Merebut Tafsir: Reformasi Hukum Keluarga sebagai Basis Perubahan Hukum untuk Keadilan bagi Perempuan.

Oleh Lies Marcoes

Bersama P2KK LIPI dan atas dukungan Oslo Coalition, 12 Juli 2018, Rumah Kita Bersama ( Rumah KitaB) meluncurkan Buku terjemahan Reformasi Hukum Keluarga Islam: Perjuangan Menegakkan Keadilan Gender di Berbagai Negeri Muslim.
Dalam pengantar diskusi ini Lies mengatakan “Reformasi hukum keluarga merupakan sebuah keniscayaan karena keadilan di ruang domestik akan berpengaruh kepada pencapaian keadilan perempuan di ruang publiknya. Dengan mengutip pendapat Lena Larsen, Lies menyatakan bahwa dari Indonesia, negara-negara Muslim dapat belajar bagaimana reformasi hukum keluarga bisa dilakukan karena 1) Indonesia memiliki pengalaman menghadirkan perempuan sebagai subyek dan obyek hukum; 2) Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar dan terdepan dalam perkembangan pemikiran gender dan agama.
Acara ini, seperti diakui Lena Larsen dan Nelly van Doorn merupakan kegiatan penutup dari serangkaian kegiatan akademik yang diselenggarakan OSLO Coalition di Indonesia. Ini menjadi puncak kegiatan yang paling mengesankan bagi mereka.
Acara Seminar ini dihadiri oleh 120 peserta – dari rencana 75 orang, dan karenanya mohon maaf bagi yang tidak kebagian buku.

Penyampaian pemikiran tentang hadits sebagai arena perjuangan keadilan gender diantarkan dengan sangat runtut, argumentatif dan advokatf oleh Dr. Faqihuddin A Kodir. Berangkat dari kritik Faqih kepada para aktivis feminist Muslim yang “malas” memakai argumen hadis karena hadis populer dan mainstream seringkali merendahkan dan menista perempuan, Faqih mengajak untuk memakai hadits sebagai arena perjuangan, bukan saja karena kalangan salafi dan wahabi memakai hadits untuk mensubordinasikan perempuan tetapi juga karena peluang advokasi untuk keadilan gender sangat luas terdapat dalam hadits. Bagi Faqih Abdul Kodir kita kurang peduli pada hadits-hadist yang pada kenyataannya bersifat advokatif tapi kurang populer. Dalam isu kekerasan, poligami, misalnya banyak hadits yang melampaui pandangan Quran( yang seringkali dianggap ambigu) secara tegas melarang kekerasan dan menolak poligami. Karenanya menurut Faqih, pengalaman perempuan dan pengetahuan perempuan sebagai rijaalul hadits seharusnya diperdalam dan dijadikan rujukan utama; demikian juga dalam menentukan kriteria perawi hadits, perilaku orang yang meriwayatkan hadist harus diteliti kehidupannya sehari-hari terkait sikapnya kepada perempuan: pembohong kepada istri coret, pelaku kekerasan kepada istri, coret dan seterusnya.

Dr Aicha Hajami dari Maroko mengemukakan pengalaman Maroko dalam melakukan reformasi. Mereka berhasil melahirkan UU kawin anak, batasan dan bahkan larangan poligami. Hal yang terpenting adalah konsistensi dalam menggunakan hukum nasional sebagai perangkat untuk pemenuhan keadilan di mana para ulama pun tunduk pada aturan tersebut.

Prof Khalid Masud membahas tentang metodologi untuk mengatasi dispute antara hukum fiqh yang bersifat normatif dengan hukum universal yang merupakan hasil ijtihad untuk penegakan hak-hak perempuan dan bersifat aplikatif.
Dr Nina Nurmila menjelaskan startegi penafsirkan ayat-ayat yang tampaknya bias gender dengan menggunakan pendekatan hermeneutika termasuk kritik bahasa. Dan kyai Ulil Abshar Abdalla menjelaskan dari perspektif yang lebih luas tentang tantangan reformasi hukum keluarga ini, yaitu menguatnya corak keagamaan yang menggunakan identitas agama sebagai alat pembeda antara mereka dan kita. Sementara isu-isu yang terkait dengan pemenuhan hak perempuan seperti larangan poligami, larangan kawin anak digunakan sebagai pembeda ideologi oleh mereka. Karenanya advokasi harus dilakukan melampai pendekatan teknokratik atau pendekatan teknis (seperti tuntutan perubahan menaikan usia kawin) yang bersifat parsial tanpa menyentuh persoalan yang paling mendasar soal menguatnya penggunaan isu perempuan sebagai identitas keagamaan oleh kalangan salafi dan Wahabi.

Tanggapan para peserta, yang terdiri dari praktisi hukum seperti hakim, aktivis perempuan, Ibu Rumah Tangga, dosen dan peneliti cukup beragam, tapi intinya ini adalah upaya yang sangat baik dan membantu kerja -kerja mereka di lapangan. Akhirnya para peserta menghendaki kegiatan serupa diperluas dan training bagi para hakim agama yang memberi pencerahan dan keterampilan dalam reformasi hukum keluarga harus segera dilakukan! Hayuuuk

Bravo Rumah Kita Bersama!

Faqihuddin A Kodir

Dr Sri Hartiningsih

Faqihuddin A Kodir dan Khalid Masud

Khalid Masud

Lena and Aicha El Hajjami

Lies Marcoes

Prof Dra Hj Nina Nurmila

Ulil-Abshar-Abdalla

Widjajanti-Santoso

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.