Pos

Reportase “Sosialisasi Buku Fikih Perwalian dan Sosialisasi Revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, Untuk Pencegahan Perkawinan Anak – Cianjur

Rumah Kita Bersama atas dukungan The Oslo Coalition on Freedom of Religion or Believe – University of Oslo Norwegia, pada hari Selasa 12 Oktober 2021 menyelenggarakan kegiatan “Sosialisasi Buku Fikih Perwalian dan Sosialisasi Revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, untuk Pencegahan Perkawinan Anak.”

Kegiatan ini diselenggarakan pada hari Selasa, 12 Oktober 2021, berlokasi di Pondok Pesantren Nurul Hidayah Al-Khadijiyah, berlokasi di Kp. Kedudampit, RT01/RW09, Desa Rancagoong, Kecamatan Cilaku, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Tepatnya dari alun-alun Kabupaten Cianjur menuju lokasi hanya berjarak 3 km.  Jumlah santri yang menetap di pesantren tersebut sebanyak 600 santri, terdiri dari 300 santri perempuan dan 300 santri laki-laki. Kurikulum Pesantren ini menggunakan model pendidikan salaf, mengaji berbagai kitab-kitab kuning mu’tabarah (otoritatif), terutama karena para kyai dan ajengan yang mengasuh pondok pesantren ini merupakan santri-santri yang pernah bermukim di pesantren tradisional seperti Sidanglaut-Cirebon, Al-Anwar-Sarang, dan Banten.

Pelaksanaan kegiatan ini dilaksanakan pada pukul 09.30 dan berakhir pukul 13.30 WIB. Kesediaan peserta memang hanya bisa dilaksanakan pada jam 09.30 WIB, karena domisili peserta yang sangat jauh dari pesantren, dan mereka harus mengantar anak pergi ke sekolah terlebih dulu.

Kegiatan ini melibatkan 20 orang peserta, terdiri dari para ustaz muda dan ustazah muda yang aktif dalam kegiatan pesantren dan masyarakat di Cianjur yang berhadapan langsung dengan kasus-kasus perkawinan usia anak di tingkat desa. Termasuk juga para remaja/santri dan tokoh masyarakat yang aktif dalam upaya pencegahan perkawinan usia anak. Bahkan sebagian peserta berdomisili di desa-desa pelosok di Kabupaten Cianjur, mereka merupakan murid-murid Abah Kyai Deni, Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Hidayah Al-Khodijiyah.

Jaringan Pesantren Nurul Hidayah Al-Khodijiyah tersebar luas dari mulai Cianjur Utara hingga wilayah Cianjur Selatan. Melalui jaringan guru-murid ini menghadirkan para peserta (tokoh agama) yang telah lama memiliki akar yang kuat di masyarakat di berbagai wilayah pedesaan, mereka diundang secara khusus oleh Abah Kyai Deni sendiri melalui Gus Fikri yang mendistribusikan Undang-Undang tersebut.

Pentingnya pelibatan para tokoh agama yang berada di level desa, terutama di wilayah pelosok, menurut Abah Deni, karena banyak dari mereka belum memiliki pengetahuan baru terkait pandangan keagamaan yang memiliki keberpihakan terhadap anak.

Narasumber yang berpartisipasi dalam kegiatan ini  di antaranya, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kab. Cianjur Bidang Komisi Fatwa (Abah KH. Deni Ramdani), Peneliti Rumah KitaB wilayah Cianjur (Aminah Agustinah, M.Ant.), Pimpinan Pesantren dari kalangan perempuan di wilayah Cikalong Kulon-Cianjur yaitu ibu Nyai Neng, Pengkaji Teks Rumah KitaB (Gus Jamaluddin Mohammad), dan Wakil Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Cianjur yaitu Abdul Majid.

Kegiatan ini diselenggarakan dengan standar penyelenggaraan protokol kesehatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Cirebon di masa pandemi covid, saat Cianjur berstatus PPKM level 2 (Oktober 2021).

Kegiatan ini merupakan bentuk dukungan Rumah KitaB terhadap implementasi Strategi Nasional (STRANAS) Pencegahan Perkawinan Anak yang telah diluncurkan oleh Kementerian PP/Bappenas RI tahun 2020 untuk percepatan penghapusan perkawinan anak. Melalui program Bahtsul Masail Plus ini, Rumah KitaB mendorong implementasi Strategi Nasional (stranas). Poin 1, yaitu optimalisasi kapasitas anak melalui tindak lanjut regenerasi dan penguatan kapasitas anak. Poin 2, lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak.

Isu yang diangkat

Terdapat beberapa tujuan utama yang terealisasi dari kegiatan ini; Pertama, tersosialisasinya pandangan keagamaan yang ramah terhadap hak-hak anak yang bebas dari perkawinan anak dan perkawinan paksa melalui bedah buku Fikih Perwalian. Gus Jamaluddin Mohammad telah secara rinci memaparkan pentingnya merekonstruksi Kembali pandangan keagamaan tentang konsep perwalian yang ramah terhadap anak dan berisi konter narasi terhadap pandangan-pandangan keagamaan yang memperkenankan perkawinan anak dan perkawinan paksa sebagaimana diyakini banyak masyarakat yang melegalkan perkawinan usia anak dan perkawinan paksa.

Tujuan kedua, yaitu tersosialisasinya revisi UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019 dan PERMA No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Perkara Dispensasi Usia Kawin dalam Peradilan Agama dan Peradilan Umum, sebagai upaya pencegahan perkawinan anak melalui lembaga peradilan. Wakil ketua Pengadilan Agama Kabupaten Cianjur telah secara rinci juga memaparkan pentingnya sosialisasi revisi UU Perkawinan tersebut dan Perma nomor 5/2019.

Tujuan ketiga, terpetakannya problem-problem faktual terkait dampak peningkatan batas minimal umur perkawinan menjadi 19 tahun terhadap praktik kawin anak melalui upaya hukum dispensasi kawin atau perkawinan yang tidak dicatatkan (perkawinan siri).

Beberapa kasus yang muncul dalam diskusi tersebut, di antaranya pertama, menurut Wakil Ketua PA Cianjur, revisi UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019 berdampak pada peningkatan permohonan dispensasi kawin. Sebelum adanya revisi undang-undang tersebut, masyarakat terbiasa mengawinkan anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun. Menurut Hilmi, pandangan diskriminatif tersebut dilatar belakangi pandangan keagamaan masyarakat yang timpang/tidak adil secara gender.

Kedua, menurut Aminah, Bu Nyai Neng, dan ajengan fikri perkawinan anak di Cianjur dilatar belakangi lemahnya kemampuan ekonomi orangtua. Ajengan Fikri menjelaskan lebih jauh, dan menjelaskan salah satu kasus soal hutang-piutang yang kemudian mengorbankan anak masuk terjebak dalam derita kawin anak. Dalam kasus tersebut, orangtua memiliki hutang besar kepada para cukong, yang kemudian menagih hak (utang) mereka, bila terdapat celah tidak adanya kemampuan orangtua dalam membayar hutang, biasanya para cukong itu akan memaksa anak gadisnya menikah dengan mereka sebagai isteri kedua atau ketiga. Beberapa kasus seperti itu terjadi di Cianjur.

Problem kemiskinan di Cianjur telah lama terjadi sebagai akibat dari perubahan ruang hidup dan hilangnya kesempatan ekonomi akibat gempuran industri pariwisata yang tidak berpihak pada pemberdayaan ekonomi lokal sejak 30 tahunan silam. Banyak masyarakat tergiur menjual tanahnya, dan kemudian kehilangan akses ekonomi agraris. Sementara gerakan kampanye perpanjangan pendidikan tidak begitu massif di tingkat para pemangku kebijakan, sehingga banyak anak-anak tidak memiliki keahlian dan kemampuan Pendidikan.

Ketiga, pandangan keagamaan yang tidak berpihak pada perempuan dan anak-anak masih menjadi pandangan dominan bagi sebagian masyarakat dan sebagian tokoh agama di Cianjur. Menurut Abah Kyai Deni, penting melaksanakan pendekatan kepada ajengan-ajengan terkait isu pencegahan perkawinan anak, banyak dari mereka belum terinformasikan terkait problematika, dan tantangan yang dihadapi oleh anak-anak di Cianjur, khususnya terkait perkawinan usia anak. Sementara pendekatan kepada ajengan-ajengan hanya bisa dilakukan oleh ajengan atau kyai/orang yang memiliki latar belakang pendidikan pesantren juga atau para alumni kampus-kampus di Timur Tengah.

Keempat, beberapa peserta menuturkan bahwa salah satu penyebab terjadinya perkawinan anak yaitu tradisi masyarakat yang khawatir anaknya menjadi perawan tua bila terlambat dinikahkan.

Kelima, peserta lain menjelaskan, pergaulan yang tidak sehat dan menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan di kalangan anak-anak perempuan. KTD menjadi salah satu kasus yang dominan dalam pengajuan permohonan dispensasi kawin di pengadilan agama kabupaten Cianjur dalam 2 tahun terakhir.

Menurut Abah Kyai Deni, kegiatan ini sangat penting, dan diharapkan dapat dilakukan kembali di wilayah Cianjur dengan keterlibatan peserta yang lebih luas, khususnya para ajengan dan kyai sepuh di berbagai pelosok desa di Cianjur, khususnya Cianjur Selatan. AH[]

Reportase Sosialisasi Buku Fikih Perwalian dan Sosialisasi Revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, Untuk Pencegahan Perkawinan Anak – Jakarta Utara

Rumah Kita Bersama atas dukungan The Oslo Coalition – University of Oslo Norwegia, pada hari Jumat 8 Oktober 2021 menyelenggarakan kegiatan “Sosialisasi Buku Fikih Perwalian dan Sosialisasi Revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, untuk Pencegahan Perkawinan Anak.”

Kegiatan tersebut berlokasi di Pondok Pesantren Al-Miftahiyyah, Kelurahan Kalibaru, Kec. Cilincing Jakarta Utara. Wilayah ini merupakan salah satu wilayah terpadat, terkumuh dan termiskin di Provinsi DKI Jakarta.

Kegiatan ini melibatkan 20 orang peserta, terdiri dari para ustaz muda dan ustazah yang aktif dalam kegiatan pesantren, perwakilan 14 RW di Kelurahan Kalibaru, Kec. Cilincing, Jakarta Utara. Jumlah peserta yang hadir pada kegiatan tersebut berjumlah 22 orang, terdiri dari 5 Laki-laki dan 18 perempuan.

Narasumber yang hadir dan berpartisipasi dalam kegiatan ini di antaranya Dr. KH. Abdul Moqsith Ghozali (Majelis Ulama Indonesia Pusat),  Dr. Drs. H. Muhammad Fauzi Ardhi SH. MH. (Wakil Ketua Pengadilan Agama Kota Adm. Jakarta Utara), dan Achmat Hilmi, Lc., MA., Peneliti Senior Rumah KitaB. Sementara moderator kegiatan yaitu Gus Jamaluddin Mohammad.

Kegiatan ini diselenggarakan di Aula Pondok Pesantren Al-Miftahiyyah lantai 3, pukul 14.30 WIB, dan berakhir pukul 17.15 WIB.

Kegiatan ini diselenggarakan dengan standar penyelenggaraan protokol kesehatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Adm. Jakarta Utara di masa pandemi covid, saat Provinsi Jakarta berstatus PPKM level 3 (Oktober 2021).

Kegiatan ini diselenggarakan di wilayah yang memiliki suhu di atas 30 derajat, dengan keterbatasan pendingin ruangan, dan ruang yang tersedia memang sangat terbatas. Namun kondisi itu tidak menyurut semangat peserta dalam menghadiri kegiatan. Untuk mengantisipasi dehidrasi, panitia menyediakan lebih banyak air minum dari biasanya, termasuk fasilitas minuman dingin dari panitia bagian konsumsi.

Isu yang diangkat

Setidaknya dua hal penting yang disosialisasikan yaitu Sosialisasi Fikih Perwalian, dan Sosialisasi Revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 sekaligus Peraturan Mahkamah Agung RI No. 5 Tahun 2019.

Terselenggarana kegiatan ini berhasil merealisasikan beberapa tujuan penting dalam upaya pencegahan perkawinan anak; Pertama, tersosialisasikannya Konsep Qiwamah dan Walayah yang berpihak pada perempuan dan anak. Sebelumnya konsep kedua isu besar ini (Qiwamah dan Walayah) ini dipraktikkan dalam masyarakat yang berada dalam sistem patriarkhi, untuk melegalkan ketimpangan relasi gender antara suami dan isteri, dan antara anak perempuan dengan ayahnya. Suami sebagai pemimpin di dalam rumah tangga sementara perempuan sebagai makmumnya, yang nasib hidup dan masa depannya berada di bawah suaminya, semua keputusan berada di tangan suami, sehingga banyak terjadi kekerasan di dalam rumah tangga yang diakibatkan oleh cara pandangan yang tidak adil gender.

Kedua, tersosialisasikannya revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019, yang menaikkan batas usia minimum pernikahan, dan revisi Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2019 tentang ”Pedoman Mengadili Perkara Dispensasi Usia Kawin”.

Ketiga, terpetakannya problem, tantangan dan hambatan dalam pencegahan perkawinan anak, terutama paska berlakunya revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019,dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2019. Hakim Fauzi yang hadir sebagai Wakil Ketua Pengadilan Agama Kota Adm. Jakarta Utara, menuturkan bahwa kelemahan dari revisi UU Perkawinan Nomor 16 tahun 2019 ini hanya merevisi batas minimum usia kawin, tidak menyertakan tambahan penting lainnya yang harus disertakan dalam upaya mendukung pencegahan perkawinan usia anak seperti pemberian sanksi, karena memang itu ranah perdata.

Soal lain Fauzi menyinggung revisi UU Perkawinan tersebut langsung berdampak pada kenaikkan angka permohonan dispensasi kawin ke pihak Pengadilan Agama Kota Adm. Jakarta Utara. Fenomena perempuan menikah di usia 18 tahun banyak terjadi di Jakarta Utara, namun karena terdapat revisi UU Perkawinan tersebut, sehingga mereka mengajukan permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama. Tantangan lainnya, para pemohon dispensasi kawin karena anaknya sudah hamil.

Meski begitu, Fauzi mengklaim bahwa Pengadilan Agama telah menolak permohonan dispensasi usia kawin sekitar 20 persen dari jumlah permohonan selama 2021. Namun pengabulan permohonan dispensasi usia kawin masih tinggi, yakni kurang lebih 80 persen.

Hal tersebut merekognisi pengalaman masyarakat yang dibagikan dalam kegiatan tersebut terkait tantangan pencegahan perkawinan usia anak, yaitu “hamil duluan”. Di samping itu rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat yang menyebabkan banyak anak putus sekolah, lebih memilih menjadi pengamen jalanan karena menghasilkan uang untuk kebutuhan primer seperti makan,  “jajan”, nongkrong bersama teman-temannya di luar rumah, dan beli kuota intenet. Problem lain, yaitu buruknya relasi orangtua dengan anaknya dilihat dari terdapatnya kasus kehamilan yang disebabkan oleh ayah kandungnya sendiri.

Pertanyaan yang muncul pada akhirnya terkait hukum/status wali bagi orangtua yang telah menghamili anaknya. Pertanyaan ini secara spesifik dijawab oleh para narasumber, termasuk Dr. KH. Abdul Moqsith Ghozali, dia mengatakan bahwa status wali bagi orangtua tersebut secara otomatis gugur, bahkan status ayahnya pun gugur, karena tidak lagi dianggap sebagai ayah atau orangtua si anak tersebut yang menjadi korban kekerasan seksual di rumahnya sendiri.

Sementara itu Achmat Hilmi, narasumber dari Rumah KitaB, menekankan dua hal, pertama, perkawinan anak yang dipaksakan meskipun dalam kasus anak hamil duluan, bukanlah solusi, justru menambah derita anak, menghindari “afsadul mafasid” (kemafsadatan terbesar) lebih diutamakan ketimbang membela sesuatu yang maslahatnya masih bersifat dugaan. Terlebih, menurut Syariat Islam, kemaslahatan harus berpihak pada kepentingan anak.

Kedua, sejalan dengan keberpihakan pada kepentingan anak, syariat Islam memiliki tujuan luhur berupa kemaslahatan manusia. Bahkan kemaslahatan dan kebijaksanaan merupakan prinsip utama dalam ajaran Islam.

 

 فإن الشريعة مبناها وأساسها على الحكم ومصالح العباد في المعاش والمعاد وهي عدل كلها ورحمة كلها ومصالح كلها وحكمة كلها فكل مسألةخرجت عن العدل إلى الجور وعن الرحمة إلى ضدها وعن المصلحة إلى المفسدة وعن الحكمة إلى العبث فليست من الشريعة وإن أدخلت فيها بالتأويل

 

Berdasarkan hal itu, syariat Islam tidak berpihak pada kemadharatan. Segala bentuk pandangan keagamaan yang berdampak pada kemadharatan maka bertentangan dengan tujuan luhur Syariat Islam. AH[]

Reportase Sosialisasi Buku Fikih Perwalian dan Sosialisasi Revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, Untuk Pencegahan Perkawinan Anak – Cirebon

Kegiatan yang bertema, “Sosialisasi Buku Fikih Perwalian dan Sosialisasi Revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, Untuk Pencegahan Perkawinan Anak,” terselenggarakan pada Selasa, 05 Oktober 2021, bertempat di aula utama masjid As-Shighor, pondok pesantren As-Shigor, Desa Gedongan Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Acara dibuka pada pukul delapan lebih tiga puluh menit (08.30 WIB), yang dimulai dengan Test Rapid Antigen Covid-19 terlebih dahulu sebagai bagian dari penerapan protokol kesehatan secara ketat dan optimal di masa pandemi Covid-19.

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Rumah Kita Bersama atas dukungan The Oslo Coalition on Freedom of Religion or Believe – University of Oslo Norwegia.

Mewakili keluarga besar pesantren As-Shigor sekaligus sambutan tuan rumah untuk pengantar kegiatan, pengasuh pondok pesantren As-Shigor yakni Kyai Syauqi, menegaskan perihal posisi pesantren terhadap isu-isu aktual atau masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat dalam konteks pencegahan perkawinan anak pada situasi hari ini. Melalui sambutannya, ia menyampaikan mengenai prinsip yang diketengahkan oleh tradisi pesantren adalah Al-Mukhafadhatu Ala Al-Qodim As-Sholih, Wal Ashlu bil Jadidil Aslah. Dari prinsip tersebut, terejawantahkan bahwa kegiatan yang diselenggarakan oleh Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah Kitab) semata-mata ditujukan sebagai implementasi dari proses ijtihad atau upaya pembaharuan hukum agar tradisi pesantren dapat secara komperhensif merespon persoalan perkawinan anak.

Kegiatan berlanjut dengan penyelenggaran diskusi sekaligus sosialisasi tentang Buku Fikih Perwalian dan Sosialisasi Revisi UU Perkawinan Nomor 2019, serta Perma Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin untuk Pencegahan Perkawinan Anak. Di awal diskusi, Ustad Hilmi dari Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah Kitab) memaparkan kepada seluruh peserta yang hadir perihal sejarah berdirinya Rumah KitaB. Menurutnya, Rumah Kitab dibentuk oleh individu-individu yang memiliki latar belakang keluarga pesantren atau kyai-kyai yang berasal dari pesantren Cirebon, seperti Gus Jamaluddin, Mukti Ali, dan lain-lain. Ustad Hilmi, yang berperan sebagai moderator dalam diskusi ini juga memberikan informasi tentang mandat yang diimplementasikan oleh Yayasan Rumah Kitab, sebagai organisasi yang punya konsen terhadap kajian dan penelitian yang berbasis pada tradisi kitab kuning pesantren dalam merespon isu kemanusiaan.

Gus Jamaluddin, narasumber pertama dalam diskusi ini, menginformasikan kilas-balik perjalanan hadirnya buku Fikih Perwalian yang dibuat dan diterbitkan oleh Yayasan Rumah Kita. Buku Fikih, menurut cerita Gus Jamal, berawal dari proses diskusi yang diselenggarakan oleh Rumah Kitab secara berkala. Di dalamnya, dua tema penting diproyeksikan, pertama, soal relasi suami-istri yang berperspektif keadilan dan kesetaraan gender, kedua, soal relasi orangtua dengan anak. Kedua tema tersebut didekati dengan metode penelitian lapangan dan metode penelitian berbasis teks-teks keislaman. Dalam proses tersebut, Rumah Kitab memiliki kekhasan dalam pendekatan yang melakukan suatu pendekatan dialektis antara teks-teks keagamaan dan realitas. “Teks seperti Al-Quran dan Hadist itu berbicara soal apa dan bagaimana tentang relasi suami-istri serta relasi orangtua, lalu realitas yang terjadi di masyarakat itu seperti apa. Sehingga, goalnya adalah menawarkan suatu cara pandang keadilan dan kesetaraan dalam proses dialektika antara teks dan realitas tersebut,” Pungkas Gus Jamal.

Melanjutkan yang disampaikan oleh Gus Jamaluddin, Kyai Taufiqurrohman menerangkan tentang kedudukan teks dan realitas secara lebih holistik. Menurut pemaparan Kyai Taufiqorrohman, teks itu terbatas, sementara peristiwa itu tidak terbatas. Dalam merespon kondisi tersebut, penting memposisikan Fiqh itu sebagai yurisprudensi, dan rujukan untuk advokasi pada kenyataan yang berkembang. Lanjutnya, “Jadi jangan sampai, apa yang sudah menjadi Qaul ulama, kita posisikan sebagai turats, peninggalan dalam bentuk pengetahuan dan pemikiran yang dihadirkan saat sekarang.”

Pemateri berikutnya adalah Kyai Husein Muhammad dari Pesantren Darut Tauhid dan Bapak Wasadin dari Pengadilan Agama (PA) Sumber Kabupaten Cirebon. Buya Husein menerangkan soal problem dualisme hukum yang terjadi di Indonesia, ada hukum positif juga hukum kebiasaan yang berjalan di masyarakat yang berlandaskan pada teks-teks keagamaan. Dalam konteks isu keseteraan gender, Buya Husein memberikan satu pemahaman berharga kepada para peserta tentang kedudukan perempuan di Islam, dari era kenabian dan sekarang. Sedangkan penjelasan Bapak Wasadin dari Pengadilan Agama Cirebon menceritakan soal-soal masalah dispensasi perkawinan yang dihadapi oleh dirinya sebagai hakim. Kegiatan selesai pada pukul 12.30 Wib, dengan diikuti oleh 20 peserta dari perempuan dan laki-laki, baik santri, pengurus pesantren serta pengajar di pesantren As-Shigor sendiri. AH[]

SEMINAR INTERNASIONAL: PENCEGAHAN PERKAWINAN ANAK DAN PERKAWINAN PAKSA MELALUI KAJIAN BUKU FIKIH PERWALIAN

Lampung, 26 Agustus 2020

 

 

 

Secara historis, praktik perkawinan anak lazim terjadi dan dapat diterima masyarakat, tak hanya di Indonesia, melainkan di seluruh belahan dunia. Namun, di zaman modern, praktik perkawinan anak tak hanya dipertanyakan tapi juga dianggap bermasalah dan berbahaya bagi anak perempuan. Angka perkawinan anak di Indonesia masih cukup tinggi dan Indonesia masih menempati urutan kedelapan terbanyak di seluruh dunia. Karena itu, peran ulama atau tokoh agama sangat penting untuk mencegah perkawinan anak. Hal ini disampaikan Nelly van Doorn perwakilan dari Oslo Coalition dalam Seminar Internasional Pencegahan Perkawinan Anak dan Perkawinan Paksa Melalui Kajian Buku Fikih Perwalian di Aula Saefuddin Zuhri IAIN Metro, Lampung (26/08)

 

Acara ini terselenggara atas kerjasama Rumah KitaB, IAIN Metro, Payungi Universty yang didukung penuh oleh Oslo Coalition. Dalam sambutannya, Direktur Rumah KitaB, Lies Marcoes, mengatakana bahwa pemilihan Lampung sebagai tuan rumah acara ini karena berdasarkan data nasional, angka perkawinan anak di Lampung dalam beberapa tahun belakangan cenderung naik dan masih cukup tinggi. Karena itu, dengan diskusi ini, diharapkan melahirkan solusi dan upaya pencegakan perkawinan anak, khususnya di Lampung. Selain itu diharapkan LPPM IAIN Lampung dapat melakukan penelitian dan kajian akademik atas kemungkinan naiknya angka perkawinan anak akibat wabah covid 19 yang menyebabkan anak perempuan tidak aktif sekolah.

 

Diskusi buku yang diikuti 103 peserta, baik daring maupun luring, menghadirkan empat narasumber, yaitu Dr. Mufliha Wijayanti dari PSGA (Pusat Studi Gender dan Anak) IAIN Metro Lampung, Dharma Setiawan  MA, dari Payungi University, Ahmad Hilmi Lc. MA  peneliti Rumah KitaB. Sementara itu Dr. Lena Larsen dari Oslo Coalition memberikan closing remarks dengan menekankan pentingnya menghindari hal yang buruk akibat kawin anak dengan menekankan kaidah Ushul Fiqh la dharar wala dirar. Acara ditutup sambutan dari rektor IAIN Metro Prof. Dr. Hj. Enizar, M.Ag dan Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama RI Prof. Dr. M. Arskal Salim GP, M.Ag

***

Mufliha membeberkan data tingginya angka perkawinan anak berdasarkan angka dispensasi nikah yang dikeluarkan Pengadilan Agama di seluruh Bandar Lampung. Berdasarkan data tersebut angkanya cukup mencengangkan karena dalam satu bulan lonjakannya sangat signifikan, yaitu menembus angka 297. Menurutnya, dispensasi nikah adalah praktik perkawinan anak yang dilegalkan negara.

 

Di Lampung sendiri, menurut Mufliha, masih berlaku tradisi  selarian atau “kawin lari”, sebagaimana tradisi mararik di Lombok. Belum lagi, dalam masyarakat agraris, ada semacam nilai yang dipahami bahwa “banyak anak banyak rejeki”. Tak sedikit masyarakat petani yang masih menganggap anak sebagai aset dan sumber tenaga kerja. Kawin anak juga terjadi dan digunakan sebagai media untuk memperluas jaringan sosial. “Jika seseorang ingin naik kasta (kelas sosial), pernikahan adalah salah satu cara. Atau ingin mempertahankan darah biru sebuah keluarga. Dia akan menikahkan dengan keluarga yang sama-sama darah biru,” ujar Mufliha

 

Mufliha menegaskan bahwa perkawinan anak harus dihentikan. Yang paling merasakan dan terdampak langsung dari kawin anak adalah perempuan. Ia harus menanggung kehamilan beresiko, rentan terkena penyakit, terputusnya akses pendidikan, KDRT, dan perceraian. Kawin anak merenggut hak dan masa depan anak. Karena itu harus segera diakhiri.

 

Karena itu, Mufliha sangat mengapresiasi kehadiran buku Fikih Perwalian ini. Setidaknya, buku ini memberikan sumbangan wacana keagamaan yang menolak dan melarang praktik perkawinan aanak. Ia berharap kajian fikih perwalian ini bisa diintegrasikan dalam mata kuliah di perguruan tinggi.

 

Tak hanya menjadi korban perkawinan anak, kata Dharma Setiawan dari Payungi University, perempuan juga mengalami proses pemiskinan dan ketidakadilan. Perempuan masih dianggap sebagai penghalang pembangunan. Gaji perempuan lebih rendah, kesempatan kerja sempit, banyak mengalami pengangguran terbuka, angkatan kerja perempuan menurun, sementara beban kerja tinggi. Karena itu, kata Dharma, negara harus memberi ruang dan menguatkan peran perempuan agar tak terjatuh dalam kubangan kemiskinan yang menjadi salah satu penyebab sekaligus mata rantai perkawinan anak di negeri ini.

 

Sementara Ahmad Hilmi, sebagai salah satu penulis buku dan peneliti Rumah KitaB, mencoba menawarkan pendekatan maqasid syariah untuk memahami teks-teks kegamaan agar tidak terjebak pada tekstualisme. Teks-teks kegamaan harus dibaca secara kontekstual dan berorientasi pada kemaslahatan (maqasid syariah) dan kemanusiaan. Oleh karena itu, kata Hilmi, setiap teks yang seolah-olah menjustifikasi ketidakadilan maka harus direkonstruksi dan ditafsiri ulang, seperti pada konsep Walaya dan Qiwamah. Sehingga, sebagaimana ditegaskan Arkal Salim dalam sambutan penutupan seminar ini, pentingnya reinterpretasi ajaran Islam yang berorientasi pada kemaslahatan, keadilan dan tidak bias jender. Wacana kegamaan seperti ini harus menjadi arus utama (mainstreaming) dalam perbincangan publik.

 

Di sinilah, kata Lena Larsen, dibutuhkan ijtihad baru untuk menghasilkan norma baru. Karena, dengan adanya penafsiran-penafsiran baru, akan melahirkan praktik-praktik baru yang lebih baik. Sebagaimana dalam kasus kawin anak, kata Lena, dalam realitasnya sangat membahayakan anak dan itu bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam sebuah hadis yang menjadi prinsip utama semua ajaran Islam dikatakan bahwa “La dharar wa la dhirar” (Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain). Prinsip inilah yang harus dijadikan pedoman dalam memahami dan merumuskan hukum-hukum islam. Dengan demikian, Islam sebetulnya tak bertentangan dengan hukum nasional maupun internasional dalam menjunjung tinggi hak asasi manusia dan perlindungan terhadap kemanusiaan. [] JM

 

 

 

Salam,

Jamaluddin Mohammad

Laporan Webinar Diskusi Buku Fikih Perwalian Kerjasama Pondok Pesantren Dar Al Fikr dengan Rumah KitaB dan Oslo Coalition

“ Tradisi Pesantren: Membaca Fakta Menawarkan Solusi”

 

CIREBON. Bekerjasama dengan Pesantren Dar Al Fikr Arjawinangun, Cirebon, Rumah KitaB kembali menyelenggarakan seminar diskusi Buku Fikih Perwalian guna mensosialisasikan gagasan-gagasan berbasis kajian tentang upaya pencegahan perkawinan anak. Acara ini terselenggara berkat dukungan Oslo Coalition, sebuah lembaga HAM berbasis universitas di Oslo, Norwegia untuk penguatan hak asasi manusia termasuk hak perempuan dan anak.

 

Menyesuaikan  dengan  protokol pencegahan penyebaran virus corona, kegiatan yang diadakan di  Aula MAN Nusantarara, Arjawinangun, 5 Juli 2020 ini, dihadiri peserta langsung yang dibatasi 25 orang sesuai aturan gubernur Jawa Barat. Namun untuk menampung minat para peserta dari seluruh Indonesia yang tertarik setelah mereka melihat iklan seminar itu, tercatat 204 peserta online, dan 4000 tayangan yang mengikuti melalui facebook live.

 

Dalam kegiatan ini tiga narasumber di hadirkan yaitu Nyai Nurul Bahrul Ulum, peneliti aktivis dan salah satu tokoh muda di Cirebon yang sehari-hari aktif di Fahmina Institue, Ustadz Iqbal, lulusan fakultas syariah di Maroko yang saat ini mengajar di Ma’had Aly di lingkungan pesantren di pesantren Darut Tauhid, Cirebon, dan kyai Husein Muhammad, seorang kyai yang kerap disebut sebagai kyai feminis, pengasuh pesantren Dar Al Fikr dan tokoh penting bagi gerakan  perempuan di Indonesia yang pernah menjadi salah satu anggpta komisioner Komnas Perempuan.

 

Seminar ini tak hanya membedah buku dan dimana letak sumbangan buku dalam upaya pencegahan perkawinan anak melalui  pembahasan satu persoalan yang sangat berpengaruh pada praktik perkawinan anak yaitu soal hak ijbar (hak memaksa) atas nama peran ayah sebagai wali bagi anak perempuannya. Praktik perkawinan anak di Indonesia antara lain terkondisikan oleh pandangan keagamaan yang memberi otoritas besar kepada ayah, atau kepada negara sebagau wakil dari ayah (wali adhol) yang meloloskan perkawinan melalui upaya hukum pemberian dispensasi nikah.

 

Perkawinan anak merupakan problem serius dan menghambat kesejahteraan masyarakat.  Satu di antara 8 perempuan di Indonesia menikah di bawa 18 tahun (BPS). Dari perkawinan anak bisa muncul rentetan persoalan-persoalan lain, seperti risiko kematian ibu dan anak, gangguang kesehatan reproduksi gangguan mental,  KDRT, dan melanggengkan kemiskinan.  Data berbasis riset ini disampaikan Nyai Nurul Bahrul Ulum, aktivis dan pendiri Cirebon Feminis, dalam Webinar Diskusi Buku dengan bertajuk “Pencegahan Perkawinan Anak dan Perkawinan Paksa melalui Kajian Buku Fikih Perwalian”. (05/07).

 

Karena itu, kata Bahrul Ulum, perkawinan anak akan selalu berkelindan dengan kemiskinan dan kekerasan. Untuk memutuskan mata rantai ini, diperlukan penafsiran keagamaan yang berkeadilan dan berpihak pada perempuan. Menurutnya, di sinilah pentingnya kehadiran buku “Fikih Perwalian” yang diterbitkan Rumah KitaB untuk menjawab problem kawin anak.

 

“Buku ini bisa menggugah kesadaran tokoh agama dalam melakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan, terutama terkait dengan hak perwalian (walaya) dan relasi suami-istri (qiwamah),” ujar Bahrul Ulum

 

Ustadz Muhammad Iqbal, sebagai narasumber kedua, menguatkan apa yang disampaikan Bahrul Ulum. Menurut kiai muda pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid ini, di sinilah urgensinya perspektif maqasid al-syariah sebagai pisau analisis untuk membedah teks-teks keagamaan sebagaimana digunakan buku ini.

 

“Melalui analisis maqasid syariah, kita tidak hanya menelisik apa yang ada di balik teks (maqasid al-nash) melainkan juga meneliti tujuan atau maksud dari pengarangnya (author/maqasid al-syari’),” kata Iqbal.

 

Dengan begitu, kata dia, teks-teks keagamaan akan berpihak pada kemanusiaan dan tidak melanggengkan ketidakadilan. Sebab, tujuan diturunkannya syariat adalah untuk mencegah kerusakan (mudarat) dan demi kemaslahatan manusia. Karena itu, menurut Iqbal, perkawinan anak harus dicegah karena mudarat yang ditimbulkan sangat besar sekali.

 

Lebih lanjut, Kiai Husein Muhammad, sebagai pembicara terakhir menegaskan bahwa teks tidak akan bermakna apa-apa dihadapan realitas, karena realitas adalah dasar kenyataan/ fakta. Sehingga, dalam konteks perkawinan anak, data-data hasil penelitian haruslah dijadikan patokan dan dasar bagi keputusan hukum.

 

Dalam paparannya, Kyai Husein menjelaskan empat tahap dalam membaca teks dengan menggunakan metode Maqashid Syariah. Menurutnya, sebuah ayat pertama-tama di baca sebagai sebuah “statement”,  kedua, menghadirkan pertanyaan ”mengapa ada statement serupa itu”, ketiga kita bertanya “apa tujuan dari statement itu”, dan terakhir menuju pada advokasi dengan mencari tahu “bagaimana” sebagai tawaran solusi. Dicontohkan, dalam ayat tentang “ lelaki adalah pemimpin”, kiai Husein memperlihatkan teknik beroperasinya penggunaan metodologi “maqashid syariah” hingga bisa lahir tafsir yang lebih transformatif yang  dapat membatasi  hak otoritas ayah atas anak perempuannya (walayah) atau suami kepada istrinya (qiwamah).

 

Acara yang dibuka tepat jam 9 ini diakhiri dengan sesi  diskusi dan tanya jawab yang sangat hidup.  Dalam penutupannya Ibu Lies Marcoes mewakili Rumah KitaB menyatakan apresiasi atas kualitas diskusi yang begitu tinggi dan saling melengkapi dengan sempurna di antara para narasumber. Juga ucapan terima kasihnya kepada pengasuh pesantren Dar Al Fikr serta para narasumber. Acara yang dipimpin oleh kyai Jamaluddin Muhammad ini berakhir  jam 12.30, dilanjutkan dengan diskusi terbatas terkait strategi praktis mensosialisasikan buku Fikih Perwalian ini sebagai upaya mencegah perkawinan anak. (JM/LM)

 

Mensyukuri Nikmat Akal: Merekonstruksi Makna Wilayah Untuk Mencegah Praktik Perkawinan Anak

Laporan Acara Tadarus Buku Fikih Perwalian: Membaca Ulang Hak Perwalian Untuk Perlindungan Perempuan dari Kawin Anak dan Kawin Paksa

 

Bekasi, 20 Oktober 2019,  Rumah KitaB bekerjasama dengan Yayasan Perguruan Islam el-Nur el-Kasysyaf (YAPINK) dan Institut Agama Islam Shalahuddin Al-Ayyubi (INISA) menyelenggakan acara diskusi buku  Fikih Perwalian: Membaca Ulang Hak Perwalian Untuk Perlindungan Perempuan dari Kawin Anak dan Kawin Paksa. Acara yang dihadiri oleh 194 peserta (44 laki-laki dan 150 perempuan) –terdiri dari dewan pengasuh pesantren YAPINK, pimpinan INISIA, para dosen, guru, dan mahasiswa—, ini mengundang Ulil Abbashar Abddalla (PBNU), KH. Ali Anwar (Dewan Penasehat Pesantren Yapink), Achmat Hilmi, (tim penulis buku) sebagai narasumber.  Diskusi yang dilakukan di Aula Fakultas Adab Yapikn dan yang bertindak sebagai pamandu jalannya diskusi adalah Jamaluddin Muhammad (Peneliti Rumah KitaB)

Sebelum acara dimulai, KH. Khalid Dawam, (Ketua Dewan Pengasuh PP. Yapink), memberikan sambutan dengan mengapresiasi kerja-kerja intelektual yang dilakukan oleh orang-orang yang mau dan berani mengotak-atik sesuatu yang dianggap final, seperti halnya fikih. Kerja intelektual untuk merespons apa yang terjadi di masyarakat, menurut KH. Khalid Dawam, bukan dalam rangka mengabaikan, meniadakan, dan tidak menghargai para fuqaha yang telah mencurahkan pemikirannya pada kajian fikih yang tertuang dari berbagai kitab, melainkan sebentuk tanggung jawab intelektual dalam merespons persoalan masyarakat.

Al-Quran dan hadis memang satu, tapi tentu saja tafisrnya tidaklah tunggal, ujar  KH. Khalid Dawam, sehingga, lanjut KH. Dawam, masih memungkinkan untuk mendiskusikan hal-hal yang bersifat furuiyyah (bercabang).

Jika selama ini masyarakat meyakini bahwa akil baligh sebagai salah satu tanda bagi seseorang untuk dibolehkannya seseorang untuk menikah, maka harus dikaji kembali saat ini mengenai apa itu akil baligh dan bagaimana konsekuensinya –terlebihjika akil baligh yang bersifat biologis dijadikan dasar dibolehkannya perkawinan anak. Karena ada beberapa oknum yang menggunakan dasar tersebut untuk melakaukan tindakan yang tidak maslahat pada sesama, sehingga sering ditemui pandangan negatif tentang Islam. Melihat hal tersebut, KH. Khalid Dawam menyebut – mengutip perkataan intelektual Muslim asal Mesir, Muhammad Abduh—“Al Islamu mahjubun bil muslimin” (keimuliaan Islam ditutupi oleh (perilaku oknum) orang Islam itu sendiri)

Buku Fikih Perwalian yang digarap oleh tim Rumah KitaB, menurut  KH. Khalid Dawam, bagian dari sebentuk ungkapan syukur karena telah diberi akal sehat, yaitu dengan menggunakannya dengan sebaik-baiknya supaya tidak terjadi kejumudan berfikir.

Ulil Abshar Abdalla mengutarakan bahwa buku yang dibedah ini adalah sebuah buku yang lahir untuk  merespons maraknya perkawinan pada anak di Indonesia. Menyambung hal itu, Achmat Hilmi menyebut bahwa Indonesia termasuk Negara dengan angka  perkawinan anak tinggi.

Persoalan kawin anak ini marak terjadi bukan hanya semata-semata perkara hukum, tetapi juga berkelit kelindan dengan pandangan agama dan budaya. Sehingga, menurut Ulil, buku ini memiliki porsinya sendiri dalam berkontribusi untuk menyelesaikan persoalan perkawinan anak.

Argumen-argumen keagamaan yang selama ini digunakan sebagai justifikasi dibolehkannya perkawinan anak, misalnya, dalam kajian (buku) ini kemudian rekonstruksi dan diberi pemaknaan baru yang lebih ramah terhadap perempuan, terutama pada mereka yang berpotensi menjadi korban dari perkawinan anak. Seperti konsep ijbar dalam fikih berbeda dengan konsep ikrah (memaksa). Ijbar adalah wilayah perlindungan ayah (wali) pada anak perempuannya dengan memotreksi anaknya dari segala kemungkinan dengan cara memilihkan jodoh yang baik. Dan tentu saja, syarat ijbar adalah adanya kerelaan si anak yang akan menjalani pernikahan. Kekuatan dan kewenangan untuk melindungi hak-hak dan martabat anak yang dimiliki oleh seorang wali dalam ijbar tak bisa direduksi hanya sebagai pemaksaan (ikrah).

Realitas terus menerus berubah dan berkembang ini menuntut para sarjana Muslim untuk juga membaca ulang teks-teks agama. Dalam kajian (ushul) fikih, ujar KH. Ali Anwar, ada konsep al hukmu bi’tibari zaman wa makan (hukum berubah mengikuti ruang dan waktu). [NA]

 

LAPORAN BOOK ROADSHOW: “Fikih Perwalian: Membaca Ulang Hak Perwalian untuk Perlindungan Perempuan dari Kawin Paksa dan Kawin Anak”

Kamis, 12 September 2019

Pukul: 13.00 – 16.00

Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat

DALAM rangka Book Road Show 2019, Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) menyelenggarakan diskusi dan bedah buku “Fikih Perwalian: Membaca Ulang Hak Perwalian untuk Perlindungan Perempuan dari Kawin Paksa dan Kawin Anak”, di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada Kamis, 12 September 2019. Sambutan disampaikan oleh Dr. Zaky Mubarak, M.Si., Direktur Pasca Sarjana Institute Agama Islam Cipasung, dan Lies-Marcoes-Natsir, MA., Direktur Eksekutif Rumah KitaB. Acara ini dihadiri 149 peserta yang terdiri dari para dosen, guru, dan santri Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya.

Pemantik diskusi disampaikan oleh Dra. Hj. N. Ida Nurhalida, M.Pd. (PP Cipasung) yang berbicara banyak tentang pengalaman Pondok Pesantren Cipasung dalam mempraktikkan keadilan gender. Selanjutnya para peserta bersama para narasumber, yaitu Prof. Dr. Amina Wadud (USA), Jamaluddin Mohammad (Tim Penulis Rumah KitaB), dan Ulil Abshar Abdalla, MA. (PBNU), mendiskusikan beragam upaya pembacaan ulang yang melahirkan tafsir hubungan relasi gender yang lebih setara dan adil sebagai produk pemikiran yang secara sosial mempunyai pengaruh sangat luas di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Muslim.

Acara ini dimulai dengan pembacaan QS. al-Isra`: 13 yang menyatakan bahwa setiap manusia tanpa membeda-bedakan jenis kelaminnya telah ditetapkan amal perbuatannya dan pada hari Kiamat kelak akan dibukakan kepadanya sebuah kitab yang berisi catatan seluruh amal perbuatannya semasa di dunia.

 

Pengalaman Pondok Pesantren Cipasung

Disampaikan oleh Dra. Hj. N. Ida Nurhalida, M.Pd., bahwa sejak awal berdirinya Pondok Pesantren Cipasung, KH. Muhammad Ruhiyat, yang merupakan kakek Ibu Nyai Ida—sapaan akrab Dra. Hj. N. Ida Nurhalida, M.Pd.—dan pendiri Pondok Pesantren Cipasung, sudah menerapkan apa yang disebutnya sebagai keadilan gender.

Berdasarkan ceritanya, saat memimpin dan mengasuh pesantren ini, yaitu pada tahun 1931, KH. Muhammad Ruhiyat, dalam mengajar, selain dibantu oleh putranya yaitu KH. Muhammad Ilyas Ruhiyat, juga dibantu oleh seorang ajengan perempuan yaitu Ibu Hj. Suwa. KH. Muhammad Ruhiyat tidak pernah beranggapan bahwa perempuan tidak mempunyai keahlian apa-apa sehingga tidak bisa memberikan manfaat bagi pesantren. Ibu Hj. Suwa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengajar kitab “al-Jawhar al-Maknûn”, “Alfîyyah”, dan kitab-kitab lainnya kepada santri laki-laki dan perempuan. Ini menunjukkan bahwa KH. Muhammad Ruhiyat sesungguhnya merupakan sosok yang sangat adil gender.

Menurut Ibu Nyai Ida, diskusi dan bedah buku “Fikih Perwalian” bukanlah kegiatan pertama terkait pembacaan ulang terhadap fikih mengenai perempuan. Jauh sebelumnya, yaitu pada tahun 1994, di Pondok Pesantren Cipasung sudah ada kegiatan sejenis yang dimulai dengan program Fiqh al-Nisa` P3M bersama Kiyai Masdar F. Mas’udi dan kawan-kawannya. Program ini bahkan mendapat dukungan penuh dari ayahnya, KH. Muhammad Ilyas Ruhiyat. Saat itulah untuk pertama kalinya Ibu Nyai Ida mengenai istilah “gender”.

Setelah mengenal dan memahami istilah “gender”, Ibu Nyai Ida kemudian berkesimpulan bahwa kesetaraan sejatinya merupakan nilai luhur yang kehadirannya tak bisa dibantah di dalam keseharian Pondok Pesantren Cipasung. Ayahnya sendiri, KH. Muhammad Ilyas Ruhiyat, sangat menghargai istri dan anak-anaknya. Laki-laki dan perempuan diberikan kesempatan yang sama tanpa pembedaan dan tanpa pengekangan. Setiap orang diberi kebebasan untuk menekuni bidangnya masing-masing, dan bahkan diberi kebebasan untuk memilih jodohnya tanpa ada paksaan.

Meskipun ibunya hanyalah tamatan SD, tetapi ayahnya selalu mengajaknya bermusyawarah dalam masalah apapun. Di balik kesuksesan ayahnya yang merupakan Rais ‘Amm PBNU, ada ibunya yang sederhana yang selalu memberikan masukan dan mendukung setiap langkahnya.

Dalam perkembangannya, di Pondok Pesantren Cipasung, perempuan tidak hanya diberi kesempatan untuk mengajar atau menjadi guru ngaji, tetapi juga diberi amanah untuk memimpin lembaga-lembaga pendidikan formal. Sebut saja, misalnya, Kepala MI, MTs, MAN, SMA, dan bahkan Ketua STIE di lingkungan Pondok Pesantren Cipasung, semuanya adalah perempuan. Dan berdasarkan pengamatan, para perempuan yang memimpin lembaga-lembaga pendidikan formal itu dinilai cukup berhasil.

Mengenai perkawinan anak, Ibu Nyai Ida bercerita bahwa salah seorang bibinya dinikahkan di usia 9 tahun. Setelah dinikahkan ia tidak langsung boleh hidup dalam satu rumah bersama suaminya. Ia baru boleh berkumpul dengan suaminya setelah berusia 15 tahun. Ia mempunyai banyak anak, dan semuanya menjadi orang sukses.

Dalam kehidupan sehari-hari, kenang Ibu Nyai Ida, bibinya tampak baik-baik saja. Tetapi begitu diajak mengobrol dari hati ke hati, ternyata cukup banyak masalah yang dialaminya. Ia sangat sedih karena tidak bisa bersekolah lagi. Kesempatannya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi hilang begitu saja saat ia diketahui telah menikah. Kepada anak-anaknya ia mewasiatkan untuk tidak menikah kecuali setelah lulus kuliah.

Ibu Nyai Ida mendengar banyak cerita dari beberapa saudaranya yang menikah di usia anak. Mereka bilang, “Kalau nikah anak sebaiknya jangan.” Mereka bahkan terlibat dalam kampanye pencegahan perkawinan anak di lingkungan pesantren. Sebab di pesantren biasanya ada seorang santriwati yang dibawa pulang oleh orangtuanya untuk dinikahkan. Tidak jarang pihak pesantren harus bernegosiasi dengan orangtua supaya anaknya diberikan kesempatan untuk lulus dari pendidikan di pesantren, dan ketika usianya sudah cukup dewasa baru boleh dinikahkan.

Bagi Ibu Nyai Ida, perkawinan anak adalah masalah darurat yang dalam penanganannya perlu melibatkan banyak pihak, termasuk pihak-pihak di dunia pendidikan pesantren. Memang tidak ada ajaran agama yang secara tegas melarang perkawinan anak. Para ulama pun masih berbeda pendapat mengenainya. Sebagian menganggap perkawinan anak itu sah, dan sebagian lainnya menganggapnya tidak sah. Meskipun mungkin dianggap sah, tetapi perkawinan anak bukanlah sesuatu yang baik karena berdasarkan pengalaman lebih banyak mengandung mafsadat daripada maslahat.

Dalam membaca teks, menurut Ibu Nyai Ida, sangat penting untuk melihat latarbelakangnya: kenapa teks itu muncul, kapan, dan dalam konteks apa? Inilah yang disebut dengan kontekstualisasi yang senantiasa menuntut penyeimbangan antara teks dan konteks supaya misi Islam sebagai rahmatan li al-‘âlamin, rahmat bagi laki-laki dan perempuan, itu tetap bisa dijalankan.

Untuk lebih menunjukkan kepedulian terhadap perempuan, di Pondok Pesantren Cipasung telah dibentuk WCC (Women Crisis Center) atau PUSPITA (Pusat Perlindungan Wanita) yang merupakan bagian dari Puan Amal Hayati. Banyak kasus yang telah ditangani oleh PUSPITA. Di antaranya adalah kasus seorang anak perempuan yang berkali-kali diperkosa oleh ayah kandungnya. Diceritakan oleh Ibu Nyai Ida, setiap kali si ayah hendak melakukan perbuatan jahatnya itu, dengan sengaja ia mengungsikan istrinya keluar, sedangkan si anak tidak boleh ikut. Ini dilakukannya berkali-kali tanpa perlawanan dari si anak, sampai akhirnya kejahatannya itu terbongkar dan kemudian dilaporkan ke PUSPITA. Si ayah itu pun ditangkap dan dipenjara. Sementara si anak didampingi oleh PUSPITA dan diikutsertakan dalam kursus rias, dan akhirnya ia diambil menantu oleh guru riasnya. Sekarang ia hidup bahagia bersama suaminya.

Dalam pandangan Ibu Nyai Ida apa yang dilakukan oleh PUSPITA itu adalah upaya untuk melindungi nyawa dan martabat manusia dan merupakan bagian dari keberagamaan. “Di manapun kita berada, di sanalah kita harus menjalankan keberagamaan kita. Ketika kita berada di sekolah atau di kampus, di sanalah kita menjalankan keberagamaan kita, bukan hanya lewat shalat atau puasa,” tuturnya.

 

Antara Teks dan Konteks

Pengalaman yang disampaikan oleh Ibu Nyai Ida adalah pengalaman yang sangat luar biasa. Tidak berangkat dari teori, tetapi dari realitas sosial yang menunjukkan bahwa perempuan mempunyai apa yang dalam istilah ilmu-ilmu sosial itu disebut sebagai agency atau ahlîyyah, yaitu kemampuan untuk melakukan sesuatu atau mengubah sesuatu di dalam masyarakat, dan itu dibuktikan dengan sangat baik oleh pengalaman Ibu Nyai Ida sendiri melalui institusi di Pondok Pesantren Cipasung. Pengalaman seperti ini tersebar luas di masyarakat, bahwa perempuan mempunyai kapasitas dan agency yang dalam beberapa hal melebihi agency laki-laki.

Diakui atau tidak, pandangan yang menguasai kita saat ini adalah pandangan yang dibangun oleh laki-laki. Di dalam sejarah penafsiran al-Qur`an, misalnya, pemain utamanya sebagian besar adalah laki-laki. Jarang sekali ditemukan penulis tafsir dari kalangan perempuan. Di Indonesia, atau bahkan di dunia, semua penulis tafsir al-Qur`an adalah laki-laki.

Karenanya, seperti disampaikan oleh Ulil Abshar Abdalla, MA., pandangan tentang peran perempuan di dalam masyarakat itu kadang-kadang tidak balance. Tafsir terhadap teks-teks al-Qur`an dan hadits yang terkait dengan perempuan, yang dibangun dan ditulis oleh para laki-laki, belum mencerminkan pengalaman perempuan. Akibatnya terjadi gap antara teks dan realitas. Di satu sisi kenyataannya perempuan semakin banyak berkiprah di masyarakat, di sisi lain tafsir al-Qur`an dan hadits—yang kebanyakan ditulis oleh para laki-laki—masih memandang rendah peran-peran perempuan.

Gap tersebut, menurut Ulil Abshar Abdalla, sudah terjadi sejak lama, dan belakangan mulai dipertanyakan oleh para intelektual muslim, termasuk para intelektual muslim Indonesia. Dalam perkembangan saat ini, sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, Indonesia sudah melakukan tindakan-tindakan yang besar menyangkut pemberian peran yang semakin besar kepada perempuan. Terkadang tindakan-tindakan tersebut dilakukan tanpa terlebih dulu meminta persetujuan dari para ulama. Kalau para ulama dimintai persetujuan, mungkin tidak semuanya akan sepakat. Contoh, sekarang ini bagian dari gerakan dunia adalah memberikan kepada perempuan representasi yang cukup di dalam peran-peran sosial. Misalnya, di dalam undang-undang politik kepartaian dicantumkan bahwa semua partai politik diwajibkan untuk mengalokasikan 30% dari caleg mereka adalah perempuan.

Selain itu, di dalam struktur keorganisasian partai-partai politik juga diharuskan memberikan alokasi yang cukup kepada perempuan. Ketika terjadi pembahasan undang-undang politik di parlemen mengenai representasi 30% caleg perempuan, tidak ada yang mempermasalahkannya. Tidak pernah terjadi suatu keributan di Indonesia berdasarkan alasan keagamaan yang mempersoalkan peran perempuan yang semakin besar di dalam partai politik. Padahal sebetulnya kalau melihat pengalaman di negera-negara lain, yang juga berpenduduk mayoritas muslim, masalah ini terus menjadi perdebatan.

Di negeri-negeri Arab Teluk seperti Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emerat Arab, dan seterusnya, bahkan kedudukan perempuan sebagai anggota parlemen pun masih dipersoalkan: apakah perempuan boleh menjadi anggota parlemen? Apakah perempuan mempunyai ahlîyyah atau agency untuk menjadi anggota parlemen?

Tetapi di Indonesia, masalah-masalah semacam itu tidak pernah dipersoalkan. Padahal konstruksi tafsirnya hingga saat ini masih tradisional yang memandang perempuan sebagai makhluk yang seharusnya selalu ada di dalam rumah, bukan di luar rumah. Hal ini sangat kontras dengan realitas di masyarakat yang memperlihatkan banyak sekali perempuan yang aktif di dalam partai politik, menjadi anggota parlemen, dan menjadi pejabat negara.

Dikatakan oleh Ulil Abshar Abdalla, pada tahun 1950-an seorang sarjana Amerika Serikat bernama Daniel S. Lev melakukan penelitian mengenai lembaga-lembaga peradilan di berbagai wilayah di Indonesia. Di dalam penelitiannya ia menjumpai seorang perempuan yang menjadi hakim agama. Tentu saja hal ini sangat mengagetkannya, sebab bagaimana mungkin di negeri seperti Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim memberikan ruang kepada perempuan untuk menjadi seorang hakim, sesuatu yang nyaris tak bisa dibayangkan terjadi di negeri-negeri muslim yang lain.

Di dalam al-Qur`an terdapat sebuah ayat yang menyatakan “Al-rijâl qawwâmûn ‘alâ al-nisâ`,” [QS. al-Nisa`: 34]. Menurut Ulil Abshar Abdalla, tafsir para ulama terhadap ayat ini cenderung seragam, yaitu bahwa kepemimpinan atau leadership itu ada di tangan laki-laki, sementara perempuan hanya dianggap sebagai makmum. Fakhruddin al-Razi, misalnya, di dalam kitab “Mafâtîh al-Ghayb” (tafsir besar Sunni terakhir, abad ke-13 M) mengatakan bahwa “al-rijâl qawwâmûn ‘alâ al-nisâ`” maknanya adalah “laki-laki itu diberikan hak untuk menjadi seorang pemimpin yang menguasai perempuan”.

Kalau dilihat, seluruh konsep mengenai wilâyah dan qiwâmah basisnya adalah “al-rijâl qawwâmûn ‘alâ al-nisâ`” (laki-laki pemimpin bagi perempuan). Tetapi di dalam praktik sehari-hari banyak sekali dijumpai pengalaman “al-nisâ` qawwâmâtun ‘alâ al-rijâl” (perempuan pemimpin bagi laki-laki). Contohnya adalah Ibu Nyai Ida yang kini menjabat sebagai Kepala MAN II Cipasung. Dengan kedudukannya itu ia membawahi banyak sekali laki-laki.

Apakah kedudukan Ibu Nyai Ida sebagai Kepala MAN itu bertentangan dengan al-Qur`an? Jadi, sekarang ini kita berhadapan dengan suatu keadaan di mana terjadi gap antara “al-rijâl qawwâmûn ‘alâ al-nisâ`” sebagai teks dan “al-nisâ` qawwâmâtun ‘alâ al-rijâl” sebagai konteks atau sebagai kenyataan sosial. Dengan demikian maka tantangan para sarjana muslim ke depan adalah membangun konstruksi fikih yang dialogis antara teks (al-Qur`an dan hadits) dengan konteks (realitas sosial).

 

Pentingnya Pendidikan untuk Kesetaraan

Ibu Nyai Ida menyampaikan bahwa ketika memberikan ceramah di majelis-majelis taklim dan pengajian-pengajian selalu menyisipkan materi tentang pentingnya pendidikan bagi laki-laki dan perempuan. “Di majelis-majelis taklim kita ceritakan bahwa kalau ingin mempunyai keturunan yang baik, maka ibunya harus pintar. Kalau punya anak, baik laki-laki dan perempuan, keduanya harus diberi kesempatan yang sama untuk belajar dan memperoleh pendidikan,” katanya.

Pentingnya pendidikan bagi laki-laki dan perempuan juga disampaikan oleh Prof. Dr. Amina Wadud. Dengan mengutip salah satu hadits Rasulullah Saw. yang menyatakan, “Mencari ilmu itu wajib baik bagi muslim laki-laki maupun muslim perempuan,” ia mengatakan bahwa sejarah Islam selama 1441 tahun telah menunjukkan pentingnya pendidikan, sebab ayat pertama yang turun kepada Rasulullah Saw. adalah “Iqra`” (Bacalah!) yang menekankan pentingnya membaca. Adanya perintah untuk membaca sebagaimana ayat yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. tersebut telah menambah pengetahuan umat Muslim pada masa itu.

Menurut Prof. Dr. Amina Wadud, umat Muslim mencapai masa keemasannya persis ketika bangsa Eropa sedang berada dalam masa kegelapannya. Tetapi mereka gagal mempertahankannya karena mereka tidak bisa menjaga semangat pentingnya pendidikan sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw.

Sangat penting untuk dicatat, bahwa kata “tarbiyah” (pendidikan) yang berasal dari akar kata “rabbâ” (mendidik, mengasuh) di dalam bahasa Arab tidak semata-mata terkait dengan kuantitas angka, tetapi terkait dengan pengasuhan untuk meningkat kualitas kehidupan dan pertumbuhan anak-anak laki-laki dan perempuan.

Kualitas pertumbuhan dan perkembangan harus terus ditingkatkan melalui pendidikan sehingga memungkinkan setiap orang mempunyai peluang untuk menjadi hamba yang baik bagi Allah. Dalam pandangan Prof. Amina Wadud, ketika Allah menyebutkan bahwa Dia akan menciptakan seorang khalifah di muka bumi, itu menunjukkan bahwa setiap manusia memiliki tanggungjawab untuk memberikan yang terbaik yang bisa dilakukan guna meningkatkan kualitas kehidupan manusia di muka bumi.

“Sesungguhnya sejarah masa depan belum ditulis,” kata Prof. Amina Wadud. Karenanya setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki kesempatan yang sama untuk merumuskan langkah-langkah besar demi terwujudnya masa depan yang lebih baik.

 

Tawaran Metodologis dari Buku “Fikih Perwalian

Menurut Ulil Abshar Abdalla, buku “Fikih Perwalian” sesungguhnya merupakan salah satu upaya untuk menjembatani gap antara teks dan konteks dengan cara mengajukan suatu tafsir berbasis maqâshid al-Islâm atau maqâshid al-syarî’ah dan kemaslahatan. Salah satu tema yang menjadi pembahasan di dalam buku ini adalah soal perkawinan anak. Di dalam fikih dikenal suatu konsep tentang wali mujbir, yaitu wali yang punya hak memaksa anaknya untuk menikah. Sebetulnya konsep ini masih menjadi perdebatan antarmazhab; ada mazhab yang membolehkan wali memaksa anak perempuannya untuk menikah, ada yang tidak membolehkan, dan seterusnya.

Selama ini pemahaman populer tentang wali mujbir di masyarakat adalah bahwa seorang wali atau orangtua berhak memaksakan otoritasnya kepada anak perempuannya untuk menikah. Ini terjadi pada kasus perkawinan anak di berbagai daerah di Indonesia. Penelitian yang dilakukan Rumah KitaB menemukan fakta bahwa Indonesia termasuk negeri dengan presentasi praktik perkawinan anak yang cukup besar.

Di antara faktor kenapa orangtua menikahkan anaknya di usia yang masih sangat belia adalah faktor ekonomi, kehamilan di luar nikah, faktor adat atau pandangan sosial bahwa jika seorang anak perempuan sudah sampai pada usia tertentu tetapi belum menikah maka akan menimbulkan rasa malu yang luar biasa sehingga orangtua berhak memaksa anaknya untuk menikah meskipun kadang-kadang dengan pasangan yang mungkin tidak disukai oleh anaknya, dan seterusnya. Konsep wali mujbir ini kemudian dipakai—atau disalahpakai—oleh para orangtua untuk menikahkan anak-anak perempuan mereka dengan tanpa izin mereka.

Selain soal wali mujbir yang menggambarkan hubungan antara orangtua dan anak dalam kerangka konsep wilâyah (perwalian), buku “Fikih Perwalian” juga membahas tentang relasi antara suami dan istri dalam kerangka konsep qiwâmah (kepemimpinan). Disampaikan oleh Jamaluddin Mohammad, analisis gender sangat diperlukan dalam melihat konsep wilâyah dan qiwâmah. Karena selama ini konsep wilâyah dan qiwâmah sudah menjadi sebuah institusi sosial yang mapan, dipraktikkan sejak 1300 tahun yang lalu, dan menjadi sistem nilai yang diakui dan dianut oleh umat Muslim. Sehingga upaya pembaharuan apapun pasti dicurigai untuk mengubah nash atau teks yang sudah establish dan sudah mapan. Sesuatu yang sudah mapan yang diklaim tidak bisa diganggu gugat, itu coba ditafsir ulang.

Dengan analisis gender sebagai kacamata kritis akan ditemukan bahwa konsep wilâyah dan qiwâmah itu mengandung asimetrisme atau ketidaksetaraan hubungan antara laki-laki dan perempuan secara umum. Analisis gender ini kemudian diperkuat dengan pendekatan maqâshid al-Islâm atau maqâshid al-syarî’ah (hifzh al-dîn, hifzh al-‘aql, hifzh al-nafs, hifzh al-nasl, dan hifzh al-mâl) dalam kerangka trianggulasi yaitu: teks, konteks, dan maqâshid al-Islâm. Di sini teks dan konteks didorong untuk sampai pada cita-cita besar Islam yaitu maqâshid al-Islâm.

Di dalam buku “Fikih Perwalian” disebutkan sejumlah upaya dari para pemikir dan praktisi untuk menunjukkan bahwa upaya pembacaan ulang terhadap konsep wilâyah dan qiwâmah bukan merupakan sesuatu yang baru di dalam studi Islam. Sejumlah nama tokoh yang bisa disebutkan di antaranya adalah Prof. Dr. Teungku H. Mohammad Hasbi Ash-Shiddiqiy, Prof. Dr. Mr. Hazairin Harahap, S.H., Dr. (HC). KH. Sahal Mahfudz, dan Dr. H. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H. Ada juga para ulama Timur Tengah seperti Rifa’at Rafi’ al-Thahthawi, Thahir al-Haddad, Muhammad Abduh, dan Qasim Amin. Mereka adalah para pemikir dan praktisi yang berusaha mengkontekskan perubahan sosial dengan teks agar teks tetap relevan dalam mengatasi asismetrisme hubungan gender di dalam keluarga.

Pemikiran mereka sangat luar biasa. Sebut misalnya Thahir al-Haddad, pemikir dari Tunisia, yang pada masanya sudah menawarkan bahwa pencatatan nikah itu menjadi bagian dari sahnya rukun pernikahan. Surat nikah menjadi rukun dalam pernikahan. Selain itu juga soal talak, menurutnya talak itu adalah hak laki-laki dan perempuan. Jadi, yang bisa mentalak bukan hanya laki-laki, tetapi juga perempuan, dan itu hanya bisa dilakukan melalui pengadilan. Sekedar mengucapkan “thalaqtuki tsalâtsan” (aku talak kamu tiga kali) tidak bisa langsung terjadi talak. Kalau di dalam kitab fikih klasik memang seperti itu, dan itulah yang coba diubah oleh para ulama.[Roland]

 

Memutus Mata Rantai Praktik Kawin Anak Catatan Diskusi Buku Fikih Perwalian: Membaca Ulang Hak Perwalian untuk Perlindungan Perempuan dari Kawin Paksa dan Kawin Anak

Kamis, 12 September 2019, Rumah KitaB bekerja sama dengan dengan Institut Agama Islam Cipasung menggelar diskusi buku Fikih Perwalian: Membaca Ulang Hak Perwalian untuk Perlindungan Perempuan dari Kawin Paksa dan Kawin Anak (selanjutnya disebut Fikih Perwalian). Acara yang dilaksanakan di Aula Rektorat Institut Agama Islam Cipasung tersebut merupakan salah satu rangkaian roadbook yang menjadi salah satu agenda Rumah KitaB yang didukung oleh Oslo Coalition.

 

Hadir dalam diskusi buku sebagai narasumber Nyai. Hj. Ida Halidah (Pengasuh Pesantren Cipasung dan Kepala MAN Cipasung), Dr. amina wadud (Profesor bidang Kajian Gender dan Islam), Ulil Abshar Abdallah (PBNU), dan Jamaluddin Muhammad (Tim penulis buku Fikih Perwalian). Acara yang dihadiri oleh 149 peserta terdiri dari dosen, mahasiswa, dan perrwakilan dari perguruan tinggi/pesantren di sekitar Tasikmalaya ini dibuka oleh Lies Marcoes-Natsir selaku Direktur Eksekutif Rumah KitaB dan dari pihak Institut Agama Islam Cipasung diwakili oleh Zakky Mubarak, M.Si.

Dalam sambutannya, Zakky menyambut hangat diskusi buku Fikih Perwalian karena sesuai dengan kegiatan yang sedang dirintis oleh Institut Agama Islam Cipasung sebagai perguruan tinggi yang berbasis pesantren. Menurutnya, Studi Kepesantrenan, di mana salah satu kajiannya adalah fikih, sudah seharusnya dilahirkan atau dikaji  di Institut Agama Islam Cipasung.  Zakky juga berharap, Institut Agama Islam Cipasung bisa bekerja sama dengan Rumah KitaB dalam kajian naskah-naskah klasik Islam,  dan terutama dalam penulisannya dalam bentuk buku.

Lies Marcoes Natsir dalam sambutannya mengenang Cipasung sebagai tempat pertama diterjemahkannya kata “gender” untuk masyarakat pesantren. Dua lima  tahun lalu, kata Lies mengenang, kata gender masih asing di telinga masyakat pesantren, dan oleh karenanya ada semacam kecurigaan pada gender sebagai agenda Barat. Namun, berkat dukungan Kiai Ilyas Ruhiyat, Pengasuh Pesantren Cipasung saat itu, penerjemahan konsep gender ditautkan dengan surah al-Lukman ayat 14. Proses mengandung (hamalat) adalah sesuatu yang biologis, namun kepayahan (wahnan ala wahnin) adalah sesuatu yang dikonstruksi oleh masyarakat.

“Saya senang  dapat kembali ke Pesantren Cipasung membawa buku baru yang menandakan kita terus berkembang mencari solusi atas persoalan-persoalan yang kini dihadapi umat Islam, yaitu adanya praktik perkawnan di usia anak-anak”, demikian  Lies mengantarkan.  Rumah KitaB yang saat ini sedang melakukan upaya pencegahan perkawinan anak  kembali ke pesantren Cipasung  dengan mendiskusikan buku Fikih Perwalian. Buku in merupakan kajian wilayah dan qiwamah bersama kiai-kiai muda dan para pakar yang diselenggarakan oleh Rumah KitaB selama sepuluh bulan dan dikomandoi oleh Kiai Ulil Abshar Abdalla.

Pembicara pertama dalam diskusi buku ini, Nyai Ida Halidah, berbicara tentang bagaimana Pesantren Cipasung –yang didirikanoleh kakeknya, Kiai Ruhiyat—pada masa-masa awal berdirinya telah memberi tempat yang sangat tinggi kepada  perempuan sebagai salah satu dewan pengajar, selain ayah beliau sendiri, Kiai  Ilyas Ruhiyat. Sejak berdirinya, Pesantren Cipasung memang sudah memberikan tempat untuk perempuan dalam beraktifitas. Meski pada saat itu belum dikenal kata gender, tetapi dalam praktiknya keadilan gender sudah dipraktikkan atau bahkan terinternalisasi. Hal itu terlihat bagaimana Kiai Ilyas Ruhiyat membebaskan Nyai Ida dan saudara-saudaranya dalam menentukan pilihan pendidikan, juga pasangan.

Nyai Ida kemudian bercerita bagaimana sosok ibunya, yang  tamatan Sekolah Dasar, dapat menjadi partner diskusi ayahnya, seorang Rais Am (Ketua Umum) PBNU. Tak bisa dipungkuri bahwa kebijakan-kebijkan strategis yang diambil oleh Kiai Ilyas Ruhiyat senantiasa didasarkan pada masukan dan pertimbangan dari istri beliau.

Adapun terkait buku Fikih Perwalian yang sedang dikaji saat ini, menurut Nyai Ida, merupakan  sebuah buku yang membangun kesadaran, bahwa perkawinan anak pada masa sekarang telah berada pada tahap yang darurat. Dan oleh karena itu, katanya Nyai Ida, hanya pendidikan yang bisa memutus mata rantai perkara yang menyebabkan praktik kawin anak.

Pada kasus perkawinan anak ini, Nyai Ida, bercerita tentang bibinya yang dinikahkan pada usia yang sangat muda, yaitu sembilan tahun dan memulai hidup berumah tangga dalam usia lima belas tahun. Meski Nyai Ida meyakini bahwa pernikahan yang dijodohkan pada usia muda itu  atas dasar kasih sayang dan perlindungan, tetapi, menurut Nyai Ida, ia kerap mendengar bibinya mengungkapkan penyesalannya telah menikah muda. Bibinya kerap  berkata: sayang, tak memiliki kesempatan untuk sekolah. Sehingga pada kemudian hari, bibinya tak memperkenankan putra-putri beliau menikah sebelum menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi.

Sebagai orang yang berada di kalangan pendidikan, khususnya pesantren. Kita, kata Nyai Ida Halidah, tidak boleh hanya berhenti pada membaca buku hasil kajian Rumah KitaB ini, tetapi juga harus bisa memberikan solusi atas apa yang dihadapi oleh masyarakat terkait dengan praktik perkawinan anak. Pesantren sebagai subkultur tidak bisa membiarkan teks hanya berjalan sendiri tanpa memperhatikan konteks. Hal  ini yang kemudian disebut dengan rethinking atau kontekstualisasi, karena keberagamaan sebagai seorang Muslim tidak hanya ada pada ibadah ritual, seperti shalat dan puasa, tetapi berada pada kegiatan keseharian.

Dr. amina wadud, sebagai pembicara kedua dalam acara tersebut, berbicara tentang bagaimana Islam menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang vital, baik  bagi perempuan dan laki-laki. Pada masa itu –masa di mana surah iqra’ diturunkan—masyarakat, baik di Timur Tengah dan Barat mengabaikan pentingnya akses pendidikan yang sama untuk laki-laki dan perempuan. Pendidikan yang dalam bahasa Arab diucapkan dengan tarbiyah, menurut Dr. amina, tidak hanya semata-mata bermakna angka dan kuantitas belajar, tetapi lebih dari itu, yakni pengasuhan.

Setiap orang, kata Dr. amina, adalah pelayan Tuhan. Apa pun yang dilakukan manusia seharusnya adalah dalam rangka melayani Tuhan. Tugas para peserta yang hadir dalam diskusi ini nantinya, menurut Dr. amina, adalah membaca buku Fikih Perwalian dan mendengarkan apa yang dialami perempuan sebagai sebuah bentuk pelayanan pada Tuhan.

Sebagai khalifah di bumi ini, tutur Dr. amina, manusia membutuhkan pengasuhan atau tarbiyah untuk mengembangkan potensi untuk mengaktualisasikan segala hal baik dan positif yang ada dalam diri manusia. Dan pesantren, menurut Dr. amina, menjawab pertanyaan tentang pentingnya pendidikan bagi laki-laki dan perempuan. Indonesia beruntung karena masyarakatnya mendukung perempuan untuk terlibat aktif dalam pendidikan, baik sebagai pengajar ataupun pencari ilmu. Di banyak Negara, misalnya, perempuan dilarang untuk mengakses pendidikan. Tidak diberikannya akses pendidikan pada perempuan tentu suatu kemunduran, sebab nabi menerima pesan pentingnya membaca (belajar) bahkan sejak masyarakat di belahan dunia lainnya dalam kegelapan.  Sayangnya, sebagian dari umat Muslim tak bisa memegang nyala api pendidikan yang telah nabi bawa dengan meniadakan peran perempuan dalam (akses) pendidikan.

Sebagai penutup dalam presentasinya, Dr. amina, menyeru untuk setiap kita sebagai pencetak sejarah. Karena, menurutnya, sejarah masa depan belum tertulis, dan kita bisa berkontribusi untuk membuat sejarah yang baik untuk masa depan.

Sebagai salah satu tim penulis yang hadir pada acara diskusi buku, Jamaluddin Muhammad, menyebut bahwa teks tidak bisa dilepaskan dar konteks. Pun sebalik, konteks tak bisa berdiri sendiri tanpa teks. Dalam pembacaan teks sudah seharusnya menggunakan pendekatan kritis dan berpihak pada mustad’afin (mereka yang dilemahkan). Karena, menurut Jamal, syariah atau agama tidak diturunkan untuk Tuhan, melainkan untuk kemaslahatan manusia (li mashalihil anam).

Pada sesi terakhir diskusi, Ulil Abshar Abdalla menyampaikan bahwa perempuan memiliki agency (kemampuan) untuk mengubah sesuatu dalam tatanan masyarakat. Meski tafsir tentang (peran) perempuan di Indonesia masih sangat tradisional, tetapi dalam praktiknya (peran) perempuan melampuai tafsir yang tradisional itu. Dalam UU Parlemen, misalnya, yang mensyaratkan keterwakilan perempuan hingga tiga puluh persen adalah praktik melampaui tafsir perempuan tak boleh memimpin. Di banyak Negara Timur Tengah dan Teluk, Ulil menyebut, perempuan bahkan masih diperdebatkan boleh menjadi anggota parlemen atau tidak. Sedangkan di Indonesia kuota khusus untuk keterwakilan perempuan, dan hal ini tidak mendapatkan penolakan sama sekali dari masyarakat atau  tokoh agama.

Pada tahun lima puluhan, tutur Ulil, di Indonesia sudah ada perempuan yang menjadi hakim perempuan. Fakta ini, menurut Ulil, tentu mengejutkan di tengah-tengah tafsir yang masih sangat tradisional mengenai peran perempuan. Menurut Ulil, pada praktiknya perempuan di Indonesia sudah melampaui teks. Jika selama ini surah an-Nisa ayat 34 dijadikan dasar atas kepemimpinan perempuan atas laki-laki, berbeda dalam konteks nyata bahwa banyak perempuan yang telah menjadi pemimpin bukan hanya untuk sesama perempuan, tetapi juga pemimpin bagi laki-laki. Nyai Ida Halidah, misalnya, adalah realitas teks yang terbalik, bahwa beliau adalah an-Nisa qawwamatun ala ar-rijal atas kapasitasnya sebagai pimpinan di MAN Cipasung. Di sana beliau memimpin untuk tenaga pendidik (baik laki-laki dan perempuan) dan mengendalikan manajemen sekolah.

Adanya gap antara teks (ar-rijal sebagai qawwam) dan konteks ( an-nisa sebagai qawwamatun), menurut Ulil, harus diselesaikan oleh akademisi Muslim. Tugas berat Ini, meminjam istilah Gus Dur, yang disebut dengan rekontekstualisasi kitab kuning yang harus dilakukan dengan menggunakan basis maqashid syariah.

Berkesesuaian dengan buku Fikih Perwalian yang saat ini didiskusikan ini, Ulil kemudian mengajak peserta untuk  mengkaji lebih lanjut tentang hak ijbar seorang ayah, apakah hak ijbar yang dimiliki seorang ayah masih relevan atau tidak. Mengingat bahwa pendidikan yang dimiliki perempuan sudah sangat memadai.

Dan sebagai seorang Muslim dalam kerangka berbangsa dan bernegara yang meyakini bahwa NKRI adalah harga mati, berfikih saja tidak cukup. Seorang Muslim sudah semestinya dan harus mengamalkan fikih dan perundang-undangan atas keyakinan sebagai warga negara. Itu artinya, kata Ulil, syarat/rukun menikah tidak hanya cukup hanya dengan adanya kedua mempelai, wali, saksi, mahal, ijab-kabul, tetapi juga harus didaftarkan pada penyelenggara negara melalui catatan sipil atau KUA.

Sejumlah komentar muncul dari peserta. Umumnya mengapresiasi, tapi juga menghendaki agar dalam buku ini disertakan resume riset terdahulu yang mendasari kajian ini  serta harapan adanya kajian tindak lanjut [] (Nur Hayati Aida)

Merebut Tafsir: Masjid Perempuan

Oleh Lies Marcoes

Ibu Nyai Masriyah Amva, pimpinan pondok pesantren Kebon Jambu, Babakan, Ciwaringin, Cirebon kembali mengambil langkah strategis dalam mengimplementasikan kesetaraan gender. Saat ini ia sedang menyelesaikan bangunan masjid perempuan Sang Dwi Cahaya Mulia.

Pondok Pesantren Kebon Jambu yang kini ia pimpin, dibangun bersama dengan alm suaminya, kyai Muhammad. Sebagai orang “dalam” ia memiliki knowledge ilmu-ilmu yang diajarkan di pesantren sebagaimana suaminya. Pun memiliki otoritas jika dilihat dari trahnya. Namun otoriras sebagai kyai perempuan belum ia genggam. Saat itu dia “hanya” nyai istri kyai. Ketika suaminya meninggal, ia terpuruk, satu-persatu orang tua santri menjemput anaknya. Itu terjadi 13 tahun lalu. Sebuah peristiwa spiritual telah melahirkan kembali Nyai Masriyah, dari istri sang kyai menjadi kyai perempuan. Singkat kata dalam waktu 13 tahun, yang semula santrinya hanya tinggal puluhan sekarang ia dipercaya mengasuh 1800 santri putra dan putri. Seluruh santri putri ada didalam asuhannya, menempati ruangan-ruang asrama yang bersih dengan sistem pencahayaan dan udara yang sehat yang terletak di bagian belakang rumahnya.

Pesantren Kebon Jambu mengukir sejarah perjuangan pemenuhan hak-hak perempuan. Disinilah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dilaksanakan. Sebuah kongres yang pertama kali di dunia, dihadiri para ulama perempuan dari berbagai wilayah Nusantara bahkan dari luar negeri. KUPI melahirkan tiga buah fatwa keagamaan yang terkait dengan perempuan: 1) kerusakan lingkungan, berdampak pada 2) perkawinan anak dan 3) kekerasan terhadap perempuan di mana agama digunakan untuk legitimasi dan KUPI menawarkan metodologi untuk delegitimasi.

Namun ibu Nyai tak puas diri. Ia gelisah. “Saya ingin bangun masjid perempuan, saya tidak mau mushala atau tajug perempuan” Ini tidak semata bicara soal ukuran tetapi pengakuan, rekognisi, ini soal “claim” soal masjid dan perempuan.

Rupanya, ada dimensi gender dalam konsep masjid. Masjid bukanlah tempat yang secara otomatis dimiliki perempuan. Di setiap masjid “disediakan” tempat bagi perempuan, tapi sebagai penumpang sampingan. Umumnya terletak dibagian belakang, menempati sepojokan atau maksimal 1/3 dari seluruh bangunan tempat ibadah. Di Istiqlal, mengingat digunakan sebagai masjid negara, harus menimbang kehadiran Ibu Negara, istri pimpinan negara atau presidennya perempuan seperti Ibu Megawati. Di Istiqlal tempat jamaah perempuan sejajar dengan lelaki beberapa langkah di belakang imam. Meskipun begitu, perempuan tak pernah maju sebagai imam. Pun tidak, dalam posisi menjadi menyampai khutbah dalam rangkaian prosesi shalat sunat Idul Fitri atau Idul Adha, meskipun kemampuan para ustadzah perempuan tak kurang-kurang. Paling jauh beberapa ustadzah menjadi penceramah dengan jamaah lelaki yang format ceramahnya berada di luar prosesi ibadah seperti khutbah Jumat atau Idul Fitri dan Idul Adha.

Secara umum, di masjid-masjid jami (umum), jamaah lelaki dan perempuan dipisahkan dengan penanda seperti tirai. Di masjid saya, di salah satu kompleks di BNR Bogor, jamaah perempuan menempati hanya cukup untuk 2 baris di belakang tirai. Tak terpapar cahaya apalagi kipas angin. Sementara bagi jamaah lelaki bisa 10 baris di kelakang imam. Mereka leluasa untuk memilih tempat. Jika jamaah perempuan banyak, seperti di masa tarawih minggu pertama jamaah perempuan meluber sampai ke teras. Jangan tanya kalau hujan datang, kami merangsek ke dalam atau membiarkan kena tempias. Meskipun di bagian lelaki kadang hanya tinggal dua baris, tirai tak secara otomatis bergeser ke depan. Jamaah perempuan tetap berdesakan di tempat yang telah diposisikan secara sosial berada di belakang dan menempati sedikit ruangan masjid, mojok. Seringkali, karena yang terdengar hanya suara imam, tanpa bisa melihatnya, ketika sujud sahwi yang agak lama, kami tak bisa mengikuti imam kapan duduk kembali setelah sujud.

Di beberapa masjid, arsitekturnya sedemikian rupa memberi tempat bagi perempuan agar bisa melihat imam. Seperti masjid At Taawun di Puncak jamaah perempuan menempati lantai atas. Dengan cara itu jamaah perempuan bisa melihat imam. Itu jelas lebih baik, meski jamaah perempuan harus berjuang sedikit lebih keras, naik tangga berundak-undak. Coba rasakan jika Anda telah di atas 60 tahun dengan problem persendian. Untuk mencapainya perlu usaha, tapi baiklah, model ini tetap lebih baik daripada disembunyikan dibalik layar hijau.

Jadi impian Nyai Amva untuk punya masjid dan bukan mushala adalah sesuatu. Dalam buku Fragmenta Islamica karya ahli sejarah dan Orientalis G. F. Pijper (1987) terdapat cerita masjid perempuan di Indonesia bahkan sejak masa kolonial. Buku yang diterjemahkan Prof Tujimah itu mengisahkan bahwa di Jawa terdapat masjid yang didakukan sebagai “masjid perempuan”. Dalam buku itu Pijper menceritakan tentang masjid di Kauman, Yogyakarta. Masjid ini didirikan oleh Aisyiyah, sayap perempuan, Muhammadiyah. Setelah itu ‘Aisyiah Garut mendirikan ” masjid Istri” – masjid khusus bagi perempuan pada tahun 1926. Demikian seterusnya di beberapa tempat seperti di Suronatan, Yogyakarta, di Plampitan, Surabaya, dan di kampung Keprabon Solo serta di Ajibarang, Purwokerto.

Berbeda dari mimpi Nyai Amva, masjid-masjid yang lebih dulu didirikan itu, dimaknai sebagai mushala atau tajug: berfungsi sebagai tempat shalat khusus perempuan, atau aktivitas ibadah perempuan yang tak ingin dihalangi oleh adanya pembatasan-pembatasan syar’i yang menghalangi perempuan dalam mengakses rumah ibadahnya. Sementara nyai Masriah Amva menginginkan masjid, yang tidak dianggap sebagai mushala atau tajug perempuan. Ini berarti bangunan yang kini berdiri di kompleks santri putrinya dengan nama Masjid Perempuan “Sang Dwi Cahaya Mulya”. Di masjid ini mimbarnya bukan hanya bagi perempuan tetapi juga bagi lelaki namun dipimpin oleh perempuan.

Seperti siang itu, 6 September 2019, Kyai Husein, duduk sejajar dengan Ibu Nyai Masriah Anva dan Professor Amina Wadud, saya, Gus Jamaluddin Muhammad, Imbi Muhammad, dan Roland Gunawan dari Rumah KitaB. Di hadapan ratusan santri putra dan putri membahas buku terbaru Rumah KitaB, “Fikih Perwalian” yang membahas ulang konsep tentang qiwamah (perlindungan) dan wilayah ( perwalian) agar lebih memberdayakan perempuan dan anak perempuan. Qiwamah dan Wilayah adalah dua buah hak yang secara tradisional menentukan nasib perempuan sebagai istri dan anak perempuan.

Tak ada tirai secara fisik, yang ada adalah tirai etika yang dibangun oleh Ibu Nyai untuk menghargai sesama manusia, lelaki dan perempuan. Duduk di masjid untuk mendapatkan akses pengetahuan yang sama bagi lelaki dan perempuan. Para santri itu, lelaki dan perempuan bersuara, bertanya, menyimak, bertempik sorak untuk menyepakati pandangan yang sejalan dengan pikiran mereka. Masjid perempuan jelas merupakan upaya untuk mencapai kesetaraan manusia di hadapan Sang Maha Cahaya [] Lies Marcoes, 9 September 2019.

 

 

 

Roadbook “Fikih Perwalian” di Pesantren Kebon Jambu, Cirebon

DALAM rangka Book Road Show 2019 Rumah KitaB mengadakan bedah buku “Fikih Perwalian” di Masjid Perempuan Pondok Pesantren Kebon Jambu, Cirebon, pada Jum’at 6 September 2019. Acara ini menghadirkan sejumlah narasumber: Prof. Dr. Aminah Wadud, Dr. (HC). KH. Husein Muhammad, Lies Marcoes-Natsir, MA., dan Roland Gunawan.

Sebagaimana diketahui Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) atas dukungan Oslo Coalition menginisiasi kajian teks selama 10 bulan dengan 8 kali putaran diskusi mengenai wilâyah dan qiwâmah. Inisiatif ini muncul setelah menyadari bahwa kajian-kajian Islam kontemporer semakin memperkuat bangunan konsep wilâyah dan qiwâmah yang melahirkan asimetrisme relasi antara laki-laki dan perempuan. Hasil kajian ini kemudian dituangkan menjadi buku berjudul “Fikih Perwalian: Membaca Ulang Hak Perwalian untuk Perlindungan Perempuan dari Kawin Paksa dan Kawin Anak.” Kajian dilakukan karena hampir semua argumen keagamaan fikih yang terkait dengan praktik perkawinan anak berpusat kepada hak ayah (wilâyah), sementara yang terkait dengan fungsi perlindungan berpusat kepada lelaki dalam perannya sebagai suami (qiwâmah).

Dalam kajian wilâyah dan qiwâmah ini Tim Rumah KitaB mendasarkan argumennya pada al-Qur`an, hadits, karya-karya para ulama dengan menggunakan metodologi pembacaan teks maqâshid al-syarî’ah, ushul fiqh dan gender. Dengan ketiga pisau analisis ini, argumentasi yang kokoh dibangun guna menolak penafsiran yang selama ini diarahkan untuk memperkokoh asimetrisme relasi laki-laki dan perempuan yang banyak menyumbang pada buruknya status sosial, ekonomi, dan politik perempuan.

Buku ini berusaha mendudukkan pemahaman umat Muslim dan sumbangan dari pengalaman Islam di Indonesia terhadap tujuan kemaslahatan syariat terkait masalah hak ijbâr orangtua (ayah) atau wali mujbir dalam perkawinan dan meluruskan pemahaman-pemahaman subyektif bias gender yang tidak mempertimbangkan kepentingan masa depan anak-anak perempuan.

Sejumlah inovasi telah dilakukan para ulama, ahli fikih dan hakim agama dari Indonesia dalam mengatasi asimetrisme terdapat dalam buku ini seperti Prof. Dr. Teungku H. Mohammad Hasbi Ash-Shiddiqiy, Prof. Dr. Mr. Hazairin Harahap, S.H., Dr. (HC). KH. Sahal Mahfudz, dan Dr. H. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H. Upaya serupa juga dilakukan oleh para ulama modern seperti Rifa’at Rafi’ al-Thahthawi, Thahir al-Haddad, Muhammad Abduh, dan Qasim Amin.

“Intinya adalah mereka berusaha mengkontekskan perubahan sosial dengan teks agar teks tetap relevan dalam mengatasi asismetrisme hubungan gender dalam keluarga,” tutur Lies Marcoes-Natsir dalam pengantarnya.

Nyai Masriyah Amva, Pengasuh Pondok Pesantren Kebon Jambu, di dalam sambutannya sangat mengapresiasi upaya Rumah KitaB dalam menyosialisasikan hasil kajiannya tentang wilayah dan qiwamah. Ia sangat berharap dengan diadakannya bedah buku “Fikih Perwalian” ini wacana para santri dan mahasantri di Pesantren Kebon Jambu menjadi lebih terbuka sehingga lebih bisa menerima dan menghargai perbedaan pemikiran.[]