Pos
Dalil Gus Ulil: Santri, antara “Riwayah” dan “Dirayah”
/0 Comments/in Berita, Opini /by rumahkitabPara perempuan Berpengetahuan di Awal Islam :Tentang Sosok Hafsah Binti Sirin
/0 Comments/in Berita, Opini /by rumahkitabAL-MUNQIDZ DAN PROBLEM KEBERAGAMAAN KITA
/0 Comments/in Berita, Opini /by rumahkitabJuara Umum #Kuis Ngaji Ihya
Oleh: Dzul Fahmi
Mahasiswa program S2 UIN Jakarta, Santri Pesantren Luhur Ash- Shaqafah Jakarta
Adakah tema spesifik dalam kitab al-Munqidz min ad-Dlalāl karya Imam al-Ghazali yang penting untuk kita hadirkan hari ini ?
Saya tak bisa menjawabnya. Setiap tema dalam kitab itu memiliki urgensi dan relevansinya masing-masing. Namun yang menarik perhatian saya, al-Munqidz tak sekedar buku yang memuat autobiografi perjalanan hidup tokoh pada umumnya. Lebih dari itu, al-Munqidz adalah kitab “sakti”, sebab meski ditulis di abad pertengahan, al-Munqidz mengurai sejumlah problem keberagamaan yang kita hadapi di era kontemporer.
Siapapun yang membaca al-Munqidz dengan seksama, ia akan mendapati Imam al-Ghazali sebagai sosok yang hadir di hadapan kita, berdialog secara komunikatif, dan hendak memecah kebuntuan problem beragama kita di abad 21.
Ulama kelahiran Thus itu mengungkap sejumlah gejala, yang sepertinya telah, sedang, dan akan terus ada dalam setiap kehidupan beragama, meski dengan pakaian yang berbeda-beda. Fenomena itu menjadi semacam siklus yang terus menerus terulang.
Jika dibiarkan, gejala tadi pada gilirannya akan merugikan eksistensi agama itu sendiri. Karenanya, dalam al-Munqidz, al-Ghazali dengan cermat menganalisanya, serta memberi obat penawarnya. Inilah alasan terkuat kenapa al-Munqidz masih terus relevan dibaca sampai kapanpun.
Apa saja gejala sosial beragama yang dideteksi oleh al-Ghazali dalam al-Munqidz ? Mari kita ikuti secara seksama, sembari melakukan refleksi atas kehidupan beragama kita hari ini.
Pertama, mimpi buruk yang kita saksikan dalam kehidupan nyata hari ini adalah tercerabutnya otoritas segala sesuatu dari para pakar di bidangnya. Revolusi internet mengubah segalanya. Kita memasuki sebuah era yang disebut Tom Nichols dalam judul bukunya dengan istilah “The Death of Expertise”, matinya kepakaran.
Inilah zaman dimana setiap orang bisa “merasa” menjadi pakar dalam hal apa saja. Posisi pakar digantikan dengan mesin pencari informasi. Untuk mengetahui hakikat virus misalnya, manusia tak mau bersusah payah merujuk pada pakar virologi. Segala informasi yang berseliweran di dunia maya, asal sesuai dengan hasrat pribadi, dianggap sebagai kebenaran.
Hal itu menjadi musibah ketika merembet ke bidang agama. Kita menyaksikan fenomena yang miris di negeri ini : dimana para ulama yang menimba ilmu puluhan tahun kehilangan taringnya. Sosok ulama dengan mudah dicaci maki bahkan oleh mereka yang belum fasih melafalkan huruf hijaiyah. Sebaliknya, rujukan agama diambil alih oleh para ustadz muda yang menguasai retorika media sosial, meski ilmunya tak seberapa. Belum lagi, fenomena ustadz yang membuka sesi tanya jawab dengan menjawab pertanyaan apa saja yang diajukan kepadanya, dari agama, ekonomi, konspirasi, budaya, hingga politik.
Fenomena ini yang sedari dulu diwanti-wanti oleh Imam al-Ghazali. Ia menyebutnya sebagai bencana dahsyat (afatun ‘adzimah). Penyakit semacam ini hanya bisa dihilangkan dengan beragama secara cerdas, dimana segala sesuatu dikembalikan kepada pakar di bidangnya. Al-Ghazali memberikan kaidah emas sebagai berikut :
الحاذق في صناعة واحدة ليس يلزم أن يكون حاذقا في كل صناعة
“Kepakaran seseorang dalam satu bidang tertentu, tidak meniscayakan ia menjadi pakar di segala bidang”
Kaidah ini sungguh amat mudah diterima akal sehat. Seorang profesor di bidang pertanian misalnya, bisa jadi awam di bidang kedokteran. Guru besar ilmu kedokteran, bisa jadi awam di bidang ilmu ekonomi. Dan begitu seterusnya. Sebuah prinsip yang juga mendapat legitimasi dari hadis Nabi, “Ketika sebuah urusan diserahkan kepada selain ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”.
Kedua, al-Ghazali dalam al-Munqidz mendeteksi gejala kronis yang bisa menghinggapi setiap umat beragama tanpa terkecuali. Apa itu ? Yaitu penyakit tidak adil (‘adam al-inshaf) dalam menilai seorang yang berada di luar madzhab atau golongannya. Gejala yang ditimbulkan dari penyakit ini adalah menggeneralisir benar dan salah sebuah pendapat melalui identitas pengucapnya. Jika dari kelompok kita, pasti benar. Jika dari luar golongan kita, pasti salah.
Al-Ghazali memberikan ilustrasi menarik : adalah sebuah kebodohan, jika ada seorang Nasrani berkata “Nabi Isa adalah Utusan Allah”, lantas kita secara membabi buta menolak pernyataan tersebut, hanya gara-gara yang mengucapkan adalah seorang Nasrani.
Al-Ghazali menyebut pengidap penyakit ini sebagai dhuafa al-‘uqul (orang-orang yang lemah nalarnya). Bagi al-Ghazali, kebenaran tetaplah kebenaran, meski diucapkan oleh orang yang kita pandang sesat sekalipun. Sebaliknya, kesalahan tetaplah kesalahan, meski diucapkan oleh tokoh besar yang kita puji dan kagumi. Beliau berkata :
العاقل يعرف الحق ثم ينظر في نفس القول : فإن كان حقا قبله سواء كان قائله مبطلا أو محقا
“Orang bernalar sehat selalu menilai sebuah pendapat dari substansinya, jika benar, maka pasti diambil, terlepas siapapun pengucapnya”
Orang yang cerdas, lanjut al-Ghazali, akan berusaha mencari kepingan emas yang tersembunyi di sela-sela lipatan tanah yang kotor dan menjijikkan.
Wasiat Imam Al-Ghazali ini tak akan pernah usang sampai kapanpun. Saya berani mengatakan bahwa ucapan al-Ghazali berabad-abad yang lalu itu adalah kunci yang membuka sekian banyak problem beragama kita hari ini.
Mengapa umat Islam hari ini terpuruk dalam perpecahan yang menyedihkan, sehingga kita kalah di segala bidang ? Salah satunya karena kita merasa kebenaran kerap dimonopoli oleh orang-orang di kelompok kita. Pengikut kelompok lain seakan salah semua, tak mengandung kebenaran sedikitpun.
Hal yang sama juga bisa kita terapkan dalam konteks kehidupan antar-agama dan keyakinan. Prinsip al-Ghazali harusnya menjadikan kita sebagai penganut agama yang inklusif : bergenggaman tangan bersama-sama menuju kemajuan peradaban, dengan tanpa memandang sekat agama dan ideologi.
Lagi-lagi, prinsip Imam al-Ghazali tersebut mendapat preseden yang kuat dari sabda Nabi Muhammad Saw dalam hadisnya :
شهدت في دار عبد الله بن جذعان حلفا لو دعيت به في الإسلام لأجبت
“Aku telah menyaksikan di rumah Abdillah Bin Judz’an sebuah akad perjanjian, yang andai hari ini aku diajak (sebagai delegasi Islam), pasti aku akan menyambutnya”
Sabda tersebut diucapkan Baginda Nabi sebagai apresiasi terhadap perjanjian bersejarah yang pernah terjadi antara kaum musyrikin Mekkah, untuk bergotong-royong menolak kezaliman dan menghentikan peperangan. Seakan Nabi ingin menegaskan : “Aku sungguh siap menyambut ajakan kebaikan dari siapapun, selagi membawa misi kemanusiaan yang universal”.
Persis di titik inilah, saya mendapati kitab al-Munqidz min ad-Dlalāl sesuai dengan judulnya, yaitu penyelamat kita dari kesesatan cara beragama yang salah.
Wallohu a’lam bis shawab.
Sikap Islam terhadap ‘Syariat’ Agama Lain
/0 Comments/in Berita, Opini /by rumahkitabMOJOK.CO – Sikap memandang agama Islam “mengungguli” agama-agama lain tidak jadi soal jika merupakan “sikap personal”. Masalah yang terjadi tak seperti itu.
Dalam penjelasan al-Ghazali mengenai doktrin kenabian, kita baca penjelasan berikut: “Fa-nasakha bi syari‘atihi al-syara’i‘a illa ma qarrarahu minha” (Tuhan me-nasakh/menghapus melalui syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad syariat-syariat agama lain sebelumnya, kecuali yang masih diakui berlaku).
Inilah yang disebut dengan doktrin “super-sesionisme,” penghapusan atau amandemen terhadap ajaran agama lama oleh agama yang datang belakangan.
Akidah ini sekarang mungkin kurang terlalu “relevan,” tetapi asumsi-asumsi yang ada di baliknya tetap perlu kita diskusikan karena masih mempengaruhi cara berpikir sebagian umat. Asumsi itu, antara lain, ialah: bahwa Islam adalah agama yang paling “unggul” di atas agama manapun, dan kerena itu syariat-nya me-nasakh atau menghapus syariat agama-agama sebelumnya.
Di sini terselip asumsi yang sering disebut sebagai triumfalisme: sikap yang memandang agama sendiri “mengungguli” agama-agama lain. Asumsi ini tidak menjadi soal jika merupakan “sikap personal” yang hanya disimpan sebagai keyakinan bagi diri-sendiri.
Tetapi ini akan jadi soal jika diterjemahkan secara sosial dalam bentuk “sikap” untuk “menang-menangan” terhadap penganut agama-agama lain—kecenderungan yang secara faktual benar-benar terjadi dalam beberapa kasus riil.
Di zaman ketika politik identitas menjadi trend di seluruh dunia, pandangan teologis yang cenderung triumfalistik yang kita jumpai dalam banyak agama (terutama agama-agama semitik), harus dipahami ulang. Jika tidak, pandangan semacam ini bisa bermasalah.
Tugas kita sebagai Muslim, antara lian, adalah ikut mendorong munculnya peradaban baru yang melintasi sekat-sekat agama, peradaban yang menjunjung persaudaraan kemanusiaan dan dialog lintas-kepercayaan. Teologi yang triumfalistik kurang mendukung usaha ke arah ini.
Ada dua hal yang ingin saya soroti terkait dengan doktrin penghapusan syariat ini. Pertama, Apa persisnya syariat agama sebelum Islam di sini? Agama apakah yang dimaksudkan di sana? Yang kedua: bagaimana memahami doktrin ini secara proporsional agar tidak berujung pada sikap triumfalistik?
Mengenai isu yang pertama: tampaknya yang dimaksud syariat agama “sebelum” Islam adalah syariat agama Yahudi, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa agama-agama lain juga termasuk di dalamnya. Kenapa Yahudi? Sebab, di antara seluruh agama yang muncul sebelum Islam dan secara historis ada kaitan dengannya, hanyalah agama Yahudi yang memiliki tradisi hukum syariat yang sangat kuat sebagaimana dalam Islam.
Agama Kristen jelas mengikuti “jalan yang berbeda,” terutama “Pauline Christianity,” yaitu agama Kristen sebagaimana “ditafsir” oleh Paulus. Sebagaimana kita tahu, Kristen secara tegas membedakan diri dengan Yahudi dengan tidak mengikuti lagi apa yang disebut sebagai “Hukum Musa”. Kehadiran “Perjanjan Baru” diangap telah menggantikan (supercede) “Perjanjian Lama.” Kita bisa mengatakan bahwa Kristen adalah kelanjutan dari tradisi keyahudian minus syariat.
Tradisi pembahasan hukum yang “ndakik-dakik” sebagaimana kita kenal dalam fikih Islam, misalnya, juga dikenal, dalam bentuk yang kurang lebih persis sama, dalam tradisi Yahudi – apa yang disebut dengan tradisi rabbinik (Catatan: Yang berminat, bisa membaca studi-studi yang dilakukan oleh Prof. Jacob Neusner yang banyak mengkaji perbandingan antara “fikih” Islam dan “fikih Yahudi”). Karena itu, dari segi tradisi hukum, Islam lebih dekat kepada Yahudi ketimbang Kristen.
Bagi saya, tidak ada yang aneh, bahkan wajar, dalam doktrin penghapusan syariat agama pra-Islam ini. Pengertian doktrin ini menjadi jelas jika kita pahami dalam kerangka berikut: Tentu saja syariat yang diikuti oleh orang-orang Yahudi dengan sendirinya tidak berlaku bagi umat Islam.
Hal serupa sudah dilakukan oleh Kristen sebelumnya dengan cara yang jauh lebih radikal dengan, seperti saya sebutkan sebelumnya, penghapusan Hukum Taurat setelah kedatangan Perjanjian Baru. Hukum-hukum Taurat yang berkaitan dengan hari Sabbath dan kosher (hukum halal-haram dalam makanan), misalnya, dianggap tak berlaku lagi.
Yang menarik, syariat Islam tidak menghapus seluruh Hukum Taurat. Beberapa hal di sana masih dipertahankan. Al-Ghazali sendiri menjelaskan dalam kutipan yang sudah saya sebut di awal tulisan ini: “illa ma qarrarahu minha” – kecuali syariat-syariat dari agama sebelum Islam yang masih dianggap berlaku. Contoh Hukum Taurat yang masih dipertahankan dalam Islam adalah: sunat bagi laki-laki, tidak memakan daging babi, bangkai, dan darah.
Dengan mengatakan ini, bukan berarti Hukum Taurat sebagai “tradisi keagamaan yang hidup” dihapuskan seluruhnya oleh kedatangan Islam. Tentu itu tidak mungkin. Hukum Taurat jelas masih berlaku bagi orang-orang Yahudi hingga sekarang. Kanjeng Nabi juga tidak pernah menghalangi orang-orang Yahudi untuk terus mempertahankan Hukum Taurat dalam kehidupan sehari-hari. Islam menghormati doktrin dan syariat agama lain.
Yang perlu kita garis bawahi juga dalam akidah kenabian dalam Islam ialah kepercayaan bahwa kenabian Muhammad adalah kelanjutan dari nabi-nabi sebelumnya. Dari segi pokok ajaran (yaitu tauhid), Islam tidak membawa hal baru, melainkan meneruskan saja apa yang sudah dibawa oleh nabi-nabi sebelum Islam.
Meski ada beberapa elemen dalam syariat sebelum Islam yang dihapus, tetapi ada juga elemen-elemen lain yang tetap dipertahankan. Islam bukanlah agama yang mengajarkan untuk memutus total tradisi-tradisi yang ada, asal masih sesuai dengan spirit ajaran Islam.
Bukankah filosofi ini telah dipraktekkan oleh Wali Sanga di tanah Nusantara?
Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.
Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/sikap-islam-terhadap-syariat-agama-lain/
Sekali Lagi Tentang Kehendak Tuhan
/0 Comments/in Berita, Opini /by rumahkitabMOJOK.CO – Pada tataran ontologi, manusia harus menyadari bahwa kekuatan jahat adalah bagian dari rencana Tuhan.
Saya masih akan membicarakan sifat iradah atau kehendak Tuhan. Ada suatu pembahasan yang agak musykil dan menjadi diskusi hangat di kalangan para mutakallimun, yakni, hubungan antara Tuhan dan perintah-perintah-Nya (al-amr).
Masalah ini timbul antara lain karena persoalan berikut ini: Jika Tuhan memerintahkan (al-amr) semua manusia untuk berbuat baik, apakah dengan sendirinya Dia juga menghendaki (iradah) semua orang menjadi demikian? Apakah perintah (al-amr) identik dengan kehendak (al-iradah)?
Apakah ontologi (maksudnya: pengetahuan tentang segala hal yang ada, maujud) sama dan identik dengan aksiologi (maksudnya: ajaran moral-etis yang wajib dikerjakan)? Saya kira jawaban atas masalah ini akan membantu kita untuk memahami sedikit “misteri” tentang iradah/kehendak Tuhan.
Ibn Qudamah (w. 1223), seorang ulama dari mazhab Hanbali yang hidup di Damaskus, memberikan jawaban yang menarik dalam karyanya, Raudlat al-Nadzir, sebagai berikut. Perintah (al-amr) dan iradah harus dibedakan, jangan dijumbuhkan; meskipun bisa saja, dalam beberapa kasus, dua hal itu identik.
Contoh yang dikemukakan oleh Ibn Qudamah adalah kisah tentang Iblis yang diperintahkan bersujud kepada Adam (lihat QS 2:34). Saat memerintahkan (al-amr) hal ini, Tuhan sebetulnya tahu (al-‘ilm) bahwa Iblis tidak akan mengikuti perintah itu. Tuhan juga tak menghendaki (iradah) hal itu terjadi, karena ada “skenario besar kehidupan” yang mengharuskan Iblis untuk memainkan fungsi sebagai ikon dari “kekuatan jahat”.
Tuhan memiliki “grand design”, rencana besar mengenai kehidupan manusia. Dalam desain besar ini, Tuhan menghendaki (tetapi tidak memerintahkan!), ada Iblis yang jahat dan ada mansusia yang memiliki potensi untuk menjadi baik; ada “al-khair” (kebaikan), dan “al-syarr” (kejahatan).
Dunia manusia diciptakan Tuhan begitu rupa sehingga segala hal hadir secara berpasang-pasangan: laki-perempuan, siang-malam, langit-bumi, baik-jahat, dst. Dua kekuatan yang saling bertolak belakang ini akan selalu hadir dalam setiap faset kehidupan—apa yang oleh para ulama disebut sebagai “sunnat al-tadafu‘”—hukum aksi dan reaksi.
Inilah desain ontologi untuk kehidupan manusia. Tetapi ada desain lain, yaitu aksiologi, berkaitan dengan imperatif atau keharusan untuk melakukan hal-hal baik, dan menghindari yang jahat. Manusia hidup di antara tarikan dua desain ini.
Pada tataran ontologi, manusia haruslah menyadari bahwa kekuatan jahat adalah bagian dari rencana Tuhan. Dalam tataran aksiologi, manusia “diharuskan” untuk berjuang melawan kekuatan-kekuatan jahat ini. Iradah ontologis tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan keberadaan kejahatan pada tataran aksiologis (al-amr).
Dilihat secara ontologis, semua hal adalah baik; tak ada sesuatu yang jahat secara wujudiah. Ya, segala hal adalah baik, karena ia terjadi dan maujud sebagai manifestasi dari iradah dan kehendak Tuhan.
Dalam kerangka sejarah besar manusia, orang-orang jahat memiliki “peran ontologis” (bukan peran moral-etis) yang penting. Tanpa adanya orang-orang jahat, manusia yang baik tidak mengalami ujian untuk membuktikan kebaikannya.
Dalam pandangan Islam, dunia di mana kita hidup ini adalah tempat diselenggarakannya ujian, daru-l-ibtila’. Kekuatan-kekuatan jahat haruslah ada agar ada ujian bagi orang-orang yang memiliki kehendak baik untuk menguji kebaikannya. Seseorang belum benar-benar bisa disebut baik manakala belum mengalami ujian.
Sekali lagi: segala hal adalah baik dalam kerangka ontologi. Tetapi masalahnya menjadi beda jika kita bergerak ke ranah yang lain—ranah ajaran moral, akhlak. Secara moral-etis, seorang pencuri jelas jahat, karena ia telah melanggar larangan Tuhan. Tetapi secara ontologis, kehadiran seorang pencuri memiliki fungsi kebaikan: ia memfasilitasi dan mendorong manusia untuk membangun sistem peradilan yang baik, agar kejahatan pencurian bisa diminimalisir.
Secara ontologis, ayat yang bisa menjadi panduan kita adalah berikut ini: rabbana ma khalaqta hadza bathilan (QS 3:191)—wahai Tuhan, Engkau tak menjadikan semua peristiwa dalam hidup ini (termasuk sesuatu yang tampak di permukaan sebagai “jahat” dan “buruk”) sebagai hal yang “bathil”, hal yang tanpa tujuan. Semua peristiwa hadir dalam kehidupan manusia untuk memenuhi iradah dan “fungsi ontologis” tertentu. Karena itu, tak ada sesuatu yang “buruk” dan “jahat” dari kacamata ontologis.
Dengan kacamata ini kita bisa lebih bersikap bijak dan tidak terlalu “kemrungsung” saat melihat hal-hal buruk dan jahat terjadi dalam kehidupan. Mengulang kembali pernyataan al-Ghazali: laisa fi-l-imkan abda‘u mimma kan—dunia yang ada saat ini adalah bentuk yang terbaik.
Memahami sifat iradah Tuhan dalam perspektif ontologis semacam ini akan membuat kita sedikit lebih “sumeleh”, tetapi bukan berarti menyerah pada keadaan. Sebab, dari kaca-mata “al-amr”, asksiologi, manusia dituntut untuk aktif (bukan pasif) melawan kejahatan!
Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.
Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/sekali-lagi-tentang-kehendak-tuhan/
Tuhan Menghendaki Penderitaan Bagi Manusia?
/0 Comments/in Berita, Opini /by rumahkitabMOJOK.CO – Jika Anda punya pertanyaan nakal tentang Tuhan seperti di judul, jangan khawatir, Anda tak sendirian. Itu pertanyaan manusia yang ada sejak ratusan tahun lalu.
Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan Yang Berkehendak (Muridun), yang terus-menerus berhubungan dengan makhluk melalui kehendak-Nya, bukan Tuhan kaum Deis yang “istirahat total” dan tidak mau ikut terlibat dalam segala kejadian di alam raya.
Kehendak atau “iradah” adalah salah satu sifat Tuhan yang menjadi diskusi panjang sejak zaman dahulu kala di antara para mutakallimun, teolog Islam.
Dalam Ihya’, al-Ghazali menjelaskan: “Fa-la yajri fi-l-mulki wa-l-malakuti qalilun aw katsirun, … khairun aw syarrun, naf’un aw dlarrun, imanun aw kufrun, … illa bi-qadla’ihi wa qadrihi wa hikmatihi wa masyi’atihi.”
Terjemahan bebasnya: Tak ada sesuatu pun di kerajaan bumi atau langit, baik sedikit atau banyak, baik kebaikan atau kejahatan, manfaat atau madarrat (bahaya), iman atau kekafiran, kecuali melalui ketetapan, kekuasaan, kebijaksanan, dan kehendak-Nya.
Pada bagian berikut, al-Ghazali menambahkan keterangan sebagai berikut: “Wa-la mahraba li-‘abdin ‘an ma‘shiyatihi illa bi-taufiqihi wa-rahmatihi, wa-la quwwata lahu ‘ala tha’atihi illa bi-masyi’atihi wa-iradatihi.”
Tak mungkin seorang hamba terhindar dari maksiat (membangkang kepada Tuhan) kecuali dengan pertolongan dan rahmat Tuhan; juga, tak ada kemampuan baginya untuk taat (kepada Tuhan) kecuali dengan kehendak dan iradah-Nya.
Dengan kata lain, tak ada sesuatu pun yang terjadi di alam raya, atau dalam kehidupan “mikro” manusia, kecuali telah dikehendaki oleh Tuhan—entah kebaikan atau kejahatan.
Sebagaimana sifat qudrah (kekuasaan) Tuhan yang telah saya ulas sebelumnya, sifat iradah ini juga menimbulkan sejumlah pertanyaan musykil. Ada sejumlah “Big Question”, pertanyaan besar yang abadi di sana yang mungkin akan terus diperdebatkan dan tak akan pernah bisa dijawab secara memuaskan.
Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain berikut ini: Jika bencana yang terjadi pada manusia yang menimbulkan penderitaan yang besar benar-benar di-iradah-i, dikehendaki oleh Tuhan, sesuaikah ini dengan sifat kasih-sayang-Nya?
Bukankah akidah seperti ini, secara tak langsung, menganggap Tuhan adalah jahat, karena menghendaki penderitaan bagi makhluk-Nya? Kenapa Tuhan tak segera menghentikan penderitaan ribuan pengungsi di Syria saat ini, misalnya?
Kenapa?
Pertanyaan lain yang tak kalah musykil: Jika “taat” dan “maksiat” sudah dikehendaki dan ditetapkan oleh Tuhan, dan manusia tak bisa lain kecuali berbuat sesuai dengan kehendak ilahiah itu, lalu di mana letak tanggung-jawab moral pribadi?
Lalu apa gunanya manusia menaati perintah Tuhan, atau melawan, jika semua sudah ditakdirkan? Di mana letak konsep surga dan neraka—reward and punishment? Jika seseorang menjadi kafir karena kehendak Tuhan yang sudah ada sejak zaman azal (pre-temporality), kenapa ia mesti dihukum di neraka?
Dengan kata lain, sifat iradah Tuhan ini bisa disalah-pahami sebagai hal yang berlawanan dengan ide tentang tanggung-jawab moral manusia (taklif).
Jika Anda memiliki pertanyaan-pertanyaan “nakal” seperti ini, jangan khawatir. Anda tidak sendirian. Ini pertanyaan yang sudah muncul ratusan tahun lalu, dan diperdebatkan oleh para filosof dan ulama sejak lama.
Saya berpendapat, seberapapun usaha dikerahkan untuk menjawab pertanyaan ini, pada akhirnya kita harus jujur: ini bagian dari “misteri agung” yang tak akan tuntas dijawab hingga kapanpun.
Ini bukan berarti tak ada penjelasan mengenai hal ini. Sebagian penjelasan telah dikemukakan oleh al-Ghazali sebagaimana sudah saya tulis dalam seri sebelumnya. Ia mengemukakan gagasan tentang “laisa fi-l-imkan abda‘u mimma kan”—bahwa bentuk dunia yang ada saat ini, dengan segala kekurangannya, adalah yang terbaik.
Iradah Tuhan memang bersifat komprehensif, meliputi segala hal, tetapi bukan berarti menafikan sama sekali iradah manusia. Sejumlah ayat dalam Qur’an menegaskan, manusia berkuasa untuk mengehendaki dan melakukan hal-hal yang baik; juga sebaliknya.
Sebuah ayat, misalnya, menegaskan bahwa kondisi manusia tak akan berubah jika ia tak berusaha mengubah apa yang ada pada diri mereka (QS 13:11). Konon, ini ayat yang dulu kerap disitir Bung Karno dalam pidato-pidatonya.
En toch demikian, kehendak manusia bukanlah faktor tunggal. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menyaksikan banyak situasi di mana seseorang “berkendak” untuk melakukan sesuatu, tetapi gagal mengeksekusinya karena ada “situasi eksternal” yang menjadi kendala. Situasi-situasi eksternal semacam ini berada di luar kontrol manusia. Kehendak dia bukanlah satu-satunya faktor determinan.
Bayangkan situasi berikut ini: Seorang perencana kota bisa membuat “city plan” yang sebaik-baiknya, sesuai dengan ilmu yang ia miliki. Dalam pelaksanaan, toh selalu ada “externalities”, faktor-faktor luar yang di luar kontrol dia. Rencana A akhirnya mencong dalam kenyataan menjadi B.
Dalam bahasa agama, kita akan mengatakan: Kehendak Besar Tuhan lah yang akhirnya akan berjalan. Tugas manusia sebatas menyelenggarakan “kehendak kecil”.
Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.
Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/tuhan-menghendaki-penderitaan-bagi-manusia/
Jangan Pertentangkan Agama dan Sains!
/0 Comments/in Berita, Opini /by rumahkitabMOJOK.CO – Asumsi bahwa secara otomatis tindakan beriman berarti meninggalkan sains, itu keliru. Seolah-olah sains dan agama jadi “musuh bebuyutan”.
Saya ingin melanjutkan perbincangan tentang sifat Tuhan yang satu ini: al-‘ilm, pengetahuan. Sebagaimana sudah saya jelaskan, salah satu ciri wujud yang berkualitas tinggi adalah adanya pengetahuan di sana.
Wujud yang tidak disertai dengan ‘ilmu memiliki martabat yang rendah, inferior. Semahal apa pun suatu bebatuan, seperti emas atau berlian, ia, dari segi martabat wujud, jauh berada di bawah manusia. Sebab ia tak memiliki potensi untuk “mengetahui”.
Secara individual, jelas ada manusia yang tak berilmu, the ignoramus, orang yang bodoh dan “ngengkel” dengan kebodohannya. Tetapi kita membicarakan manusia sebagai al-jinsu, spesies. Meski ada orang bodoh, tetapi sebagai spesies manusia memiliki qabiliyyah li-l-‘ilm, potensi untuk menerima ilmu.
Di dalam diri manusia, ada “fakultas” atau kemampuan mental untuk mempelajari hal-hal baru. Derajat kemampuan itu bisa berbeda dari orang ke orang. Potensi inilah yang membuat derajat wujud manusia berada persis di bawah Tuhan.
Ibn ‘Arabi (w. 1240), dalam Fusus al-Hikam, menegaskan bahwa Adam (atau manusia secara keseluruhan) adalah tujuan penciptaan alam raya ini. Pada anak cucu Adam ada suatu keunikan (apa yang ia sebut sebagai “kalimah Adamiyyah”) yang tak ada pada makhluk lain: yaitu kemampuan mengetahui.
Pada manusia, jika kita ikuti teori Ibn ‘Arabi, Tuhan seperti melihat semacam “alter-ego”- Nya. Manusia adalah, dalam bahasa dia, “mir’atun majluwwatun,” cermin yang cemerlang di mana Tuhan akan melihat citra diri-Nya.
Dengan kata lain, manusia nyaris semacam “tuhan kecil”, karena di dalamnya telah ditiupkan ruh-Nya, nafkhah ilahiyyah. Noah Yuval Harari, penulis selebriti dunia itu, menyebutnya sebagai “homo deus,” manusia-tuhan (meski dia memakai istilah ini dalam pengertian yang agak beda).
Tetapi ada satu “caveat,” peringatan: meski memiliki sifat-sifat Tuhan, manusia tak dibolehkan untuk gembelengan, kibriya’, sombong. Sifat ini hanya boleh dimiliki dan diperagakan oleh Tuhan. Wa-lahu-l-kibriya’u fi-l-samawati wa-l-‘ardli—bagi Tuhan sajalah kesombongan, baik di langit atau bumi (QS 45:37). Meski godaan untuk sombong amatlah besar pada manusia!
Tentu saja, ilmu yang ada pada manusia bukanlah orisinal, asli muncul dari dirinya sendiri, melainkan bersifat derivatif, berasal dari sumber lain: Tuhan. Dalam pandangan seorang beriman, semua ilmu berasal dari sumber yang sama: Tuhan.
Meski demikian, Tuhan tak memberikan begitu saja secara “gratis” ilmu-ilmu itu kepada manusia. Ada jalan yang harus ia lalui untuk memperolehnya.
Ada dua jalan yang harus ditempuh, sebagaimana dijelaskan oleh ushuliyyun (ulama yang mengkaji filsafat hukum Islam).
Yang pertama adalah jalan daruri, yaitu ilmu-ilmu yang diperoleh secara spontan tanpa harus menalar (istidlal). Yang kedua: jalan iktisabi, yaitu ilmu-ilmu yang harus di-“rebut” dengan usaha-keras melalui proses penalaran.
Sebetulnya ada jalan ketiga seperti dijelaskan al-Ghazali dalam Ihya’, yaitu, jalan ilhami – yakni, ilmu-ilmu yang diperoleh secara langsung melalui “pengilhaman” dari Tuhan. Meskipun jalan ketiga ini boleh saja kita pandang sebagai bagian dari “ilmu-ilmu iktisabi.”
Dengan pemahaman seperti ini, para hukama’ (filosof) dan ulama Islam di era klasik tak pernah mempertentangkan antara ilmu-ilmu yang berbasis wahyu dan ilmu-ilmu empiris yang bersumber dari observasi.
Kedua jenis ilmu itu bukanlah dua hal yang “mutually exclusionary,” saling menafikan. Pandangan yang dualistis terhadap ilmu seperti ini sama sekali berlawanan dengan “bundelan” atau akidah tentang Tuhan Yang Maha Tahu.
Akidah tentang sifat Tuhan sebagai Yang Maha Tahu (‘Alimun) mengharuskan kita untuk memandang semua ilmu (sekali lagi: semua ilmu!), secara ontologis, sebagai satu-kesatuan: ilmu yang bersumber dari Tuhan.
Ketika pandemi korona sekarang menerjang seluruh dunia, ada yang berteriak kegirangan: Sains telah mengalahkan agama!
Ini jelas keliru, karena mengasumsikan bahwa secara otomatis tindakan beriman berarti meninggalkan sains. Seolah-olah sains dan agama adalah “musuh bebuyutan”.
Para filsuf Muslim klasik seperti Ibn Rusd (w. 1198) memandang wahyu dan akal sebagai dua hal yang saling berkaitan, sebagaimana ia jelaskan dalam karyanya yang sudah classics, Fashl al-Maqal. Antara “syari‘ah” dan “hikmah” (filsafat), kata Ibn Rusyd, terdapat hubungan yang erat, ittishal.
Paradigma Rusydian inilah, bagi saya, yang perlu dipakai oleh Muslim sekarang dalam melihat hubungan antara agama dan sains.
Iman bukan lawan dari pengetahuan. Karena itu, jangan pertentangkan agama dan sains.
Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.
Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/jangan-pertentangkan-agama-dan-sains/
Jangan Meremehkan Manusia!
/0 Comments/in Berita, Opini /by rumahkitabMOJOK.CO – Sebagian orang berpandangan bahwa manusia adalah “titik-kecil-yang-tak relavan” di tengah-tengah alam raya yang maha luas.
Dalam bagian terdahulu, saya sudah mengulas mengenai “maratib al-wujud,” tingkatan-tingkatan wujud.
Ada wujud yang paling tinggi dan berada di puncak; inilah wujud ketuhanan. Ada wujud yang berada di level terendah, yaitu wujud makhluk non-organik, tak bernyawa; dalam bahasa filsafat Islam disebut: “jamadat”. Inilah wujud bebatuan, besi, dan mineral lain.
Tidak semua wujud disertai dengan adanya pengetahuan (‘ilm) di dalamnya. Wujud binatang mungkin masih disertai dengan pengetahuan, sebab pada tingkat tertentu binatang bisa menyerap pengetahuan. Anjing, gajah, ikan lumba-lumba adalah contoh binatang yang bisa menyerap pengetahuan. Mereka bisa dilatih untuk memeragakan kecakapan tertentu. Tetapi wujud tetumbuhan dan bebatuan jelas tidak disertai dengan pengetahuan.
Wujud yang disertai dengan pengetahuan memiliki kualitas yang lebih tinggi ketimbang wujud yang tak berpengetahuan. Karena itu, kualitas wujud manusia lebih tinggi ketimbang wujud-wujud lain yang ada di bawahnya.
Tetapi, kita tahu, pengetahuan manusia bersifat derivatif, diambil dan bersumber dari Tuhan; bukan pengetahun yang berasal dari dirinya sendiri. Karena itu, wujud Tuhan adalah wujud yang tertinggi, dan pengetahuan-Nya adalah pengetahuan yang mutlak.
Apa yang membedakan pengetahuan Tuhan dan manusia? Ada dua jenis pengetahuan: pengetahuan Tuhan yang bersifat “qadim”, kuna, dalam pengertian tidak bermula pada suatu titik waktu tertentu. Ilmu Tuhan, karena itu, disebut sebagai al-‘ilm al-qadim.
Abu Ishaq al-Shirazi (w. 1083), seorang ulama besar mazhab Syafi’i, dalam al-Luma‘, menggambarkan ilmu Tuhan sebagai berikut: “la-yushafu bi-annahu daruriyyun wa-la mukatasabun” – ilmu Tuhan tidak bisa disebut sebagai “daruri” atau “muktasab.”
Ilmu daruri adalah pengetahuan yang datang secara spontan tanpa melalui penalaran (al-nadzar). Pengetahuan yang kita peroleh melalui indera, masuk dalam kategori ini. Kita melihat gedung, misalnya, dan serentak dengan itu timbul pengetahuan dalam pikiran kita: oh, ada gedung di sana.
Ini adalah pengetahuan spontan, tanpa penalaran. Inilah ilmu pra-reflektif. Sementara ilmu muktasab adalah ilmu yang untuk memerolehnya harus dinalar dulu. Semua ilmu yang diajarkan di sekolah masuk dalam kategori ini. Inilah jenis ilmu kedua: al-‘ilm al-hadits — ilmunya manusia.
Ilmu Tuhan tidak terjadi melalui dua jalan ini, baik daruri atau muktasab. Bagaimana ilmu Tuhan muncul dan beroperasi, kita tak akan pernah tahu. Ini bagian dari misteri ketuhanan. Al-Ghazali, dalam Ihya’, menggambarkan ilmu Tuhan sebagai berikut: “wa-annahu ‘alimun la ya‘zubu ‘an ‘ilmihi mitsqalu dzarratin fi-l-’ardli wa-la fi al-samawat.”
Tak ada sebiji dzarrah, atom pun, baik di langit atau bumi, yang luput dari pengetahuan Tuhan. Ilmu Tuhan bersifat menyeluruh—all encompassing.
Tuhan melimpahkan “secuil” ilmu-Nya ini kepada manusia, sebagaimana dikisahkan dalam sebuah ayat dalam al-Baqarah: wa-‘allama Adama-l-asma’ (Tuhan mengajari Adam nama-anama, alias informasi dan pengetahuan). Ilmu inilah yang menyebabkan manusia memiliki martabat wujud yang mengungguli semua makhluk yang lain.
Ada sebagian kalangan yang berpandangan bahwa astronomi modern telah melengserkan manusia dari “singgasana kemuliaannya”—the de-throning of human. Revolusi Kopernikus yang mengenalkan teori heliosentrisme (matahari sebagai pusat orbit, bukan bumi) itu, dianggap telah melucuti manusia dari kedudukan sentralnya sebagai pusat alam raya.
Penemuan astronomi modern yang mengenalkan gagasan tentang alam raya yang terus berkembang dan mekar (the expanding universe) membuat sebagian orang berpandangan bahwa manusia adalah “titik-kecil-yang-tak relavan” di tengah-tengah alam raya yang maha luas.
Saya, mohon maaf, tak sepakat dengan pandangan yang men-depresiasi, menurunkan derajat manusia semacam ini. Secara fisik, manusia memang kecil, semacam “debu super-duper-mikro” di tengah hamparan keluasan alam raya yang nyaris tak berhingga. Tetapi, merujuk kembali kepada teori tentang “maratib al-wujud”, derajat wujud manusia jauh lebih tinggi di atas alam raya.
Pengetahuan tentang alam raya sebagaimana dicapai oleh astronomi modern itu, apakah bisa dicapai selain oleh manusia? Tak ada makhluk Tuhan lain (kecuali jika ada alien yang “super-intelligent”!) yang mencapai pengetahuan semacam ini.
Dengan pengetahuannya, manusia yang seperti titik-super-kecil ini memiliki kemampuan rasional yang maha-dahsyat untuk menyingkapkan hukum-hukum yang berlaku di alam raya ini. Manusia yang super-kecil ini adalah “subjek-aktif” yang meneliti dan menelaah, sementara alam raya yang maha luas itu hanyalah “objek penelaahan” manusia.
Kita tak boleh memandang remeh manusia hanya karena kerapuhan tubuhnya. Para sufi menyebut manusia sebagai “jagad cilik”, mikro kosmos, yang menjadi miniatur dari “jagad gede”, semesta yang maha luas itu. Akidah tentang Tuhan Yang Maha Tahu memiliki implikasi penting: Jangan meremehkan manusia dengan kekecilan fisiknya!
Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.
Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/jangan-meremehkan-manusia/
Wujud ‘Musyakkak’, Wujud Bertingkat, dan Wujud Derivatif
/0 Comments/in Berita, Opini /by rumahkitabOleh Ulil Abshar Abdalla
MOJOK.CO – Wujud manusia dan seluruh makhluk lain adalah wujud derivatif. Jika tiada Tuhan, maka seluruh wujud akan pudar.
Tuhan dalam konsepsi Islam adalah Tuhan yang hidup (Hayyun) dan memiliki kekuasaan atas segala hal (Qadirun). Pada-Nya tidak ada “qushur,” yakni absennya sama sekali kemampuan melakukan sesuatu, atau adanya kemampuan dan “kompetensi” tetapi dalam derajat yang rendah. Kemampuan Tuhan bersifat mutlak dan sempurna.
Dua sifat ini, yakni kehidupan (hayat) dan kemampuan (qudrah), selalu berkaitan. Adanya kehidupan pada makhluk apapun akan mengakibatkan adanya “kompetensi” padanya untuk melakukan sesuatu. Sementara kematian identik dengan hilangnya sama sekali kemampuan itu.
Dua sifat ini, secara derivatif, juga ada pada manusia dan sejumlah makhluk lain. Manusia adalah makhluk yang hidup, dan karena itu ia memiliki kemampuan. Binatang yang tidak berakal juga hidup, dan memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu.
Kucing yang masih hidup, misalnya, “mampu” melakukan banyak hal, meskipun kemampuan kucing jelas di bawah manusia. Sementara itu, tumbuh-tumbuhan juga hidup, dan karena itu memiliki kemampuan. Dia bisa berinteraksi dengan habitat di sekitarnya, dan beradaptasi. Tentu saja kemampuan tumbuh-tumbuhan jauh di bawah manusia dan binatang.
Bukan hanya itu. Makhluk submikroskopik yang teramat-amat-amat kecil seperti virus (sekarang kita sedang berhadapan dengan virus COVID-19!) adalah makhuk yang hidup juga.
Meskipun dalam skala yang terbatas, ia juga mampu mengerjakan sesuatu. Ia “mampu” melakukan replikasi atau penggandaan diri dengan cara melekat pada sel dalam organisme, makhluk hidup yang lain. Ia bahkan “mampu” menyebabkan penyakit yang amat fatal. Ia malahan “mampu” menimbulkan kepanikan global!
Walhasil, kehidupan selalu berimplikasi kepada “kemampuan”. Sementara kematian identik dengan tiadanya kemampuan. Karena itu, makhluk yang “mati”, non-organik, seperti batu atau mineral yang lain, ia tak memiliki “kompetensi” atau kemampuan apapun.
Tuhan adalah zat, subtansi yang hidup, dan karena itu Ia memiliki kemampuan, qudrah. Dalam tradisi Islam kasik, dikenal apa yang disebut dengan “maratib al-wujud,” yaitu tingkat-tingkat wujud atau keberadaan.
Tuhan, manusia, binatang, pohon, dan bebatuan—semuanya memiliki sifat yang sama: yaitu maujud, ada, exist. Tetapi apakah kita akan mengatakan bahwa “kualitas” wujud Tuhan sama dengan wujud makhluk? Tentu saja tidak.
Manusia, bintang, dan tumbuhan-tumbuhan sama-sama hidup dan berkemampuan. Berdasarkan pengalaman empiris, kita bisa melihat bahwa meski memiliki kesamaan dalam hal “kemampuan,” jelas manusia memiliki kemampuan yang lebih tinggi kualitasnya dari binatang. Karena itu kita mengatakan bahwa kualitas “wujud”/eksistensi manusia jauh di atas binatang atau tumbuh-tumbuhan.
Kualitas wujud tiap makhluk tidak sama. Ada “maratib”, tingkatan, hierarki dalam wujud. Inilah yang dalam tradisi filsafat ‘irfani atau “al-hikmah al-muta’aliyah” disebut dengan teori tentang “keragaman wujud” (al-wujud al-musyakkak).
Sama-sama ada, dan sama-sama hidup, tetapi sesuatu yang maujud dan hidup memiliki tingkatan dan kualitas wujud yang berbeda.
Pandangan ini berlawanan dengan ide “egalitarianisme ontologis” dalam sains modern, di mana manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan bebatuan dipandang sebagai wujud yang sama tingkatannya. Mereka semua, dari segi konstitusi fisiknya, adalah sama, karena terbentuk dari unsur-unsur kimiawi yang seragam.
Sains modern memandang manusia bukan sebagai makhluk yang di dalamnya ada “kesadaran” yang bersumber dari “ruh” Tuhan. Manusia adalah barang, simply a thing. Secara molekuler, manusia, binatang, tumbuhan, dan bebatuan sama saja.
Puncak wujud tertinggi tentulah wujud ketuhanan. Wujud-wujud lain adalah wujud derivatif, alias berasal dari wujud yang lebih tinggi. Kedudukan wujud manusia sama dengan cahaya matahari dan bulan.
Kita tahu, cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sementara cahaya bulan bersifat derivatif, diambil dari matahari. Bulan tak memiliki cahaya pada dirinya, melainkan memperolehnya (derivative) dari matahari.
Demikianlah wujud manusia dan seluruh makhluk lain adalah wujud derivatif. Jika tiada Tuhan, maka seluruh wujud akan pudar.
Ibn Atha’illah al-Sakandari (w. 1309), sufi besar dari Mesir, menegaskan dalam kitabnya, al-Hikam, demikian: al-kawnu dzulmatun wa-innama anarahu dzuhuru-l-Haqqi fihi. Seluruh alam raya adalah kegelapan; yang membuatnya terang adalah Adanya Yang Maha Benar di sana. Cahaya Tuhan lah yang memungkinkan segala sesuatu maujud, ada.
Karena wujud Tuhan adalah wujud par excellence, yang paling sempurna, maka, secara otomatis, qudrah atau kemampuan-Nya adalah kemampuan paling sempurna. Sebab, kemampuan setiap hal terkait dengan kualitas wujudnya. Makin tinggi suatu wujud, makin tinggi pula qudrah-nya.
Kualitas “qudrah” atau “kompetensi” Tuhan digambarkan oleh al-Ghazali dalam Ihya’ sebagai berikut: la tuhsha maqduratuhu wa la-tatanaha ma‘lumatuhu. Kemampuan Tuhan tak terbatas, begitu juga pengetahuan-Nya.
Doktrin atau “bundelan” ini mengajarkan kita banyak hal, antara lain: bahwa kita, yakni makhluk bernama manusia ini, diberikan kualitas wujud, kehidupan dan kemampuan yang teramat tinggi, di atas makhluk-makhluk yang lain. Karena itu, kita patut terus-menerus bersyukur.
Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.