Merebut Tafsir: Tanda-tanda Kekerasan, Beda Peka dengan Pekak

Oleh: Lies Marcoes Natsir

 

JIKA tidak hujan atau sedang di luar kota saya rutin berjalan kaki. Kebiasaan ini muncul setelah Covid-19. Semula, jalan dilakukan antara jam 9-10 pagi untuk mendulang sinar Matahari. Setelah virus corona type delta menyebar yang lebih gampang menular saya mengubah jadwal jalan menjadi lebih pagi. Dengan begitu saya jarang pakai masker karena kompleks masih sepi, warung pedagang sayur pun masih tata-tata dagangan.

Rutinitas jalan pagi memberi waktu kepada saya untuk membaca “tanda-tanda”. Seperti pedagang sayuran itu yang setia buka jam 6 pagi tanpa perlu bertanya. Mula-mula saya dapat menandai kehidupan alam yang secara fisik dapat dirasakan: hembusan angin dan iring-iringan awan memberi tanda-tanda yang bisa “dititeni”: apakah pagi ini akan hujan, cerah; apakah udara lebih dingin atau biasa saja. Tanda-tanda lain yang saya kenali dari rutinitas jalan pagi adalah suara burung: saya menjadi tahu jam berapa burung murai batu berkicau di sejumlah pohon tertentu, dan digantikan dengan cicit burung gereja yang lebih berisik.

Tanda-tanda lain yang juga bisa dikenali adalah pergantian musim buah. Saat ini, di jalan yang dilalui, putik buah dan bunga yang berserak memberi tahu saya bahwa musim buah-buahan telah tiba; rontokan bunga jambu air yang terhampar putih, rontokan bunga jambu bol yang merah ungu terhampar di selingkaran pohon dan rumbunan daun. Satu tanda yang hampir tak kenal musim adalah bekas buah jambu batu/kelutuk yang dimakan codot. Hampir setiap pagi saya menemukan tanda-tanda buah jambu dimakan codot dari remah-rema buah segar yang berkerombol di bahan pohon di tempat di mana ada buah di dahan yang kerowak bekas codot semalam.

Dalam al-Qur`an, perubahan musim dan waktu dan perubahan alam lainnya sering sekali digunakan sebagai jembatan berpikir yang dituntun Allah kepada manusia untuk sampai kepada hadir-Nya. “Apakah kalian tidak melihat, merenungkan, berpikir bahwa perubahan alam sebagai “tanda-tanda” dari hadir-Nya”? Atau dalam bentuk kalimat lain yang menuntun manusia sampai kepada kesimpulan “di antara tanda-tanda itu sesungguhnya terdapat kekuasaan-Nya bagi orang yang berpikir”.

“Tanda-tanda” alam atau dalam bahasa Jawa, Ibu saya sering menyebutnya “ngalamat”, saya pahami sebagai isyarat sepihak yang tidak dapat atau sulit dikonfirmasi kepada “pelakunya”; dalam hal ini tumbuhan atau binatang. Ini karena ada hambatan level bahasa yang hanya bisa ditembus manusia dengan mempelajari tanda-tanda itu. Hal ini karena Allah telah membekali manusia satu perangkat indra lahir batin berupa pikiran.

Dalam relasi sosial membaca tanda-tanda itu sangatlah penting. Dalam studi gender sering disebut perlunya membangun kepekaan, senitivitas atau menimbang rasa. Kekerasan seksual yang terjadi pada santri, pada anak-anak, bahkan kepada istri dalam relasi yang tidak seimbang sebetulnya seperti melihat “tanda-tanda alam”. Kita hanya dapat mengenali fenomenanya, mengenali “tanda-tanda”nya yang dapat menuntun orang untuk berpikir dan sampai kepada tanda tanya “ada apakah gerangan”?

Hal ini terutama, karena seperti pada putik bunga yang mekar, kita tak dapat bertanya, kita hanya mengenali tanda-anda dan isyaratnya. Dalam kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi seksual yang luar biasa timpang, membuat pihak korban umumnya hanya dapat memberi tanda-tanda. Mereka tak memiliki daya ungkap yang sama yang membuat orang lain bisa segera mengerti apa yang sedang terjadi. Ini terutama terjadi dalam kekerasan yang dilakukan orang dewasa di sekitar anak korban yang memiliki kuasa penuh atas korban. Seperti yang dilakukan guru atau pengasuh pesantren, atau Pendeta, mengelola gereja dan rumah ibadat, kepada murid perempuan, santri, jamaah dan anak-anak lak-laki. Ketika mereka “tak bicara”, itu bukan berarti mereka tidak “bersuara”. Namun suara mereka hanya berupa “tanda-tanda”. Karenanya yang dibutuhkan adalah kepekaan untuk membaca “tanda-tanda” itu! Dan itu pasti tidak sulit jika kita peka, sensitif pada adanya tanda-tanda kekerasan. Jadi kepekaan seperti apa yang dimiliki sebuah institusi negara seperti Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam melihat tanda-tanda praktek kekerasan di lembaga pendidikan seperti pesantren? Mengapa hal semacam itu terus dan terus berulang. Jangan-jangan mereka tidak peka melainkan pekak alias nir-pendengaran![]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.