VOA —
Bagi Nursyahbani Katjasungkana, pernikahan anak adalah bagian dari sejarah hidup yang memberinya trauma. Ketika pindah dari Madura ke Parelegi, Pasuruan pada tahun 1963, Nursyahbani menemukan banyak kawan baru. Namun, satu persatu kawan bermainnya itu dikawinkan oleh orangtua mereka ketika masih anak-anak. Suami mereka, biasanya 15 tahun lebih tua, dan perkawinan itu terjadi salah satunya karena tradisi dan faktor ekonomi.
“Dia masih kelas 5 SD, dia pernah tidak naik kelas, mungkin usianya waktu itu 14 tahun. Bagi saya itu seperti melihat pohon-pohon atau bunga-bunga yang baru mekar, dipuntes sampai habis, dan itu membuat saya menangis terus-menerus, meskipun saya juga lihat dia didandani, ada pesta besar, motong sapi, begitu ramai,” kata Nursyahbani.
Nursyahbani Katjasungkana. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Tiga hari setelah pesta itu, sang suami pulang ke desanya. Rupanya, kawan main Nursyahbani yang dikawinkan paksa itu, setiap malam mengikat sekujur tubuhnya dengan kain stagen.
Ketika masih tinggal di Madura, aktivis perempuan juga sering melihat ada pengantin anak yang dikawinkan secara paksa dengan pedagang sapi. Peristiwa-peristiwa itu menjadi trauma bagi Nursyahbani. Apalagi dia melihat sendiri bagaimana perjuangan para korban, seperti melarikan diri ke rumah nenek atau minggat. Anak-anak perempuan itu tetap mengikuti perintah orang tuanya untuk didandani dan dipestakan tetapi kemudian pergi.
“Dari situ saya bertekat menjadi pembela hak perempuan yang mengalami perkawinan anak dan berbagai diskriminasi. Bermula dari sanalah, cita-cita saya untuk menjadi sarjana hukum. Saya masih bertemu dengan teman saya itu, terakhir tahun lalu saya. Dia punya warung kecil, dan sudah menikah empat kali,” papar Nursyahbani yang kini Ketua Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia.
Perjuangan Satu Abad
Seperti juga Nursyahbani, kawin anak adalah peristiwa traumatis bagi banyak perempuan Indonesia lainnya, baik yang sekedar melihat atau mengalaminya secara langsung. Isu ini menjadi bagian dari sejarah Indonesia, termasuk bagaimana campur tangan pemerintah kolonial, pemerintah Indonesia dan perjuangan aktivis perempuan untuk menghapusnya.
Rumah Kitab, lembaga studi berbasis pesantren, menghadirkan sebuah laporan sejarah upaya pencegahan anak di Indonesia setidaknya selama 100 tahun terakhir. Infografis sejarah panjang ini, dipaparkan dalam Cakap Kamisan: Maju Mundur Perjuangan Pencegahan Perkawinan Anak, yang digelar Kamis (26/11).
Lies Marcoes dari Rumah Kitab menjelaskan, periodisasi isu kawin anak di Indonesia setidaknya bisa dibagi dalam lima era, yaitu Kolonial, Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.
Infografis 100 tahun perjuangan perkawinan anak kolonial – Orde Lama.
“Berangkat dari infografis ini, menggambarkan bahwa tiap zaman pada upaya pencegahan perkawinan anak, itu memiliki konteks sosial politiknya, yang tidak bisa diseret dari satu zaman ke zaman yang lain. Itu yang disebut momentum. Ada momentum yang menentukan kenapa isu itu dan bagaimana isu itu bisa diangkat,” kata Lies Marcoes.
Di era kolonial, kawin anak bukanlah sebuah isu karena dilakukan secara umum. Meskipun tokoh seperti RA Kartini sudah turut membincangkan hal ini. Pemerintah kolonial berperan melalui penghulu, berhadapan dengan tokoh agama. Karena sentimen kepada pegawai kolonial, masyarakat lebih memilih menikah di depan tokoh agama.
Era kemerdekaan dan Orde Lama diwarnai dengan pembangunan birokrasi pasca penjajahan. Tahun 1946 Kementerian Agama mulai berdiri, dengan Direktorat Kepenghuluan di dalamnya yang mengurus pernikahan, perceraian dan rujuk. Aktivis perempuan dalam berbagai organisasi mulai mengagendakan isu ini, yang sebenarnya sudah dimulai sejak era kolonial.
Infografis 100 tahun perjuangan perkawinan anak Orde Baru-Reformasi.
Ada perdebatan kuat di era Orde Baru ketika membicarakan usia pernikahan. Kalangan agama yang dimotori NU mengusulkan usia minimal 15 tahun, sedangkan aktivis perempuan yang dimotori oleh anggota DPR, Maria Ulfa, meminta usia 18 tahun. Orde Baru mengambil jalan tengah dengan menetapkan usia minimal 16 tahun dalam UU Perkawinan.
Orde Baru menekan kelompok fundamentalis, sehingga ide-ide terkait perkawinan anak mereka tidak muncul. Barulah di masa reformasi, kelompok ini memanfaatkan kebebasan berpendapat dengan ide-ide yang didasari teks ajaran agama.
“Atas nama demokrasi, di era reformasi fundamentalis bangkit dengan gagasan yang flash back ke belakang, yang menganggap perkawinan anak tidak boleh diatur dengan pandangan modern,” ujar Lies.
Kelompok ini, lanjut Lies, tidak mempermasalahkan perkawinan di bawah umur. Menurut mereka, yang harus menjadi masalah adalah problem perzinaan dan sejenisnya. Karena itulah, isu perkawinan anak kemudan masuk ke ramah akidah, atau sesuatu yang harus, dan tidak lagi masalah fikih yang membebaskan pilihan tergantung argumentasinya. Kelompok ini meyakini, agama tidak membicarakan angka umur dalam soal perkawinan. Lies menegaskan, sejak era reformasi ada kontentasi antara pandangan keagamaan dan hukum positif.
Ryan Febrianto. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Kawin Anak di Mata Milenial
Ryan Febrianto, peneliti Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA) Universitas Indonesia menilai ada celah dalam perjuangan penghapusan kawin anak di Indonesia. Dalam diskusi ini dia menyatakan, infografis yang disusun Rumah Kitab memperlihatkan bahwa advokasi isu ini, sejak era penjajahan hingga sekarang seolah dimonopoli kelompok sosial tertentu.
Ryan mempertanyakan, apakah ruang yang dibangun sekarang dalam gerakan stop perkawinan anak, adalah ruang inklusif untuk beragam anak dan kaum muda terlibat di dalamnya.
Dalam sebuah artikel berjudul Are Indonesian Girls Okay?, yang diterbitkan Jurnal Studi Pemuda, UGM,Yogyakarta, Ryan memaparkan bagaimana lembaga pembangunan masih memposisikan anak dan kaum muda sebagai individu rentan dan korban.
Perkawinan Anak di Indonesia. (Foto: Courtesy/Armin Hari)
“Alhasil berbagai inisiatif pencegahan perkawinan anak, luput mempertimbangkan agensi anak dan kaum muda yang kian berkembang bentuknya dalam memutuskan perkawinan. Cara pandang sempit melihat anak perempuan, luput terhadap peran anak laki-laki dalam isu perkawinan anak,” papar Ryan.
Ryan berharap, gerakan penghapusan kawin anak ke depan akan lebih banyak menyertakan anak muda. Dia meyakini, dalam keberagamannya, generasi muda memiliki kapasitas untuk melakukan perubahan.
Politisi milenial, Gemintang Kejora Mallarangeng mendesak perlunya keterlibatan generasi milenial secara aktif, tidak sekadar jargon. Mereka harus terlibat dalam penyusunan rencana gerakan sehingga kampanye yang dilakukan dapat efektif. Anak muda bisa menjadi bagian dari setiap gerakan organisasi, ikut menyusun strategi gerakan, atau menjadi juru bicara.
Saat ini, kehadiran generasi milenial dalam gerakan semacam ini sangat minim.
Gemintang Kejora Mallarangeng. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
“Karena tidak adanya representasi, bentuk-bentuknya menjadi tidak mengikuti perkembangan zaman. Salah satu yang digeluti anak muda sekarang, yang berbeda dibanding pergerakan zaman dulu adalah penggunaan teknologi, yang pastinya merupakan instrumen yang sangat penting di dalam pergerakan apapun itu, termasuk dalam hal ini, pernikahan anak,” kata Gemintang.
Di sisi lain, Gemintang justru melihat bahwa pola gerakan kelompok pro-pernikahan dini justru banyak mengadopsi gaya milenial, termasuk pemanfaatan platform teknologi yang ada. Kondisi ini menggambarkan kurangnya kehadiran generasi milenial dalam kampanye ini sepenuhnya. Akibatnya, banyak pesan-pesan penghentian perkawinan anak yang justru tidak sampai kepada generasi milenial saat ini. [ns/ab]
Sumber: https://www.voaindonesia.com/a/pertarungan-agama-dan-negara-100-tahun-perjuangan-pencegahan-kawin-anak/5678663.html