Angka Pernikahan Anak di Jateng Naik Jadi 8.338 Kasus

SEMARANG, KOMPAS.com – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Jawa Tengah mencatat adanya peningkatan pernikahan anak di bawah umur. Pada tahun 2019 ada 2.049 pernikahan anak. Adapun hingga September 2020 jumlahnya meningkat sebanyak 8.338 kasus. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Jawa Tengah Retno Sudewi mengungkapkan, meningkatnya kasus pernikahan anak ketika UU No.16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan disahkan. Sebab, batasan usia menikah bagi laki-laki dan perempuan harus 19 tahun. “Angkanya untuk Jawa Tengah terdapat 10,2 persen yang menikah pada usia anak. Ini banyak terjadi di Jepara, Pati, Blora, Grobogan, Cilacap, Brebes, Banjarnegara, dan Purbalingga,” jelasnya dalam diakusi webinar “Gerakan Bersama Jo Kawin Bocah: Upaya Pencegahan Perkawinan Anak di Jawa Tengah”, Rabu (18/11/2020). Baca juga: Cegah Pernikahan Dini di Mataram, Paslon Selly-Manan Akan Buat Balai Mediasi di Kelurahan Menurutnya, tingginya kasus pernikahan anak disebabkan karena faktor ekonomi atau kemiskinan, faktor sosial budaya masyarakat, pendidikan, dan hamil di luar nikah. “Dari hasil penelitian, anak perempuan dari keluarga yang berpenghasilan rendah lebih berpotensi menikah pada usia di bawah 18 tahun daripada keluarga yang berpenghasilan tinggi,” ujarnya. Karena beberapa faktor tadi, kata dia, Pemerintah Provinsi Jateng, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan gerakan masif agar penikahan anak di bawah umur bisa dicegah. “Di sini harus ada sinergi antara pemerintah, komunitas, dunia usaha, akademisi, dan media,” katanya.

Sementara itu, aktivis anti perkawinan usia anak dari Yayasan Rumah Kita Bersama (Yayasan Rumah KitaB) Lies Marcoes Natsir mengatakan, upaya pencegahan pernikahan anak di bawah umur bisa dilakukan dengan berbagai cara. “Jawa Tengah punya modal sosial, politik, ekonomi yang bisa mencegah perwakinan anak. Berdirinya PKK di Indonesia juga diawali dari inspirasi Jawa Tengah saat itu. Dari segi keagamaan, Jawa Tengah juga memiliki pesantren dengan jumlah cukup banyak. Sementara untuk kekuatan ekonomi, industri banyaknya di Jawa Tengah. Ini modal besar sebenarnya,” ujarnya. Lies yang selama belasan tahun melakukan penelitian pernikahan usia anak di Jawa Tengah menilai ada korelasi antara hilangnya akses masyarakat terhadap lahan atau agrarian dengan jumlah perkawinan usia anak. Sehingga, perubahan politik ekonomi di pusat berpengaruh pada relasi gender. Menurutnya, banyak memiliki lembaga riset terbaik di Jateng yang mempunyai akses besar ke pusat. Hal itu bisa menempatkan Jateng menjadi tolok ukur pembangunan pencegahan perkawinan anak. “Harus ada lembaga pendidikan tingkat desa setingkat SMA. Harus ada lapangan kerja setelah anak-anak lulus SMA. Itu jalan keluar terbaik untuk mencegah perkawinan usia anak,” terangnya. Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret, Rahesli Humsona juga menyoroti fenomena tingginya angka pernikahan anak di Jawa Tengah. Menurutnya, pernikahan anak di bawah umur merupakan bentuk pelanggaran dari hak-hak anak, meski terdapat budaya masyarakat yang menempatkan kawin usia anak sebagai sebuah keharusan. “ Pernikahan anak adalah pelanggaran. Hak pendidikan anak menjadi hilang. Anak perempuan yang kawin tidak boleh sekolah. Ini membuat kesempatan berkreativitas juga terhambat. Ini juga memasukkan anak pada lingkaran kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun psikis,” terangnya. Dia berpendapat, kondisi ekonomi masyarakat yang berada di garis kemiskinan, juga menyebabkan kontrol orangtua kepada anak-anak menjadi lebih sedikit. “Orangtua lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja di bidang-bidang informal yang penghasilannya sedikit,” katanya. Selain itu, kata dia, penyebab lainnya adalah konsumsi video porno. “Ini akan meningkat pada situasi untuk mempraktikkan. Mereka yang malu akan mengajak pacarnya. Yang tidak punya pacar akan beralih ke prostitusi,” jelasnya. Dia menilai situasi pandemi juga turut mempengaruhi anak-anak lebih banyak mengonsumsi internet dengan alasan belajar daring. “Kondisi ini membuat anak-anak menjadi jenuh. Mereka ingin hiburan namun tidak bisa bebas keluar, sehingga konten porno di internet menjadi salah satu pelarian,” ungkapnya. Maka dari itu, dia mengingatkan para orangtua agar lebih sering mengawasi anak-anak saat mengonsumsi internet, sekalipun saat belajar daring. “Orangtua juga harus berani memanggil anak-anak mereka yang telah berpacaran, dan memberi pemahaman tentang pendidikan seksualitas yang benar,” pungkasnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Angka Pernikahan Anak di Jateng Naik Jadi 8.338 Kasus”, Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2020/11/21/17464361/angka-pernikahan-anak-di-jateng-naik-jadi-8338-kasus?page=all.
Penulis : Kontributor Semarang, Riska Farasonalia
Editor : Dony Aprian

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: 
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.