Angka Kawin Anak di Kota Cirebon Tinggi, Ini Beberapa Penyebabnya
KOTA Cirebon merupakan satu di antara tiga wilayah di Indonesia yang menjadi konsentrasi pendampingan program pencegahan perkawinan anak yang dilakukan Rumah kitab (Kita Bersama). Karena angka perkawinan anak di Kota Cirebon terbilang tinggi.
Berdasarkan data Rumah Kitab, lembaga riset dan pendampingan yang berkantor di Jakarta, setidaknya 21 kasus perkawinan anak per semester pertama 2017. Rumah Kitab melakukan riset dan pendampingan di Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi tingginya kawin anak di Kota Cirebon. Beberapa di antaranya karena kehamilan yang tak diinginkan (KTD) dan kekhawatiran orang tua terkait pergaulan anak.
“Kasus kawin anak itu seperti gunung es. Artinya, angka 21 itu baru permukaan, yang tercatat di Bimas. Nyatanya, masih banyak data yang tak tercatat,” kata Project Officer Program Berdaya Rumah Kitab, Jamaludin Mohammad, usai acara pelatihan Pencegahan Pernikahan Anak di Metland Cirebon, Kamis (6/9).
Karena itu pelatihan program pencegahan perkawinan anak di Metaland Kota Cirebon, selama tiga hari, Selasa-Kamis (4-6/9), menjadi penting. Selama tiga hari peserta yang merupakan representasi kelompok remaja, orang tua, tokoh formal dan non formal diberi penguatan kapasitas dalam pencegahan kawin anak.
Selain Kota Cirebon, wilayah dampingan Rumah Kitab dalam pencegahan perkawinan anak juga dilakukan di Kota Makassar dan Cilincing, Jakarta Utara. Rumah Kitab melakukan dampingan sejak April 2017 ampai Juli 2019.
Hari kedua pelatihan, hadir Wahyu Widian, ketua Badan Penasihat Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4). Dia memaparkan pencegahan kawin anak dari tinjauan hukum nasional dan internasional.
Dari tinjauan hukum nasional, Wahyu menyebut, undang-undang perkawinan di Indonesia masih belum melindungi hak anak. Banyak praktik kawin anak yang akibatnya merugikan masa depan anak itu sendiri.
Wahyu menyebutkan data angka kawin anak di Indonesia 1 banding 9. Indonesia juga peringkat ke-7 di dunia terkait tingginya angka kawin anak.
Hal itu tidak lain karena regulasi di Indonesia yang tidak melarang anak di bawah umur untuk menikah.Undang-undang (UU) Perkawinan Indonesia No. 1/1974 Pasal 7 menyebutkan, “Batas minimal usia perkawinan adalah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.”
Menurut Wahyu, menjadi kontraproduktif dengan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Salah satunya, definisi anak yang disebutkan dalam UU tersebut adalah seorang yang belum berusia 18 tahun. Termasuk anak yang masih dalam kandungan.
“Ketentuan perundangan menyatakan perlu adanya perlindungan dan pemenuhan hak anak. Tapi tak ada satu pun (perundangan) yang melarang adanya perkawinan anak yang jelas-jelas merugikan kepentingan anak,” kata ahli Falak ini.
Karena itu menurut Wahyu, pencegahan perkawinan anak harus dilakukan seluruh komponen masyarakat. Dengan menggunakan celah-celah hukum yang ada. Serta mengupayakan hukum yang progressif di masa mendatang.
KH Husein Muhammad dari Pondok Pesantren Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, juga hadir mengupas masalah perkawianan anak dari tinjauan hukum Islam. Menurutnya, banyak ulama berbeda pandangan terkait teks pernikahan anak dalam Alquran maupun Hadis.
Kiai Husein menyebut, beragam pandangan ulama fiqh tentang batas usia minimal kedewasan seseorang menjadi sumber rujukan undang-undang perkawinan di dunia Islam. Tanda batas usia dewasa pada anak lazimnya ulama berpendapat, perempuan sudah menstruasi dan laki-laki mimpi basah.
Karena itu, dalam UU Perkawinan di Indonesia terkait batas minimal usia, perempuan 16 tahun dan perempuan 19 tahun. Beberap negara muslim juga terkait batas usia minimal perkawinan tidak sama.
Tapi dari sekian pendapat yang berbeda, menurut kiai feminis itu, hukum tetap harus mempertimbangkan prinsip kemaslahatan dan kesehatan reproduksi. Di mana calon pengantin harus kuat secara reproduksi, mental, dan ekonomi. “Kebijakan pemerintah untuk rakyatnya adalah kemaslahatan mereka,” tegasnya mengutip kaidah fiqh.
Direktur Rumah Kitab Lies Marcoes-Natsir menyebutkan, tradisi/budaya, ekonomi, politik, keyakinan merupakan instrumen yang melegitimasi suburnya praktik kawin anak. Selain itu, wilayah yang mengalami keruskan ekologi biasanya marak kawin anak.
Dampaknya, kemiskinan struktural dan anak menjadi yatim piatu secara sosial, merupakan beberapa dampak perkawinan anak. Karena secara mental, kesehatan reproduksi dan ekonomi, anak di bawah umur sejatinya belum siap.
Karena itu pula Rumah Kitab bersama beberapa lembaga lainnya yang konsentrasi terhadap isu perlindungan anak dan perempuan melakukan Judicial Review terkait UU Perkawinan Indonesia No. 1/1974 Pasal 7 ke Mahkamah. Konstitusi. Hasilnya, MK menolak.
Namun, tidak menyurutkan Rumah Kitab untuk tetap mengampanyekan pencegahan kawin anak. Karena praktik kawin anak nyatanya lebih banyak merugikan dari berbagai aspek.
Terlebih menurut Lies, regulasi hanyalah permukaan. Layaknya gunung es, di bawah permukaan yang merupakan kelembagaan tersamar, banyak aktor dan faktor, jauh lebih kompleks permasalahan praktik kawin anak.
Sehingga, Rumah Kitab bekerja di ruang-ruang relasi tersamar tersebut dengan malakukan advokasi baik litigasi maupun non litigasi. “Karena seperti gunung es, di bawah permukaan seperti relasi tersamar, menjadikan praktik kawin anak tetap subur. Di sinilah Rumah Kitab bekerja,” kata Lies menjelaskan.
Hari ketiga, semua peserta pelatihan melakukan review dan membuat rencana tindak lanjut melakukan kegiatan serupa. Dengan metode sistematis (tertib), measurable (terukur), achievable (tercapai), reasionable (masuk akal) dan time boun (ketepatan waktu) diharapkan dapat menekan angka praktik kawin anak di Kota Cirebon. (hsn)
Source: http://www.radarcirebon.com/angka-kawin-anak-di-kota-cirebon-tinggi-ini-beberapa-penyebabnya.html/3
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!