Pos

Jokowisme dan Prabowoisme

Oleh Jamaluddin Mohammad

Wacana apapun yang berkembang di Media Sosial (Medsos) pasti akan bermuara pada dua arus besar: Jokowisme dan Prabowoisme.

Gejala ini muncul seiring menguatnya “politik identitas” di “Nusantara” ini (sengaja saya menggunakan kata “Nusantara” bukan “Indonesia” atau NKRI. Sebab, akhir-akhir ini “Nusantara” memiliki momentumnya kembali di tengah perang dan perebutan identitas itu. Munim Dz dalam satu esainya ttg Islam Nusantara menyebut “Nusantara” mengacu pada konsep sekaligus “pertarungan” geo-politik).

Politik identitas ini merusak banyak hal. Sebagaimana dikatakan Kiai Ulil Abshar Abdalla dalam peluncuran buku “Reformasi Hukum Keluarga Islam” di LIPI, kemarin (11/07), hukum fiqh yang awalnya cair dan dinamis, di tengah pertarungan politik identitas ini, menjadi sangat kaku dan seolah menolak segala jenis perbedaan (khilafiyah).

Di Nusantara ini, pertarungan politik identitas mengerucut pada dua blok besar: Jokowisme dan Prabowoisme (bukan Kapitalisme vs Komunisme; AS vs Rusia lagi. Heheh).

Seolah-olah, Jokowisme mewakili identitas kebangsaan dan Prabowoisme mewakili identitas keislaman (Ah, mungkin ini hanyalah imajinasi murahan para politisi penjual agama. Kita jangan sampai masuk terperangkap jebakan Batman ini 😂)

Termasuk, misalnya, perdebatan “Islam Nusantara”. Saya yakin, kebanyakan orang sudah mafhum dengan istilah ini. Kalau pun masih dianggap gelap atau pengertiannya (definisi) belum jelas dan lengkap (syumul wal kamil), setidaknya masih terbuka untuk didiskusikan menggunakan akal sehat. Setuju/tidak setuju biasa, tapi harus disertai argumentasi yang jelas. Buka didasarkan asumsi, persepsi pribadi, apalagi berdasarkan penilaian “suka atau tidak suka” (like and dislike) yang ujung-ujungnya bermuara pada Jokowisme dan Prabowoisme.

Hari ini diskursus apapun akan tidak menarik dan pasti mengalami kebuntuan ketika dibaca dan didekati menggunakan sikap dan cara pandang Jokowisme dan Prabowoisme. Dua “isme” ini menghancurkan akal sehat dan membuat banyak orang kehilangan “kewarasannya”.

Ya Allah Pemilik Jagat Raya ini (Rabbil Alamin) lindungi kami dan keluarga kami dari fitnah Dajja akhir zaman: Jokowisme dan Prabowoisme…

Negara Berpenduduk Islam Hendaknya Melakukan Reformasi Hukum Keluarga

Akademisi Ziba Mir Hosseini mengatakan negara-negara mayoritas berpenduduk Islam sangat berkepentingan melakukan reformasi hukum keluarga. Hal ini akan menjadi titik tolak bagi keadilan terhadap perempuan.

“Dalam hukum keluarga, hak-hak perempuan di ruang domestik ditentukan dan berpengaruh kepada peran-peran sosial dan politiknya di ruang publik mereka,” kata Ziba Mir Hosseini dalam peluncuran buku”Reformasi Hukum Keluarga Islam” di Gedung LIPI, Jakarta, Rabu. Ia menambahkan bahwa kepentingan perempuan sudah seharusnya menjadi perhatian dalam ranah keluarga.

Hal senada dikemukakan oleh Lies Marcoes, Direktur Rumah Kita Bersama. Ia mendorong agar isu-isu kesetaraan gender bagi perempuan selalu diperhatikan seiring dengan tumbuhnya demokrasi di suatu negara. Menurutnya semakin demokratis sebuah negara seharusnya semakin adil terhadap relasi antara lelaki dan perempuan di dalam keluarga. “Tapi untuk mewujudkannya tidak mudah karena kerap posisi perempuan yang tidak setara di ranah keluarga kerap terganjal norma-norma agama. Perempuan di keluarga kerap ada di rumpun ibadah sehingga hukum yang mengaturnya sulit berubah. Maka, reformasi hukum keluarga merupakan keniscayaan untuk mewujudkan keadilan itu sendiri,” katanya seperti dilansir kantor berita Antara.

Lena Larsen yang juga penyunting buku “Reformasi Hukum Keluarga Islam” mengatakan bahwa Indonesia merupakan contoh bagaimana reformasi hukum keluarga bisa terwujud. Di Indonesia, hukum Islam mampu bersanding dengan selaras bersama hukum Barat dan hukum adat sehingga membentuk hukum nasional. Ia memberikan contoh Peraturan Mahkamah Agung No 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Perma itu menjadi bukti Indonesia menjadi negara berpenduduk Islam yang terdepan dalam mengembangkan analisis gender. Perma 3/ 2017 mendorong perlunya sensitivitas gender dalam mengadili perkara yang melibatkan perempuan sebagai pencari keadilan.

Larsen juga mengapresiasi Indonesia dengan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang berhasil melahirkan fatwa kewajiban negara melakukan pencegahan perkawinan anak, pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan pencegahan kerusakan lingkungan karena berdampak langsung pada anak dan perempuan.

Sumber: https://islami.co/negara-berpenduduk-islam-hendaknya-melakukan-reformasi-hukum-keluarga/

Akademisi: Negara berpenduduk Islam reformasi hukum keluarga

Jakarta (ANTARA News) – Akademisi Ziba Mir Hosseini mengatakan negara-negara berpenduduk Islam berkepentingan melakukan reformasi hukum keluarga yang menjadi titik tolak keadilan bagi perempuan.

 

Ziba yang merupakan penyunting buku “Reformasi Hukum Keluarga Islam” di acara peluncuran buku tersebut di Gedung LIPI, Jakarta, Rabu, mengatakan kepentingan perempuan sudah seharusnya menjadi perhatian dalam ranah keluarga.

 

“Dalam hukum keluarga, hak-hak perempuan di ruang domestik ditentukan dan berpengaruh kepada peran-peran sosial dan politiknya di ruang publik mereka,” kata dia.

 

Senada, Direktur Rumah Kita Bersama Lies Marcoes mendorong agar isu-isu kesetaraan gender bagi perempuan selalu diperhatikan seiring dengan tumbuhnya demokrasi di suatu negara.

 

Menurut Marcoes, semakin demokratis sebuah negara seharusnya semakin adil relasi antara lelaki dan perempuan di dalam keluarga. Tapi untuk mewujudkannya tidak mudah karena kerap posisi perempuan yang tidak setara di ranah keluarga kerap terganjal norma-norma agama.

 

“Perempuan di keluarga kerap ada di rumpun ibadah sehingga hukum yang mengaturnya sulit berubah. Maka, reformasi hukum keluarga merupakan keniscayaan untuk mewujudkan keadilan itu sendiri,” katanya.

 

Lena Larsen yang juga penyunting buku “Reformasi Hukum Keluarga Islam” mengatakan Indonesia merupakan contoh bagaimana reformasi hukum keluarga bisa terwujud. Di Indonesia, hukum Islam mampu bersanding dengan selaras bersama hukum Barat dan hukum adat sehingga membentuk hukum nasional.

 

Dia mengatakan Indonesia mampu menelurkan Peraturan Mahkamah Agung No 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Perma itu menjadi bukti Indonesia menjadi negara berpenduduk Islam yang terdepan dalam mengembangkan analisis gender.

 

Perma 3/ 2017, kata dia, mendorong perlunya sensitivitas gender dalam mengadili perkara yang melibatkan perempuan sebagai pencari keadilan.

 

Larsen juga mengapresiasi Indonesia dengan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang berhasil melahirkan fatwa kewajiban negara melakukan pencegahan perkawinan anak, pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan pencegahan kerusakan lingkungan karena berdampak langsung pada anak dan perempuan.

Sumber: https://www.antaranews.com/berita/725989/akademisi-negara-berpenduduk-islam-reformasi-hukum-keluarga

Merebut Tafsir: Reformasi Hukum Keluarga sebagai Basis Perubahan Hukum untuk Keadilan bagi Perempuan.

Oleh Lies Marcoes

Bersama P2KK LIPI dan atas dukungan Oslo Coalition, 12 Juli 2018, Rumah Kita Bersama ( Rumah KitaB) meluncurkan Buku terjemahan Reformasi Hukum Keluarga Islam: Perjuangan Menegakkan Keadilan Gender di Berbagai Negeri Muslim.
Dalam pengantar diskusi ini Lies mengatakan “Reformasi hukum keluarga merupakan sebuah keniscayaan karena keadilan di ruang domestik akan berpengaruh kepada pencapaian keadilan perempuan di ruang publiknya. Dengan mengutip pendapat Lena Larsen, Lies menyatakan bahwa dari Indonesia, negara-negara Muslim dapat belajar bagaimana reformasi hukum keluarga bisa dilakukan karena 1) Indonesia memiliki pengalaman menghadirkan perempuan sebagai subyek dan obyek hukum; 2) Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar dan terdepan dalam perkembangan pemikiran gender dan agama.
Acara ini, seperti diakui Lena Larsen dan Nelly van Doorn merupakan kegiatan penutup dari serangkaian kegiatan akademik yang diselenggarakan OSLO Coalition di Indonesia. Ini menjadi puncak kegiatan yang paling mengesankan bagi mereka.
Acara Seminar ini dihadiri oleh 120 peserta – dari rencana 75 orang, dan karenanya mohon maaf bagi yang tidak kebagian buku.

Penyampaian pemikiran tentang hadits sebagai arena perjuangan keadilan gender diantarkan dengan sangat runtut, argumentatif dan advokatf oleh Dr. Faqihuddin A Kodir. Berangkat dari kritik Faqih kepada para aktivis feminist Muslim yang “malas” memakai argumen hadis karena hadis populer dan mainstream seringkali merendahkan dan menista perempuan, Faqih mengajak untuk memakai hadits sebagai arena perjuangan, bukan saja karena kalangan salafi dan wahabi memakai hadits untuk mensubordinasikan perempuan tetapi juga karena peluang advokasi untuk keadilan gender sangat luas terdapat dalam hadits. Bagi Faqih Abdul Kodir kita kurang peduli pada hadits-hadist yang pada kenyataannya bersifat advokatif tapi kurang populer. Dalam isu kekerasan, poligami, misalnya banyak hadits yang melampaui pandangan Quran( yang seringkali dianggap ambigu) secara tegas melarang kekerasan dan menolak poligami. Karenanya menurut Faqih, pengalaman perempuan dan pengetahuan perempuan sebagai rijaalul hadits seharusnya diperdalam dan dijadikan rujukan utama; demikian juga dalam menentukan kriteria perawi hadits, perilaku orang yang meriwayatkan hadist harus diteliti kehidupannya sehari-hari terkait sikapnya kepada perempuan: pembohong kepada istri coret, pelaku kekerasan kepada istri, coret dan seterusnya.

Dr Aicha Hajami dari Maroko mengemukakan pengalaman Maroko dalam melakukan reformasi. Mereka berhasil melahirkan UU kawin anak, batasan dan bahkan larangan poligami. Hal yang terpenting adalah konsistensi dalam menggunakan hukum nasional sebagai perangkat untuk pemenuhan keadilan di mana para ulama pun tunduk pada aturan tersebut.

Prof Khalid Masud membahas tentang metodologi untuk mengatasi dispute antara hukum fiqh yang bersifat normatif dengan hukum universal yang merupakan hasil ijtihad untuk penegakan hak-hak perempuan dan bersifat aplikatif.
Dr Nina Nurmila menjelaskan startegi penafsirkan ayat-ayat yang tampaknya bias gender dengan menggunakan pendekatan hermeneutika termasuk kritik bahasa. Dan kyai Ulil Abshar Abdalla menjelaskan dari perspektif yang lebih luas tentang tantangan reformasi hukum keluarga ini, yaitu menguatnya corak keagamaan yang menggunakan identitas agama sebagai alat pembeda antara mereka dan kita. Sementara isu-isu yang terkait dengan pemenuhan hak perempuan seperti larangan poligami, larangan kawin anak digunakan sebagai pembeda ideologi oleh mereka. Karenanya advokasi harus dilakukan melampai pendekatan teknokratik atau pendekatan teknis (seperti tuntutan perubahan menaikan usia kawin) yang bersifat parsial tanpa menyentuh persoalan yang paling mendasar soal menguatnya penggunaan isu perempuan sebagai identitas keagamaan oleh kalangan salafi dan Wahabi.

Tanggapan para peserta, yang terdiri dari praktisi hukum seperti hakim, aktivis perempuan, Ibu Rumah Tangga, dosen dan peneliti cukup beragam, tapi intinya ini adalah upaya yang sangat baik dan membantu kerja -kerja mereka di lapangan. Akhirnya para peserta menghendaki kegiatan serupa diperluas dan training bagi para hakim agama yang memberi pencerahan dan keterampilan dalam reformasi hukum keluarga harus segera dilakukan! Hayuuuk

Bravo Rumah Kita Bersama!

Faqihuddin A Kodir

Dr Sri Hartiningsih

Faqihuddin A Kodir dan Khalid Masud

Khalid Masud

Lena and Aicha El Hajjami

Lies Marcoes

Prof Dra Hj Nina Nurmila

Ulil-Abshar-Abdalla

Widjajanti-Santoso

Seminar Internasional, Diskusi dan Peluncuran buku “REFORMASI HUKUM KELUARGA ISLAM: Perjuangan Menegakkan Keadilan Gender di Berbagai Negeri Muslim.

Rumah Kita Bersama bekerjasama dengan LIPI didukung oleh OSLO Coalition Norwegia akan menyelenggarakan Seminar Internasional dalam kerangka diskusi dan Peluncuran buku REFORMASI HUKUM KELUARGA ISLAM: Perjuangan Menegakkan Keadilan Gender di Berbagai Negeri Muslim pada hari Rabu, 11 Juli 2018.

 

Buku ini merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta.

Buku ini adalah hasil studi dari negara-negara mayoritas Muslim termasuk Indonesia dalam upaya reformasi hukum keluarga.

 

Sebagaimana disampaikan salah seorang editor dan penulisan Dr. Ziba Mir Hoseini, yang minggu lalu bersama dengan Lies Marcoes dan Dr Amina Wadud menjadi nara sumber dalam training bagi aktivis HAM SEA di Kuala Lumpur menyatakan “Negara-negara berpenduduk Islam berkepentingan melakukan reformasi hukum keluarga karena dari sanalah keadilan bagi perempuan bermula”

Lebih lanjut Ziba mengatakan, “Ini karena dalam hukum keluarga hak-hak perempuan di ruang domestik ditentukan dan berpengaruh kepada peran-peran sosial dan politiknya di ruang publik mereka”.

 

Bagi Rumah KitaB yang saat ini sedang melakukan studi teks klasik tentang Qawamah dan Walayah, alat analisis gender akan sangat membantu untuk menentukan terpenuhinya rasa keadilan bagi perempuan mengingat relasi sosialnya  di dalam keluarga tak selalu setara. Padahal semakin demokratis sebuah negara seharusnya semakin adil relasi antara lelaki dan perempuan di dalam keluarga. Dan untuk mewujudkannya niscaya tidak gampang mengingat relasi dalam keluarga kerap diposisikan sebagai rumpun ibadah, sehingga hukum-hukum yang mengaturnya sulit untuk berubah dan karenanya membutuhkan reformasi hukum keluarga.

 

Kami bersepakat dengan Dr. Lena Larsen dari Oslo Coalition  yang mendorong kami melakukan studi Qawamah dan Walayah bahwa “Reformasi hukum keluarga di Indonesia merupakan harapan sebagai percontohan praktik baik bagi negara-negara (Islam) lain, bukan saja karena Indonesia merupakan negara yang berhasil mengharmonisasikan hukum antara hukum Barat, Hukum Islam dan hukum adat menjadi hukum nasional, tetapi juga karena Indonesia merupakan negara yang berhasil mengembangkan analisis gender dan digunakan dalam merumuskan  hukum seperti PERMA no 3/2017 tentang perlunya sensitivitas gender dalam mengadili perkara yang melibatkan perempuan sebagai pencari keadilan”.

 

Dalam hal ini Dr. Larsen juga  mengapresiasi fatwa yang dikeluarkan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang melahirkan fatwa tentang kewajiban negara untuk melakukan pencegahan kawin anak, pencegahan kekerasan tehadap perempuan dan pencegahan kerusakan lingkungan yang terbukti berdampak langsung pada dua persoalan itu”

 

Dalam seminar ini peserta akan diajak untuk melihat upaya reformasi di berbagai negara berpenduduk Islam dalam melakukan reformasi baik melalui adopsi konvensi internasional maupun upaya penafsiran atas teks keagamaan yang menjadi sumber hukum keluarga.

 

Indonesia sangat berkepentingan melakukan pembelajaran serupa itu bukan saja karena sebagai besar hukum keluarga bersumber dari ajaran Islam, tetapi juga karena paska reformasi, Indonesia terus menerus mengupayakan pembaharuan hukum keluarga guna memenuhi rasa keadilan.