Kala Senjata Memberangus Pena
Kamis, 20 Maret 2025 menjadi pukulan telak demokrasi Indonesia. Setelah reformasi ditegakkan Mei 1998, kini upaya menghadirkan cita-cita perubahan itu kandas pasca pengesahan UU TNI. Salah satu amanat reformasi yang dulu digaungkan mahasiswa adalah mengembalikan tentara ke barak, tidak mencampuri urusan sipil. Lantas bagaimana jika TNI hendak masuk ke ranah sipil? Ia harus menanggalkan senjatanya, alias mundur sebagai anggota TNI. Setidaknya ini dapat dilihat dari kasus mundurnya Agus Harimurti Yudhoyono ketika hendak mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta.
Sebagai gambaran, bagi generasi yang tidak merasakan kehidupan di bawah rejim Orde Baru. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI—sebutan TNI kala itu), mempunyai wewenang yang amat banyak. Selain mempertahankan keamanan negara, ABRI juga diberikan kekuasaan untuk menjabat sejumlah urusan sipil. Bahkan, di perwakilan rakyat pun diberikan satu fraksi khusus, faksi ABRI.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Simpel saja, sebab presiden saat itu, Soeharto, memiliki gelar Mayor Jenderal. Sebuah pangkat tertinggi dalam pangkalan bersenjata ABRI. Hal inilah yang menjadi amanat reformasi ketika ribuan mahasiswa turun ke jalanan. 32 tahun Soeharto menjabat, pola pikir militerisme menghantui pemerintahannya.
Tak ada kebebasan berpendapat, semua yang mengkritik langsung dibabat. Banyak jurnalis yang diteror bahkan hilang hingga saat ini. Kalau boleh digambarkan, tak ada yang berani secara langsung mengkritik pemerintah. Semua mengikuti apa kata komandan, “Siap, Ndan”. Dalam bahasa lain, yang dilakukan saat itu hanyalah ABS, ‘Asal Bapak Senang’.
Semangat semacam itu, bukanlah kehidupan demokratis. Presiden menjabat seumur hidup, tak ada kata redup. Demo besar-besaran 1998 adalah upaya menggulingkan pemerintah sekaligus menyongsong kehidupan baru keluar dari bayang-bayang militer. Sipil sudah selayaknya berdikari di negeri sendiri.
Cita-cita reformasi itu kian mendapatkan angin segar di bawah pemerintahan Gus Dur. Melalui Tap MPR No. VI/MPR/2000 dan Keppres No. 89 Tahun 2000, Presiden Gus Dur menegaskan pemisahan peran antara militer dan institusi sipil serta memisahkan pula Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Perlu dipahami, sebelum reformasi, ABRI adalah gabungan dari Polri dan TNI Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU).
Ironinya, apa yang sudah dirintis oleh Gus Dur, diperjuangkan dan dipertahankan oleh koalisi masyarakat sipil, harus berakhir dengan disahkannya UU TNI yang baru ini. Mengapa undang-undang ini perlu dengan lantang ditolak?
Logical Fallacy Pembuatan Undang-undang
Pertama dan terutama, secara filsafat hukum, undang-undang ini cacat logika. Jika membaca naskah akademik yang beredar, sebagaimana dituturkan Prof. Karlina Supeli, undang-undang ini dibuat karena ada kepentingan mengakomodasi prajurit aktif TNI yang masuk ke dalam pemerintahan. Artinya, TNI sudah masuk dalam ranah sipil, sementara regulasinya masih nihil. Karena itulah undang-undang ini dibuat. Cara berpikir ini sungguh berbahaya. Dalam logika dikenal istilah post-factum. Artinya sudah dilakukan baru dibuat regulasinya. Padahal aturan seharusnya dibuat terlebih dahulu sebelum melahirkan kebijakan. Kalau kebijakannya ada terlebih dahulu, maka kebijakan itu cacat hukum dan harus ditolak.
Belum lagi persoalan pelibatan publik dalam perumusan undang-undang. UU TNI ini menjadi gambaran utuh semangat militerisme, saat sipil tak mendapatkan supremasi hukum. Rakyat tidak dilibatkan sama sekali dalam penyusunan aturan yang sangat berkaitan erat dengan hajat masyarakat. Alih-alih melibatkan rakyat, undang-undang ini justru dibuat di hotel mewah, saat presiden sendiri menginstruksikan pemberlakuan efisiensi kegiatan.
Hyper–masculinity dalam Penyelenggaraan Negara
Selain soal proses pembuatannya, undang-undang ini juga menyiratkan metode berpikir yang terlalu maskulin (hyper-masculinity). Hal ini dapat dilihat dari kehidupan militer yang memang dirancang sangat maskulin. Sampai ada anggapan bahwa pekerjaan TNI juga Polri, bukanlah tempat yang cocok bagi perempuan. Tentu maskulinitas berlebih ini dapat berimplikasi pada ketidakseimbangan dalam kehidupan bernegara. Sebab pada akhirnya memberangus dimensi feminim. Isu ini bukan hanya soal keterlibatan perempuan, tetapi juga pola pikir pemerintahan.
Menonjolkan aspek maskulin saja, akan berakhir pada penyelesaian urusan dengan kekerasan, ketegasan dan kepatuhan tanpa kata tapi. Padahal negeri ini pun dibangun dengan kesadaran femininitas. Kita mengenal istilah ibu pertiwi dan ibu kota. Istilah itu menyiratkan semangat keibuan dalam sebuah negara, selain penting juga menghadirkan semangat kebapakan. Namun, dengan penguatan militerisme, dimensi keibuan kian diredam dalam diam.
Hal ini bisa dilihat dari kasus terbaru, seorang TNI yang membunuh tiga polisi di Lampung, karena mengganggu bisnis sabung ayam yang diduga milik seorang pejabat TNI. Seorang prajurit aktif TNI, bersenjata, kemudian ditekan oleh keadaan, hal pertama yang dilakukan adalah membela dengan menodongkan senjata. Tidak terpikir olehnya untuk berdialog secara kekeluargaan. Dalam konteks menjaga pertahanan negara melawan penjajah, mindset itu memang diperlukan, tetapi tidak dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Apalagi dalam kasus ini, sang TNI juga bersalah karena melakukan bisnis haram.
Kasus tersebut menambah daftar panjang kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparat TNI atau Polri di tahun 2025 menjadi 9 kasus dengan 11 korban dari Januari hingga Maret. Data tersebut belum termasuk kasus-kasus pembunuhan di luar hukum seperti yang terjadi di Papua, kala aparat keamanan maupun aktor non-negara kerap melakukan pembunuhan di luar hukum dengan impunitas (Selengkapnya lihat di sini).
Mindset Militerisme dalam Pembangunan
Selain persoalan maskulinitas, pola pikir militerisme juga mempunyai catatan pelik dalam proses pembangunan negara. Analogi sederhananya, antara arsitek dan pemadam kebakaran dalam membangun kota, menyiapkan rancangan pembangunan serta eksekusinya. Seorang arsitek akan membangun kota dengan melihat sumber daya yang dimiliki, tantangan serta kebutuhan masyarakat. Sedangkan pemadam kebakaran itu harus bergerak cepat, selalu waspada dengan lingkungan sekitar.
Lantas bagaimana jika pemadam terlibat dalam merancang kota? Bisa jadi pemadam akan menerapkan kebijakan yang berorientasi pada ancaman. Seolah kota tersebut dalam bahaya kebakaran api yang perlu dipadamkan. Sehingga fokusnya adalah melakukan upaya pencegahan kebakaran dengan memperbanyak pengadaan alat pemadam. Padahal boleh jadi kota tersebut tidak membutuhkannya.
Pola pikir selalu terancam dan menerapkan kecurigaan berlebih justru dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan negara. Alih-alih melihat peluang kolaborasi dan kerja sama, justru semua dianggap punya potensi menjadi lawan sehingga harus menjaga jarak.
Sikap ini misalnya bisa dilihat di negara Korea Utara yang menutup dari dunia luar. Tentu Indonesia jauh lebih baik dari Korut, tetapi dengan kembalinya kekuatan militer, tidak menutup kemungkinan potensi-potensi itu bisa terjadi. Inilah yang perlu dikontrol bersama, bukan justru mengesahkan undang-undang TNI.
Dwifungsi ABRI/TNI yang Hidup Kembali
Memang beberapa pengamat mencatat bahwa mustahil dwifungsi TNI hidup kembali dengan undang-undang ini. Misalnya apa yang disampaikan oleh Prof. Mahfud MD dalam berbagai kesempatan menanggapi UU TNI. Tetapi, catatan kritis dari berbagai akademisi, jurnalis dan masyarakat sipil yang hingga hari ini keluarganya ‘hilang’ di masa Orba, perlu diperhatikan.
Terlebih ada indikasi besar dwifungsi TNI hidup kembali. Meski istilahnya tidak lagi menggunakan dwifungsi. Sebelum berbincang lebih lanjut soal dwifungsi, perlu dipahami apa maknanya secara sederhana. Sebagaimana diulas di bagian awal tulisan, setelah reformasi, Dwifungsi ABRI dicabut oleh Gus Dur. Artinya jabatan sipil hanya boleh dipimpin oleh orang yang tidak punya kewenangan membawa senjata. Kalau ABRI/TNI mau menjabat sipil, sebagai menteri, anggota DPR, gubernur, bupati dan jabatan sipil lainnya, maka ia perlu mengembalikan senjatanya ke negara. Alias mundur dari jabatan TNI. Setelah itu, dia berhak dipilih untuk menjabat publik.
Sayangnya, UU TNI memberikan kewenangan agar prajurit aktif TNI dapat rangkap jabatan dengan sejumlah jabatan lain. Ada 14 jabatan yang dibolehkan, yaitu: Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara; Pertahanan Negara/Dewan Pertahanan Nasional; Kesekretariatan Negara yang menangani urusan Kesekretariatan Presiden dan Kesekretariatan Militer Presiden; Intelijen Negara; Siber dan/atau Sandi Negara; Lembaga Ketahanan Nasional Search and Rescue (SAR) Nasional; Narkotika Nasional; Pengelola Perbatasan; Penanggulangan Bencana; Penanggulangan Terorisme; Keamanan Laut; Kejaksaan Republik Indonesia; dan Mahkamah Agung.
Dari beberapa jabatan tersebut, ada beberapa yang mungkin masih bisa diterima karena berkaitan dengan tugas keamanan juga, seperti Pertahanan Negara, Keamanan Negara, dan Intelijen Negara. Tetapi, dua jabatan terakhir, Kejaksaan dan Mahkamah Agung, agak jauh dari semangat TNI.
Belum lagi, ada sejumlah prajurit TNI aktif yang juga menjabat di luar 14 jabatan tersebut. Misalnya Mayjen TNI Irham Waroihan juga dimutasi menjadi Irjen Kementerian Pertanian (Kementan); Laksamana Pertama TNI Ian Heriyawan di Badan Penyelenggara Haji (BPH); Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog); Jenderal TNI Maruli Simanjuntak sebagai Komisaris Utama PT Pindad (Menantu Luhut Binsar Panjaitan); Laksamana TNI Muhammad Ali sebagai Komisaris Utama PT PAL Indonesia. Coba diperhatikan dan dibandingkan dengan seksama jabatan yang ada di UU TNI terbaru, banyak prajurit aktif TNI yang menjabat tidak sesuai fungsi TNI. Bagaimana bisa TNI mengurus pertanian, haji, Bulog, hingga bisnis usaha negara di bawah BUMN.
Mengancam Kebebasan Pers
Terakhir, penguatan TNI ke berbagai lini sipil ini juga akan mengancam kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat. Sebagaimana yang pernah terjadi di masa lalu. Tidak ada dialog, langsung main golok. Tidak ada diskusi, pokoknya dipersekusi. Tidak ada gerakan pena, semua ditodong senjata.
Semangat demokrasi jelas sulit diterapkan di tengah menguatnya militerisme. Orang tidak bisa bebas mengkritik karena dibayang-bayang ketakutan. Hari ini, kita menyaksikan, Redaksi TEMPO, media jurnalis independen yang selalu kritis sejak dulu ini mendapatkan ancaman teror: kepala babi dan bangkai tikus yang dikirim ke kantornya. Inikah semangat demokrasi?
Mengembalikan Marwah TNI: Pesan Profetik Kenabian
Tulisan ini dibuat bukan untuk menyerang fungsi TNI. Tentu kita pun harus fair. Ada banyak jasa pasukan bersenjata ini dalam menjaga negara. Justru di sinilah pentingnya mengembalikan marwah TNI ke asalnya. Mindset militerisme bukan berarti ditolak sepenuhnya, tetapi dikembalikan pada tempatnya. TNI yang menjaga negara ini di wilayah perbatasan, tentu harus bermental pemadam kebakaran, bukan pola pikir arsitek yang merancang kota.
Mengingat saat ini sedang bulan puasa, pesan profetik kenabian tentang profesionalitas dapat menjadi refleksi bersama. Suatu ketika Nabi bersabda:
“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu”.
Hadis ini menjadi catatan penting, ketika banyak TNI yang diberikan jabatan di luar keahlian dan kapasitasnya. Alih-alih menatap masa depan emas, bisa jadi yang tercipta adalah generasi cemas.
Saat ini, harga diri TNI dipertaruhkan dengan keterlibatannya pada jabatan sipil dan politik praktis. Dorongan yang besar dari masyarakat dan mahasiswa yang menolak UU TNI adalah bentuk cinta rakyat terhadap negara dan angkatan bersenjata. Bukan berarti TNI tidak dapat mengabdi pada negeri, tetapi semua sudah ada porsinya masing-masing. Jika ingin terlibat dalam kehidupan sipil secara aktif, maka tanggalkan gaman yang melekat di badan. Sebab rakyat tidak boleh digertak dan ditakuti dengan senapan.
Pada saat yang sama, senjata hanya bisa membunuh nyawa, tetapi tidak dapat memberangus cita yang bersenyawa.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!