Perlunya Diseminasi Gagasan yang Ramah Pada Perempuan Bekerja

SELASA, 12 Juli 2022, Rumah KitaB mengadakan “Dialog Multi Stakeholders Untuk Mendukung Perempuan Bekerja” di Bandung. Acara ini dihadiri 19 orang peserta (10 perempuan dan 9 laki-laki) dari sektor pemerintah, ormas keagamaan, media, dan bidang usaha.

Acara yang difasilitasi oleh Achmat Hilmi dan Lies Marcoes ini mendiskusikan 3 isu penting, yaitu: apa problem dan hambatan yang dialami oleh perempuan bekerja, dukungan apa yang dibutuhkan oleh perempuan bekerja sehingga bisa merasa nyaman beraktivitas, dan kolaborasi apa yang bisa disinergikan antara 4 sektor yang terlibat dalam dialog ini.

Sebagai pengantar dialog, Nur Hayati Aida memaparkan hasil riset yang dilakukan oleh Rumah KitaB pada tahun 2020 tentang penerimaan perempuan bekerja di 4 kota (Depok, Bekasi, Jakarta, Bandung). Secara garis besar, riset itu mengambarkan norma gender memberikan batasan pada perempuan pada perempuan bekerja, baik yang bersifat fisik ataupun simbolik. Pun, penafsiran agama memiliki peran penting dalam pembentukan norma gender tersebut.

Pada sesi dialong, Ririn Dewi W—perwakilan dari Aisyiyah Jawa Barat—menyatakan bahwa hambatan yang dialami oleh perempuan bekerja salah satunya karena tidak adanya komunikasi di keluarga atas pembagian kerja domestik dan pengasuhan, sehingga perempuan mengalami beban berlipat, bekerja di ruang publik sekaligus di ruang domestik. Padahal menurut Ririn, hal-hal seperti pengasuhan bukanlah sesuatu yang kodrati sehingga perannya bisa dilakukan bersama.

Oleh karena itu, salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah menciptakan regulasi tentang ketegakerjaan yang adil. Baik di Jawa Barat ataupun di Bandung, menurut Asep Saripudin—perwakilan dari Disnaker Kota Bandung—telah memiliki regulasi yang ideal untuk mendukung perempuan bekerja, misalnya dengan menyediakan laktasi, upah yang layak dan setara.

Namun, memang regulasi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah ini belum bisa berjalan dengan maksimal. Oleh karenanya, perlu ada kolaborasi para pihak untuk terus menyediakan ruang yang aman dan nyaman bagi perempuan bekerja. Egie Fauzi—perwakilan dari Komuji Indonesia—menyebut bahwa regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah harus dibuat sedemikian rupa dalam bentuk program yang bisa dilaksanakan komunitas atau ormas keagamaan, sehingga pesan-pesan yang ingin disampaikan bisa sampai dengan baik ke masyarakat. Adapun pembiayaan program tersebut bisa mengakses pada dana-dana CSR yang dimiliki oleh perusahaan. Dan, yang terakhir seluruh program harus terkover oleh media melalui exposure.

Dalam hal kampanye, Lies Marcoes—Direktur Eksekutif Rumah KitaB—menyebut dalam sambutan di awal acara bahwa Rumah KitaB secara aktif melalui skema Muslimah Bekerja memproduksi dan mendiseminasikan gagasan yang ramah terhadap perempuan bekerja.[NA]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses