertutupnya jalan, tidak ada yang boleh berputus asa. “Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang yang sesat,” [Q.S. al-Hijr: 56].

Ketiga, tawaf (berkeliling) di sekitar Ka’bah sebagai ekspresi kembali ke asal, pembaruan perjanjian dengan Tuhan, serta keanggotaan dan integrasi ke dalam umat monoteisme. Ini adalah silsilah terbesar umat Muslim.

Adegan tawaf di sekitar Ka’bah merupakan pemandangan kosmis yang melambangkan kesatuan Tuhan, alam semesta, dan umat manusia, yang berjalan berlawanan arah dengan gerakan tawaf sehingga seolah-olah merupakan anomali dari pergerakan alam semesta, yang menempatkan pelakunya dalam situasi yang tidak normal dan sulit.

Selama tawaf, seseorang dapat mendekati Ka’bah, bahkan menyentuh dan menciumnya, sebagai bentuk penghormatan terhadap salah satu syiar Allah—jika tidak, itu hanyalah batu yang tak berbahaya atau tak bermanfaat. Tawaf bisa juga menjauhkan seseorang dan memperluas cakupan lingkarannya, namun ia tidak boleh, dalam keadaan apapun, menyimpang dari jalur, sehingga ia tersesat dan binasa.

Keempat, keagungan peran ibu. Sama seperti Ibrahim as., yang menuruti kehendak Tuhannya untuk melakukan perjalanan ke tempat tersebut, ia tunduk dan patuh saat meninggalkan istrinya, Hajar, dan putranya, Ismail, di tempat sepi itu, sebagai bagian dari pendidikan dan penyiapan panggung untuk peristiwa terbesar.

Ibrahim patuh, dan ia menitipkan Hajar dan Ismail kepada Allah, dan hanya dibekali dengan sekantong kurma dan kantung air. Ia lalu kembali ke tanah kelahirannya di mana seluruh keluarganya berada. Adapun Hajar, yang ditinggalkannya, juga telah pasrah pada kehendak Tuhan setelah mendapat keyakinan dari suaminya: “Apakah Allah memerintahkanmu melakukan hal ini?” Ibrahim menjawab, “Iya.” Hajar berkata, “Kalau begitu, Tuhan tidak akan menyia-nyiakan kita.”

Ibrahim tidak menemukan cara untuk meringankan rasa sakitnya kecuali dengan kembali kepada Tuhannya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, [yang demikian itu] agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur,” [Q.S. Ibrahim: 37]. Segera, bekal yang sedikit di tangan Hajar habis dan ia menghadapi cobaan terberatnya jauh di padang gurun.

Hatinya terkoyak kesakitan dan panik, dan bayinya menjerit-jerit karena kehausan. Ia berlari antara perbukitan Shafa dan Marwah, berharap melihat kafilah lewat yang akan menyelamatkannya dan bayinya dari kebinasaan.

Keterkejutannya sungguh luar biasa ketika ia menyaksikan dengan penuh kegembiraan air yang meluap dan meletup di sela-sela kaki putranya. Inilah awal mula munculnya kehidupan dengan menetapnya beberapa kafilah nomaden di lembah tandus yang dikelilingi pegunungan yang telah menghitam.

Di dalam sa’i yang dilakukan para jamaah haji di antara dua bukit di mana Hajar berlari-lari—dan itu telah menjadi salah satu rukun haji—terkandung penghormatan Ilahi atas penderitaan Hajar dan menjadikannya sebagai contoh pahlawan perempuan dalam keimanan, juga penghormatan terhadap jenis perempuan dan ibu, sehingga setiap jamaah haji dan umrah mengenang pemandangan indah itu, berlari-lari kecil di situs sejarah yang sama. “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya,” [Q.S. al-Baqarah: 158].

Kelima, pengorbanan dan ketundukan mutlak. Ibrahim kembali dengan tenang mengunjungi keluarganya dan untuk melihat putranya, Ismail. Saat itu Ibrahim adalah seorang laki-laki yang sudah sangat tua, datang menemui seorang pemuda yang tumbuh dewasa, energik, dan cerdas. Hati Ibrahim langsung diliputi rasa cinta dan kasih sayang kepada Ismail. Hanya saja, belum lama ia menikmati kebersamaan dengan Ismail, ujian besar datang menyapanya melalui mimpi yang mengarah pada putranya itu, “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” [Q.S. al-Shaffat: 102]. Ismail bukan seorang pemuda biasa. Ia merupakan keturunan dari sebuah keluarga yang darinya ia mewarisi ketaatan mutlak kepada perintah Tuhan: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar,” [Q.S. al-Shaffat: 102].

Dengan demikian, keagungan keduanya menanjak naik hingga menyentuh langit tertinggi, karena menerima perintah Tuhan dengan kepasrahan dan ketundukan mutlak, yang merupakan tujuan terbesar agama. Hal ini terjadi meskipun adanya serangan-serangan setan dan usaha-usahanya yang gigih untuk menghalangi tekad keduanya. “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis[nya], [nyatalah kesabaran keduanya], dan Kami memanggilnya: ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik,” [Q.S. al-Shaffat: 103 – 105].

Keduanya berserah diri tanpa syarat, dan tujuan terbesar itu pun tercapai, sehingga Allah menurunkan rahmat kepada keduanya dengan mencegah pisau memotong leher, lalu menurunkan penggantinya berupa seekor domba jantan besar sebagai tebusan, “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar,” [Q.S. al-Shaffat: 107].

Karena itu, para jamaah haji menghidupkan kembali adegan agung keberserahan kepada Tuhan dan ketundukan pada perintah-Nya melalui proses simbolik, di mana mereka mengarahkan hujan kerikil ke dinding batu sebagai representasi dari setan yang terus menggoda manusia untuk melakukan tindakan maksiat dan berpaling dari perintah Tuhan.

Itu adalah tempat latihan simbolis untuk bergulat dengan musuh dan menolak menyerah kepadanya, menyenangkannya, atau menormalisasi hubungan dengannya. Adegan tersebut semakin lengkap dengan adanya fidyah (tebusan) dari para jamaah haji dan dari setiap muslim yang mampu; menyembelih hewan qurban yang dagingnya dapat disantap bersama keluarga dan fakir-miskin sebagai ungkapan kegembiraan hari raya Idul Adha dan kemenangan atas setan, serta sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat-Nya.

Faktanya, umat Muslim memiliki dua hari raya yang membuat mereka bergembira, salah satunya adalah Idul Fitri, yang merupakan puncak dari bulan ibadah yang padat, dan Idul Adha, yang merupakan ekspresi kegembiraan atas kemenangan melawan setan dan pemenuhan perintah Tuhan. Tuhan tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang kita sembelih atau makan, namun yang penting adalah sejauh mana perasaan takwa, kedekatan dengan Tuhan, dan ketundukan kepada-Nya.

Keenam, wukuf di Arafah pada hari haji akbar, untuk merayakan kemunculan awal mula manusia di muka bumi, asal, dan takdir: ada banyak riwayat tentang peristiwa bersejarah yang diperingati dan dikenang dengan wukuf di Arafah.

Wukuf di Arafah adalah puncak ibadah haji dan merupakan rukun yang tidak boleh ditinggalkan dengan alasan apapun. Ada banyak riwayat mengenainya, di antaranya menyebutkan bahwa Arafah merupakan sebuah panggung yang menampilkan pertemuan pertama di bumi antara pasangan manusia pertama yang membentuk benih pertama keluarga manusia, Adam dan Hawa, setelah keduanya turun ke bumi. Maka haji, sekali lagi, adalah kembali ke asal mula dan bersyukur kepada Tuhan atas nikmat agung ini dan rahmat melimpah yang diberikan-Nya kepada pasangan suami-istri tersebut, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang,” [Q.S. al-Rum: 21]. Karena itu, menghormati perasaan cinta dan rindu di antara pasangan merupakan makna agung haji yang mengingatkan asal mula bertemu dan bersatunya umat manusia.

Wukuf adalah pemandangan megah di tanah yang tandus, jauh dari kemegahan kota, istana-istananya, perhiasannya, dekorasinya, dan pertunjukan kebanggaan para penghuninya; di Arafah, semua orang dilucuti dari semua itu.

Hal itu mengingatkan manusia bahwa mereka awalnya memasuki dunia tanpa segala bentuk perhiasan, dan bahwa mereka juga akan meninggalkannya, hanya membawa kain putih yang mirip dengan pakaian ihram yang mereka kenakan selama haji.

Gambaran kerumunan besar ini juga mengingatkan mereka pada hari ketika mereka berkumpul, tanpa alas kaki, dan tanpa pakaian sehelaipun, dalam kebingungan di padang mahsyar kelak. Tidak ada yang tersisa pada diri jamaah haji di tengah dekorasi simbol-simbol spiritual dan sosial ini selain menghadap Tuhan untuk memohon ampunan, ridha, dan pertolongan dalam pertaubatan yang ikhlas (taubatan nasuha) dan tekad membuka lembaran baru yang penuh dengan amal saleh, menjauhi keburukan dan melawannya.

Di tempat yang sama jamaah haji juga diingatkan kepada haji Rasulullah Saw., Hujjatul Wada’ (haji perpisahan), dan itu adalah hari raya terbesar yang disaksikan oleh Jazirah Arab waktu itu.

Hujjatul Wada’ adalah deklarasi universal hak asasi manusia, persatuan umat manusia, pencegahan ketidakadilan, penekanan pada pentingnya keluarga, anjuran untuk memperlakukan perempuan dengan baik, dan peringatan agar tidak membiarkan keserakahan orang kaya memangsa hajat/kebutuhan orang miskin.

Di samping itu, Hujjatul Wada’ melambangkan pengalihan misi membimbing umat manusia dari para nabi kepada umat Muslim. Rasulullah Saw. selalu mengakhiri setiap paragraph dari khutbahnya dengan: “Bukankah sudah aku sampaikan?” Dan dijawab dengan suara bagaikan guntur, “Iya.” Beliau pun berkata, “Yang hadir hendaknya menyampaikan kepada yang tidak hadir.” Betapa megah dan agungnya pemandangan umat Muslim menerima risalah membimbing umat manusia.

Ketujuh, kesederhanaan dan kesetaraan. Ifâdhah (bertolak) dari Arafah menuju area terdekat yaitu Muzdalifah, Masy’arilharam. Ungkapan “ifâdhah” ini menggambarkan pemandangan segerombolan manusia yang serentak menuju Tuhan untuk bermalam di alam terbuka di sebuah alun-alun kecil di samping sebuah bukit, yaitu Masy’arilharam, tempat orang-orang Quraisy biasa singgah dan tidak bercampur dengan orang-orang di Arafah.

Maka risalah Islam hadir sebagai pesan kesetaraan antarmanusia, “Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah,” [Q.S. al-Baqarah: 199] dari setiap pikiran atau perbuatan kesombongan, keangkuhan, dan kezhaliman yang muncul dari diri sendiri. “Maka apabila kamu bertolak dari Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam,” [Q.S. al-Baqarah: 198].

Di Muzdalifah, para jamaah haji menyaksikan sebuah pengalaman yang mungkin untuk pertama kalinya dalam hidupnya: bermalam di alam terbuka di atas tanah, yang membantu mempertajam ruh dan melepaskan diri dari cengkeraman kebiasaan dunia, sehingga mereka merendahkan diri di hadapan Tuhan, tidak menyombongkan diri, dan menjalani kehidupan orang-orang fakir—meski hanya satu malam dalam hidupnya—, serta merasakan keprihatinan orang-orang lemah dan tertindas.

Kesemuanya itu adalah tujuan haji: kerendahan hati, taubat, mengingat asal usul dan takdir, menumbuhkan semangat kebersamaan, persatuan, kesetaraan dan partisipasi, serta melatih diri untuk terus berjuang mengatasi tantangan hidup menuju Tuhan.

Haji sendiri merupakan salah satu bentuk jihad dan latihan untuk itu. Di Muzdalifah, para jamaah haji mempersenjatai diri dengan amunisi yang akan digunakannya untuk berperang dalam tiga hari ke depan melawan setan di Mina. Aktivitas haji sejauh ini telah mempertajam tekad mereka dan mempersiapkan mereka untuk perang simbolis ini.

Saat mengumpulkan jamarat di Muzdalifah, di hati mereka sudah tertanam tekad besar untuk melemparkannya kepada musuh terbesar mereka, setan, dengan penuh keyakinan dan keikhlasan. Mereka telah membuat setan kelelahan di Hari Arafah, setan belum pernah dipermalukan sedemikian rupa seperti pada hari Arafah, hari di mana jutaan orang menentang kekuasaannya.

Tulisan ini sengaja tidak membahas secara khusus tentang ziarah ke Masjid Nabawi di Madinah, yang di dalamnya terdapat tempat bersemayamnya ciptaan Allah paling mulia, Muhammad Saw., penutup para nabi dan rasul. Alasannya adalah karena perkara ini bukan merupakan bagian wajib dari ibadah haji, melainkan sunnah yang diusahakan oleh setiap jamaah haji agar kaki mereka menyentuh tanah yang pernah dipijak oleh kaki paling mulia dan paling suci, kaki Nabi Muhammad Saw., dan bahwa mereka mencari keteduhan, meskipun hanya sesaat, dengan melewati Raudhah yang diselimuti keagungan Allah yang memenuhi diri setiap orang beriman dengan kekhusyukan dan kerendahan hati. Saat mereka lewat di depan Raudhah, mereka mengucapkan salam kepada Rasulullah Saw. dan kedua sahabatnya yang mulia. Jiwa mereka bergetar, dan lubuk hati mereka diliputi kerinduan dan rasa hormat kepada Rasulullah Saw., serta rasa syukur atas nikmat Allah yang telah menjadikan mereka sebagai umatnya.[]

Fenomena Perempuan Berhaji Tanpa Mahram

Pemerintah Arab Saudi pada tahun ini untuk pertama kalinya mengizinkan perempuan penduduknya menunaikan ibadah haji tanpa didampingi mahram atau laki-laki yang dianggap dapat melindunginya, seperti suami, anak laki-laki, dan sebagainya. Praktik itu sejatinya telah banyak dilakukan di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Bahwa itu dilakukan Arab Saudi pada ibadah haji merupakan salah satu dobrakan dalam reformasi sosial mereka.

Pengumuman tersebut dikeluarkan oleh Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi, 14 Juni lalu. Ibadah haji tahun ini hanya dibuka bagi 60.000 warga yang tinggal di kerajaan ini, baik warga Saudi maupun orang-orang asing di negara tersebut.

Dalam infografis Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi disebutkan, ibadah haji tahun ini hanya diperbolehkan bagi warga berusia 18-65 tahun, memiliki surat keterangan sehat dan negatif Covid-19, serta sudah menjalani vaksinasi Covid-19 lengkap. Tertera pula bahwa perempuan boleh menunaikan haji tanpa perlu didampingi mahram. Para perempuan ini akan dikelompokkan menjadi satu jemaah.

Berdasarkan data Pemerintah Arab Saudi, Rabu (21/7/ 2021), sebanyak 40 persen anggota jemaah haji tahun ini adalah perempuan. Ini mencakup mereka yang beribadah dengan mahram ataupun dalam kelompok khusus perempuan.

Bagi Bushra Shah (35), warga Pakistan yang tinggal di Jeddah, aturan tersebut sangat membantu. Ia dan suaminya, Ali Murtada (38), bisa menunaikan haji secara bergiliran. Pasangan ini memutuskan agar Bushra berhaji tahun ini, sementara Ali di rumah mengasuh anak-anak mereka. Tahun depan, giliran Ali yang berencana berangkat haji.

”Saya bisa konsentrasi beribadah karena tidak perlu mengurus suami dan anak pada saat bersamaan. Berkat aturan ini pula, biaya haji jadi lebih murah bagi keluarga kami karena hanya untuk satu orang,” tutur Shah.

Reformasi

Perubahan aturan ini adalah salah satu reformasi sosial yang dicetuskan oleh Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman. Ia berambisi melepas ketergantungan Arab Saudi pada ekonomi yang berbasis minyak dan menanam modal pada pengembangan sumber daya manusia. Pada tahun 2017, ia membuat gebrakan bahwa perempuan diperbolehkan sekolah setinggi-tingginya, masuk ke bursa tenaga kerja secara bebas, dan menyetir mobil.

Tahun 2018, perempuan diizinkan berwiraswasta ataupun berwirausaha tanpa izin mahram. Pada tahun 2019, perempuan Arab Saudi boleh membuat paspor tanpa perlu izin mahram dan bebas pergi ke luar negeri. Adapun pada bulan Februari 2021, Pangeran Mohammed menyatakan, perempuan boleh bergabung dengan militer kerajaan.

Di luar reformasi terhadap peran jender, juga ada aturan yang dikeluarkan melalui Kamar Dagang Arab Saudi bahwa toko-toko tetap boleh buka selama waktu shalat. Alasannya, guna mendorong sektor swasta, terutama usaha kecil dan menengah, lebih berkembang.

Berbagai terobosan ini mendapat reaksi berbeda-beda di masyarakat. Ada kelompok yang menyambut baik dan menganggap reformasi ini adalah langkah menuju Arab Saudi yang modern dan tidak kalah dari negara-negara maju. Akan tetapi, kelompok konservatif menilai gebrakan ini merusak tatanan nilai keagamaan yang selama ini menjadi ciri khas budaya Saudi.

Perubahan tafsir

Antropolog jender Lies Marcoes–Natsir menjelaskan, Arab Saudi melakukan tasaruf atau pengalihan tafsir keagamaan. Praktik ini sebenarnya sudah berkembang di sejumlah negara dengan mayoritas penduduk Muslim, seperti Indonesia dan Malaysia.

”Dalam tradisi masyarakat Arab, mahram itu diurus kaum atau bani tempat perempuan berasal. Secara alamiah, mahram adalah ayah, paman, saudara laki-laki, dan suami dari perempuan yang bertanggung jawab melindungi dan menafkahi perempuan,” paparnya.

Menurut Lies, setelah sistem pemerintahan tradisional berubah menjadi negara bangsa, peran perlindungan ini diambil alih oleh undang-undang yang bersifat mengikat untuk semua rakyat. Konsepnya bukan lagi ”siapa yang menjadi pelindung”, melainkan ”semua dilindungi oleh negara dan menikmati manfaat perlindungan”.

Di Indonesia, perempuan berangkat naik haji tanpa mahram sudah hal biasa karena peran mahram diambil alih oleh negara, dalam hal ini melalui Kementerian Agama. Untuk anggota jemaah perempuan dibentuk kelompok tersendiri yang memiliki jadwal, pemandu, serta transportasi yang ditanggung oleh negara agar keberadaan mereka selama menunaikan haji terjamin keamanannya.

”Sistem ini kemudian diamati dan dicontoh oleh Arab Saudi. Tetapi, jika berbicara dari konsep, reformasi jender ini masih sangat pragmatis, belum masuk pada landasan falsafah Saudi. Meski begitu, ini adalah perkembangan yang baik dan patut dihargai,” tutur Lies. (AFP/REUTERS)

Artikel ini telah terbit di koran KOMPAS

HAJI DI MASA PANDEMI

Oleh Jamaluddin Mohammad

Meskipun belum ada keputusan resmi dari Pemerintah Arab Saudi, Prmerintah Indonesia sudah mengumumkan tidak memberangkatkan haji tahun ini. Kesempatan umat Islam untuk menunaikan ibadah haji tahun ini terpaksa batal atau ditunda tahun selanjutnya.

Dari kelima rukun Islam, ibadah haji merupakan ibadah paling mahal. Bukan hanya ongkos dan biaya perjalanan, tapi juga waktu dan kesempatan. Dari tahun ke tahun minat dan keinginan umat Islam untuk menggenapkan rukun Islam ini semakin tinggi, sementara waktu, kesempatan, juga tempat sangat terbatas.

Untuk mengatasi semua keterbatasan ini, saya teringat tawaran (ijtihad) Salman Ghanim dalam bukunya “Min Haqaiq al-Quran” yang diterjemahkan penerbit LKis menjadi “Kritik Ortodoksi Tafsir Ayat Ibadah, Politik, dan Feminisme”. Menurutnya, berdasarkan QS al-Baqarah [2] (97), ritual haji sesungguhnya tak hanya dibatasi pada 9, 10, dan 11 Dzulhijjah, melainkan bisa memilih tiga hari dalam rentang bulan Syawwal, Dzulqadah, hingga Dzulhijjah. Di Indonesia, tawaran serupa juga dilontarkan Kiai Masdar Farid Masudi.

Jika tawaran waktu ini disetujui dan bisa dipakai, niscaya bisa mengurangi beban antrian kuota haji di seluruh dunia. Minat berhaji umat islam akan semakin tinggi dan tentu akan menggembirakan pemerintah Arab Saudi. Namun, tak mudah merobohkan benteng tradisi yang sudah berumur berabad-abad.

Di negara kita saja, berrdasarkan catatan Kementerian Agama, waktu tunggu paling cepat 11 tahun, sementara paling lama 39 tahun. Rata-rata 18 tahun. Jika orang mendaftar di usia 50 tahun — berdasarkan hitungan rata-rata,—maka akan berangkat di usia 68 tahun.

Kita tak tahu sampai kapan pandemi Covid-19 ini berakhir. Jika pemerintah Arab Saudi tetap membuka haji dengan menggunakan protokol kesehatan, tentu saja kuotanya akan semakin berkurang. Kesempatan orang berhaji pun akan semakin sulit.

Saya pernah mendengar cerita seorang sufi yang batal berangkat haji karena ongkosnya habis untuk membantu orang-orang miskin. Ibadah hajinya akhirnya digantikan oleh malaikat dan dia mendapat predikat haji mabrur. Mungkin seperti inilah pilihan haji di masa pandemi. Siapa berani? 😂

Salam,
Jamaluddin Mohammad

#JumatBerkah

*** Jika Anda batal naik haji dan umrah di tahun ini, bertawaflah mengelilingi pintu rumah orang-orang miskin dan yang membutuhkan.

Merebut tafsir: Bias

Oleh Lies Marcoes

Seorang lelaki yang tampaknya sebagai petugas haji dengan terkekeh-kekeh memberi komentar atas peristiwa “lucu” di mana temannya, seorang petugas layanan haji “diserang” lelaki tua pengguna kursi roda yang tak mau dipisahkan dari istrinya. Menurutnya, lelaki tua itu “cemburu” karena sang istri yang juga menggunakan kursi roda didorong petugas haji lelaki muda. Dalam vlog itu memang tampak sang kakek gelisah, terus memegang tangan istrinya dan tak mau pisah, bahkan sang kakek menyerang kepada pendorong kursi roda istrinya yang tampaknya akan memisahkan mereka.

Bagi sebagian orang mungkin peristiwa itu lucu, dan itu pula yang tampaknya dilihat oleh sang lelaki pembuat vlog dengan ucapannya berkali -kali si kakek cemburu.

Saya kesal dengan “enyekan” si pembuat vlog itu. Tapi kemudian saya merasa kekesalan itu tak ada guna karena si lelaki pembuat vlog ini tampaknya tak faham bagaimana menangani lansia.

 

Hal yang dia tahu adalah yang biasa dalam pikiran dan perilakunya sendiri sebagai lelaki muda. Mungkin dalam benaknya ia berpikir ” Kalau kejadian itu terjadi pada saya, sikap itu merupakan bentuk kecemburuan saya”. Dari sisi itu enyekan dan tertawaan dia merupakan hal yang ia ketahui dan ia alami sebagai lelaki muda. Di sini terjadi proses bias. Ia telah mengandaikan apa yang terjadi pada lelaki tua itu persis yang ia mungkin akan lakukan jika ia dipisahkan dari istrinya.

Dalam bahasa psikologi dan gender sikap lelaki itu BIAS lelaki muda, mungkin anak kota. Ia telah menerjemahkan sebuah peristiwa berdasarkan tafsiran dan subyektivitasnya sendiri. Menjadi bias adalah wajar karena setiap orang memiliki subyektivitasnya. Namun persoalannya jika dengan bias itu seseorang merasa sudah benar dan ia punya kuasa untuk melakukan tindakan, maka ia telah melakukan tindakan diskriminatif yang berangkat dari bias dan prasangkanya.

 

Bagaimana caranya untuk keluar dari bias serupa itu? Dalam studi gender yang basisnya pemikiran kritis feminis, seseorang harus berpikir kritis dan memiliki empati. Jika si lelaki pembuat vlog itu mau keluar dari subyektivitasnya dan berpikir kritis dia akan sampai kepada referensi lain tak hanya terbatas kepada apa yang dialaminya sendiri yaitu rasa cemburu. Caranya dia harus keluar dari ego dan subyektivitasnya dan menyeberang kepada sang kakek. ” Bagaimana kalau aku seusia dia, bagaimana kalau itu terjadi kepada kakek nenekku ?”.

Seandainya dia tahu bagaimana lelaki ditumbuhkan dalam budaya Indonesia ia akan paham, lelaki itu umumnya menjadi tak berdaya karena mereka lebih banyak “multi-asking” daripada “multi-tasking”. Karenanya sangat wajar tingkat ketergantungannya kepada istrinya menjadi lebih tinggi di saat ia menjadi tua/lansia. Lelaki yang tak terbiasa mengurus dirinya sendiri dan secara budaya dan agama dibenarkan untuk selalu diladeni, ia pasti akan ketakutan kalau dipisahkan dari pendampingnya. Jadi, bukan urusan sepela seperti rasa cemburu, melainkan hilangnya rasa aman. Belum lagi dignity-nya sebaga lelaki, misalnya kalau ngompol bagaimana? Si kakek tua itu niscaya ketakutan berpisah dari istrinya. Dan rasa takut itu yang tidak terbayangkan oleh lelaki muda yang dalam segala hal masih bisa melakukannya sendiri.

 

Studi-studi tentang lansia dengan analisis gender menunjukkan hal itu. Dan makin miskin pasangan itu akan semakin besar ketergantungan kepada istrinya yang melayaninya tanpa pamrih.

Dari sana akan terbit sikap empati dan pembelaan.

Pengetahuan merupakan kunci yang akan mengantarkan pada pemikiran yang melahirkan empati.
Saya yakin, si pemuda pemberi layanan haji itu tak dibelaki pengetahuan bagaimana melayani lansia dari ragam budaya, latar belakang kebiasaan desa kota, sampai psikologi lansia. Karenanya cara dia bereaksi sekonyol itu.

Dalam kajian feminsime, membangun empati lahir dari kesadaran kritis atas penindasan manusia oleh manusia lain, alat ukurnya adalah mengritisi relasi timpang, stereotyping dan bias.

Saya tak harus menjadi orang Papua , Cina, waria, Kristen, Ahmadiyah, disable untuk berempati kepada mereka yang dalam struktur masyarakat kita mereka adalah kelompok yang “diminoritaskan” untuk mengakses keadilan. Tapi pengalaman sebagai perempuan dengan kesadaran kritis atas penindasan yang dialaminya dapat mengantarkan saya kepada lahirnya empati dan pembelaan kepada mereka atas hak-haknya sebgaia manusia atau minimal warga negara. Tiap diri niscaya memiliki bias, tapi pengetahuan dan kesadaran kritis dapat mengikisnya dan berubah menjadi empati bahkan pembelaan [].

Bogor 19 Juli 2019