Pos

Menerka Tujuan Syariat (2/2)*

Oleh: Buya Dr. K.H. Abdul Syakur Yasin, M.A.

 

KITA harus mengetahui kenapa diperintah dan dilarang melakukan sesuatu. Bagaimana kita melaksanakan perintah atau menjauhi larangan jika kita tidak mengetahui maksud Tuhan? Seorang Muslim yang jumud berpandangan bahwa dalam beragama tidak boleh berpikir. Orang yang sering bertanya dianggap sebagai Bani Israil. Islam dipandang relevan sepanjang zaman (al-Islâm shâlih fî kulli zamân), sebagaimana dikatakan oleh Sayyid Qutb pada Kongres Ikhwanul Muslimin II di Mesir. Kalimat ini menyebar ke mana-mana yang memunculkan pemahaman bahwa pendapat para ulama klasik mengenai hukum syariat sudah final dan harus diyakini kebenarannya.

Dulu saya pernah menyampaikan tentang ketidakadilan terhadap perempuan dalam hal waris (yang hanya mendapatkan separuh saja) dan dalil-dalilnya kepada Menteri Agama Munawir Sadzali. Kemudian ia menyampaikannya di majalah Mimbar dan diserang habis-habisan. Ini adalah hal yang sangat sensitif dan perlawanannya sangat berat. Itulah kenapa perbudakan, mengawinkan anak kecil, dan memukul istri dibolehkan karena dianggap masih relevan. Apakah mengawinkan anak kecil itu relevan?

Kita tidak berbicara teori, tetapi realitas sehari-hari. Seorang perempuan datang kepada saya dan mengatakan bahwa ia dicerai secara lisan oleh suaminya. Saya mengatakan, cerai lisan telah dicabut oleh negara dan harus diproses di pengadilan—cerai tiga kali secara lisan tidak sah. Namun sebagian tokoh agama lain menyatakan bahwa itu sah. Akhirnya ia bercerai dan ia dengan susah payah membesarkan anak-anaknya sendirian. Di sini ada dualisme hukum; menaati fikih atau UU negara. Tentu yang seharusnya ditaati adalah UU negara.

Saya mengajukan calon bupati perempuan. Para kiyai menentangnya dan menyatakan perempuan tidak boleh menjadi pemimpin dengan dalil “al-rijâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ`”. Di sebagian negara Arab, ayat ini, dengan tafsir yang beredar saat ini, mungkin masih relevan. Tetapi di Indonesia tidak relevan, karena ada banyak perempuan yang menjadi rektor, menteri, pejabat, direktur, pimpinan perusahaan, pengasuh pesantren, dan seterusnya. Jika perempuan tidak boleh memimpin, semua kebijakan pada zaman Megawati akan tidak sah.

Secara linguistik, qiwâmah pada ayat “al-rijâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ`” bukan sulthânah (kesultanan/kekuasaan), imârah (keamiran/kepemimpinan), wishâyah, atau haymanah (penguasaan/hegemoni). “Qawwâm” berasal dari kata “qâma-yaqûmu” yang bermakna berdiri. Ism fa’il-nya adalah qâ`im—asalnya qâwim—dan kemudian menjadi qawwâm yang bermakna pendamping, bukan pemimpin. Misalnya Jokowi sedang berada di luar negeri dan tidak bisa menandatangani suatu dokumen keputusan resmi negara. Ma’ruf Amin kemudian menandatanganinya dengan menyantumkan strip Presiden RI ad interim. Itu disebut dengan al-qâ`im bi al-a’mâl (mewakili).

Dalam budaya Arab perempuan berada di bawah perlindungan laki-laki, karenanya perempuan yang ingin menikah harus punya wali. Perempuan tidak bisa menikah jika walinya tidak menyetujui. Artinya, perempuan tidak punya hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Padahal di hari akhirat nanti laki-laki dan perempuan bertanggungjawab atas dosanya masing-masing. Bagaimana mungkin perempuan yang ingin shalat di masjid saja harus mendapatkan izin dari suaminya? Kita harus memperjuangkan hak-hak perempuan itu.

Kita tidak mengabaikan atau meninggalkan teks. Al-Qur`an tidak perlu direvisi dan biarkan itu sebagai sesuatu yang sudah selesai. Kita menghormati dan membacanya karena itu adalah ibadah. Tetapi, tentu saja, kita perlu melakukan reinterpretasi sesuai dengan kebutuhan zaman. Dan teks-teks agama (baik al-Qur`an maupun hadits) mengenai perbudakan tidak perlu diinterpretasi ulang karena Tuhan pasti tidak suka manusia diperjualbelikan.

Islam tidak sedang melegalisasi praktik perbudakan, perkawinan anak, memukul istri, poligami, menceraikan istri seenaknya, melainkan hanya mengakomodir tradisi dan budaya setempat saja di masanya. Islam tidak sedang melegalisasi praktik perbudakan, perkawinan anak, memukul istri, poligami, menceraikan istri seenaknya, melainkan hanya mengakomodir tradisi dan budaya setempat saja di masanya. Tradisi dan budaya ini oleh Islam justru diupayakan untuk diubah secara bertahap demi terwujudnya kesetaraan laki-laki dan perempuan serta kesetaraan antara sesama manusia di masa-masa mendatang.

Sekarang banyak orang yang mulai merasa ribet dan terbebani dalam beragama. Teman saya yang seorang santri bekerja sebagai supir dan tidak melaksanakan shalat selama 10 tahun karena ia merasa susah—jam kerjanya dari siang sampai tengah malam. Jika demikian, seorang Muslim tidak bisa menjadi supir, pilot, nahkoda, dan masinis. Sejak kapan kita menganggap agama memberatkan hidup kita? Bagaimana mungkin kita menjadi terbebani dalam beragama. Solusinya: ia bisa mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar dengan jamak taqdim sebelum mengambil mobil. Setelah mengantarkan barang ia bisa melaksanakan shalat Isya` dan Maghrib dengan jamak ta’khir.

Ada orang yang hidup di tahun 2022 sedangkan otaknya masih di abad ke-7. Kita diharuskan hidup dengan gaya orang abad ke-7 agar tidak dianggap sebagai pelaku bid’ah seperti cebok dengan batu dan tidak boleh dengan tisu, tidak boleh menonton televisi, tidak boleh pakai sendok saat makan, dan seterusnya. Segala hal yang tidak ada atau tidak dilakukan Nabi maka tidak boleh dilakukan karena dianggap bid’ah. Bahkan ada orang yang tidak mampu berinteraksi dengan teknologi sehingga muncul pertanyaan “bagaimana hukum mengantongi HP yang di dalamnya terdapat rekaman atau aplikasi al-Qur`an saat buang air besar?” Saya tanya balik, “Orang yang hafal al-Qur`an boleh tidak buang air besar?”[]

 

*) Disarikan dari presentasi Dr. K.H. Abdul Syakur Yasin, M.A. dalam Diskusi Pendalaman “Maqashid Syariah Lin Nisa’” yang diselenggaran Rumah KitaB di Pondok Pesantren Ma’had Al-Shighor Al-Islamy Al-Dualy, Gedongan, Cirebon, Sabtu, 17 Desember 2022

Penyaluran Hasrat Atas Nama Agama, Menyoal Poligami Sebagai Gerakan Sunnah

Oleh: Harkaman

Poligami sebagai gerakan sunnah tampaknya menjadi semakin marak. Hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya seminar dan kursus poligami yang ada. Dari banyak aspek, poligami sebagai gerakan sunnah semacam ini punya problem yang sangat akut.

Hukum dalam Islam senantiasa memiliki keterbukaan untuk selalu mengalami perubahan. Hukum dalam Islam tidak rigid karena berelasi kuat dengan realitas, terutama sebagai upaya mengimplementasikan visi kemaslahatan bagi manusia dan semesta.

Dalam konteks pernikahan misalnya dalam kitab-kitab fikih, asal hukum pernikahan yaitu mubah (boleh), namun kemudian dapat mengalami perubahan hukum tergantung kondisi subjek dan realitasnya. Hukum pernikahan bisa menjadi Sunnah, bisa juga menjadi wajib, bahkan ada orang yang diharamkan menikah dengan seseorang yang telah ditentukan kategorinya oleh agama menimbang kemaslahatan manusia. Sehingga hukum pernikahan dalam Islam dikembalikan kepada kondisi masing-masing individu. Mereka yang memenuhi syarat, siap secara mental, dewasa lahir batin, dan berniat membangun keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah dengan meneladani Nabi, hukumnya sunnah untuk menikah. Sebaliknya, orang yang dikhawatirkan membahayakan hidup orang lain karena pernikahan, hukumnya haram, seperti kekhawatiran terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Keutamaan menikah disebutkan di beberapa hadis Nabi, salah satu di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim: Hai sekalian pemuda (orang dewasa), barangsiapa di antara kalian sudah memiliki kemampuan, segeralah menikah, karena menikah dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum sanggup menikah, berpuasalah, karena puasa akan menjadi benteng baginya”. Hadits ini berbicara tentang kedewasaan sebagai aspek penting dalam pernikahan. Saran menikah yang muncul dari Nabi ini

Dan pernikahan tidak dapat dipaksakan karena desakan hasrat seks seseorang. Hadits ini justru memberi contoh terkait kontrol atas hasrat seks. Kedewasaan itulah yang membuat manusia memiliki kemampuan mengontrol hasrat seksualnya dengan baik dan sehat. Salah satu media untuk mengontrol hasrat seks ini adalah berpuasa, maksudnya berpuasa menjadi sarana pelatihan kedewasaan manusia. Jadi saran dari Nabi kepada orang yang ingin menikah dan memiliki hasrat seks namun dipandang belum memiliki kedewasaan secara biologis dan sosiologis maka disarankan untuk berpuasa.

Menikah memiliki banyak faedah bagi mereka yang memenuhi syarat, namun tidak berarti orang yang tidak menikah menjadi hina di sisi Allah. Kemuliaan di sisi Allah dilihat dari nilai taqwanya. (al-Hujrat/49:13). Beberapa ulama memilih jomblo dan tidak menikah hingga akhir hayatnya, seperti Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 923 M), Imam Nawawi ad-Dimasyqi (w. 1227 M), Imam az-Zamakhsyari al-Khawarizmi (w. 1144), dan Ibnu Taimiyyah al-Harani ad-Dimasyqi (w. 1328).

Dewasa ini poligami dijadikan sebagai sebuah gerakan dengan alasan untuk menghidupkan sunnah Nabi. Mereka yang mendukung gerakan ini kemudian membuka kelas pendampingan bagi yang berkeinginan untuk memiliki istri lebih dari satu orang.

Gerakan tersebut tentunya cacat nalar dalam memahami Sunnah Nabi dan bagaimana seharusnya menghidupkan sunnah. Penulis sepemahaman dengan M. Quraish Shihab, ahli tafsir kenamaan Indonesia, mengatakan bahwa  poligami adalah pintu darurat. Sebagaimana pesawat memiliki pintu darurat, pintu tersebut hanya dibuka bila dalam keadaan mendesak atau tidak ada pilihan lain.

Ada beberapa fakta penting yang harus diperhatikan tentang pernikahan Nabi, bahwa: Pertama;  Nabi menikah untuk yang kedua kalinya setelah dua tahun wafatnya Khadijah, yang dikenal dengan ‘am al-huzniy (tahun kesedihan). Kedua; Perempuan yang dinikahi Nabi kebanyakan janda tua. Ketiga; Nabi menikah bukan karena dorongan hawa nafsu, namun untuk mengayomi dan melindungi perempuan, di saat terjadinya krisis keamanan yang mengancam hidup dan nyawa perempuan.

Pertanyaannya kemudian, apakah kelas gerakan poligami tersebut mempraktikkan seperti yang dilakukan oleh Nabi? Tentu tidak. Jika demikian, maka gerakan poligami sebagai sunnah Nabi tidak sama. Para praktisi poligami memiliki kecenderungan untuk menikahi perempuan muda dengan paras yang cantik.

Di dalam Surah an-Nisa/4:3, disebutkan semangat pernikahan adalah monogami. Faktanya, sebelum Surah an-Nisa ini diturunkan, ada banyak sahabat Nabi memiliki lebih dari empat orang istri. Namun setelah ayat tersebut turun, mereka diperintahkan oleh Nabi untuk menceraikan istrinya dan memilih empat istri dengan syarat yang ketat, bahkan diperintahkan menikahi satu perempuan saja karena tidak mungkinnya manusia berlaku adil terhadap pasangan yang lebih dari satu. Ini menunjukkan bahwa sahabat di masa itu lebih banyak mengurangi istri dibanding menambah istri.

Mereka yang berpoligami tidak seharusnya berbangga dan mempublikasikannya seakan poligami merupakan sebuah prestasi. Keluarga harusnya dipertahankan dan itulah yang harus dicarikan solusinya, agar bisa meraih keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Sementara poligami lebih dekat kepada perceraian. Bahkan poligami merupakan praktik kekerasan terhadap perempuan itu sendiri. Hal ini bertentangan dengan tujuan pernikahan ideal, yakni meraih kebahagian. Bahkan Rasulullah Saw dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, disebutkan perbuatan halal yang dibenci oleh Allah adalah perceraian. Namun perempuan yang dalam kondisi terzalimi dan mengalami kekerasan justru wajib bercerai, karena menghindari madharat dan kerusakan adalah perintah agama.

درئ المفاسد مقدم على جلب المصالح

Menghindari kemadharatan lebih diutamakan ketimbang memihak kemaslahatan (yang semu) (As-Suyuthi, Al-Asybâh wa Al-Nazhâir:87)

Badan Pusat Statistik (bps.go.id) menyebutkan angka perceraian meningkat menjadi 6,4% pada tahun 2020. Ada 394.246 kasus terjadi pada tahun 2015, ada 401.717 kasus terjadi pada tahun 2016, ada 415.510 terjadi pada tahun 2017, ada 444.358 kasus terjadi pada tahun 2018, ada 480.618 kasus terjadi pada tahun 2019, dan ada 306.688 kasus terjadi pada bulan Agustus 2020. Salah satu faktor utama penyebab terjadinya perceraian adalah perselisihan di dalam rumah tangga.

Berdasarkan fakta di atas, dapat dikatakan bahwa gerakan kampanye poligami berkontribusi besar pada potensi kekerasan terhadap perempuan dan berpotensi meningkatkan angka perceraian di Indonesia. Sebaliknya, program yang berhubungan dengan pelestarian perkawinan monogami harus didukung, karena mengurangi potensi terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak. []

Harkaman, Peserta Pengaderan Kiai Muda Sensitif HAM dan Gender 2021, Rumah KitaB didukung oleh The Oslo Coalition – University of Oslo, Norwegia.

 

Artikel ini telah terbit di harakah.id

Seminar Poligami = Menjual Masker Penutup Malu?

oleh Lies Marcoes

Seminar poligami kian marak, kenapa bisa terjadi?

Beberapa hari kemarin, jagat medsos sedikit ramai oleh poster iklan seminar “kiat sukses berpoligami”. Tak urung, iklan itu, mengundang belalak mata, bukan karena temanya tapi biayanya yang setara dengan 400 kg beras. Bayangkan, jika 20 orang saja yang ikut seminar, akan diraup 80 juta alias delapan ton beras!

Para pemerhati kekerasan terhadap perempuan sempat saling melempar tanya; gerangan siapa dan motif apa orang menyelenggarakan seminar itu? Terlebih soal para pesertanya. Sederet alasan bisa dicatat.

Saya sendiri menduga seminar ini sekadar menjual “masker penutup malu” bagi para peminat poligami dengan menawarkan dalil-dalil marjinal maupun kiat-kiat menundukkan istri untuk hidup dalam permaduan. Mungkin juga ada yang ingin “mbengkelin” biduk poligaminya yang terlanjur oleng nyaris tenggelam.

Tulisan ini menganalisis praktik poligami dari aspek sosial antropologis yang saya yakin disimplifikasikan di dalam paket seminar itu. Kita patut menduga materi seminar ini jauh dari kajian akademis tentang seluruh problema rumah tangga dalam perkawinan poligami, apalagi dari sudut pandang perempuan.

Sebab, jika itu yang dilakukan, tentu tak akan tercapai tujuan seminar itu yakni menggantang mimpi tentang terwujudnya dua atau tiga biduk rumah tangga di bawah satu nahkoda yang dijanjikan bebas guncangan apalagi tsunami keluarga. Kajian-kajian akademis tentang poligami dari sudut pandang dan tema apapun menyatakan hal yang sebaliknya, minimal alot dan berat.

Seminar ini niscaya membidik peserta perempuan dan laki-laki atau berdimensi gender. Bagi perempuan, di luar mereka yang sengaja ikut untuk kepentingan riset–jika ada, seminar ini boleh jadi berisi kiat-kiat penguatan batin dengan mengkapitalisasikan rumus ikhlas dan sabar. Hal itu mudah ditebak karena sejak lama para campaigner acara serupa—seperti yang pernah dilakukan pengusaha restoran ayam siap saji yang kini ambyar tak lagi terdengar, kiat mereka tak pakai resep aneh-aneh.

Menaklukkan para istri dengan ajaran tentang ikhlas, sembari diupahi status sebagai manajer alias  kaki tangan si suami. Penaklukan paling penting konon dilakukan kepada istri pertama dengan seolah-olah mendapatkan wewenang luas sebagai pengambil keputusan dalam menentukan siapa para madunya.  Lalu istri tua pula yang diserahi tanggung jawab mengatur operasional bisnis sekaligus rumah tangga berkamar banyak; ada manajer dapur, manajer restoran, pengasuhan anak, hingga manajer cara merawat birahi suami, dan seterusnya.

Sementara bagi sebagian lelaki, dugaan saya, mereka disuguhi seluk-beluk romantika berpoligami sembari ditawari “masker penutup rasa malu” atas hasrat poligami yang diiklankan bisa dikelola menjadi poligami ideal. Kita boleh bertaruh, mana ada pelaku poligami yang tak gentar menghadapi rasa takut dan malu atas tindakannya.

 

Itu sebabnya dalam banyak kasus, poligami selalu diawali dengan tindakan sembunyi-sembunyi, dilakukan dalam format perkawinan siri dan tak jarang disertai kegaduhan sampai tercapai  hubungan yang “new normal” jika tak terjadi perceraian.

 

Perihal metafora “ masker penutup rasa malu” sebetulnya wajar saja. Penyelenggara seminar ini pasti tahu poligami adalah tindakan yang dalam sebagian tafsir (Islam) dihalalkan namun dalam praktik sosialnya dianggap memalukan. Apalagi jika diingat, kehalalan poligami itu sentiasa dikaitkan dengan ketidaksanggupan lelaki dalam mengelola libido seksnya. Kehalalan itu diletakkan dalam kedaruratan lantaran takut berbuat yang lebih buruk seperti maksiat kelamin. Dalam kata lain, tindakan itu mereka sendiri akui sebagai jalan tikus menuju halal ketika rasionalitas mereka macet tersumbat hasrat darurat.

Pada kenyataannya, dengan mudah orang dapat bersaksi, pada kebanyakan kasus, poligami adalah sebentuk perkawinan tak normal, baik secara etik,moral, maupun dilihat dari cita-cita terbangun keluarga yang “mawaddah wa rahmah” sebagai wujud relasi yang adil, sehat dan stabil. Apapun alasannya, praktik itu pasti memunculkan kontriversi.

Dalam kata lain, meskipun perkawinan poligami (dalam Islam) dinilai halal bahkan kerap didakukan sebagai jalan mengikuti sunnah Nabi, namun mereka juga tahu bahwa akal sehat publik dan pertimbangan- pertimbangan etis manusia serta buki-bukti riset empiris menunjukkan bahwa perkawinan serupa itu bukanlah hal yang layak dirayakan. Apalagi untuk disepadankan dengan akhlak Nabi.

Di luar argumentasi agama, poligami bukanlah solusi untuk mengatasi problem kehidupan apalagi kemiskinan. Paling jauh menjadi pintu darurat untuk mengindari maksiat.

Praktik poligami di seluruh dunia, apapun latar belakang agama dan keyakinannya, adalah praktik dengan ragam penyebab dan dampak. Ini terkait dengan aspek-aspek relasi yang rumit dalam keluarga dan masyarakat. Kerumitan itu kalau hendak diakui secara jujur nyaris tak berpola alias unik. Berjuta kejadian poligami, berjuta pula pola bangunan relasi serta akibat- akibatnya. Oleh karena itu, menyederhanakan kerumitan perkawinan ke dalam bingkai seminar kiat sukses berpoligami tak lebih dari tindakan penyederhanaan masalah, untuk tidak dikatakan pembodohan.

Jika kita amati secara sosial, misalnya dalam budaya Jawa, perkawinan poligami sangat tergantung ke “kelas sosialnya”. Bagi kaum priyayi, itu menjadi penanda yang terkait dengan status sosialnya. Makin banyak istri yang dikawini semakin luas wilayah kekuasaan atas tanah perdikan yang ditaklukkan. Sebaliknya bagi petani miskin, perkawinan poligami merupakan strategi untuk bertahan dengan melakukan pembagian kerja. Sang istri, baik yang tua maupun yang muda, menjadi tenaga tambahan tak berbayar. Mereka berbagi tugas agar ongkos produksi tak terlalu mahal.

Di masa lampau dan mungkin hingga kini, bagi para perantau baik dalam waktu panjang atau berjangka, perkawinan poligami adalah cara murah untuk mengganti ongkos persetubuhan dan uang losmen yang jika dilakukan secara ketengan akan boros (costly). Bagi banyak perempuan, apalagi belakangan ini ketika derajat suami dikerek sedemikian rupa sebagai imam dunia akhirat, poligami adalah sebentuk kepasrahan perempuan daripada kelak di akhirat tak punya imam.

Ditunjau dari pandangan agama, niscaya banyak yang tahu landasan hukum agama tentang poligami tidak pernah bulat mufakat. Syeikh Al Azhar Mesir, Muhammad Abduh, menghukumi poligami sebagai tindakan terlarang dengan menimbang dampak mudharat yang dihasilkannya. Apalagi dalam hukum perkawinan Islam di banyak negara berpenduduk Muslim, seperti Indonesia, asas perkawinan Islam adalah monogami. Dan jika tindakan itu dikembalikan ke argumen dibenarkannya poligami sebagai jalan untuk melindungi anak-anak yatim, bagaimana perlindungan itu bisa terwujud? Sangat jarang kita mendengar suara anak ikut dipertimbangkan.

Bukti paling sederhana bahwa poligami adalah perkawinan bermasalah, hampir semua poligami dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, diikuti penyangkalan sebelum kemudian diakui dengan memaksa istri pertama masuk ke dalam jebakan menerima perkawinan poligami atau gugat cerai.

Banyak perempuan, dengan menimbang anak-anak, menimbang beratnya status janda atau alasan ketergantungan ekonomi, terpaksa menerima perkawinan poligami. Namun, jangan salah, banyak juga perempuan yang menganggap poligami adalah jalan pembebasannya karena tak harus meladeni sang suami, meski dengan itu antar perempuan kemudian saling mengeksploitasi demi sang imam wannabe. Tak sedikit pula perempuan dalam perkawinan poligami berjangka waktu lama, akan membangun teologi keimananya tersendiri, ikhlas sabar semoga penderitaannya menjadi pahala kebaikan bagi dirinya dan anak-anaknya.

Seminar kiat poligami tampaknya mengabaikan semua itu. Kepentingannya adalah bagaimana sebuah tindakan yang mereka tahu tak diterima sebagai sebuah prilaku yang baik dan terhormat dinaikkan derajatnya. Dan dengan sedikit mental dagang, poligami pun dikemas menjadi jualan masker anti malu berpoligami. Sementara itu, derita lahir batin istri dan anak-anak dalam kehidupan poligami mereka dijadikan minuman oplosan atau sekadar guyonan![].

 

Sumber: https://islami.co/seminar-poligami-menjual-masker-penutup-malu/

Grand Syaikh Al-Azhar: Poligami Adalah Ketidakadilan bagi Perempuan

BBC INDONESIA, 4 Maret 2019. Pernyataan Imam besar lembaga Islam terkemuka di negara Mesir, Al-Azhar, yang menyebut poligami bisa menjadi “ketidakadilan bagi perempuan dan anak-anak”, menuai perdebatan di negara itu.

Imam besar Al-Azhar, Ahmed al-Tayeb, menyebut poligami acap kali dipraktikan karena “pemahaman yang salah terhadap al-Qur’an”.

Dia membuat pernyataan tersebut dalam program televisi mingguannya dan melalui akun Twitter-nya.

Setelah menuai perdebatan, Al-Azhar mengklarifikasi bahwa sang imam tidak menyerukan pelarangan poligami.

Dia menegaskan bahwa monogami adalah keharusan dan poligami adalah pengecualian.

“Siapa pun yang menyebut bahwa pernikahan harus poligami adalah salah,” kata dia. Al-Qur’an, tambahnya, menyebut bahwa bagi seorang pria muslim yang memiliki banyak istri, dia “harus bisa bersikap adil — dan jika tidak bisa adil maka dilarang untuk memiliki banyak istri”.

Ahmed al-Tayeb juga menganjurkan pembenahan yang lebih luas dari cara masalah perempuan ditangani.

“Perempuan mewakili setengah dari masyarakat. Jika kita tidak peduli pada mereka, itu seperti berjalan dengan satu kaki saja,” katanya di Twitter.

Dewan Nasional Perempuan Mesir merespons positif komentarnya.

“Agama Islam menghormati perempuan — ia membawa keadilan dan banyak hak yang tidak ada sebelumnya,” kata presiden dewan Maya Morsi.

 

 

Sumber: https://bbc.in/2EFhbS3

Apa Benar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Tidak Sesuai dengan Nilai-nilai Islam?

Oleh Achmat Hilmi, Lc., MA.

Berdasarkan Data yang dirilis oleh Komnas Perempuan tahun 2013, terdapat 15 Bentuk Kekerasan Seksual yang terjadi merujuk pada hasil pemantauan selama 15 tahun terhadap kasus ini, dimulai dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2013, yakni 1) Pemerkosaan; 2) Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan pemerkosaan; 3) Pelecehan seksual; 4) Eksploitasi Seksual; 5) Perdagangan Perempuan untuk tujuan seksual; 6) Prostitusi paksa; 7) Perbudakan seksual; 8) Pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung; 9) Pemaksaan kehamilan; 10) Pemaksaan Aborsi; 11) Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi; 12) Penyiksaan seksual; 13) Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; 14) Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan dan mendeskriminasi perempuan; 15) Kontrol seksual, termasuk lewat aturan deskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Betapa pentingnya kehadiran RUU PKS diharapkan dapat menjawab persoalan yuridis dan menjadi payung hukum bagi perempuan dan anak-anak yang menjadi korban. Mereka harus diberikan kejelasan dan kepastian hukum terkait kekerasan seksual yang dialami. Kehadiran RUU PKS dapat menyejahterakan semua rakyat Indonesia sesuai amanat proklamasi. Sejahtera bagi perempuan Indonesia berarti bebas dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

Dalam Islam, Perempuan memiliki hak, otonomi, dan otoritas atas tubuhnya sendiri, karena itu segala jenis kekerasan terhadap perempuan tidak dibenarkan oleh agama. Dasar Argumentasinya Sabda Nabi, “tidak boleh membahayakan orang lain dan tidak boleh membahayakan diri sendiri.” Setiap bentuk kekerasan seksual merupakan bentuk pelanggaran terhadap kemuliaan manusia yang dijamin oleh Tuhan. Allah Swt. berfirman, “Dan Sesungguhnya Kami telah muliakan anak-anak Adam (manusia)”, (QS. Al-Isra/17 :  70 ).

Islam mengharamkan berbagai bentuk kekerasan baik di dalam keluarga maupun di luar keluarga. Larangan perilaku kekerasan seksual dalam Islam itu berlaku secara umum, tidak ada ruang pengecualian. Islami memiliki visi sebagai agama yang menjamin kemaslahatan kepada seluruh manusia. Setiap bentuk pelanggaran atas kemaslahatan itu merupakan pelanggaran terhadap visi Islam itu sendiri. Allah Swt. berfirman, ”“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS.  Al Baqarah: 185).

Karena itu larangan melakukan kekerasan seksual juga berlaku di dalam keluarga. Sekalipun dalam lembaga perkawinan, Islam memperkenankan suami isteri untuk melakukan hubungan seksual, namun harus dilakukan dengan cara yang bermartabat dan atas dasar kerelaan bagi kedua pihak. Pemerkosaan dalam perkawinan merupakan bentuk pelanggaran serius atas nilai-nilai perkawinan ideal dalam Islam. Allah berfirman, “Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf”. [Terj. Q.S. Al-Baqarah/2:228].  Imam Qurthubi berkata: “Maksud ayat ini yaitu Allah memerintahkan laki-laki untuk mempergauli isteri dengan baik, begitu juga sebaliknya”.

Dalam konteks fikih, Islam mewajibkan setiap laki-laki untuk memperlakukan perempuan dalam ruang domestik dan ruang publik dengan sangat baik, berinteraksi dengan penuh cinta dan kasih sayang. Bahkan. Islam memerintahkan laki-laki untuk menjadi penjaga perempuan dari berbagai bentuk perilaku kekerasan. Rasulullah bersabda, “istaushǔ bi al-nisâ-i khayran (Aku wasiatkan kalian untuk berbuat baik kepada perempuan)”[HR. Muslim 3729]. Sabda Rasul juga, “Khairukum khairukum li ahlihi wa anâ khairukum li ahlî (sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap isterinya dan aku adalah orang yang paling baik terhadap isteriku) [HR. At-Tirmidzi].

Islam menyediakan lembaga keluarga tidak sebatas untuk melegalkan hubungan seksual namun sebagai lembaga yang mampu mempersiapkan generasi yang berkualitas. Di dalamnya terdapat struktur keluarga yang memiliki peran dan tanggung jawab dalam penanaman nilai-nilai yang luhur. Lembaga keluarga adalah tempat pertama anak-anak berkenalan dengan konsep akhlak atau etika, tentang apa itu yang baik dan apa itu yang buruk. Peran orang tua, baik ibu atau bapak, dalam lembaga keluarga menjadi krusial. Terutama peran ibu sebagai pendukung pengembangan nilai-nilai yang positif dalam keluarga.

Beragam bentuk perlindungan bagi perempuan yang telah dipraktikkan di dalam Islam. Pertama, Islam telah berhasil menghapus tradisi-tradisi jahiliyah arab yang mendiskriminasi perempuan, antara lain mengubur bayi perempuan hidup-hidup, poligami, perbudakan seks, dan prilaku kekerasan-diskriminatif. Allah Swt Berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu”. [Terj. Q.S. Al-Hujurat : 13].

Kedua, perempuan diberikan hak untuk meraih pendidikan sama tingginya dengan laki-laki. Nabi bersabda, “Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi muslim (laki-laki) dan muslimah (perempuan)”. [Imam Nawawi, Al-Majmu’, 1/24].

Ketiga, Nabi Muhammad juga telah berhasil membebaskan budak-budak perempuan agar dapat hidup setara dengan laki-laki. Begitu pun budak laki-laki juga banyak dimerdekakan oleh kanjeng Nabi. Allah Swt. berfirman, “(Hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya.” [Terj. QS. An Nisâ’: 92]

Keempat, Perempuan  diberikan hak memperoleh warisan dari harta pusaka yang ditinggalkan oleh mendiang orang tuanya. Bahkan Prof. Dr. Hazairin, Guru Besar Hukum Islam di era 50-an mengatakan bahwa Islam membagi warisan laki-laki dan perempuan dengan bagian yang sama, secara kualitas maupun kuantitas. [Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits, 1].

Kelima, Para ulama seperti Syaikh Muhammad Abduh, Tengku Hasbi Ash-Shiddiqi berkontribusi dalam melarang keras poligami. Allah berfirman ; “Dan kamu sekali-kali tidak akan mungkin (mustahil) dapat berlaku adil pada isteri-isteri(mu)”. [Terj. Q.S. An-Nisa ; 129].

Poligami Bukan Tradisi Islam

Penulis KH. Husein Muhammad

Poligami bukan praktik yang dilahirkan Islam. Islam tidak menginisiasi perkawinan Poligami. Jauh sebelum Islam datang tradisi poligami telah menjadi salah satu bentuk praktik peradaban patriarkhis di seluruh dunia. Peradaban patriarkhi adalah peradaban yang memposisikan laki-laki sebagai aktor yang memiliki hak menentukan seluruh aspek kehidupan social kemasyarakatan, ekonomi dan Politik. Nasib hidup kaum perempuan dalam sistem ini didefinisikan oleh laki-laki dan untuk kepentingan mereka. Perempuan, dalam budaya patriarkhi dipadang sebagai layaknya benda (mataa’) dan untuk kesenangan (mut’ah) (kesenangan) laki-laki. Peradaban ini telah lama bercokol bukan hanya di wilayah Jazirah Arabia, tetapi juga dalam banyak peradaban kuno lainnya seperti di Mesopotamia, Mediterania dan di hampir seluruh bagian dunia lainnya. Berbagai pandangan keagamaan pada saat itu juga melegitimasi praktik-praktik tersebut. Dengan kata lain perkawinan poligami sejatinya bukan khas peradaban Arabia, tetapi juga peradaban bangsa-bangsa lain.

Poligami bukan praktik yang dilahirkan Islam. Islam tidak menginisiasi perkawinan Poligami.
Jauh sebelum Islam datang tradisi poligami telah menjadi
salah satu bentuk praktik peradaban patriarkhis di seluruh dunia.

Di dunia Arab, tempat kelahiran Islam, sebelum Nabi Muhammad Saw lahir, perempuan dipandang rendah dan entitas yang tak berarti. Perempuan dianggap sebagai benda atau barang dan karena itu bisa diwaris. Pemilik dan pewarisnya adalah laki-laki. Laki-laki berhak memiliki sejumlah isteri dan sejumlah budak perempuan. Al-Qur’an banyak menyebut kata ba’l, untuk suami. Kata ba’l berarti pemilik (almalik), tuan, penguasa (alsayyid), atau pemelihara (alrabb). Sedangkan perempuan (isteri) disebut mab’uul, yang berarti dimiliki (almamlukah), yang dikuasai (almasyudah) dan yang dipelihara (a marbubah). Al-ba’l juga merupakan nama dari salah satu tuhan bangsa Arab ketika itu.

Maka tidaklah mengherankan pula bahwa masyarakat Arabia waktu itu, menganggap kelahiran anak perempuan bukan merupakan peristiwa yang patut dirayakan. Sebagian malahan menganggap kelahiran anak perempuan itu justeru dapat membawa kesialan. Kitab Suci kaum muslimin dalam sejumlah ayatnya menginformasikan kepada kita realitas sosial ini.

Apabila mereka diberitahukan kabar tentang kelahiran anak perempuan, wajah mereka berubah menjadi merah-padam. Mereka berusaha menutupinya, untuk menyembunyikan kabar buruk ini. Mereka berpikir apakah membiarkannya dalam kehinaan atau menguburkan anak perempuan itu dalam keadaan hidup. Betapa buruknya keputusan mereka”.(Q.S. al-Nahl, 16: 58-59).

Umar bin Khattab pernah mengungkapkan kenyataan ini dengan mengatakan :

“Dalam dunia Arabia yang kelam (jahiliyah), kami tidak menganggap perempuan sebagai makhluk yang perlu diperhitungkan. Tetapi begitu perempuan disebutkan Tuhan, kami baru mengetahui bahwa mereka mempunyai hak-haknya secara otonom”.

Demikianlah, bahwa perbudakan manusia terutama perempuan, dan poligami menjadi praktik kebudayaan yang lumrah dalam masyarakat Arabia saat itu. Ketika Nabi Islam hadir di tengah-tengah mereka praktik-praktik ini tetap berjalan dan dipandang tidak bermasalah, sebagaimana tidak bermasalahnya tradisi “kasur, dapur dan sumur” bagi peran perempuan dalam masyarakat Jawa.

Nabi Saw tentu saja mengetahui bahwa poligami (apalagi perbudakan) yang dipraktikkan bangsa Arab ketika itu bukan merupakan tradisi yang baik, karena seringkali dan banyak merugikan kaum perempuan. Dan setiap perbuatan yang merendahkan dan membuat derita orang haruslah dihindarkan dan dihentikan. Akan tetapi bukanlah cara al-Qur’an untuk menghapuskan praktik ini dengan cara-cara yang radikal dan revolusioner. Al-Qur’an tidak pernah menggunakan kata-kata yang kasar dan radikal. Ini bukan karakter bahasa al Qur’an. Tetapi adalah pasti bahwa al-Qur’an dan Nabi Islam hadir untuk melakukan transformasi kultural. Transformasi yang dijalankan nabi, baik melalui kata-kata al-Qur’an maupun tindakan beliau sendiri, selalu bersifat gradual (bertahap), akomodatif dan dalam waktu yang sama sangat kreatif.

Al-Qur’an dan Nabi Muhammad Saw selalu berusaha memperbaiki keadaan ini secara persuasif dan mendialogkannya secara intensif. Kedua sumber Islam itu selalu mengajak audiennya untuk memikirkan keuntungan dan kerugiannya, apabila ia dilakukan. Bukan hanya isu poligami, seluruh praktik kebudayaan yang tidak menghargai manusia selalu diupayakan Nabi Saw untuk diperbaiki dengan cara seperti itu, untuk pada gilirannya cita-cita Islam dapat diwujudkan. Idealitas Islam yang dimaksud adalah terbentuknya sebuah sistem kehidupan yang menghargai martabat manusia dan berkeadilan.

Ini diutarakan oleh banyak ayat. Tuhan sendiri telah menyatakan dengan tegas penghormatannya pada manusia: “Walaqad Karramna Bani Adam” (Kami sungguh-sungguh menghormat manusia, QS al-Isra, 17: 70). Di tempat lain al-Qur’an menyatakan bahwa Nabi Saw ditugaskan untuk membebaskan manusia dari dunia gelap menuju cahaya (yukhrijuhum min alzhulumat ila al-nur, QS. Al-Baqarah, 2: 257). Kezaliman adalah kegelapan dan keadilan adalah cahaya. Ini adalah kehendak logis dari sistem kepercayaan Islam yang paling fundamental: Tauhid.

Jika kita membaca teks-teks al Qur-an secara holistik dan tidak sepotong-sepotong, kita melihat bahwa perhatian kitab suci terhadap eksistensi perempuan secara umum dan isu poligami dalam arti khusus, muncul dalam rangka reformasi sosial dan hukum tersebut. Al Qur’an tidak ujug-ujug turun untuk mengafirmasi perlunya poligami. Pernyataan Islam atas praktik poligami, justeru dilakukan dalam rangka mengeliminasi praktik ini, selangkah demi selangkah.

Dua cara dilakukan al Qur’an untuk merespon praktik ini; mengurangi jumlahnya dan memberikan catatan-catatan penting secara kritis, transformatif dan mengarahkannya pada penegakan keadilan. Sebagaimana sudah diketahui, praktik poligami sebelum Islam dilakukan tanpa batas. Laki-laki dianggap wajar dan sah saja untuk mengambil perempuan sebagai isteri sebanyak yang dikehendakinya, berapapun, sebagaimana laki-laki juga dianggap wajar saja memperlakukan kaum perempuan sesuka hatinya.

Perbudakan juga dipandang lumrah. Logika sosial mainstream saat itu memandang poligami dengan jumlah perempuan yang dikehendaki, juga perbudakan sebagai sesuatu yang lumrah, sesuatu yang umum, dan bukan perilaku yang salah dari sisi kebudayaan. Bahkan untuk sebagian orang atau komunitas poligami dengan banyak perempuan merupakan kebanggaan tersendiri. Previlase, kehormatan dan kewibawaan seseorang atau suatu komunitas seringkali dilihat dari seberapa banyak dia mempunyai isteri, budak atau selir.

Kaum perempuan menerima kenyataan itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berdaya melawan realitas tersebut meski sungguh-sungguh merugikan dirinya itu. Kaum perempuan dalam masyarakat tersebut selalu menjadi korban ketidakadilan tanpa mereka sendiri memahaminya. Boleh jadi, karena keadaan yang lumrah dan mentradisi ini, mereka sendiri alih-alih tidak menganggapnya sebagai hal yang merugikan atau menderiakan dirinya, malahan untuk sebagiannya dirasakan sebagai biasa-biasa saja. Boleh jadi mereka juga telah menganggapnya sebagai sudah menjadi kehendak Tuhan. Ketidakadilan itu menjadi tak terpikirkan lagi.

Al-Qur’an kemudian turun untuk melancarkan koreksi, kritik dan memprotes keadaan tersebut dengan mengambil strategi meminimalisasi jumlah yang tak terbatas itu sehingga dibatasi hanya empat orang saja di satu sisi, dan memperingatkan dan menuntut agar para suami untuk memperlakukan para isterinya dengan adil, pada sisi yang lain. Ini adalah strategi transformasi yang ditunjukkan al Qur’an.

Informasi mengenai realitas sosio-kultural dan tindakan mereduksi praktik poligami seperti itu terungkap dalam sejumlah hadits Nabi saw. Beberapa di antaranya hadits Ibnu Umar. Katanya: “Ghilan al Tsaqafi ketika masuk Islam mempunyai sepuluh orang isteri. Mereka semua masuk Islam bersamanya. Nabi Muhammad Saw kemudian menyarankan dia untuk hanya mengambil empat orang saja”.(H.R. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirimidzi). Qais bin Harits juga mengalami hal yang sama. Dia mengatakan; “Aku masuk Islam dan aku mempunyai delapan orang isteri. Aku kemudian mendatangi dan menceritakannya kepada Nabi saw. Nabi Saw kemudian mengatakan: “Pilih empat di antara mereka”. (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah).

Strategi al-Qur’an untuk mereduksi atau meminimalisasi jumlah isteri tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa kitab suci ini tampaknya enggan untuk membolehkan poligami kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Sebabnya jelas bahwa poligami dalam banyak kondisi untuk tidak mengatakan dalam semua kondisi telah membuat para perempuan semakin tidak berdaya. Poligami juga melahirkan sejumlah persoalan krusial dan konflik di dalam rumah tangganya. Amatlah jarang perkawinan poligami berjalan dengan mulus dan damai.

Poligami juga secara faktual telah menimbulkan problem psikologis bagi isteri bahkan juga bagi pihak lain yang terkait, terutama anak-anak. Kecemburuan di antara para isteri selalu terjadi. Hubungan-hubungan di antara mereka seringkali tidak berjalan harmonis. Tegasnya poligami adalah isu problematik dalam kehidupan keluarga dengan banyak dampak negatif, apalagi jika telah ada anak-anak. Keadaan-keadaan tersebut jelas tidak sejalan dengan missi perkawinan yang digariskan al-Qur’an. Yakni menciptakan kehidupan rumah tangga yang sakinah (tenteram), mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang).

Sumber: https://mubaadalah.com/2016/07/poligami-bukan-tradisi-islam/

Merebut Tafsir: Reformasi Hukum Keluarga sebagai Basis Perubahan Hukum untuk Keadilan bagi Perempuan.

Oleh Lies Marcoes

Bersama P2KK LIPI dan atas dukungan Oslo Coalition, 12 Juli 2018, Rumah Kita Bersama ( Rumah KitaB) meluncurkan Buku terjemahan Reformasi Hukum Keluarga Islam: Perjuangan Menegakkan Keadilan Gender di Berbagai Negeri Muslim.
Dalam pengantar diskusi ini Lies mengatakan “Reformasi hukum keluarga merupakan sebuah keniscayaan karena keadilan di ruang domestik akan berpengaruh kepada pencapaian keadilan perempuan di ruang publiknya. Dengan mengutip pendapat Lena Larsen, Lies menyatakan bahwa dari Indonesia, negara-negara Muslim dapat belajar bagaimana reformasi hukum keluarga bisa dilakukan karena 1) Indonesia memiliki pengalaman menghadirkan perempuan sebagai subyek dan obyek hukum; 2) Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar dan terdepan dalam perkembangan pemikiran gender dan agama.
Acara ini, seperti diakui Lena Larsen dan Nelly van Doorn merupakan kegiatan penutup dari serangkaian kegiatan akademik yang diselenggarakan OSLO Coalition di Indonesia. Ini menjadi puncak kegiatan yang paling mengesankan bagi mereka.
Acara Seminar ini dihadiri oleh 120 peserta – dari rencana 75 orang, dan karenanya mohon maaf bagi yang tidak kebagian buku.

Penyampaian pemikiran tentang hadits sebagai arena perjuangan keadilan gender diantarkan dengan sangat runtut, argumentatif dan advokatf oleh Dr. Faqihuddin A Kodir. Berangkat dari kritik Faqih kepada para aktivis feminist Muslim yang “malas” memakai argumen hadis karena hadis populer dan mainstream seringkali merendahkan dan menista perempuan, Faqih mengajak untuk memakai hadits sebagai arena perjuangan, bukan saja karena kalangan salafi dan wahabi memakai hadits untuk mensubordinasikan perempuan tetapi juga karena peluang advokasi untuk keadilan gender sangat luas terdapat dalam hadits. Bagi Faqih Abdul Kodir kita kurang peduli pada hadits-hadist yang pada kenyataannya bersifat advokatif tapi kurang populer. Dalam isu kekerasan, poligami, misalnya banyak hadits yang melampaui pandangan Quran( yang seringkali dianggap ambigu) secara tegas melarang kekerasan dan menolak poligami. Karenanya menurut Faqih, pengalaman perempuan dan pengetahuan perempuan sebagai rijaalul hadits seharusnya diperdalam dan dijadikan rujukan utama; demikian juga dalam menentukan kriteria perawi hadits, perilaku orang yang meriwayatkan hadist harus diteliti kehidupannya sehari-hari terkait sikapnya kepada perempuan: pembohong kepada istri coret, pelaku kekerasan kepada istri, coret dan seterusnya.

Dr Aicha Hajami dari Maroko mengemukakan pengalaman Maroko dalam melakukan reformasi. Mereka berhasil melahirkan UU kawin anak, batasan dan bahkan larangan poligami. Hal yang terpenting adalah konsistensi dalam menggunakan hukum nasional sebagai perangkat untuk pemenuhan keadilan di mana para ulama pun tunduk pada aturan tersebut.

Prof Khalid Masud membahas tentang metodologi untuk mengatasi dispute antara hukum fiqh yang bersifat normatif dengan hukum universal yang merupakan hasil ijtihad untuk penegakan hak-hak perempuan dan bersifat aplikatif.
Dr Nina Nurmila menjelaskan startegi penafsirkan ayat-ayat yang tampaknya bias gender dengan menggunakan pendekatan hermeneutika termasuk kritik bahasa. Dan kyai Ulil Abshar Abdalla menjelaskan dari perspektif yang lebih luas tentang tantangan reformasi hukum keluarga ini, yaitu menguatnya corak keagamaan yang menggunakan identitas agama sebagai alat pembeda antara mereka dan kita. Sementara isu-isu yang terkait dengan pemenuhan hak perempuan seperti larangan poligami, larangan kawin anak digunakan sebagai pembeda ideologi oleh mereka. Karenanya advokasi harus dilakukan melampai pendekatan teknokratik atau pendekatan teknis (seperti tuntutan perubahan menaikan usia kawin) yang bersifat parsial tanpa menyentuh persoalan yang paling mendasar soal menguatnya penggunaan isu perempuan sebagai identitas keagamaan oleh kalangan salafi dan Wahabi.

Tanggapan para peserta, yang terdiri dari praktisi hukum seperti hakim, aktivis perempuan, Ibu Rumah Tangga, dosen dan peneliti cukup beragam, tapi intinya ini adalah upaya yang sangat baik dan membantu kerja -kerja mereka di lapangan. Akhirnya para peserta menghendaki kegiatan serupa diperluas dan training bagi para hakim agama yang memberi pencerahan dan keterampilan dalam reformasi hukum keluarga harus segera dilakukan! Hayuuuk

Bravo Rumah Kita Bersama!

Faqihuddin A Kodir

Dr Sri Hartiningsih

Faqihuddin A Kodir dan Khalid Masud

Khalid Masud

Lena and Aicha El Hajjami

Lies Marcoes

Prof Dra Hj Nina Nurmila

Ulil-Abshar-Abdalla

Widjajanti-Santoso

Ngaji Kitab “Imra`atunâ fî al-Syarî’ah wa al-Mujtama’” Karya Thahir al-Haddad

Ditulis oleh KH. Husein Mohammad untuk Kajian “Walayah dan Qawamah” Seri II, yang diselenggarakan Rumah KitaB pada Selasa, 17 April 2018 di Kantor Rumah KitaB, Pasar Minggu Jakarta Selatan.

______________________________________________

 

Meski telah menjadi klasik, sepanjang diskriminasi terhadap perempuan masih berlangsung, buku ini selalu dan terlalu penting untuk dibaca.

 

Pemuda ini hadir dua abad mendahului zamannya. (Thaha Husein)

****

THAHIR al-Haddad adalah santri “liberal” yang hafizh, aktivis gerakan sosial, penulis produktif yang kritis, wartawan dan salah seorang sastrawan Tunis. Tetapi di dunia Islam pemuda ini lebih populer disebut sebagai tokoh feminis Arab. Namanya disejajarkan dengan para feminis Mesir, semacam Rifa’ah Rafi’ al-Thahthawi (w. 1873), Muhammad Abduh (w. 1905), Qasim Amin (w. 1908) Malak Hifni Nashif (w. 1918), May Ziadah (w. 1941), Nabawiyah Musa (w. 1951), Nazhirah Zainuddin (w. 1976), dan lain-lain. Ia lahir pada tahun 1899 di kota Tunisia. Keluarganya berasal dari Hammah, sebuah kota kecil di propinsi Gabes, Tunisia Selatan. Pendidikan awalnya ia selesaikan di Madrasah Zaetunah selama tujuh tahun (1913-1920).  Di sana ia mengaji dan menghafal alQur`an, serta mempelajari ilmu-ilmu keislaman tradisional sampai selesai dan mendapat syahadah (ijazah) Tathwi (setingkat SLTA). Ia dikenal sebagai murid yang cerdas dan kritis. Kemudian melanjutkan di Universitas Tunis, perguruan tinggi yang dinilai lebih terbuka dan modern.

Dari sini pikirannya semakin kritis dan progresif. Ia menjadi pemuda idealis dengan gagasan pembaruan sosial dan pemikiran. Ia aktif dalam gerakan pembaruan bersama tokoh lain yang mendahuluinya, antara lain Abdul Aziz al-Tsa’alabi. Tokoh pembaharu Tunisia ini menulis banyak buku tentang pembaruan antara lain h alTaharrur fî alQur`ân. Al-Haddad memperoleh banyak inspirasi dari toloh ini. Ia kemudian memasuki dunia jurnalistik sekaligus ikut aktif dalam gerakan buruh nasional sekaligus mendirikan Serikat Pekerja Tunis.

Al-Haddad melihat ketimpangan sosial dan ekonomi di negaranya. Kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan merata hampir di seluruh negeri. Melalui media ia melancarkan kritik-kritik keras terhadap penguasa dan penjajah Perancis atas ketimpangan sosial dan keterpurukan ekonomi rakyat. Ia mengajak masyarakat untuk bersama-sama memerangi kebodohan, kemunduran dan kediktatoran penguasa. Al-Haddad menulis buku “Al-‘Ummâl al-Tunîsîyyîn wa Zhuhûr al-Harakah al-Nuqâbîyyah” (Para pekerja Tunis dan Lahirnya Organisasi Pekerja).

Gagasan dan gerakan reformasi al-Haddad terus dilancarkan. Dan ia menemukan kata kunci yang dianggap akan bisa menyelesaikan problema sosial dan kemanusiaan itu. Kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan bangsa tidak akan dapat dihapuskan hanya dengan melakukan gerakan sosial politik praktis semata. Ia harus dimulai dari komunitas kecil bernama keluarga. Jika ia baik akan melahirkan masyarakat yang baik, dan pada gilirannya menjadi bangsa yang baik. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri nasib buruk dan sangat menyedihkan yang dialami kaum perempuan di tanah airnya. Perempuan mengalami kekerasan dan diskriminasi dalam kehidupannya. Dan menurutnya, upaya pembaharuan dalam keluarga itu harus diwujudkan pertama-tama dengan melakukan pembebasan kaum perempuan dari kebodohan dan memperjuangkan kesetaraan hak-hak mereka baik dalam ranah domestik maupun ranah publik.

Dari realitas yang dilihatnya itu ia kemudian melakukan kajian-kajian kritis atas teks-teks agama. Salah satu sumber persoalan keberadaan perempuan di atas, menurutnya ada dalam pikiran keagamaan yang dalam hal ini Islam. Pemikiran keagamaan konservatif menjadi penghambat kebebasan dan kemajuan perempuan. Al-Haddad menilai pandangan fikih sangat diskriminatif terhadap perempuan. Ia lalu melakukan kritisisme atasnya dan merekonstruksi tafsir dan pandangan-pandangan para ahli fikih tentang hukum-hukum keluarga dan tentang hak-hak perempuan. Ia menulis mengenai isu-isu ini dan menghimpunnya dalam buku ini “Imra`atunâ fî al-Syarî’ah wa al-Mujtama’” (Perempuan Kita dalam Hukum Islam dan Masyarakat) yang terbit pada tahun 1930.

Secara garis besar, buku ini membahas dua problem besar. Pertama tentang hak-hak perempuan dalam hukum keluarga yang ia sebut “al-Tasyrî’îyyah” (Hukum). Kedua tentang hak-hak perempuan di ranah publik yang disebut isu “al-Ijtimâ’îyyah” (Sosial).

Pada bagian pertama ia menguraikan tentang posisi  dan hak-hak perempuan dalam perkawinan atau dalam keluarga. Beberapa isu yang terkait dengan bidang ini antara lain: usia menikah, hak memilih pasangan hidup, hak perempuan untuk menikahkan diri tanpa wali, perceraian, poligami, dan waris. Sementara dalam bagian kedua, ia membicarakan tentang peran dan hak-hak perempuan di ranah sosial, ekonomi dan politik. Beberapa isu di bagian ini antara lain tentang jilbab, hijab, aktivitas sosial dan ekonomi serta pendidikan kaum perempuan.

Membaca uraian al-Haddad dan pandangan-pandangannya tentang perempuan dalam dua ranah tersebut, tampak dengan jelas bahwa ia sangat kecewa terhadap kenyataan sosial  yang memperlakukan kaum perempuan secara tidak adil, mensubordinasi, memarginalkan, mencurigai dan melegalkan kekerasan terhadap mereka. Eksistensi perempuan dalampandangannya telah direndahkan dan dimarjinalkan oleh sistem sosial patriarkhis. Dan ia sadar sekali bahwa sistem ini dikonstruksi oleh kebijakan hukum dan politik negara, tradisi dan oleh pandangan-pandangan keagamaan mainstream. Al-Haddad mencoba menguji kesimpulan pandangannya ini dengan menanyakan dan mendialogkan isu-isu tersebut dengan para ulama terkemuka dari berbagai mazhab fikih di tanah airnya. Beberapa di antaranya adalah al-Ustadz al-Khithab Busynaq, dosen studi Islam bermazhab Hanafi, Abd al-Aziz, dosen sekaligus mufti mazhab Maliki di lembaga fatwa, Imam Thahir ibn Ayur, pemikir, hakim dan ulama besar bermazhab Maliki, Ustadz Balhasan al-Najjar, Mufti bermazhab Maliki, Syaikh Ahmad Biram yang bergelar Syaikh al-Islam dan lain-lain.

 

Kepada mereka al-Haddad mengajukan sejumlah pertanyaan mengenai hak-hak perempuan. Antara lain:

  1. Apakah perempuan mempunya hak untuk memilih pasangan hidupnya? Apakah menjadi hak walinya? Di tangan siapa keputusan terakhir?
  2. Sejauh manakah perempuan  punya kebebasan dalam melakukan pengelolaan harta baik dalam perdagangan maupun lainnya manakala sudah dewasa? 
  3. Sampai sejauh mana hak-hak yang dimiliki oleh perempuan secara lebih luas. Apakah ada pendapat yang membolehkan perempuan menjadi imam shalat (bagi siapa saja), atau menjadi hakim pengadilan dan jabatan publik lainnya?
  4. Sebatas mana perempuan wajib menutup tubuhnya dari pandangan mata orang lain sebagai cara menjaga moralitasnya?
  5. “Apakah perempuan (istri) di rumah merupakan teman setara dengan laki-laki (suami). Apakah laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam menentukan/memutuskan sesuatu (pekerjaan/tindakan) dan dalam melaksanakan sesuatu (pekerjaan/tindakan)? Ataukah perempuan (istri) berada di bawah kekuasaan laki-laki (suami), bagaikan alat untuk melaksanakan perintah-perintahnya? Apakah jika perempuan (istri menolaknya dia boleh dipaksa? Atau bagaimana seharusnya?”
  6. Sebatas manakah perempuan wajib menutup tubuhnya dari pandangan mata orang lain sebagai cara menjaga kehormatannya (akhlak/moralitasnya)?.

 

Jawaban-jawaban para ulama di atas beragam, tetapi secara umum memperilhatkan pandangan-pandangan fikih konsevatif. Pandangan-pandangan mereka tidak keluar dari bingkai fikih mazhab empat, terutama mazhab Hanafi dan Maliki. Sebagian pandangan menunjukkan cukup progresivitas tetapi sebagian yang lain tetap diskriminatif. Jika pandangan itu kita petakan maka:

  • Untuk soal tubuh, semua ulama sepakat tubuh perempuan harus dilindungi dan diproteksi secara ketat. Aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.
  • Untuk soal hak atas tubuh, seperti memilih pasangan hidup dan menikahkan diri  tanpa wali, banyak pandangan ulama yang cukup progresif. Perempuan berhak memilih dan melakukan akad tanpa wali jika sudah “rusyd” (dewasa secara intelektual). Tetapi dalam masalah perceraian, hak cerai tetap di tangan laki-laki menjadi pandangan mayoritas.
  • Dalam hal soal fikih “mu’amalah”, yang meliputi aktivitas sosial, ekonomi, hukum dan politik pandangan secara umum cukup progresif. Perempuan boleh berdagang, menjadi hakim pengadilan, menjadi pejabat negara dengan catatan tidak sebagai pengambil keputusan/kebijakan.
  • Tetapi untuk kepemimpinan puncak, mereka sepakat bahwa perempuan tidak bisa/boleh menjadi pemimpin dalam ruang domestik dan publik. Perempuan dilarang menjadi pemimpin negara dan rumah tangga, apalagi dalam ruang privat (memimpin shalat). 

Sesudah memeroleh jawaban dari para ulama di atas, al-Haddad tampak tetap kecewa. Ia merefleksikan pandangan para ulama di atas. Ia mengatakan,

 

Pada umumnya para ulama fikih sepanjang sejarah cenderung mengikuti pendapat ulama pendahulunya meski sudah berjarak ratusan tahun dan telah terjadi perubahan besar. Mereka cenderung mengambil hukum berdasarkan pemahaman tekstualitas. Cara itu lebih mereka pilih dibanding berusaha mengetahui aspek kesesuaian teks-teks tersebut dengan konteks baru dan kemaslahatan masyarakat kontemporer. Mereka tidak melakukan analisis sejarah sosial yang sudah dan terus berubah dan berkembang. Bila itu dilakukan niscaya akan diketahui fleksibiltas hukum dan mereka akan memutuskan dengan hukum yang relevan dengan ruang dan waktunya. Sikap abai mereka terhadap kajian sosiologis tersebut itulah yang membuat mereka merasa tidak ada keharusan untuk mengubah hukum sejalan dengan  perubahan zaman.  Mereka juga tidak memberikan perhatian yang cukup untuk mengkaji semangat (ruh) syariat dan tujuannya. (Hal. 122).

 

Menurut al-Haddad pandangan diskriminatif terhadap perempuan bertentangan dengan al-Qur`an dan prinsip dasar Islam. Kesetaraan manusia adalah niscaya dan merupakan prinsip Islam. Banyak sekali ayat al-Qur`an yang menegaskan tentang kesetaraan manusia. Tetapi diakui bahwa banyak ayat-ayat al-Qur`an yang tidak/belum menunjukkan kesetaraan. Ia menuntut kesetaraan gender dalam segala aspek dan ruang kehidupan. Al-Haddad mengatakan,

                  

Ketentuan hukum Islam tentang hak-hak perempuan sesungguhnya masih dalam proses menuju kesetaraan gender. Jadi tidak berhenti dan bersifat final. Tetapi umat Muslim menganggapnya sudah final dan tidak boleh melakukan perubahan.

 

Karena itu ia menyampaikan kritik atas sejumlah isu yang terkait dengan fikih perempuan sambil menyampaikan usulan-usulan mengenainya. Beberapa di antaranya adalah:

  • Usia perempuan menikah tidak didasarkan pada baligh secara biologis (menstruasi) tetapi minimal pada “sinn al-rusyd” usia matang berpikir
  • Hak cerai tidak boleh di tangan laki-laki, tetapi diputuskan oleh pengadilan. Ia menuntut pembentukan Pengadilan Keluarga.
  • Poligami tidak memiliki dasar dalam Islam, bahkan Islam ingin mengapuskan poligami ini, melalui proses bertahap. Dalam dunia hari ini, Poligami sudah waktunya untuk dilarang. 
  • Perempuan berhak melakukan peran dan tugas-tugas kemasyarakat dan kenegaraan sebagaimana laki-laki, termasuk menjadi pengambil kebijakan publik dan politik.
  • Jilbab dan hijab adalah tradisi masyarakat dan bukan ajaran Islam. Ia bisa berubah dan berkembang.
  • Perempuan harus dibebaskan dari sistem sosial yang diskriminatif dalam semua hal.
  • Perempuan wajib diberi hak yang sama dengan laki-laki untuk memeroleh pendidikan dan keterampilan seluas-luasnya dalam bidang apapun. 

 

Pada bagian kedua, al-Haddad lebih banyak menguraikan tentang persoalan hijab dan pendidikan. Menurutnya persoalan hijab menjadi sangat serius. Ia pertama-tama mengritik habis tentang hijab sebagai kewajiban agama. Di awal buku ini ia mengatakan sikapnya mengenai masalah ini:

 

Dari sini jelas bahwa hijab yang kita tetapkan atas perempuan sebagai salah satu kewajiban (rukun) Islam, termasuk ketika di rumah atau mengenakan “niqab” (cadar) bukanlah masalah yang mudah ditemukan dalam sumber Islam. Bahkan secara jelas, ayat al-Qur`an mengenai hal ini [QS. al-Nur: 31] justru memberikan petunjuk kepada ketidakwajiban mengenakannya. Ini karena mengenakannya menimbulkan kesulitan hidup. Ini yang menjadikan kita memutuskan bahwa hijab tidak merupakan ajaran Islam. Andaikata diwajibkan, niscaya Nabi menegaskannya, dan niscaya para ulama Islam tidak akan berbeda pendapat, termasuk di dalamnya pada sahabat Nabi dan ulama yang sezaman dengan mereka. (hal. 34)

 

Dalam uraian selanjutnya di bagian akhir buku ini, Haddad mengkritik pemakaian hijab. Baginya pakaian hijab menimbulkan banyak masalah bagi perempuan maupun bagi kehidupan sosial. Ia mengatakan “hijab merupakan penghalang antara laki-laki dan perempuan dalam memilih pasangannya jika hendak menikah”. “Hijab banyak menghalangi hak-hak perempuan untuk belajar dan beraktivitas di ruang publik”. “Hijab bisa memunculkan penipuan identitas diri”. (hal. 98-99). Hijab sangat berpotensi menciptakan berkembangnya praktik seks “liwâth” (sodomi), “musâhaqah” (lesbian), dan “al-‘âdah al-sirrîyyah” (masturbasi/onani). (hal. 183-187).  

Di bagian lain ia mengingatkan,

 

Ayat al-Qur’an mengenai ini lebih menekankan anjuran kepada perempuan untuk menjaga etika dan kesopanan. Ini sesuatu yang baik.

 

Pandangan al-Haddad dalam hal ini tampak sejalan dengan pandangan al-Tsa’alabi dalam buku “h al-Taharrur” di atas dan Nazirah Zainuddin di Mesir dalam bukunya “Al-Sufur wa al-Hijâb”. Pandangan al-Haddad diterima publik sebagai ajakannya kepada kaum perempuan untuk melepaskan hijab/jilbabnya.

Sampai di sini dan atas dasar pernyataannya yang terakhir ini saya kira apa yang dimaksud “hijab” atau “jilbab” oleh al-Haddad, manakala ia menolaknya, adalah “niqab” atau cadar. Al-Haddad tidak menolak pemakaiannya jika masih membiarkan wajah dan kedua telapak tangannya terbuka. 

Tentang kepemimpinan publik politik perempuan ia mengatakan,

 

Tidak ada teks al-Qur`an yang melarang perempuan untuk mengelola urusan-urusan politik/pemerintahan dan kemasyarakatan, sebesar apapun tugas yang harus dikerjakannya.

 

Pada bagian akhir al-Haddad menyatakan bahwa seluruh persoalan diskriminasi terhadap perempuan berpangkal dari persoalan pendidikan perempuan atau dengan kata lain karena pembodohan terhadap perempuan. Kebodohan perempuan adalah kebodohan dan kemunduran bangsa. Oleh karena itu ia menyerukan pendidikan bagi perempuan. Perempuan harus diberikan ruang yang seluas-luasnya untuk belajar ilmu apapun dan keterampilan apa saja, sebagaimana yang diperoleh oleh kaum laki-laki. Ia mengatakan,

 

Pendidikan merupakan keharusan dalam hidup. Dan ini harus dinikmati oleh semua orang….maka adalah wajib bagi laki-laki dan perempuan untuk menempuh jalan cahaya ini dan menyambut seruan itu agar kehidupan menjadi indah. Tidak boleh ada separoh manusia yang bodoh dan hanya tunduk kepada kekuasaan separoh manusia yang lain.

 

Reaksi Publik

Pandangan-pandangan al-Haddad yang dituangkan dalam buku ini menghebohkan dunia dan memunculkan reaksi keras dari berbagai kalangan terutama kaum ulama di madrasah Zaintunah. Kelompok konservatif fundamentalis ramai-ramai menyerang al-Haddad dengan meneriakkan sejumlah stigma negatif terhadapnya: si gila, munafik, kafir, ateis, murtad dan penghancur agama. Universitas Zaitunah, almamater tempat dia menimba ilmu pengetahuan keislamannya mencabut ijazah kesarjanaannya. Dewan Ulama Zitunah mengeluarkan vonis kafir.

Sejumlah ulama menulis buku sanggahan atas buku Haddad ini. Beberapa di antaranya Syekh Muhammad Shalih ibn Murad yang menulis buku “al-Hiddad ‘alâ Imra`ati al-Haddâd” (Pedang tajam/Penjara untuk Buku Haddad). Syaikh Umar alMadani menulis buku Sayf alHaqq ‘ala Man Lâ Yarâ alHaqq” (Pedang Kebenaran untuk orang yang menentang kebenaran). Kecaman publik juga disampaikan melalui surat kabar dan majalah. Beberapa di antaranya adalah artikel “Hawlâ Zindiqât al-Haddâd”, “Mawqif al-Shahâfah al-‘Arabîyyah Hawlâ Nâzilât al-Haddâd, Khurafât al-Sufur”, dan “Ayna Yashilu Ghurur al-Mulhidîn”.

Stigmatisasi atasnya sebagai pemikir ultra liberal, ancaman dan pengucilan tidak mengubah pendirian al-Haddad. Dia tak bergeming dan terus berjuang menuntut kesetaraan dan keadilan gender. Ia siap dengan seluruh resiko yang akan dihadapinya. Dan benar saja, publik agamawan konservatif dan publik politik serta penjajah Perancis yang sudah lama tidak suka kepadanya akhirnya menghukum al-Haddad. Ia dibuang ke Arab Saudi, dan meninggal di sana, tanggal 7 Desember 1935, pada usia yang masih sangat muda, 36 tahun. 

Meski tubuh al-Haddad telah tertimbun tanah, tetapi pikiran-pikirannya tetap hidup dan dikagumi banyak orang. Paska kemerdekaan, pemerintah Tunisia mengapresiasi sejumlah pikirannya. Beberapa waktu kemudian memberinya gelar kehormatan sebagai pahlawan Naional dan Tokoh Feminis Tunis. Fotonya terpampang di sejumlah tempat: lembaga pendidikan, kantor pemerintah, bahkan rumah masyarakat, berdampingan dengan foto-foto pahlawan nasional lain. Juga banyak sekolah swasta yang dinamai “Sekolah Tahir al-Haddad”. Selain nama jalan raya di berbagai kota di Tunisia. Namanya direhabilitasi. Bukan hanya sampai di sini, beberapa gagasan Haddad diterima menjadi UU Hukum Keluarga Tunis. Antara lain: Perceraian hanya sah di Pengadilan, Poligami dilarang. Pelakunya diancam hukuman penjara dan denda. Tidak ada hak Ijbar ayah/kakek bagi perempuan usia di atas 18 tahun. Suami yang menceraikan isterinya wajib memberikan biaya bulanan kepada mantan isterinya bukan hanya dalam masa iddah, tetapi selama masih menjanda. Dan kewajiban pendidikan untuk perempuan di segala bidang, dan lain-lain.

Mengakhiri tulisan singkat ini ingin menyampaikan kalimat-kalimat al-Haddad yang indah dan mengesankan. Ia menulisnya dalam mukaddimah buku ini:

Perempuan adalah ibu manusia. Dialah yang mengandungnya di dalam perutnya dan mendekapnya dalam pelukannya. Lalu dialah yang menyusuinya dan memberinya makan dari darah dan hatinya.

Perempuan adalah pasangan yang penuh kasih, yang melayani makan pasangannya manakala lapar, yang menemaninya saat ia gelisah dalam kesepian. Dialah yang rela mengorbankan kesehatan dan waktu istirahnya demi memenuhi kebutuhannya, yang menangkal kesulitan dan bahaya manakala datang. Dialah yang memeluknya dengan penuh kasih, hingga ia tak lagi berduka dan bersedih hati. Dialah yang selalu membuatnya bergairah menapaki jalan kehidupan

Perempuan adalah separoh jiwa bangsa dan umat manusia dengan potensinya yang besar dalam seluruh aspek kehidupan

Bila kita merendahkannya dan membiarkannya menjadi hina dina, maka itu adalah bentuk perendahan dan penghinaan kita atas diri kita sendiri dan kita rela dengan kehinadinaan kita.

Bila kita mencintai dan menghormati dia serta bekerja untuk menyempurnakan eksistensinya, maka sesungguhnya itu bentuk cinta, penghormatan dan usaha kita menyempurnakan atas eksistensi kita sendiri.[]

 

Cirebon, 09 April 2018

Wah, Kawin Siri dan Poligami Ternyata Makin Membudaya. Pegawai Diusulkan Sanksi Ekonomi Dipreteli

SOSIALISASI UU- Direktur Yayasan Rumah Kita Bersama Jakarta, Lies Marchoes saat memberikan paparan dalam Sosialisasi UU Terkait Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak yang digelar Anggota Komisi VIII DPR RI Gerindra, Rahayu Saraswati dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan di Sragen, Rabu (18/10/2017). Joglosemar/Wardoyo

SRAGEN– Fenomena kawin siri dan poligami dinilai menunjukkan tren peningkatan signifikan. Pemerintah pun diminta lebih tegas menerapkan aturan untuk menghindari adanya banyak istri yang menjadi korban kekerasan karena suaminya poligami atau nikah siri.

Hal itu disampaikan Direktur Yayasan Rumah Kita Bersama Jakarta, Lies Marchoes yang dihadirkan dalam agenda Sosialisasi UU Terkait Masalah Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak yang digelar Anggota Komisi VIII DPR RI Gerindra, Rahayu Saraswati dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan di Sragen, Rabu (18/10/2017).

Lies menyampaikan saat ini kawin siri dan poligami tak hanya kalangan pejabat atau birokrat, perilaku kawin siri dan poligami itu juga mulai merambah kalangan ekonomi bawah seperti tukang becak. Menurutnya, hal itu memang seolah menjadi tren baru lelaki di Indonesia.

“Kalau secara data kami tidak bisa sampaikan. Namun melihat fenomenanya, memang terus tinggi. Karena nggak semua istri mau melapor. Bagi kami, satu kasus nikah siri dan poligami itu sudah bentuk kekerasan terhadap perempuan,” paparnya di hadapan puluhan ibu-ibu yang hadir.

Menurutnya poligami seharusnya memang tegas dilarang seperti zaman orde baru. Kala itu semua PNS dan angkatan akan dijatuhi sanksi dan ekonomi dipreteli untuk istri muda, istri tua dan anak-anaknya jika ketahuan melakukan dua hal itu.

Sebab dalam konteks istri tua, poligami adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan baik kekerasan psikis, ekonomi maupun terjadi pemaksaan istri pertamanya untuk menerima istri muda.

“Realitanya banyak istri ternyata tak punya cukup daya untuk melawan. Pemerintah juga harus tegas karena selama ini terjadi dualism hukum. Satu sisi UU negara yang kedua ada hukum lain entah adat atau agama yang diperlakukan sama,” tegasnya didampingi Staff DPP Gerindra, Elizabeth.

Lewat sosialisasi UU, diharapkan perempuan bisa memiliki pemahaman dan
keberanian untuk melapor atau melawan jika mendapat kekerasan dari suaminya dalam bentuk apapun.

Sementara, Perwakilan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan Deputi Bidang partisipasi Masyarakat, Fajar Surya menyampaikan sosialisasi itu juga bagian untuk merumuskan konsep sinergitas antara semua elemen untuk meminimalisir kekerasan terhadap perempuan.

Dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga berupaya memberikan pemberdayaan terhadap perempuan melalui pelibatan dunia usaha, dan ormas lainnya. (Wardoyo)

 

Sumber: https://joglosemar.co/2017/10/wah-kawin-siri-dan-poligami-ternyata-makin-membudaya-pegawai-diusulkan-sanksi-ekonomi-dipreteli.html