Peran Sosial Perempuan dan Kaitannya dengan Kepedulian Terhadap Lingkungan (2/2)

Peran Perempuan dalam Pengembangan Masyarakat dan Pelestarian Lingkungan

Peran perempuan tidak hanya sebatas di rumah saja, atau sebagai seorang ibu saja, meskipun peran tersebut sangat penting baginya di ruang domestik. Namun, dengan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya, perannya bisa semakin luas hingga menjangkau bidang-bidang yang lain di ruang publik.

Perempuan mempunyai bidang-bidang pekerjaan lain, sebab ia merupakan unsur efektif dalam proses pembangunan, merupakan unsur efektif dalam pemajuan kebudayaan bangsa, dan merupakan unsur efektif dalam menghadapi tantangan globalisasi yang semakin kompleks.

Perempuan mempunyai peran penting dalam menerapkan perilaku hidup bersih dan menjaga kelestarian lingkungan di sekitar tempat tinggalnya. Kepeduliannya terhadap rumahnya bukanlah satu-satunya cara menjaga lingkungan dan membebaskannya dari sampah untuk menyebarkan udara segar dan sehat di rumahnya saja, tetapi pekerjaannya melampaui batas-batas rumah; seperti mendorong pola hidup bersih dan sehat melalui praktik sederhana membuang sampah di tempat umum, taman, gedung pemerintahan, dan sekitar pemukiman warga, serta menjaga kebersihan fasilitas dan jalanan umum.

Deklarasi Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan, yang diadakan pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil, menyatakan seruan “untuk mengakui peran perempuan, dan bahwa mereka harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan ekonomi dan politik. Mereka juga harus dilihat sebagai inovator, aktivis, pelestari lingkungan, pengelola sumber daya alam, dan mampu melakukan perubahan di semua lapisan masyarakat. Karena itu, harus ada kesetaraan antar jenis kelamin, tidak hanya perhatian terhadap perempuan, dan itu harus menjadi pilar dasar”.

Seruan ini datang dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena perempuan, pada dasarnya, di banyak negara berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, dengan bekerja di luar rumah di sektor pendidikan, kesehatan, teknik, dll. Di daerah-daerah pedesaan kita kerap menemukan banyak perempuan yang bertanggungjawab mencari dan menyiapkan makanan sehari-hari untuk keluarga, mencari sumber-sumber energi, bekerja di ladang dan sawah, dan beternak. Semua pekerjaan ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan lingkungan.[]

_______

Referensi

  • Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrîr al-Mar`ah fî ‘Ashr al-Risâlah, Kuwait: Dar al-Qalam
  • Bakr ibn Abdillah Abu Zaid, Harâsah al-Fadhîlah, Rabat: Dar al-Ashimah, 2000
  • Fathi Dardar, al-Bî`ah fî Muwâjahah al-Talawwuts, Aljaza’ir: Dar al-Amal, 2003
  • Khalijah Muhammad Shalih, Dawr al-Mar`ah al-Muslimah fî Muwâjahah Tahaddiyât al-Awlamah, Malaysia: Multaqa al-Ulama al-Alami, 11 Juli 2003
  • Lauren Elyouth, al-Siyâsah al-‘Âlamîyyah li al-Bî`ah, 2017
  • Mahmud Muhammad al-Jauhari, Mâdzâ Qaddama al-Islâm li al-Mar`ah, Kairo: Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr, 1997
  • Majalah al-Arabi, “al-Insân wa al-Bî`ah“, Vol. 500, Juli 2000
  • Muhammad Abu Zahrah, al-Takâful al-Ijtimâîy fî al-Islâm, Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.
  • Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, al-Islâm wa al-Mar`ah, Aqîdah wa Manhaj, Aljazair: al-Thariq li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1990
  • Wahbah al-Zuhaili, al-Milkîyyah wa Tawâbi’uha, Damaskus: Universitas Damaskus, 1988
  • Yusuf al-Qaradhawi, Markaz al-Mar`ah fî al-Hayâh al-Islâmîyyah, Amman: Dar al-Furqan, 1417 H

Peran Sosial Perempuan dan Kaitannya dengan Kepedulian Terhadap Lingkungan (1/2)

Islam menghormati perempuan dengan penghormatan luar biasa. Tak terhitung jumlah hak yang diberikan kepada perempuan. Bukan sebatas memulihkan harkat dan martabatnya, melainkan juga melibatkannya dalam berbagai tanggungjawab seperti halnya laki-laki demi mewujudkan tujuan ibadah kepada Tuhan.

Teks-teks al-Qur`an dan sunnah menegaskan sifat saling melengkapi di antara keduanya. Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan perbuatan orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan,” [Q.S. al-Imran: 195]; “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana,” [Q.S. al-Taubah: 71]. Dalam artian, keduanya turut serta dan saling melengkapi dalam melaksanakan tanggungjawab dan tugas yang dibebankan Tuhan kepada mereka di dunia ini.

Saling melengkapi dan ikut serta dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepada keduanya oleh syariat, tidak menjadikan syariat mengabaikan fitrah perbedaan di antara keduanya sehubungan dengan fungsi bawaan yang membedakan satu dari yang lainnya; pada mulanya keduanya adalah dua individu yang muncul dari satu pasangan, terpisah satu sama lain karena masing-masing menjalankan tugasnya. Syaikh Mutawalli al-Sya’rawi mengatakan dengan sangat baik mengenai hal ini:

 

Kata imra`ah berarti padanan bagi rajul. Imra`ah berarti perempuan, dan rajul berarti laki-laki. Jika kita perhatikan, kita akan menemukan bahwa ada spesies yang menyatukan keduanya, yaitu manusia. Maksud saya, spesies adalah asal mula dua jenis, yaitu individu-individu yang setara, dan tidak ada perbedaan dalam komposisi aslinya. Oleh karena itu, kita harus mengatakan bahwa spesies itu dibagi menjadi dua jenis untuk melakukan dua tugas yang berbeda. Jika tidak, jika misinya sama, spesies tersebut tidak akan membelah dan tetap menjadi satu, dan pembagian ini menunjukkan bahwa masing-masing mempunyai ciri-ciri yang menunjukkan jati dirinya.”

 

Karena itu, dalam syariat terdapat ketentuan-ketentuan umum bagi keduanya sehubungan dengan tugas-tugas yang keduanya lakukan dan ikut serta di dalamnya. Syariat juga memiliki ketentuan-ketentuan khusus untuk masing-masing dari keduanya yang sesuai dengan fitrah keduanya. Tidak ada perbedaan antara tanggungjawab moral, sosial, politik, keilmuan, intelektual, dan lainnya, selain pengecualian yang secara tegas didefinisikan oleh syariat.

 

Peran Sosial Perempuan

Bagian ini akan fokus pada peran sosial partisipasi perempuan. Dalam hal ini kita memiliki teladan yang baik dalam dalam sîrah Nabi Saw., yaitu ketika para sahabat perempuan, dan sebelum mereka ummahât al-mu`minîn (istri-istri Nabi Saw.) terlibat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, dengan keluar untuk belajar dan mengajar.

Bukan rahasia lagi bahwa para sahabat perempuan ini telah meminta kepada Nabi Saw. untuk menyediakan hari khusus bagi mereka sendiri saja (supaya mereka juga bisa belajar bersama Nabi Saw.). Kemudian mereka pergi untuk bertani, membajak, menggembalakan hewan ternak, dan berdagang, bahkan mereka juga ikut di dalam rombongan mujahidin (para pejuang dalam perang), baik sebagai petarung atau perawat, atau paramedis bagi yang sakit dan terluka, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang dengannya para sahabat perempuan menunjukkan bahwa seorang perempuan Muslim dapat menjadi anggota aktif kehidupan masyarakat bila mereka menginginkannya, sebagai respons terhadap kebutuhan hidup yang serius dan aktif.

Tentu saja itu merupakan suasana yang sangat hidup di bawah naungan syariat yang tidak melabrak moral dan melanggar kesopanan. Para sahabat perempuan diberi hak untuk memilih pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. Saat itu para perempuan bisa bekerja untuk mendapatkan upah di beberapa tempat, atau melayani masyarakat dan membantu sesama perempuan, dan berkontribusi dalam perjuangan melawan kemiskinan, kebodohan, penyakit, dan kejahatan.

Peran perempuan sebagai khalifah di muka bumi dapat dijalankan dengan berbagai cara sesuai dengan kecenderungan, spesialisasi, keinginan, dan tentunya kesempatan, karena setiap orang diciptakan untuk apa yang mungkin baginya, sebagaimana dianjurkan oleh Nabi Saw.

 

Peran Penting Perempuan dalam Pendidikan Lingkungan

Dalam keadaan apa pun, peran penting seorang perempuan dalam keluarga di antaranya, bersama laki-laki, adalah membesarkan putra-putrinya. Seorang perempuan harus menyadari fungsi eksistensialnya dalam kehidupan dunia, yaitu melahirkan keturunan sebagai penerus (khalifah), dan mereka adalah putra-putrinya. “Peran penting perempuan tidak akan berubah. Ia harus melanjutkan proses reproduksi manusia. Hal ini tidak hanya untuk kelangsungan hidup umat manusia, tetapi juga untuk memberinya pengalaman mengambil manfaat dan menikmati berkah menjadi perempuan dan kemudian menjadi ibu.”

Perempuan, atau lebih tepatnya ibu, ketika menjalankan peran vitalnya dalam kehidupan “keibuan”, harus memanfaatkan perannya sebagai ibu dalam mempersiapkan generasi mendatang untuk mewujudkan suksesi kehidupan, melalui pengasuhan alamiah (makanan, pakaian, dan kebersihan), kemudian pendidikan sosial dan agama. Di sini, ibu adalah pelaksana penyebaran prinsip, nilai dan ajaran agama kepada putra-putrinya. “Seorang ibu harus giat memperkuat fondasi keluarga dan membesarkan putra-putrinya dengan pemahaman yang benar dan tekad yang tulus; untuk mengubah realitas bangsa menjadi lebih baik.”

Dalam menjalankan pekerjaannya sehari-hari, seorang ibu merepresentasikan teladan hidup bagi putra-putrinya, teladan seseorang yang bekerja dan aktif menghadapi kesulitan hidup dalam rangka beribadah kepada Tuhan. Setiap orang memainkan perannya dengan penuh kesabaran, kejujuran, dan tekad yang kuat untuk berubah; mengubah suasana rumah dari menjadi rumah yang bersih, teratur, tenang, dan sehat, atau mengubah pola perilaku, persepsi, dan pikiran.

Anak yang terlahir adalah sebuah kertas kosong, maka sang ibu mempunyai peran penting dan mendasar untuk mengisinya, dan menuliskan di atasnya segala sesuatu yang diinginkannya dari anaknya, dan dengan melakukan itu ia berangkat dari kesadarannya akan perannya sebagai manusia yang menjadi khalifah di muka bumi; kepada putra-putrinya, kepada rumah tangganya, kepada masyarakatnya, kepada agama, bangsa dan negaranya.

Segala sesuatu yang dituliskan ibu di dalam benak anaknya menunjukkan ketulusannya, yang memperlihatkan sejauh mana kesadaran, pengetahuan, intelektualitas, dan pemahamannya terhadap peran penerusnya.

Ibu bertanggungjawab menyebarkan konsep dan budaya kebersihan, keindahan, dan wewangian di rumah. Ia bertanggungjawab mengubah prinsip kebersihan menjadi perilaku halus dan beradab yang diikuti oleh seluruh anggota keluarga di dalam rumah. Dari sini kemudian berlanjut ke lingkungan eksternal kecil, lalu lingkungan umum. “Kebersihan adalah perilaku yang diupayakan dan dapat kita pelajari sebagai hasil didikan yang dengannya kita tumbuh dan berkembang.”

Mengendalikan anak ketika masih kecil jauh lebih mudah daripada mengendalikannya ketika sudah dewasa. Mengajari dan mendidik anak ketika masih kecil jauh lebih mudah daripada mendidiknya ketika sudah dewasa. Maka benarlah pepatah yang mengatakan: “Belajar di Waktu kecil seperti mengukir di atas batu.”

Pendidikan lingkungan dimulai sejak bulan-bulan pertama kehidupan seorang anak, yaitu ketika ibu menanamkan di dalam dirinya perilaku kebersihan dan pelestarian lingkungan. Proses penanaman perilaku kebersihan berlanjut bahkan saat ia duduk untuk buang hajat, sehingga ia belajar bahwa setiap tindakan memiliki prinsip yang mengikuti, karena ia bukanlah binatang yang makan kapan pun ia mau dan buang hajat di mana saja di lingkungannya.

Ketika seorang ibu membuang sampah, ia akan membuangnya di tempat yang telah ditentukan untuk membuang sampah. Anak akan melihat perilaku ini dan menyimpannya dalam ingatannya hingga suatu hari ia dapat menerapkan perilaku tersebut.

Demikian seterusnya, dan seiring berjalannya waktu anak tersebut tumbuh dan berkembang hingga ia menjadi dewasa, di mana ia mempelajari banyak perilaku dan mekanisme yang dilatih oleh ibunya. Sang ibu tidak perlu menyuruhnya, “Jangan buang sampah dari jendela!”, sebab ia belum pernah melihat ibunya melakukan hal itu. Sang ibu juga tidak perlu menyuruhnya untuk membersihkan debu dari karpet atau taplak meja, sebab ia sering melihat ibunya melakukan itu.

Ketika seorang ibu mengajak seluruh anggota keluarganya pada saat libur sekolah atau hari libur nasional untuk melakukan pembersihan menyeluruh, mulai dari dapur, kamar tidur, hingga kamar mandi, kemudian menata pakaian, buku dan perlengkapan sekolah, mengelap sepatu, kemudian membersihkan bagian luar rumah, mengejawantahkan sabda Nabi Saw.: “Sesungguhnya Allah Maha Baik, dan menyukai kepada yang baik, Maha Bersih dan menyukai kepada yang bersih, Maha Pemurah, dan menyukai kemurahan, dan Maha Mulia dan menyukai kemuliaan, karena itu bersihkanlah diri kalian,” [H.R. al-Tirmidzi] maka dengan perilakunya ini ia telah menanamkan nilai-nilai keteraturan dan ketertiban, yang diwakili oleh kebersihan dan kepedulian terhadap lingkungan tempat ia tinggal. Dan dengan itu ia telah mentransformasikan prinsip dan nilai menjadi perilaku dan tindakan yang beradab di hati seluruh anggota keluarga kecilnya.

Perempuan dapat mengambil peran berharga ini di rumahnya, dan ia bisa mengukuhkan jati dirinya. Dengan melakukan hal ini, ia menghilangkan perbudakan dirinya dengan memerankan diri sebagai subjek yang mandiri, dan dengan cara ini ia juga dapat mengisi kesenjangan yang seharusnya dapat ia jembatani berupa penanaman nilai-nilai luhur di keluarga kecilnya.

Kesadaran perempuan akan diri dan perannya sebagai pelindung keluarga serta penjaga nilai dan prinsip, berarti, dalam skala nilai, ia sadar sepenuhnya akan peran dan hakikat dirinya, keberadaan dan fungsinya, dan bahwa ia adalah khalifah Tuhan di muka bumi.

Perempuan berakal, yang menyadari perannya sebagai pelindung keluarga, menyadari sepenuhnya bahwa celah di dalam rumah tangganya dapat diisi olehnya, di mana ia akan mengurus putra-putrinya, dan dengan demikian berkontribusi dalam membangun masyarakat serta menjaga stabilitas, ketahanan, dan keamanannya. Dengan mengikuti seruan akal sehatnya, ia akan mengamankan stasiun di salah satu perbatasan yang paling rawan, yaitu mengurus rumah tangga dan membesarkan putra-putrinya, mendidik dan membekali mereka agar mereka tidak mudah terpengaruh oleh paham-paham yang merusak.

 

Bersambung….

Kesadaran, Peran Sosial, dan Kepedulian terhadap Lingkungan (3/3)

Unsur-unsur Menjaga Lingkungan dari Aspek Ketiadaan

 

Pengendalian Pencemaran Lingkungan

 

Apa yang dimaksud dengan pencemaran lingkungan? “Kita katakan bahwa lingkungan hidup ini tercemar apabila keseimbangan senyawa-senyawa di dalamnya terganggu, karena prinsip dasar dalam lingkungan hidup adalah keseimbangan antara senyawa-senyawa organik dan non-organik, dan yang dimaksud dengan keseimbangan adalah keserasian dan kebersihan.”

 

Polusi dianggap sebagai salah satu praktik paling negatif yang dilakukan manusia terhadap lingkungan dengan menghabiskan sumber dayanya, melanggar keseimbangan vital di dalamnya, dengan membunuh hewan, membakar pohon, dan mencemari lingkungan secara umum karena penyebaran gas beracun yang dikeluarkan oleh pabrik, kendaraan, dan mesin pengangkut, serta akibat pembuangan limbah pabrik ke laut, atau penguburannya di bawah tanah, yang mengakibatkan keracunan organisme darat dan perairan, selain akibat tenggelamnya kapal-kapal tanker minyak di lautan, atau bahan beracun dan limbah yang mereka buang.

 

Sumber dan lokasi pencemaran cukup beragam, tidak hanya terjadi di udara saja, melainkan pencemaran di tanah, dan pencemaran di air, yang dampaknya tidak hanya terhadap makhluk hidup saja, namun juga terhadap manusia sendiri. Sebuah penelitian membuktikan bahwa “jumlah kematian akibat polusi udara adalah 180.000 setiap tahunnya. Di Tiongkok saja, 75 juta orang menderita asma setiap tahunnya.”!

 

 

1 – Hak Masyarakat atas Lingkungan yang Bersih

 

Merupakan hak manusia atas sesamanya untuk hidup dalam suasana yang suci dan lingkungan yang bersih. Jika ia berjalan di jalan raya, ia tidak akan terhalang oleh batu, sampah, atau air kotor. Dan jika ia beristirahat dan memulihkan diri, ia tidak akan diganggu oleh bau kotor di dekat pohon tempat ia berteduh, atau di  pantai dekat tempat ia merasa nyaman untuk tidur. Nabi Saw. bersabda: “Menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah.”

 

Nabi Saw. bersabda: “Hati-hatilah dengan orang yang dilaknat oleh manusia!’ Para sahabat bertanya, ‘Siapa itu orang yang dilaknat oleh manusia, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, ‘Mereka adalah orang yang buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya manusia,” [H.R. Muslim].

 

Makna dari hadis ini adalah bahwa orang yang mengganggu jalan dan tempat duduk manusia, ia akan dimusuhi dan dilaknat.

 

Mengganggu jalan manusia atau di bawah naungannya adalah salah satu dosa besar, termasuk jalan menuju rumah, pasar, desa, sumber air, dan setiap tempat yang mereka duduki untuk mendapatkan manfaat, dan ini meliputi pasar, taman, dan lain-lain.

 

Kita melihat hadis tersebut mengandung dua hal: pertama, larangan mengganggu dan membuang hajat, air seni atau kotoran/sampah di tempat-tempat yang sering dikunjungi manusia. Kedua, hukuman bagi siapa pun yang melakukan perbuatan tercela berupa laknat dari masyarakat sehingga ia termasuk golongan orang-orang zhalim yang terlaknat.

 

Disebutkan juga dalam sunnah Nabi, dalam konteks yang sama, bahwa dilarang membuang air kecil di air yang tergenang, dan dilarang buang air besar di jalanan, di tempat-tempat teduh, atau di sumber-sumber air. Nabi Saw. bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian kencing di air yang menggenang kemudian dia mandi darinya,” [H.R. Muslim] [28]. Nabi Saw. juga melarang buang air kecil di air yang tergenang.

 

Departemen Kesehatan dan Dinas Kebersihan di kota bertanggung jawab mengatur masalah ini dengan membangun toilet-toilet umum di wilayah perkotaan, dan mendirikan tempat peristirahatan di jalan raya antar daerah dan wilayah sehingga para pelancong tidak kesulitan buang air besar dan kecil.

 

Kita melihat bahwa hadis-hadis Nabi Saw. di atas dengan sangat jelas mengatur kebersihan dengan memberikan peringatan keras bagi siapa pun untuk tidak membuang kotoran/sampah di sembarang tempat sehingga merugikan orang lain. Di sini Islam telah menetapkan dasar-dasar kemaslahatan sebelum peradaban saat ini menyadarinya.”

 

 

2 – Melakukan Cara Terbaik untuk Membuang Air Bekas dan Limbah Pabrik

 
Banyak negara maju, dan beberapa negara berkembang, menerapkan teknologi daur ulang dan penggunaan sampah dengan segala jenisnya, seperti kaca, kertas, dan plastik. Selain limbah-limbah ini, semuanya dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur di dalam tanah. Contoh kecil yang bisa disebutkan adalah dampak buruk yang ditimbulkan oleh kantong plastik yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari saat berbelanja terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Hal ini harusnya mendorong Kementerian Lingkungan Hidup untuk membunyikan alarm bahaya dan segera membentuk sebuah komite khusus guna meneliti kemungkinan memproduksi secara massal tas biodegradable atau tas ritel.

 

Langkah-langkah ini dan langkah-langkah lain semuanya terfokus pada upaya melestarikan lingkungan dan mengurangi produksi limbah.

 

Begitu pula dengan air limbah yang didaur ulang dan diolah untuk digunakan kembali, khususnya dalam bidang penyiraman tanaman kosmetik.

 

Proses ini sangat efektif dan penting bagi lingkungan hidup, serta mendatangkan banyak manfaat. Kalau proses-proses ini tidak diintegrasikan ke dalam pembangunan ekonomi, tentu akan sangat merugikan lingkungan dengan membuang limbah dan membuang air yang tidak layak ke laut dan sungai atau menguburnya di daratan. Akibatnya, itu akan merusak tanaman dan organisme laut, sehingga dapat membahayakan kesehatan manusia sendiri karena ia akan mengkonsumsi hasil tanaman dan makhluk laut!

 

 

3 – Melindungi Sumber Daya Hewani dari Penipisan dan Kepunahan

 
Selain peduli pada tumbuhan, Islam juga peduli pada hewan. Berburu binatang, baik yang liar maupun yang hidup di air, diperbolehkan dan baik, tetapi Islam mengharamkan pembunuhan hewan jika tidak ada manfaatnya, atau hanya untuk pemborosan (kesia-siaan) yang mengancam keberadaan hewan sebagai salah satu makhluk Tuhan. Diriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda: “Tidak seorang pun yang membunuh Usfur (sejenis burung pipit) atau yang lebih kecil tanpa hak kecuali Allah akan menanyakannya di hari kiamat. Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa haknya?’ Beliau menjawab, ‘Haknya adalah menyembelihnya lalu memakannya dan tidak dipotong kepalanya lalu dibuang,” [H.R. al-Hakim].

 

Diriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda: “Barang siapa yang membunuh seekor burung hanya sekedar beramain-main/senda gurau, burung itu akan berteriak mengadu kepada Allah, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya Si fulan membunuh saya hanya sekedar bermain-main saja, dan tidak membunuhku untuk dimanfaatkan.”

 

Nabi Saw. juga bersabda: “Andaikata anjing itu bukan sebagai satu bangsa dari bangsa-bangsa yang ada, akan aku perintahkan untuk membunuh semua anjing. Bunuhlah anjing yang hitam legam.”

 

Kita tentu bertanya-tanya: Apakah hadis ini benar-benar menunjukkan gagasan untuk melestarikan beberapa spesies hewan dari kepunahan?

 

Hal ini mungkin ada benarnya jika kita melihat penjelasan dari Imam al-Khaththabi yang mengatakan: “Artinya beliau tidak menyukai pemusnahan suatu bangsa, dan pemusnahan satu generasi dari makhluk Allah hingga musnah seluruhnya tanpa sisa, karena tidak ada ciptaan Allah Saw. yang tidak mengandung hikmah dan maslahat.”

 

Dari Abu Hurairah: “Ada semut yang menggigit seorang nabi dari nabi-nabi terdahulu lalu nabi itu memerintahkan agar membakar sarang semut-semut itu. Maka kemudian Allah mewahyukan kepadanya, firman-Nya: ‘Hanya karena gigitan sesekor semut maka kamu telah membakar suatu kaum yang bertasbih,” [H.R. al-Bukhari].

 

Kita mempunyai kisah tentang seseorang yang masuk surga karena ia memberi air kepada seekor anjing yang terengah-engah karena kehausan, juga kisah tentang seseorang yang dimasukkan ke neraka karena ia mengurung seekor kucing dan tidak memberinya makan atau membiarkannya memakan hama di bumi.

 

Nabi Saw. bersabda: “Apabila kalian bepergian ke tempat yang subur, berikanlah unta itu bagiannya dari bumi. Apabila kalian bepergian ke tempat yang gersang, maka percepatlah perjalanannya, dan segerakanlah (sebelum habis) sumsumnya. Apabila kalian bermalam maka jauhilah jalanan, karena itu adalah lalu lintas binatang-binatang tunggangan yang lain dan binatang-binatang melata di waktu malam,” [H.R. Muslim].

 

Inilah akhlak terhadap makhluk hidup yang ada di lingkungan hidup kita, perilaku yang dengannya kita berupaya melestarikan dan menjaga lingkungan tersebut. Maukah kita mengikuti perilaku ini, dan menanamkan pada generasi kita dan generasi mendatang kesadaran lingkungan akan pentingnya budidaya tanaman, perlindungan hewan dan pelestariannya dari kepunahan?

 

 

4 – Keamanan Lingkungan

 

Istilah ini muncul setelah Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro pada tahun 1992 M, “Ini merupakan istilah baru yang isinya banyak kontroversi, mencakup lingkungan hidup dan keamanan, serta kekerasan dan perang sebagai penyebab kerusakan lingkungan.” Karena tidak dapat disangkal dampak negatif dan jangka panjang dari kolonialisme, pendudukan, dan perang saudara terhadap pertanian dan generasi manusia. Selain membunuh orang, hal tersebut juga menghancurkan lahan pertanian yang berubah menjadi benteng pertahanan tentara dan mengeksploitasi lingkungan menjadi senjata pemusnah yang menyeluruh, selain pergerakan kendaraan-kendaraan dan alat-alat militer di lahan-lahan pertanian dan penggalian parit.

 

Semua kita tahu apa-apa yang ditinggalkan oleh perang-perang dalam bentuk ranjau dan bahan peledak yang ditanam di tanah yang menghancurkannya dan mengubah komposisi kimianya. Belum lagi apa yang terjadi pada hewan dan organisme hidup yang tidak aman dari peluru dan meriam, dan apa yang mereka derita ketika sumur minyak tumpah dan terbakar, seperti yang terjadi pada Perang Teluk pertama dan kedua.

 

Segala hal yang menyertai peperangan mempunyai dampak terhadap lingkungan secara umum, berupa pencemaran air dan tanah, pencemaran udara yang dipenuhi dengan bau pembunuhan dan pembusukan, penyakit-penyakit yang disebarkannya yang membunuh manusia, dan memburuknya kesehatan masyarakat. Meskipun Perang Dingin telah berakhir, di gurun Nevada Amerika terdapat unsur kimia “iodine-131″, sisa dari ledakan nuklir. Unsur ini menyebabkan kasus kanker tiroid di kalangan orang Amerika, yang jumlahnya berkisar antara 11.300 hingga 212.000 kasus.!!

 

 

5 – Menetapkan Undang-undang dan Perundang-undangan Lingkungan hidup yang Memberikan Efek Jera

 

Pemerintah mempunyai peran besar dan efektif dalam membuat undang-undang dan peraturan yang melindungi hak atas lingkungan hidup dari ketidakadilan manusia. “Aktivitas manusia mengubah lingkungan secara negatif, dan dengan cara yang berbeda dengan yang terjadi di era-era lain, dengan upaya besar dan berlebihan untuk mengeksploitasi sumber daya alam, menghabiskan energi dengan cara yang tidak teratur dan membahayakan kehidupan, industrialisasi, dan elaborasi pertumbuhan ekonomi. Semua ini terkait dengan kerusakan lingkungan hidup negara.”

 

Peran pemerintah harus ditunjukkan secara kuat dalam mencegah tindakan pengurasan dan sabotase sumber daya alam, serta eksploitasi destruktifnya. Pencegahan dan sanksi adalah kunci untuk mengintimidasi masyarakat. Tanpa adanya hukum pidana, penindasan manusia terhadap lingkungannya akan terus berlanjut.[]

———————
Referensi

 

1. Muhammad ibn Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, Amman: Dar al-Nafa’is, 1999

2. Yusuf al-Qaradhawi, al-Sunnah Mashdar li al-Ma’rifah wa al-Hadharah, Kairo: Dar al-Syuruq, 2002

3. Yusuf al-Qaradhawi, Kayfa Nata’mal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, Ma’alim wa Dhawabith, t.t.

4. Wahbah al-Zuhaili, alMilkiyyah wa Tawabi’uha, Damaskus: Universitas Damaskus, 1988

5. Muhammad Abu Zahrah, alTakaful al-Ijtima’iy fi al-Islam, Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.

6. Fathi Dardar, alBi’ah fi Muwajahah al-Talawwuts, Aljaza’ir: Dar al-Amal, 2003

7. Abdul Qadir Halimi, “Talawwuts al-Bi’ah“, Majalah al-Ashalah, Aljazair: Wizarah al-Ta’lim al-Ashli wa al-Syu’un al-Diniyah, 1975

8. Majalah al-Arabi, “al-Insan wa al-Bi’ah“, Vol. 500, Juli 2000

9. Abdul Hamid ibn Badis, Majalis al-Tadzkir min Hadits al-Basyir al-Nadzir, Aljazair: Mathbu’at Wizarah al-Syu’un al-Diniyyah, 1983

10. Koran al-Syuruq al-Yawmi, Vol. 1549, Kamis 1 Desember, 2005

11. Ahmad al-Khamlisyi, Wijhah Nazhr, Ribath: Dar al-Ma’rifah, 1998

12. Bakr ibn Abdillah Abu Zaid, Harasah al-Fadhilah, Ribath: Dar al-Ashimah, 2000

13. Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, al-Islam wa al-Mar’ah, Aqidah wa Manhaj, Aljazair: al-Thariq li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1990

14. Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrir al-Mar’ah fi ‘Ashr al-Risalah, Kuwait: Dar al-Qalam

15. Yusuf al-Qaradhawi, Markaz al-Mar’ah fi al-Hayah al-Islamiyyah, Amman: Dar al-Furqan, 1417 H

16. Khalijah Muhammad Shalih, Dawr al-Mar’ah al-Muslimah fi Muwajahah Tahaddiyat al-Awlamah, Malaysia: Multaqa al-Ulama al-Alami, 11 Juli 2003

17. Mahmud Muhammad al-Jauhari, Madza Qaddama al-Islam li al-Mar’ah, Kairo: Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr, 1997

 

Kesadaran, Peran Sosial, dan Kepedulian terhadap Lingkungan (2/3)

Unsur Pelestarian Lingkungan

 

Unsur-unsur pelestarian meliputi landasan-landasan perlindungan dari aspek keberadaannya di satu sisi. Hal ini mencakup segala upaya guna menjamin keberlangsungan unsur-unsur lingkungan hidup dengan sebaik-baiknya.

 

Di sisi lain, landasan perlindungan dari ketiadaan yang mencakup pertahanan dan kepedulian untuk menjaga lingkungan hidup dan unsur-unsurnya dari gangguan negatif manusia, serta melindunginya dari segala jenis limbah, perusakan, dan bentuk-bentuk kerusakan lainnya.

 

 

Unsur-unsur Pelestarian Lingkungan dari Aspek Keberadaannya

 

Pertama, Dorongan untuk Bercocok Tanam

 

Terdapat banyak ketentuan dalam hukum Islam yang legalitasnya menunjukkan minat yang sangat besar terhadap pertanian dan dorongan terhadapnya. Sebab di dalamnya mengandung manfaat dan kemaslahatan bagi manusia sendiri, seperti hukum-hukum yang berkaitan dengan bercocok tanam, pengairan, dan menghidupkan tanah-tanah yang mati. Semua ini menunjukkan sejauh mana minat Islam dalam memakmurkan bumi dengan menggunakan metode pertanian dan menghidupkan tanah-tanah yang mati. Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa yang memiliki lahan hendaklah dia tanami atau dia berikan kepada saudaranya untuk digarap,” [H.R. al-Bukhari]. Hal inilah yang membuat para sahabat tidak segan-segan sedikitpun untuk bertani dan memberikan dorongan untuk melakukannya. Imarah ibn Khuzaimah ibn Tsabit berkata: “Aku mendengar Umar ibn al-Khaththab berkata kepada ayahku: ‘Apa yang menghalangimu menanami tanahmu?’ Ayahku berkata kepadanya: ‘Aku sudah tua, aku esok aku akan mati.’ Umar berkata kepadanya: ‘Aku menganjurkanmu untuk menanaminya.’ Dan aku melihat Umar ibn al-Khaththab menanaminya dengan tangannya sendiri bersama ayahku.”

 

Hukum menghidupkan kembali tanah-tanah mati layak untuk dipelajari dan diteliti karena pentingnya hal tersebut, serta mengetahui perannya dalam memperluas kawasan pertanian hijau. Ketika Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang mengolah tanah yang bukan milik siapa pun maka ia yang lebih berhak atasnya.” Hadits ini menunjukkan bahwa syariat menginginkan supaya lahan-lahan dikelola dengan baik karena kebutuhan masyarakat akan sumber daya pertanian dan rekonstruksi alam semesta, yang akan dapat membawa dampak kesejahteraan ekonomi bagi mereka dan memberikan kekayaan publik yang besar.

 

Dengan cara ini, Islam menganjurkan dan menyerukan untuk bertani dan bercocok tanam, memberikan motivasi kepada para pembajak dan petani, serta menjadikan siapa pun yang menghidupkan tanah yang tidak menghasilkan tanaman menjadi miliknya.

 

Dalam seruan untuk menghidupkan kembali tanah-tanah mati terdapat isyarat “bahwa Islam menyerukan untuk memakmurkan bumi dan memperbaiki kerusakannya. Dan jika manusia mengkikuti prinsip Islam untuk menghidupkan kembali tanah-tanah mati dan melaksanakan sabda Nabi Saw.., ‘Barangsiapa yang menghidupkan kembali tanah mati, itu adalah miliknya,’ maka pertanian dan pembangunan akan lebih melimpah, sehingga kita tidak akan lagi  menemukan begitu banyak hutan-hutan yang membutuhkan tangan manusia untuk melakukan perbaikan, dan tidak akan lagi mendapati gurun-gurun yang tidak ada pembangunannya.”

 

Umat manusia, dengan keinginan mereka yang tidak bijaksana dalam berbagai aktivitas kehidupan, mengubah sebagian besar lahan pertanian hijau menjadi gurun pasir, menyalahkan kekeringan, mengabaikan kegagalan melindungi tanah mereka, atau menyalahkan kondisi kemiskinan yang menyedihkan di tempat mereka tinggal.

 

Tidak dapat disangkal bahwa salah satu penyebab penggurunan adalah terjadinya kekeringan di wilayah tersebut, dan andil manusia dalam hal ini tidak dapat dibantah. “Peran manusia secara praktis terlihat jelas dalam praktik-praktik yang berkontribusi terhadap peningkatan laju penggurunan, seperti pembukaan hutan-hutan alam, kebakaran hutan, dan kesalahan pengelolaan irigasi dan drainase air, yang menyebabkan erosi, dan dengan demikian terjadi penggurunan.”

 

 

Kedua, Merawat Hutan dan Padang Rumput

 

Salah satu dampak negatif dari hilangnya dan berkurangnya luas hutan dan padang rumput adalah pasir gurun akan melahap daratan. Selain itu, udara dan atmosfer bumi menjadi saksi terjadinya emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Arti istilah ini adalah suhu naik dan memburuk akibat terkurungnya dan kurangnya penetrasi sinar matahari ke permukaan bumi, akibat penumpukan gas antara permukaan bumi dan udara. Di antara akibatnya adalah penggurunan yang berdampak terutama pada para petani yang menyiapkan lahan pertanian dengan menebang atau membakar pohon, dan juga berdampak pada para petani yang ingin membuka lahan pertanian tetap, namun masalahnya berlipat ganda ribuan kali lipat dengan dibangunnya pertanian-pertanian skala kecil dan seringnya penebangan pohon secara komersial, yang menyebabkan percepatan kenaikan suhu udara di seluruh dunia.”

 

Kita ambil contoh lain dampak negatif hilangnya dan berkurangnya luas hutan dan padang rumput di dunia: antara 4.000 dan 6.000 spesies hewan hilang sama sekali setiap hari, menciptakan semacam ketidakseimbangan lingkungan di wilayah tersebut, dan seperlima populasi dunia akan kekurangan air yang diperlukan untuk mengairi lahan dan bercocok tanam.

 

Dari sini kemudian muncul desakan untuk tidak menghabiskan pohon-pohon di hutan dengan cara mengubahnya menjadi kayu, dan lebih memperhatikan padang dan area rerumputan, serta bekerja untuk memperbaiki padang rumput alami dengan menanam jenis-jenis tanaman pakan ternak. “Percobaan telah berhasil dilakukan di Tunisia dan Mesir dalam mengolah daerah lahan salin dengan irigasi dari air laut untuk menghasilkan jenis-jenis pakan ternak. Di negara-negara lain juga telah berhasil dilakukan percobaan pemanfaatan sisa tanaman setelah diolah dengan TPA menjadi pakan ternak yang baik.”

 
Larangan menebang pohon disebutkan dalam sebuah hadis Rasulullah Saw.: “Barangsiapa menebang pohon bidara maka Allah akan membenamkan kepalanya dalam api neraka.” Yang dimaksud dengan “bidara” adalah pohon Sidr yang terkenal, yang tumbuh di gurun-gurun pasir, tahan haus, tahan panas, dan orang mendapat manfaat dari naungan penuh dan makan buahnya, jika mereka melintasi gurun tersebut sebagai pelancong, atau untuk mencari padang rumput, dan ancaman “neraka” bagi siapapun yang menebang pohon tersebut menunjukkan adanya penekanan terhadap kelestarian komponen lingkungan alam karena terjaganya keseimbangan antar makhluk hidup.

 

Eksperimen penelitian telah membuktikan bahwa pohon bidara sangat tahan lama, tahan kekeringan, mampu menahan panas dan iklim kontinental yang kering.

 

 

Ketiga, Seruan untuk Penghijauan

 

Empat belas abad yang lalu, sebelum dunia menetapkan Hari Hutan Internasional pada tanggal 21 Maret setiap tahunnya, Islam, dalam banyak teks, menyerukan dilakukannya penanaman pohon dan penanaman secara berkelanjutan. Nabi Saw. berkata: “Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah.”

 

Mari kita perhatikan hadis ini di mana Nabi Saw. menyerukan untuk menanam ketika hari kiamat terjadi, manfaat apa yang akan diperoleh si penanam ketika ia berada di ambang hari kiamat?

 

Mengenai hal ini, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi mengatakan: “Menurut pendapat saya, ini adalah penghormatan atas kerja keras membangun dunia itu sendiri, dan jika tidak ada manfaat di baliknya bagi yang menanam, atau bagi orang lain setelahnya, maka tidak ada harapan bagi siapa pun untuk memperoleh manfaat dari penanaman yang ditanam ketika hari kiamat telah tiba. Setelah itu, tidak ada dorongan untuk bercocok tanam dan berproduksi selama masih ada jiwa yang bimbang dalam hidup. Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah, kemudian untuk bekerja dan memakmurkan bumi, maka hendaknya ia tetap menjadi penyembah dan pekerja sampai dunia menghembuskan nafas terakhirnya.”

 

Nabi Saw. juga bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam pohon, tidak pula menanam tanaman kemudian pohon/tanaman tersebut dimakan oleh burung, manusia atau binatang melainkan menjadi sedekah baginya,” [H.R. al-Bukhari].

 

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu tanaman itu dimakan manusia, binatang ataupun burung melainkan tanaman itu menjadi sedekah baginya sampai hari kiamat,” [H.R. Muslim].

 

Di antara manfaat penanaman dan penghijauan adalah peningkatan gas oksigen di udara dan pengurangan jumlah karbon, sehingga memulihkan keseimbangan lingkungan dan panas di planet bumi, yang berdampak positif pada kesehatan manusia. Ambil contoh, polusi yang mempengaruhi manusia akibat transportasi, dan apa yang dapat dilakukan oleh pepohonan di sekitar jalan dan kawasan pemukiman untuk mengurangi dampak polusi dan panas ekstrem, serta menyejukkan udara.

 

Dan yang tak kalah pentingnya, para peneliti telah menemukan manfaat dan fakta lain tentang pohon yang diceritakan oleh para petani kepada kita, dengan mengatakan: “Pohon adalah perisai mereka terhadap aktivitas angin, sehingga melindungi mereka tanaman, agar tidak tercabut atau tertimbun oleh angin badai, dan akar-akarnya menembus jauh ke dalam tanah sejauh beberapa meter, berfungsi untuk menstabilkan tanah agar tidak tersapu oleh angin yang merambat di atasnya.

 

Dan yang tak kalah penting, para peneliti telah menemukan manfaat dan fakta lain tentang pohon yang diceritakan oleh para petani, dengan mengatakan: “Pohon adalah perisai terhadap aktivitas angin, ia menghalau angin, sehingga melindungi tanaman, agar tidak tercabut atau tertimbun oleh angin badai, dan akar-akarnya yang menancap di dalam tanah beberapa meter berfungsi untuk menstabilkan tanah, agar tidak tersapu angin yang merambat di atas mereka.”

Kesadaran, Peran Sosial, dan Kepedulian terhadap Lingkungan (1/3)

Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia dan menjadikannya sebagai khalifah untuk memakmurkan bumi, sebagaimana tercantum di dalam firman-Nya, “[Ingatlah] ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi,” [Q.S. al-Baqarah: 30]. Dia menundukkan bumi beserta seluruh isinya untuk kepentingan manusia, “Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya,” [Q.S. Hud: 61].

 

Untuk mewujudkan tujuan kekhalifahan umat manusia di muka bumi ini, diperlukan kerja sama dan integrasi antar seluruh umat manusia di dunia, sebagaimana firman-Nya, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa,” [Q.S. al-Hujurat: 13]. Salah satu aspek dari kerja sama ini adalah melestarikan kekayaan dan hal-hal baik yang melimpah di bumi dan bermanfaat bagi semua orang; seperti melindungi hewan dan tumbuhan, melestarikan air, rerumputan, sumber daya bawah tanah, dan hal-hal lainnya yang terdapat di permukaan bumi.

 

Hal ini terlihat dari perkataan Ibn Asyur ketika berbicara tentang tujuan umum syariat: “Tujuan umum dari tasyri‘ (pensyariatan) di antaranya adalah melestarikan sistem umat dan mempertahankan kebaikannya melalui kebaikan penguasanya, yaitu jenis manusia. Kebaikan jenis manusia meliputi kebaikan akal-pikiran, kebaikan pekerjaan, serta kebaikan harta benda duniawi yang ia hidup di dalamnya.”

 

Kenyataannya, persoalan “kekhalifahan” merupakan persoalan yang patut kita perhatikan karena akan menentukan peran dan kewajiban manusia terhadap lingkungannya. “Kekhalifahan” berarti bahwa manusia adalah penjaga dan pemelihara lingkungan, bukan pemiliknya. Ia bertanggung jawab atas pengelolaan, pengembangan, pembangunan, dan ia merupakan wali atas lingkungan tersebut.

 

Kewajiban “kekhalifahan” tentu saja mengharuskan manusia mengikuti apa yang diperintahkan oleh Sang Pencipta dan Sang Pemilik lingkungan ini, dan Sang Pemberi wewenang kepada manusia untuk menjaganya.

 

Kemudian, fungsi “kekhalifahan” mengharuskan manusia bertindak sebagai wali yang jujur sesuai dengan amanah yang diterimanya dari Tuhan. Bumi adalah tanah Tuhan, dan hamba-hambanya adalah hamba Tuhan. Ini menunjukkan tidak ada kepemilikan mutlak di dalam Islam, sehingga tidak seorang pun mempunyai hak untuk menyia-nyiakan apa yang dimilikinya sesuka hatinya. Kepemilikan dalam Islam dibatasi oleh pengendalian dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Tuhan, termasuk pemanfaatan dan pemeliharaannya dengan baik, serta menjaganya dari segala kerusakan atau vandalisme.

 

Dalam melaksanakan tugas “kekhilafahan” tidak dituntut bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri saja. Sebaliknya, ia harus memperluas jangkauan kepentingannya hingga mencakup seluruh lingkungannya dan apa-apa yang berada di wilayah kekuasaannya, dengan tidak menyebabkan kerusakan dan kehancuran terhadap makhluk hidup, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik,” [Q.S. al-A’raf: 56], “Apabila berpaling [dari engkau atau berkuasa], ia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanam-tanaman dan ternak. Allah tidak menyukai kerusakan,” [Q.S. al-Baqarah: 205].

 

Menafsirkan ayat-ayat ini, Ibn Asyur mengatakan bahwa Allah Swt. “memberi tahu kita bahwa kerusakan yang diperingatkan itu adalah kerusakan hal-hal yang ada di dunia ini, dan bahwa Dia yang telah menciptakan di dalamnya hukum kelangsungan hidup tidak berpikir melakukannya dengan sia-sia.”

 

Allah telah berulang kali menyatakan di dalam al-Qur’an bahwa dilarang berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allah menciptakannya dengan sangat baik dan mempersiapkannya untuk kemaslahatan umat manusia. Allah menyatakan tidak menyukai kerusakan, tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan, termasuk merusak lingkungan, mencemarinya, melanggarnya, serta melakukan tindakan menyimpang dari tujuan diciptakannya dunia ini. Semua ini adalah pengingkaran (kufur) terhadap nikmat, yang akan mendatangkan bencana dan pelakunya diperingatkan dengan azab sangat pedih yang akan menimpanya sama dengan azab yang menimpa kaum Ad dan Tsamud, dan kaum-kaum setelah mereka. “Yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab, sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi,” [Q.S. al-Fajr: 11 – 14].

 

Kerusakan komponen-komponen lingkungan berbeda-beda antara satu unsur dengan unsur lainnya; ada yang terkena kerusakan dan kehancuran, ada yang terkena pencemaran, ada yang terkena pemborosan dan hilangnya manfaat. Umumnya berkisar pada sifat kerusakan dan perusakan di muka bumi yang dilarang oleh Tuhan.

 

Jika lingkungan telah memberikan kemudahan bagi manusia, ditundukkan untuknya atas kehendak dari Yang Mahakuasa, maka pada saat yang sama, ia adalah salah satu makhluk Tuhan. Sehingga, karenanya, manusia–yang juga merupakan salah satu makhluk Tuhan–tidak boleh merusak dan menyakitinya, atau mencegahnya menjalankan fungsinya sesuai dengan tujuan penciptaannya di alam semesta ini. Prinsip umum dalam hukum Islam adalah: “la dharara wa la dhirar” (tidak membayakan diri dan orang lain)”[4]. Artinya, jika manusia merugikan dan menggangu hak-hak lingkungan, maka mau tidak mau kerugian itu akan kembali menimpa dirinya sendiri.

Perjalanan Pemikiran al-Ghazali (3/3)

Mukâsyafah adalah manifestasi pengetahuan di dalam hati sufi. Semua hati manusia sebenarnya mempunyai potensi yang sama dalam menerima mukâsyafah. Tetapi, mukâsyafah hanya bisa dicapai kalau antara hati manusia dan lawh al-mahfûzh tidak terhalangi oleh apapun. Penghalang hanya mampu disirnakan oleh para nabi dan wali melalui riyadhah (olah diri) dan tazkiyah (pensucian). Perbedaan antara keduanya hanya teletak pada kemampuan dalam menyaksikan kehadiran sang pembawa pengetahuan. Mukâsyafah dalam diri nabi disebut dengan wahyu, sedangkan pada diri wali disebut ilham.

Mukâsyafah tidak didapatkan melalui pengkajian atau penalaran. Mukâsyafah adalah buah dari olah diri dan pensucian yang dilakukan para sufi. Itu semua bagaikan kajian keilmuan yang dilakukan para ulama. Dalam hal ini, kajian keilmuan juga mendapatkan pengetahuan dari lawh al-mahfûzh. Perbedaan antara kajian keilmuan dengan mukâsyafah hanya pada mekanisme pencapaian pengetahuan. Para sufi mendapatkan itu melalui olah diri dan amal saleh yang bertumpu pada hati, sedangkan para ulama melalui pengkajian yang bertumpu pada nalar. Para sufi akan terhalangi di saat melakukan kemaksiatan, sedangkan ulama akan terhalangi oleh kelupaan.[1]

Bagi al-Ghazali, mukâsyafah adalah kebenaran Ilahiyah. Argumentasinya dapat dimengerti melalui mimpi yang terkadang memberikan informasi berupa kepastian terjadinya peristiwa di masa depan. Hal ini terjadi karena di saat tidur manusia tidak lagi memperhatikan tuntutan-tuntutan jasmaninya. Namun, pengabaian terhadap tuntutan-tuntutan jasmani tidak hanya terjadi pada saat-saat tidur. Dalam kondisi sadarpun manusia mampu menepisnya dengan melakukan puasa, olah diri, dan pensucian hati. Sehingga dalam kondisi sadar, manusia juga mampu mengetahui peristiwa masa depan tersebut. Tidak ada perbedaan antara mukâsyafah melalui mimpi dengan mukâsyafah dalam kondisi sadar. Yang terpenting adalah kemampuan manusia dalam meminimalisir seluruh tuntutan jasmaninya.[2]

Selain mendapatkan mukâsyafah, para sufi juga mencapai musyâhadah. Musyâhadah menjadikan para sufi mampu menyaksikan semua fenomena menakjubkan yang tidak bisa disaksikan di alam nyata. Mereka mampu menyaksikan para malaikat, arwah para nabi, serta dapat mengambil manfaat dari persaksian itu. Klimaks dari itu semua adalah fanâ`. Tahapan ini merupakan tahapan paling akhir dari upaya pendekatan para sufi dengan Tuhan. Dalam tahapan ini, meraka senantiasa akan menyaksikan dan merasakan kehadiran Tuhan. Tak ada lain kecuali hanya Tuhan yang tampak oleh mereka. Ini merupakan empati tertinggi para sufi. Fanâ` hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang telah merasakan empati itu. Mempublikasikan empati tersebut kepada masyarakat umum akan melahirkan tuduhan kafir terhadap mereka.[3] Ketidakpahaman terhadap empati itu akan memunculkan klaim panteisme dan inkarnasi. Klaim tersebut muncul akibat ketidakpahaman masyarakat umum mengenai arti fanâ` dalam dunia sufisme.

Pengingkaran al-Ghazali terhadap panteisme dan inkarnasi tidak berarti ia mengkafirkan para imam sufi yang mempunyai teori itu. Ia hanya melarang jika teori itu dijalankan oleh masyarakat biasa yang tidak memahami kaidah-kaidah sufisme. Tetapi, itu pun tidak berarti bahwa al-Ghazali merestui teori penteisme dan inkarnasi. Artinya, dia tidak melihat bahwa statemen-statemen para tokoh sufi mengandung arti penyatuan antara Tuhan dengan hamba-Nya. Statemen-statemen mereka tidak bisa dipahami hanya melalui peranti-peranti tekstual. Oleh karena itu, apa yang dikatakan oleh Abu Yasid al-Busthami, “Maha suci aku dan tidak ada entitas yang lebih agung dariku,” tidak boleh diklaim sebagai bentuk kekufuran. Statemen tersebut tidak berarti bahwa dirinya telah menyatu dengan Tuhan. Justru itu merupakan sebuah ungkapan atas kebesaran Tuhan yang sedang disaksikannya. Artinya, Abu Yazid menganggap dirinya telah mencapai tingkatan paling atas dalam dunia sufisme, sehingga posisinya di hadapan Tuhan tidak tertandingi oleh entitas apapun.[4]

Demikianlah konsep tasawuf yang dikembangkan al-Ghazali di dalam dinasti Saljuk yang berpaham Sunni. Jelas, konsep ini jauh berbeda dengan konsep tasawuf Syi’ah Batiniyah yang sangat identik dengan panteisme dan inkarnasi. Kerhadiran konsep tasawuf al-Ghazali diharapkan menjadi alternatif untuk menggatikan tasawuf Batiniyah. Namun, akibat bias ideologi Sunni pemikiran al-Ghazali nampak paradoks. Pemikiran-pemikirannya terkesan tidak selaras dan saling berbenturan. Ini bisa dilihat dari konsep tasawuf rumusannya yang bertolak belakang dengan ilmu logika yang dipromosikannya. Himbauan untuk bertasawuf hingga mencapai mukâsyafah akan menghantam himbaunnya untuk mempelajari ilmu logika. Antara ilmu mukâsyafah dengan ilmu logika adalah dua hal yang saling berlawanan. Memang, keduanya sama-sama mendapatkan pangetahuan dari lawh mahfûzh. Tetapi keduanya tetap berbeda, perbedaannya adalah pada mekanisme pancapaian pengetahuan. Ilmu logika bersandar pada pijakan-pijakan akal, sedang ilmu mukâsyafah justru menihilkan penalaran. Mukâsyafah tidak hanya akan membentur himbauannya akan urgensi ilmu logika, tetapi juga akan membentur pelarangannya terhadap filsafat.

Sebetulnya, bila diamati lebih jauh, paradoksalitas pemikiran al-Ghazali lebih disebabkan karena beratnya beban ideologi aliran Sunni yang menindih pundaknya. Himbauannya untuk mempelajari ilmu logika sebenarnya merupakan upayanya untuk menggantikan konsep ‘pembimbing suci’ aliran Syi’ah Batiniyah. Sementara, rumusan tasawufnya sengaja dicanangkan untuk menjadi pengganti atas bangunan spiritualitas Syi’ah Batiniyah. Begitu pula pengkafirannya terhadap filsafat tidak lain adalah untuk mematikan landasan filsafat Syi’ah Batiniyah tersebut. Dalam pandangan al-Ghazali, filsafat Batiniyah adalah perwujudan dari filsafat Neoplatonisme yang dikembangkan al-Farabi dan Ibnu Sina. Sehingga, pengkafiran terhadap al-Farabi dan Ibnu Sina diharapkan akan dapat meruntuhkan dasar-dasar filsafat Syi’ah Batiniyah.[5]

_____________________________

[1]          Sulaiman Dunya, op. cit., hal. 129

[2]          Ibid., hal. 139

[3]          Majdi Muhammad Ibrahim, op. cit., hal. 514

[4]          Al-Ghazali, al-Muqshid al-Asnâ fî Syarh Asmâ` Allâh al-Husnâ

[5]          Muhammad Abed al-Gabiri, Nahwu wa al-Turast, hal. 147

Perjalanan Pemikiran al-Ghazali (2/3)

Tasawuf merupakan fase terakhir dari perkembangan pemikiran al-Ghazali. Pada fase ini, al-Ghazali menemukan apa yang dinamakannya ‘hakikat kebenaran’. Hakikat kebenaran itu diperolehnya setelah mengalami skeptisme berat. Ia menceritakan pengalamannya itu di dalam sebuah kitab berjudul “al-Munqidz min al-Dhalâl”. Kitab ini memaparkan bagaimana al-Ghazali keluar dari derita skeptisme yang membuatnya mempertanyakan setiap kebenaran sampai membuat tubuhnya menjadi lemah dan tidak dapat melakukan apa-apa. Al-Ghazali berhasil mengakhiri penderitaan itu setelah mendapatkan cahaya Tuhan yang memercik ke dalam lubuk hatinya. Dengan cahaya Tuhan itulah dia mampu menemukan hakikat kebenaran.[1] Rupa-rupanya, kembali kepada Tuhan adalah solusi terbaik setelah mengalami kebingungan dalam menentukan kebenaran. Kebenaran telah terpecah-pecah akibat perbedaan akal manusia. Hal ini tentu saja menuntut adanya ‘campur tangan’ Tuhan yang terjewantahkan dalam wujud sebuah ilham yang tidak bisa ditalar rasio.[2]

Jika kitab “al-Munqidz min al-Dhalâl” adalah biografi al-Ghazali dalam menemukan hakikat kebenaran, maka kitab “Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn” merupakan pemaparan mengenai hakikat kebenaran itu sendiri. Kitab ini telah memicu laju perkembangan tasawuf dalam peradaban Islam. Kelebihan kitab ini tidak hanya terletak pada materi tasawufnya semata, melainkan juga pada mekanisme penanaman materi itu di dalam peradaban Islam. Al-Ghazali menanamkan pemikiran-pemikiran tasawuf tersebut melalui jalur resmi pemikiran Sunni, yaitu fikih.[3] Di sini, ia menganggap ibadah tidak hanya berupa praktik zhahiriyah semata, tetapi juga mencakup aspek batiniyah. Ia berusaha memberikan signifikasi spiritual lebih mendalam terhadap semua ibadah wajib dalam Islam. Bersuci, shalat, puasa, zakat, dan haji bukan hanya merupakan amal zhahir, tetapi juga merupakan amal batin. Selain itu, al-Ghazali juga berusaha memperlebar arti ibadah hingga tidak hanya mencakup hal-hal yang wajib. Semua aktivitas manusia dapat pula dianggap sebagai ibadah asalkan disisipi dengan makna-makna spiritual.[4]

Kelebihan lain dari kitab tersebut terletak pada metodologi tasawuf yang ditawarkan. Tidak seperti para filsuf yang mencukupkan diri pada capaian keilmuan, juga tidak seperti para ahli fikih yang mencukupkan diri pada praktek amaliah, al-Ghazali justru berusaha membangun metodologi tasawufnya melalui penyatuan antara ilmu dan amal. Menurutnya, mempelajari ilmu tasawuf harus didahulukan sebelum menceburkan diri ke dalam dunia tasawuf. Ilmu sangat dibutuhkan dalam dunia tasawuf dan lebih utama dari semua ibadah yang dijalankan tanpa ilmu.[5] Ini menandakan bahwa al-Ghazali memasuki dunia tasawuf setelah menguasai ilmunya. Ilmu itu diperolehnya melalui kitab-kitab karya para imam sufi. Al-Ghazali telah mempelajari kitab “Qût al-Qulûb” karya Abu Thalib al-Makki dan “al-Risâlah al-Qusyayrîyyah” karya Imam al-Qusyairi, dll. Kitab-kitab inilah yang banyak mempengaruhi lahirnya kitab “Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn”.[6]

Dengan demikian, ilmu tasawuf sebenarnya hanyalah sebatas pengantar dalam mengarungi samudera spiritualitas. Melalui ilmu tasawuf segala ketentuan dalam menjalani dunia kesufian akan diketahui, juga hal-hal yang semestinya didahulukan dan hal-hal yang seharusnya diakhirkan. Ilmu tasawuf akan memberikan informasi mengenai tata-cara membersihkan hati dari entitas selain Tuhan. Namun, selain penguasaan terhadap ilmu, olah diri juga harus dilakukan dengan banyak berbuat amal kebajikan dan selalu lebur dalam dzikir-dzikir Tuhan agar jiwa menjadi suci. Apabila itu terjadi, maka akan terwujudlah mukâsyafah dan musyâhadah, yang nantinya akan berujung pada tingkatan fanâ`.[7] Mukâsyafah, musyâhadah, dan fanâ` hanya bisa terjadi di saat seorang sufi mampu menyatukan zhâhir dan bâthin, syariat dan hakikat, dengan keimanan yang benar kepada Tuhan serta selalu berbuat baik kepada ciptaan-Nya. Apabila ia tidak mampu melakukan hal itu, maka tatanan kesufian di dalam dirinya akan hancur. Sehingga ia tidak bisa menobatkan diri sebagai sufi, sebab ia tidak akan mendapatkan mukâsyafah, musyâhadah, dan fanâ` sebagai anugerah dari Tuhan.[8]

_______________________

[1]          Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalâl, Beirut: al-Maktabah al-Sya’biyah, t. th. hal. 11

[2]          Majdi Muhammad Ibrahim, al-Tashawwuf al-Sunnîy; Hâl al-Fanâ` Bayn-a al-Junaydîy wa al-Ghazâlîy, Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah, 2002, hal. 506

[3]          Muhammad Abed al-Gabiri, Nahn-u wa al-Turâst, Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, hal. 169-170

[4]          Yohana Qamer, al-Ghazâlîy, Beirut: Katholik, 1947, hal. 24

[5]          Majdi Muhammad Ibrahim, op.cit, hal. 476

[6]          Zakiy Mubarak, al-Akhlâq ‘ind-a al-Ghazâlîy, Cairo: Daar al-Kitab al-Arabi, 1968, hal. 74

[7]          Umar al-Faruk, Târîkh al-Fikr al-‘Arabîy ilâ Ayyâm ibn Khaldûn, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1972, hal. 512

[8]          Ibid., hal. 507

Perjalanan Pemikiran al-Ghazali (1/3)

HAMPIR pasti, tidak ada umat Muslim yang tidak mengenal Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali atau Imam al-Ghazali. Bahkan di kalangan Ahl al-Sunnah atau biasa disebut kaum Sunni tidak sah seseorang mengaku muslim tanpa mengenal Imam al-Ghazali.

Al-Ghazali hidup di saat peradaban Islam mengalami perpecahan. Kala itu, kekhilafahan Islam di Baghdad tidak lagi menjadi pemerintahan sentral umat Muslim. Pemerintahan Islam di Baghdad harus menghadapi ancaman dari berbagai kesultanan Islam di luarnya, terutama dari dinasti Syi’ah Fathimiyah dan dinasti Buwaihiyah. Keduanya merupakan kekuatan besar yang mengancam posisi dan otoritas kekhalifahan di Baghdad. Tidak hanya melakukan penggerusan politik melalui kekuatan militer, keduanya melakukan perlawanan melalui hegemoni budaya dan pemikiran. Jadi, bisa dimengerti jika pemikiran keagamaan dianggap sebagai jalan keluar yang benar-benar dibutuhkan saat itu. Selain untuk meredam emosi masyarakat, pemikiran keagamaan dianggap dapat menjinakkan arus gelombang oposisi yang kontra terhadap pemerintahan. Dengan kerangka serupa itu, maka semua tindakan penguasa akan dianggap netral jauh dari kepentingan individu dan kelompok karena ditampilkan untuk dan atas nama agama.[1]

Justifikasi agama terhadap kekuasaan merupakan sebuah keniscayaan pada saat agama dilibatkan dalam pertarungan politik. Tak ayal, pertarungan politik kemudian menjelma menjadi pertarungan ideologi dan pemikiran. Tiap-tiap kekhalifahan berusaha menafikan legalitas pemerintahan oposan melalui wacana dan pemikiran. Pada akhirnya pemikiran dianggap sebagai senjata paling ampuh untuk merebut kekuasaan selain kekuatan militer. Dalam situasi seperti ini, peran para pemikir sangat menentukan bahkan dominan. Mereka merupakan bagian tak terpisahkan dari kekuasaan. Mereka sangat dibutuhkan untuk melindungi ideologi negara dan memerangi segala bentuk pemikiran yang lahir dari pihak oposisi. Kenyataan inilah yang kemudian menobatkan gerakan intelektualitas tidak lagi sepenuhnya demi kebenaran. Mayoritas akademisi hanya berorientasi untuk mendapatkan popularitas dan kenikmatan duniawi yang diperoleh dari kedekatan dengan penguasa.

Demikianlah kira-kira konteks sosial politik di masa al-Ghazali hidup. Karenanya bisa dimengerti, bahwa perpindahannya dari Naisabur menuju Mu’askar tidak lain untuk meraih popularitas dan mendapatkan kedudukan penting di dalam pemerintahan. Kala itu ia memposisikan diri sebagai pemikir yang getol mempertahankan ideologi resmi pemerintah. Ia merasa tertuntut menghadapi berbagai ancaman pemikiran dari kekuasaan oposan. Ia harus mampu melawan pemikiran Muktazilah di Buwaih dan pemikiran Batiniyah di Mesir. Lemahnya kekhalifahan Islam di Baghdad telah membuat aliran Sunni tercabik-cabik. Dibutuhkan upaya baru untuk menyelamatkannya dari kepunahan sekaligus untuk mengatasi krisis akibat tidak adanya kesesuaian antara metodologi dengan identitas pemikirannya. Pengingkaran aliran pemikiran yang dikembangkan kalangan Sunni terhadap kausalitas telah menabrak efektivitas metodologi Muktazilah yang sangat menuntut kepercayaan terhadap rasio. Di sinilah letak strategis kontribusi al-Ghazali. Keberhasilannya menyempurnakan metode “qiyâs al-ghâ`ib ‘alâ al-syâhid” yang digunakan Muktazilah dengan cara memasukkan ilmu logika ke dalam metode tersebut. Hal itu telah membuahkan konsekuensi berupa pemaduan antara ilmu kalam dan filsafat dalam ilmu kalam Sunni.

Keberhasilan ini merupakan bukti kemampuan al-Ghazali membuka lembaran baru dalam dinamika pemikiran Islam. Ia mampu membawa aliran Sunni sebagai pemenang dalam dialektika pemikiran Islam klasik. Bahkan pemikirannya melampaui pemikiran semua akademisi Muslim di masanya. Dalam perlawanan terhadap filsafat, al-Ghazali tidak sekedar sebagai jelmaan dari al-Juwaini. Al-Juwaini melawan filsafat hanya pada unsur-unsur eksternalnya saja, sehingga tidak mampu meruntuhkan kekuatan medodologi pemikiran Muktazilah. Sedangkan al-Ghazali langsung menyentuh unsur-unsur internalnya sehingga metodenya sangat mematikan. Demikian pula dalam masalah usul fikih, al-Ghazali tidak sebatas sebagai jelmaan dari al-Syafi’i. Rumusan metodologi usul fikihnya tidak hanya berkutat pada tataran kebahasaan sebagaimana al-Syafi’i, tetapi juga merambah ke ilmu logika sebagai sebuah keharusan dalam perumusan hukum.

Terkait ilmu logika, pendekatan al-Ghazali tidak sama dengan para akademisi lain yang konsen dalam ilmu tersebut. Promosi al-Ghazali akan urgensi ilmu logika jauh berbeda dengan promosi Ibn Hazm. Promosi al-Ghazali hanya ditujukan untuk menggantikan metodologi ‘irfânîy-bâthinîy, namun tidak menyentuh ‘irfânîy-shûfîy sebagaimana Ibn Hazm. Tidak hanya itu, ia juga tidak seperti al-Farabi yang menggunakan ilmu logika sebagai metodologi pencapaian temuan-temuan ilmiah. Al-Ghazali memfungsikan ilmu tersebut justru sebagai instrumen dalam mempertahankan pemikiran Sunni dari serangan pemikiran oposan. Dan akhirnya ia pun mampu menyudahi perang pemikiran masa klasik dengan menjadikan Sunni sebagai pemenang, sekaligus menjadi penyebab terjadinya perpaduan antara paham Sunni dengan tasawuf.

Dengan demikian, tidak berlebihan bila al-Ghazali diklaim sebagai simbol intelektualitas Islam di masanya. Dalam dirinya mengalir berbagai macam intelektualitas, mulai dari ilmu fikih, ilmu kalam, filsafat, hingga tasawuf. Penguasaannya terhadap ilmu-ilmu itu sangat mendalam. Ia mampu menyaingi para akademisi yang membidangi ilmu-ilmu tersebut. Ia adalah pakar Asy’ariyah ketika mendiskusikan ilmu kalam, seorang sufi saat merumuskan metodologi tasawuf, sekaligus seorang filsuf kala membantah kerancuan-kerancuan pemikiran para filsuf.[2] Hal itu menunjukkan bahwa penguasaannya terhadap ilmu-ilmu tersebut merupakan tuntutan realitas. Posisinya sebagai akademisi dinasti Saljuk menuntut dirinya untuk menguasai segala kecenderungan pemikiran. Ia harus menguasai ilmu kalam untuk melawan pemikiran Muktazilah, menguasai filsafat dan tasawuf guna melawan pemikiran Syi’ah Bathiniyah.

__________________

[1]          Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fî Nazhr al-Ghazâlîy, Cairo: Dar al-Ma’arif, 1994, hal. 15

[2]          Muhammad Yasin Arabi, Mawâqif wa Maqâshid fî al-Fikr al-Falsafîy al-Islâmîy al-Muqârin, Dar al-Arabiyah li al-Kitab, 1991, hal. 271

Akar Historis Kelompok Radikal di dalam Islam (8/8)

Najdat

Sekte ini dipimpin oleh Najdah ibn Amir al-Hanafi. Mulanya sekte ini hanyalah segerombolan orang yang tidak puas dengan beberapa pandangan Nafi’ ibn al-Azraq. Mereka kemudian melepaskan diri dari kelompok Nafi’ ibn al-Azraq dan pergi ke al-Yamamah. Di sana mereka bertemu dengan Najdah ibn Amir al-Hanafi dan membaiatnya sebagai pemimpin mereka dengan memberinya gelar “Amirul Mukminin”. Mereka menguasai Bahrain, daerah-daerah di sekitar pantai Teluk, Amman, dan beberapa bagian dari negeri Yaman.

Sejumlah buku sejarah menyebutkan bahwa sebab perselisihan mereka karena Nafi’ ibn al-Azraq berpandangan bahwa taqîyyah tidak boleh, dan orang yang ikut berperang adalah kafir. Ia mendasarkan pandangannya kepada firman Allah, “Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah,” [QS. al-Nisa`: 77], dan firman Allah yang lain, “Mereka berjihad di jalan Allah, dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela,” [QS. al-Ma`idah: 54].

Berbeda dengan Nafi’ ibn al-Azraq, Najdah ibn Amir al-Hanafi berpandangan bahwa  taqîyyah boleh. Ia mendasarkan pandangannya kepada firman Allah, “Kecuali karena [siasat untuk] menjaga diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka,” [QS. Ali Imran: 28], dan firman Allah yang lain, “Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir’aun yang menyembunyikan imannya berkata,” [QS. al-Mukmin: 28]. Ia mengatakan bahwa orang yang tidak ikut berperang itu boleh, tetapi jika orang itu punya kemampuan yang memungkinkannya, maka ikut berjihad atau berperang itu lebih utama, sebagaimana firman Allah, “Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (berdiam diri dan tidak berjihad) satu derajat,” [QS. al-Nisa`: 95].

Nafi’ ibn al-Azraq berkata, “Itu mengenai sahabat-sahabat Nabi Saw. yang saat itu dalam keadaan tertindas. Tetapi orang-orang lain yang punya kemungkinan, kalau mereka tidak berjihad maka itu adalah suatu kekafiran, seperti firman Allah, ‘Sedangkan orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, duduk berdiam diri saja,’ [QS. al-Taubah: 90].”

Najdah ibn Amir al-Hanafi mengirim putranya dengan membawa pasukan untuk menyerang penduduk Qatif. Mereka membunuh semua laki-laki di sana dan menawan perempuan-perempuannya. Kemudian mereka memberikan penilaian terhadap setiap perempuan tawanan mereka. Mereka berkata, “Kalau nilai mereka (para perempuan itu) setara dengan mutiara kita, kita ambil. Kalau tidak, kita kembalikan.” Mereka pun menikahi sejumlah perempuan yang mereka anggap pantas untuk mereka, dan mereka juga makan dari harta rampasan sebelum dibagikan. Ketika mereka kembali ke Najdah ibn Amir al-Hanafi dan memberitahukannya tentang hasil penyerangan, ia berkata, “Atas dasar apa kalian boleh melakukan itu?” Mereka berkata, “Kami tidak tahu kalau itu tidak boleh kami lakukan.” Ia memaafkan mereka karena ketidaktahuan mereka. Namun di antara pengikutnya terjadi perbedaan pendapat. Sebagian dari mereka menyetujui pendapat Najdah ibn Amir al-Hanafi yang memaafkan kesalahan karena ketidaktahuan, dan mereka memberlakukan itu ketika mereka menyerang kota Madinah, kota Nabi.

Menurut Najdah ibn Amir al-Hanafi, orang yang melakukan suatu kesalahan, atau melakukan kebohongan kecil, atau melakukan dosa kecil dan ia terus-menerus melakukannya, maka ia kafir yang musyrik, demikian juga dalam dosa besar (al-kabâ`ir). Orang yang melakukan dosa besar (seperti berzina, mencuri, dan meminum khamr), hanya sekali melakukannya dan tidak terus-menerus, ia tetap muslim, tidak musyrik. Pelaku dosa besar dari pengikutnya sendiri tidak dianggap kafir, dan Allah pun akan mengampuninya. Jika pun Allah menyiksanya, maka itu bukan di dalam neraka, dan setelah itu Allah akan memasukkannya ke surga. Tetapi jika pelakunya berasal dari golongan lain yang tidak sepaham, dianggap kafir dan Allah akan menyiksanya di dalam neraka karena dosanya.

Pandangan-pandangan Najdah ibn Amir al-Hanafi itu rupanya memicu perbedaan pendapat dan konflik di antara para pengikutnya. Mereka kemudian terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu Najdiyah, Athwiyah, dan Fadaikiyah. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa sebagian besar pengikutnya membenci dan menaruh dendam kepadanya atas berbagai pendapat yang—menurut mereka—ia buat-buat dalam masalah agama. Mereka berkata kepadanya, “Pergilah ke masjid, bertaubatlah atas apa yang telah kau perbuat.” Ia pun melakukannya. Kemudian sebagian dari mereka menyesal telah menyuruhnya untuk bertaubat, mereka berkata kepadanya, “Kau adalah imam, kau punya hak untuk berijtihad [dalam masalah agama], maka cabutlah taubatmu, dan mintalah orang-orang yang memintamu bertaubat untuk bertaubat. Kalau tidak, kami akan memerangimu.” Ia pun melakukannya. Dan sikapnya ini membuat sebagian pengikutnya yang lain memberontak terhadapnya dan mencopot kedudukannya sebagai imam, sampai akhirnya ia terbunuh di tangan Abu Fadaik yang kemudian menggantikan kedudukannya.

 

Ibadhiyah

Sekte ini dipimpin oleh Abdullah ibn Ibadh. Sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa Abdullah ibn Ibadh mulanya adalah bagian dari pengikut Nafi’ ibn al-Azraq, tetapi ia kemudian membelot dan memisahkan diri. Sementara sebagian riwayat lain menyatakan bahwa Jabir ibn Zaid adalah pendiri sekte Ibadhiyah yang sesungguhnya. Ia adalah seorang tabi’in, ahli fikih, dan merupakan murid dari Abdullah ibn Abbas. Namun karena beberapa sebab, ia berlepas diri dari mereka dan tidak mengakui mereka.

Dakwah mereka dimulai dari Basrah, dan hingga sekarang golongan ini tersebar di beberapa negara di Afrika Utara. Meskipun pandangan-pandangan mereka ekstrem, tetapi mereka dianggap sebagai sekte Khawarij yang paling moderat. Di antara pandangan mereka yang paling menonjol adalah mengkafirkan umat Muslim di luar kelompok mereka. Bukan mukmin dan bukan musyrik, tetapi kafir. Negeri umat Muslim yang tidak sepaham mereka sebut dar al-tawhîd (daerah orang-orang yang mengesakan Tuhan), tidak boleh diperangi, kecuali pusat pemerintahan dan militer yang mereka sebut dar al-kufr (daerah kekafiran). Dengan umat Muslim yang tidak sepaham boleh menjalin hubungan pernikahan dan berbagi warisan, dilarang menawan dan membunuh mereka dengan tipu muslihat, tetapi di dalam perang boleh mengambil harta dari mereka sebagai harta rampasan.”

Sebagian dari mereka ada yang mengingkari adzan, shalat jamaah, dan khutbah Jum’at karena dianggap bid’ah. Mereka sepakat bahwa orang muslim yang melakukan dosa besar adalah orang yang bertauhid (muwahhid), tetapi bukan mukmin dan bukan kafir non-muslim. Sederhananya, orang muslim yang melakukan dosa besar tidak keluar dari Islam.

Mereka mengatakan bahwa syafaat (ampunan bagi dosa dan kesalahan) bukan untuk orang yang terus-menerus melakukan dosa dan tidak bertaubat sampai mati, tetapi untuk menambah derajat di surga, dan orang fasik akan kekal di neraka. Dalam persoalan khilafah, seorang boleh menjadi khalifah dengan syarat harus mampu, adil, murah hati, dan bertakwa. Ibn Hazm berkata tentang mereka, “Mereka mengharamkan makanan ahli kitab (Kristen dan Yahudi), mewajibkan seseorang yang mimpi basah di siang hari pada bulan Ramadhan untuk mengganti puasanya. Mereka berpandangan bahwa haji boleh dilakukan kapan saja sepanjang tahun. Mereka mengkafirkan orang yang menyampaikan khutbah pada Idul Fitri dan Idul Adha. Dalam berpendapat dan menentukan hukum mereka berpijak pada tekstualitas sejumlah ayat tanpa mempertimbangan sunnah Nabi yang menjelaskan al-Qur`an dan makna-maknanya. Mereka mengutuk para tokoh sahabat Nabi seperti Utsman, Ali, Thalhah, al-Zubair, dan lainnya. Mereka mewajibkan untuk menentang dan memberontak terhadap pemimpin yang tidak adil. Orang yang tidak sepakat dengan mereka mengenai semua itu maka ia diminta untuk bertaubat. Kalau bertaubat [ia akan dibiarkan hidup], tetapi kalau tidak, maka ia dibunuh. Orang yang berzina atau mencuri akan ditetapkan hadd (hukuman) baginya, lalu ia minta untuk bertaubat. Kalau bertaubat [ia akan dibiarkan hidup], tetapi kalau tidak, maka ia dibunuh.”

Mereka meyakini bahwa semua aliran selain aliran mereka adalah batil. Mereka berkata, “Kebenaran adalah apa yang kita pegang, dan kebatilan adalah apa yang dipegang oleh musuh-musuh kita; karena kebenaran di sisi Allah hanya ada satu.”

Dikisahkan bahwa mereka keluar dari Kufah untuk membunuh orang-orang, menawan keturunan-keturunan mereka, membunuh anak-anak, mengkafirkan umat, dan membuat kerusakan di berbagai penjuru negeri. Dan akibat konflik internal, mereka kemudian pecah menjadi beberapa kelompok, di antaranya Hafshiyah yang mengingkari kenabian, surga dan neraka; Yazidiyah yang meyakini kedatangan seorang rasul selain Muhammad, dan seterusnya.[]

Serial Kajian “Islam Ramah Perempuan” – Hikayat Perempuan dalam Peradaban Islam

PEREMPUAN dalam peradaban Islam memiliki kehadiran yang besar di berbagai bidang, mungkin yang paling penting adalah kehadiran mereka di bidang kekuasaan dan pengaruh. Banyak perempuan juga memiliki peran ilmiah yang besar, baik di bidang kedokteran, astronomi, atau bidang lainnya, selain bidang sastra dan seni, yang merupakan bidang paling banyak mendapat manfaat dari pengaruh perempuan dalam peradaban Islam.

Perempuan, dalam peradaban Islam, seperti Taj Mahal yang merupakan karya internasional simbol cinta dan kesetiaan, peninggalan Sultanah Raziya dari India, Ratu Arwa al-Shulaihiyah, Ratu Yaman yang zamannya merupakan era kemakmuran di Yaman, dan Syajarat al-Durr yang dikaitkan dengan berakhirnya era Ayyubiyah dan awal era pemerintahan Mamluk.

Dalam konteks ini, buku “al-Iman wa al-Sulthah…al-Mar`ah fi al-Islam” karya Lucien Dugier dkk., memberikan pencerahan tentang karya-karya besar yang terkait dengan perempuan serta menyajikan kisah-kisah perempuan yang memiliki peran penting dalam sejarah Islam, antara lain Asiyah binti Muzahim, Maryam binti Imran, Sayyidah Khadijah binti Khuwailid, Ratu Arwa, Ratu Syajarat al-Durr, Sultanah Raziya, Sitt al-Mulk, Roxalana dan perempuan lain yang memiliki peran besar dalam sejarah.

Buku “al-Iman wa al-Sulthah…al-Mar`ah fi al-Islam” ini terbit atas hasil kerjasama National Center for Translation dengan Museum of Islamic Arts di Malaysia, museum seni terbesar di Malaysia dan Asia Tenggara. Museum kuno ini sebelumnya juga telah bekerjasama dengan Pusat Kaligrafi di Perpustakaan Alexandria untuk menerbitkan katalog “Angham wa Ayat, Rawa`i’ al-Khathth al-Farisiy”, dalam salah satu pameran museum berbahasa Arab dan dikhususkan untuk manuskrip-manuskrip yang dibuat pada periode antara abad keenam belas dan kesembilan belas Masehi.

 

Kontribusi Perempuan

Kita percaya bahwa perempuan telah berkontribusi selama berabad-abad dalam kehidupan publik melalui profesi yang mereka jalankan, dan kita pun mengenal nama-nama perempuan di berbagai bidang. Kita menemukan perempuan yang berprofesi sebagai dokter, ilmuwan, penulis, penyair, bahkan ahli kaligrafi. Di antara mereka kita mendapati Zainab, dokter dari Bani Awad, seorang dokter spesialis oftalmologi pada masa Bani Umayyah, putri dari Abu al-Ala ibn Zuhr dan Ummu Amr binti Abi Marwan ibn Zuhr, yang terkenal dengan reputasinya dalam bidang kedokteran dan persalinan serta menguasai astronomi.

Di bidang seni, kontribusi perempuan sangat besar terhadap kemajuan dan kemakmuran berbagai cabang seni. Misalnya, kita menemukan bahwa perempuan unggul dalam bidang fesyen, dan fesyen merupakan cerminan perkembangan peradaban Islam di semua era yang terkait dengan tingkat kehidupan ekonomi, melalui bahan-bahan yang digunakan. Dan sebelum kita mulai melihat komponen-komponen pakaian perempuan serta berbagai jenis dan gaya yang berbeda, kita harus mengingat fakta bahwa pakaian mereka selalu berubah.

Keberagaman dan perubahan fesyen di kalangan perempuan sebenarnya tidak lain hanyalah wujud kebosanan mereka terhadap sistem sosial. Dikatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang paling cepat merasa bosan dan menginginkan perubahan dan inovasi. Bahkan jika ada pakaian baru yang diciptakan, dianggap sebagai contoh keanggunan pada masanya, maka semua jiwa perempuan, seperti diketahui, akan mengikutinya.

Warna dan keragaman busana perempuan dalam berbagai fase sejarah disebabkan oleh keragaman selera, keinginan, dan pertimbangan lingkungan setempat, terutama ketika kondisi sosial berperan penting dalam membentuk busana tersebut dan keragamannya di kalangan perempuan. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap zaman mempunyai ciri khas yang membedakannya dengan zaman lainnya, terutama dalam kondisi sosialnya.

Perempuan mengambil peran penuh di setiap fase sejarah, baik dalam kehidupan publik maupun dalam kehidupan pribadi. Tetapi peran perempuan dalam kehidupan publik dikaburkan dengan undang-undang, peraturan, tradisi dan kondisi masyarakat. Hanya saja, kita menemukan banyak referensi mengenai signifikansi status perempuan, baik sebagai anak perempuan, istri, atau ibu, dan semakin besarnya peran yang mereka jalankan, dalam kehidupan publik.

Sejarah Islam mengenal banyak perempuan yang gemar mengoleksi barang-barang antik artistik yang berharga, baik perhiasan, tekstil, furnitur, atau lainnya. Buku-buku sejarah dan sastra mengabadikan gambaran tentang harta karun barang antik yang dimiliki beberapa tokoh besar perempuan. Harta karun Qathr al-Nada, putri penguasa Mesir, Khumarawyh ibn Ahmad ibn Tulun, dianggap sebagai bukti terbaik. Di dalam buku “al-Nujum al-Zahirah” Abu al-Mahasin menyebutkan uraian tentang isi harta karun ini, termasuk emas-emas batangan bertahtakan permata dan batu mulia, kotak-kotak berisi perhiasan dan permata, wadah lilin dan warna-warni emas dan perak, potongan-potongan kain mewah dan karpet-karpet berharga, di samping perkakas-perkakas lainnya yang terbuat dari emas dan perak. Putri Abdah binti al-Muizz Lidinillah al-Fathimi juga meninggalkan banyak brankas perhiasan dan barang antik di Kairo, kotak-kotaknya disegel dengan sekitar empat belas kilogram lilin. Catatan daftar dari harta ini menghabiskan hampir tiga puluh rim kertas, dan para sejarawan kuno berusaha keras untuk menjelaskan isi warisan besar ini.

Peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat tidak hanya terbatas pada keterlibatan mereka dalam beberapa urusan negara, tetapi juga berperan aktif dalam kehidupan ilmiah dan keagamaan. Pada umumnya perempuan datang ke majlis-majlis ilmu pengetahuan dan agama, dan banyak dari mereka yang antusias menghadiri pertemuan-pertemuan di mana mereka dapat mendengarkan pelajaran.

 

Kekuasaan dan Pengaruh

Seni mengalami perkembangan pesat dan makmur berkat jari-jari terampil dan selera halus perempuan di masa lalu. Di Mesir, misalnya, perempuan berkontribusi pada pembuatan keramik dan tembikar dengan bentuknya yang anggun dan banyak dekorasinya menyampaikan semangat dan kehalusan seni perempuan. Di reruntuhan Fustat, ditemukan bagian bawah piring keramik yang dikaitkan dengan era pemerintahan Mamluk. Perempuan di Kairo menjalankan industri tekstil dan karpet, dan memproduksi jenis-jenis tekstil yang keunggulannya terkenal di seluruh dunia.

Sayyid Mukhtar al-Bukhari dalam pendahuluan buku “al-Iman wa al-Sulthah…al-Mar`ah fi al-Islam” mengatakan, “Peran perempuan di dunia Islam menjadi ruang diskusi yang vital saat ini, seperti yang dikatakan empat belas abad yang lalu. Di balik banyaknya argumentasi tersebut, kehadiran perempuan muslim di berbagai zaman membuat mereka mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar. Kontribusi banyak seniman yang menciptakan karya-karya yang dikaitkan dengan perempuan di dunia Islam tidak dapat disangkal.”

Buku “al-Iman wa al-Sulthah…al-Mar`ah fi al-Islam” mengeksplorasi berbagai aspek keberadaan perempuan dalam Islam. Sedangkan untuk keimanan, terdapat halaman-halaman yang berisi keterangan dan gambar-gambar al-Qur’an edisi awal yang tidak lepas dari kontribusi perempuan. Adapun untuk kekuasaan dan otoritas, terdapat simbol-simbol kepemimpinan yang lebih sekuler. Pedang dan senjata lainnya ditampilkan sebagai pengingat bahwa feminitas dan kelembutan tidak selalu berjalan bersamaan, sebab ada banyak ratu kesatria. Ini adalah hikayat tentang tokoh-tokoh perempuan yang nyata, tetapi banyak pencapaian mereka telah dilupakan. Sejarah biasanya ditulis, seperti yang sering disebutkan, oleh para pemenang, hanya saja banyak perempuan di dunia Islam yang tidak mendapatkan kesempatan untuk memenangkan sejarah.[]