Focus Group Discussion (FGD) Pencegahan Perkawinan Anak DIREKTORAT BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM KEMENTERIAN AGAMA RI
Jakarta, Selasa, 5 Desember 20017: DIREKTORAT BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM KEMENTERIAN AGAMA RI mengadakan FGD Upaya Pencegahan Kawin Anak, dihadiri perwakilan Lembaga, LSM dan peneliti pemerhati isu pencegahan kawin anak. Hadir Justine Johana (UNICEF), Muzaenah Zain (LKK PBNU), Farid Ahmad (BP 4 Pusat), Emamatul (LKK PBNU), Evie Permata Sari (Sapa Indonesia), Helwina Handayani (KPAI), Iklilah MDF (Universitas Indonesia), dan Mukti Ali (Rumah KitaB).
Acara dibuka Bapak Mohsen, Direktur Bina KUA dan KS dilanjutkan FGD yang dipandu Bapak Muhammad Adieb Mahrus dari Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah. Bapak Adieb lebih dulu menjelaskan tentang upaya pencegahan kawin anak dalam kebijakan pemerintah. Antara lain ia menyatakan bahwa, “Kelemahan Peraturan Pemerintah (PP) terkait Pencatatan Perkawinan No. 9/1975 tidak menegaskan kriteria ijin kawin dari orang tua. Ini berakibat pada ketidakjelasan ijin kawin dalam UUP, bahkan disalahpahamai sebagai ijin kawin secara umum. Padahal pada Pasal 45 dan 47 UUP 1/74 dikatakan bahwa “anak di bawah 18 tahun berada dalam perwalian dan orangtua wajib memelihara dan mendidik anak dengan sebaik-baiknya”. Dan dalam Pasal 49 dan 53 dinyatakan bahwa, “kekuasaan orang tua atau wali dapat dicabut jika melalaikan kewajiban atau berkelakukan buruk sekali”.
Bapak Adieb juga melanjutkan, dalam UUP tentang pencegahan/penolakan perkawinan dalam Pasal 13 dan 14 dinyatakan, “pihak yang berkepentingan wajib mencegah perkawinan yang tidak memenuhi syarat. Dan Pasal 21 dikatakan, “petugas wajib menolak perkawinan yang tidak memenuhi syarat”.
Sementara itu bagian Biro Hukum di Kementrian Agama RI menyatakan bahwa kendala menegakkan hukum di Indonesia adalah adaya pandangan keagamaan dan sebagian tokoh agamawan yang tidak terbuka dan juga adat yang sulit untuk menerima perubahan. Problem yang sampai sekarang masih belum selesai adalah adanya dualisme hukum, agama dan Negara atau hukum Negara dan hukum adat.
Sejumlah peneliti memberikan masukan terkait dengan strategi pencegahan kawin anak dan berbagi pengalaman penelitian. Misalkan yang sering dijelaskan para peneliti, yaitu soal fenomena kawin anak di Lombok yang diawetkan oleh tradisi merarik.
Justine Johana dari UNICEF, menjelaskan pentingnya kampanye pencegangan kawin anak. Ia mengusulkan kampanye stop kawin anak yang menyasar pada generasi sekarang, yang disebut sebagai generasi milennial. Misalkan dengan membuat meme-meme kreatif yang bisa diterima oleh kalangan remaja generasi milennial. Content-nya tidak usah panjang-panjang, cukup pendek dan singkat tapi mengena. Sebab jika terlalu panjang, malahan tidak dibaca. Karena generasi sekarang kurang hoby membaca. Atau membuat film dokumenter yang singkat.
Mukti Ali (Rumah KitaB) menjelaskan kegiatan Rumah KitaB dalam pencegahan kawin anak. Ia menyatakan bahwa Rumah KitaB sedang mengembangkan program BERDAYA untuk penguatan tiga elemen penting dalam pencegahan perkawinan anak yaitu tokoh formal dan non formal, orang tua, anak remaja perempuan sendiri. Rumah KitaB baru saja menyelesaikan asesmen kebutuhan untuk pencegahan kawin anak di wilayah urban di Bogor, Cirebon, Jakarta Utara, dan Makassar.
Rumah KitaB juga menerbitkan buku “Fikih Kawin Anak: Membaca Ulang Teks Keagamaan tentang Kawin Anak”. Tim Rumah Kitab mencoba menjelaskan bahwa sesungguhnya hukum perkawinan tidak tunggal, bisa sunnah, wajib, dan bahkan bisa haram. Misalkan seluruh ulama dalam kitab kuning menyatakan perkawinan yang akan menimbulkan madharat pada pasangan perempuan atau madharat bagi kedua pasangan adalah haram, seperti sang wali mengawinkan putrinya dengan lelaki tua renta dan pikun sehingga akan berdampak negatif bagi masa depan rumah tangganya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh perkawinan yang berdampak madharat. Jika mengacu pendapat para ulama tersebut, kalau memang kawin anak adalah madharat berdasarkan penelitian dari berbagai pakar maka tidak diperbolehkan.
Buku tersebut juga menjelaskan ulang tentang perwalian, yang disebut wali mujbir, dengan pemaknaan yang lebih tepat, yakni wali yang tidak dengan semena-mena mengawinkan anaknya dan tidak boleh memaksakan kehendaknya sendiri. Karena pemaksaan orang tua adalah salah satu faktor kawin anak. Dan tema-tema yang lain yang terkait juga dibahas di buku.
Seat ini Rumah KitaB sedang mempersiapkan diskusi berkala selama sepuluh bulan ke depan tentang konsep walayah (perwalian) dan qawamah (perlindungan). Pesertanya adalah para kiyai yang berbasis kitab kuning, aktivis perempuan, Peradilan Agama dan KUA.
Pada catatan akhirnya Mukti Ali menjelaskan soal tantangan dalam kampanye pencegahan kawin anak. Saat ini fundamentalisme agama sedang menguat. Sehingga, kawin anak kembali menguat. Sebagaimana kita saksikan bersama seorang ustadz tersohor mengawinkan putranya yang masih di bawah umur, dan perkawinannya disiarkan live oleh awak media Televisi. Sebagai public figure yang mempunyai pengikut, perkawinan tersebut menjadi percontohan dan sedikit banyak akan memperkuat kecenderungan kawin anak. Dan ini adalah tantangan bagi kampanye pencegahan kawin anak.
Di akhir acara, Mukti Ali menyerahkan buku “Fikih Kawin Anak” pada DIREKTORAT BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM KEMENTERIAN AGAMA RI yang diwakili oleh Bapak Muhammad Adieb Mahrus.[Mukti Ali]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!