Merebut Tafsir: NATALAN
Sebagai Muslim, apa yang dikenang dari Natal? Saya malah teringat cerita kawan peneliti tentang Ramadhan. Sebagai pengamat fenomen sosial politik agama Islam, ia tertarik kepada tradisi umat Islam dalam menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan. Kebetulan ia mengalaminya di Iran, disusul di beberapa negara berpenduduk Muslim seperti Turki, Afganistan dan Indonesia. Tentu saja, di kalangan minoritas Islam di Eropa juga, tempat ia tinggal.
Baginya, yang menarik dari Ramadhan adalah peristiwa sosial keagamaan di mana hubungan keluarga menjad lebih dekat. Itu sangat mengesankan baginya. Ketika ia tinggal bersama satu keluarga elit Iran di Teheran, ia melihat perubahan hubungan-hubungan ayah dengan anaknya, terutama anak perempuan yang menjadi lebih akrab. Keakraban itu melampaui bulan-bulan lain di luar Ramadhan. Mereka mengobrol tentang apa saja semalam suntuk. Sejak buka puasa, shalat taraweh, sampai makan sahur kemudian tidur dan bangun menjelang siang. Demikian setiap hari sepanjang bulan.
Ia menyaksikan, di saat itulah nilai-nilai keluarga, ajaran agama, tradisi keluarga, kuliner, bahkan politik dibicarakan dan ditularkan dari orang tua kepada anak-anaknya, pun sebaliknya. Baginya bulan Ramahan adalah bulan keluarga. Karenanya ia tak tertarik berpuasa di tanah kelahirannya di Eropa. Sebab “ saya tak menemukan maknanya secara sosial; kalau soal menahan lapar, saya bukan orang yang terlalu menikmati makan siang di kantor, jadi praktis sering juga saya puasa”.
Semasa kecil saya tinggal di kampung yang relatif homogen. Muslim, Sunda, sedikit campuran keluarga Jawa pendatang dan lebih sedikit lagi warga Tionghwa. Ada satu orang Batak,Sersan Manurung dan seorang Pendeta dari Minahasa Bapak Sarionsong.
Di masa kecil saya tak punya pengalaman khusus tentang Natalan sebagai perayaan. Harap diingat saat itu listrik dan karenanya TV belum ada. Peristiwa keagamaan yang mengiringi saya tumbuh besar sebagai warga adalah peristiwa-peristiwa keagamaan dalam tradisi Islam. Di luar ritual formal, kami merayakan Mauludan (bulan Maulud), Rajaban (Isra Mi’raj) dan puncaknya di bulan Ramadhan hingga Lebaran. Bahkan bulan Haji pun saat itu bukan perayaan besar karena hanay shalat Idul Adha dan masih sangat jarang yang menyembelih qurban
.
Di bulan Ramadhan kampung menjad lebih terang benderang. Di mana-mana ada “damar sewu” lampu minyak berjejer-jejer menerangi malam pekat; ada bunyi bedug di malam hari dan sesekali bunyi petasan. Puncaknya adalah berlebaran, shalat Ied di tanah lapang desa, pakai baju baru dan makan dengan seluruh keluarga dan para pelayan toko Ibu (Ibu saya buka toko sembako yang lumayan besar).
Natalan sebagai peristiwa sosial keagamaan saya ikuti ketika saya kuliah di IAIN Jakarta. Ada tugas dari dosen Perbandingan Agama untuk menghadiri ritual Natal di Gereja. Tapi itu hanya mengamati, mencatat dan membahasnya di bangku kuliah. Kala itu saya tak “merasakan” suasana Natal sampai kemudia saya kenal dan menjadi bagian dari satu keluarga Katolik di Jakarta, keluarga angkat saya Ibu/Bapak C. Sumarto.
Ketika itu awal tahun 80-an, Natal telah menjadi bagian dari ornamen pertokoan namun pengalaman kehangatan Natal dalam keluarga benar-benar baru saya rasakan ketika saya menjadi bagian dari keluarga itu. Dan itu terus berlanjut sampai saya telah berkeluarga.
Saya ingat ketika Reza anak sulung saya berumur 4 tahun saya ajak Natalan ke keluarga Eyangnya itu. Ia begitu senang melihat pohon natal bersama aneka perhiasan seperti yang ia lihat di TV. Terlebih, ia juga mendapatkan hadiah Natal dari Eyang Utinya yang ditemukan di bawah pohon Natal. Mata Reza berbinar-binar. Ia mendapatkan kado di luar hari ulang tahunnya, dan dengan hadiah itu ia merasa diakui sebagai bagian dari anggota keluarga Eyangnya.
Hingga saat ini setelah anak-anak berkeluarga, kami melanjutkan tradisi mengunjungi rumah keluarga angkat saya, tempat anak-anak saya punya Uti, Atung (Kakek) tante- tante dan om serta sepupu-sepupu untuk mengucapkan Natal dan makan aneka hidangan Natal. Di saat itu suasana kehangatan keluarga kami rasakan. Mungkin seperti “rasa” yang dialami kawan saya ketika menjalani ritual puasa di Teheran. Bedanya dia sebulan penuh sementara kami hanya satu hari. .
Peristiwa sosial yang mengiringi ritual ritual keagamaan dapat meninggalkan kesan mendalam bagi banyak orang. Itulah pengalaman sosial keagamaan. Kehangatan keluarga dalam nuansa ritual perayaan keagamaan, apapun agama itu, bagi saya adalah fenomena sosial keagamaan yang dapat menghidupkan kehangatan batin. Dan saya ingin anak menantu dan cucu ikut merasakannya, meskipun saya sangat sadar rasa batin adalah pengalaman pribadi, sangat personal. SELAMAT NATAL
#Lies Marcoes, 25 Desember 2020
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!