Akar Historis Kelompok Radikal di dalam Islam (8/8)
Najdat
Sekte ini dipimpin oleh Najdah ibn Amir al-Hanafi. Mulanya sekte ini hanyalah segerombolan orang yang tidak puas dengan beberapa pandangan Nafi’ ibn al-Azraq. Mereka kemudian melepaskan diri dari kelompok Nafi’ ibn al-Azraq dan pergi ke al-Yamamah. Di sana mereka bertemu dengan Najdah ibn Amir al-Hanafi dan membaiatnya sebagai pemimpin mereka dengan memberinya gelar “Amirul Mukminin”. Mereka menguasai Bahrain, daerah-daerah di sekitar pantai Teluk, Amman, dan beberapa bagian dari negeri Yaman.
Sejumlah buku sejarah menyebutkan bahwa sebab perselisihan mereka karena Nafi’ ibn al-Azraq berpandangan bahwa taqîyyah tidak boleh, dan orang yang ikut berperang adalah kafir. Ia mendasarkan pandangannya kepada firman Allah, “Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah,” [QS. al-Nisa`: 77], dan firman Allah yang lain, “Mereka berjihad di jalan Allah, dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela,” [QS. al-Ma`idah: 54].
Berbeda dengan Nafi’ ibn al-Azraq, Najdah ibn Amir al-Hanafi berpandangan bahwa taqîyyah boleh. Ia mendasarkan pandangannya kepada firman Allah, “Kecuali karena [siasat untuk] menjaga diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka,” [QS. Ali Imran: 28], dan firman Allah yang lain, “Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir’aun yang menyembunyikan imannya berkata,” [QS. al-Mukmin: 28]. Ia mengatakan bahwa orang yang tidak ikut berperang itu boleh, tetapi jika orang itu punya kemampuan yang memungkinkannya, maka ikut berjihad atau berperang itu lebih utama, sebagaimana firman Allah, “Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (berdiam diri dan tidak berjihad) satu derajat,” [QS. al-Nisa`: 95].
Nafi’ ibn al-Azraq berkata, “Itu mengenai sahabat-sahabat Nabi Saw. yang saat itu dalam keadaan tertindas. Tetapi orang-orang lain yang punya kemungkinan, kalau mereka tidak berjihad maka itu adalah suatu kekafiran, seperti firman Allah, ‘Sedangkan orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, duduk berdiam diri saja,’ [QS. al-Taubah: 90].”
Najdah ibn Amir al-Hanafi mengirim putranya dengan membawa pasukan untuk menyerang penduduk Qatif. Mereka membunuh semua laki-laki di sana dan menawan perempuan-perempuannya. Kemudian mereka memberikan penilaian terhadap setiap perempuan tawanan mereka. Mereka berkata, “Kalau nilai mereka (para perempuan itu) setara dengan mutiara kita, kita ambil. Kalau tidak, kita kembalikan.” Mereka pun menikahi sejumlah perempuan yang mereka anggap pantas untuk mereka, dan mereka juga makan dari harta rampasan sebelum dibagikan. Ketika mereka kembali ke Najdah ibn Amir al-Hanafi dan memberitahukannya tentang hasil penyerangan, ia berkata, “Atas dasar apa kalian boleh melakukan itu?” Mereka berkata, “Kami tidak tahu kalau itu tidak boleh kami lakukan.” Ia memaafkan mereka karena ketidaktahuan mereka. Namun di antara pengikutnya terjadi perbedaan pendapat. Sebagian dari mereka menyetujui pendapat Najdah ibn Amir al-Hanafi yang memaafkan kesalahan karena ketidaktahuan, dan mereka memberlakukan itu ketika mereka menyerang kota Madinah, kota Nabi.
Menurut Najdah ibn Amir al-Hanafi, orang yang melakukan suatu kesalahan, atau melakukan kebohongan kecil, atau melakukan dosa kecil dan ia terus-menerus melakukannya, maka ia kafir yang musyrik, demikian juga dalam dosa besar (al-kabâ`ir). Orang yang melakukan dosa besar (seperti berzina, mencuri, dan meminum khamr), hanya sekali melakukannya dan tidak terus-menerus, ia tetap muslim, tidak musyrik. Pelaku dosa besar dari pengikutnya sendiri tidak dianggap kafir, dan Allah pun akan mengampuninya. Jika pun Allah menyiksanya, maka itu bukan di dalam neraka, dan setelah itu Allah akan memasukkannya ke surga. Tetapi jika pelakunya berasal dari golongan lain yang tidak sepaham, dianggap kafir dan Allah akan menyiksanya di dalam neraka karena dosanya.
Pandangan-pandangan Najdah ibn Amir al-Hanafi itu rupanya memicu perbedaan pendapat dan konflik di antara para pengikutnya. Mereka kemudian terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu Najdiyah, Athwiyah, dan Fadaikiyah. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa sebagian besar pengikutnya membenci dan menaruh dendam kepadanya atas berbagai pendapat yang—menurut mereka—ia buat-buat dalam masalah agama. Mereka berkata kepadanya, “Pergilah ke masjid, bertaubatlah atas apa yang telah kau perbuat.” Ia pun melakukannya. Kemudian sebagian dari mereka menyesal telah menyuruhnya untuk bertaubat, mereka berkata kepadanya, “Kau adalah imam, kau punya hak untuk berijtihad [dalam masalah agama], maka cabutlah taubatmu, dan mintalah orang-orang yang memintamu bertaubat untuk bertaubat. Kalau tidak, kami akan memerangimu.” Ia pun melakukannya. Dan sikapnya ini membuat sebagian pengikutnya yang lain memberontak terhadapnya dan mencopot kedudukannya sebagai imam, sampai akhirnya ia terbunuh di tangan Abu Fadaik yang kemudian menggantikan kedudukannya.
Ibadhiyah
Sekte ini dipimpin oleh Abdullah ibn Ibadh. Sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa Abdullah ibn Ibadh mulanya adalah bagian dari pengikut Nafi’ ibn al-Azraq, tetapi ia kemudian membelot dan memisahkan diri. Sementara sebagian riwayat lain menyatakan bahwa Jabir ibn Zaid adalah pendiri sekte Ibadhiyah yang sesungguhnya. Ia adalah seorang tabi’in, ahli fikih, dan merupakan murid dari Abdullah ibn Abbas. Namun karena beberapa sebab, ia berlepas diri dari mereka dan tidak mengakui mereka.
Dakwah mereka dimulai dari Basrah, dan hingga sekarang golongan ini tersebar di beberapa negara di Afrika Utara. Meskipun pandangan-pandangan mereka ekstrem, tetapi mereka dianggap sebagai sekte Khawarij yang paling moderat. Di antara pandangan mereka yang paling menonjol adalah mengkafirkan umat Muslim di luar kelompok mereka. Bukan mukmin dan bukan musyrik, tetapi kafir. Negeri umat Muslim yang tidak sepaham mereka sebut dar al-tawhîd (daerah orang-orang yang mengesakan Tuhan), tidak boleh diperangi, kecuali pusat pemerintahan dan militer yang mereka sebut dar al-kufr (daerah kekafiran). Dengan umat Muslim yang tidak sepaham boleh menjalin hubungan pernikahan dan berbagi warisan, dilarang menawan dan membunuh mereka dengan tipu muslihat, tetapi di dalam perang boleh mengambil harta dari mereka sebagai harta rampasan.”
Sebagian dari mereka ada yang mengingkari adzan, shalat jamaah, dan khutbah Jum’at karena dianggap bid’ah. Mereka sepakat bahwa orang muslim yang melakukan dosa besar adalah orang yang bertauhid (muwahhid), tetapi bukan mukmin dan bukan kafir non-muslim. Sederhananya, orang muslim yang melakukan dosa besar tidak keluar dari Islam.
Mereka mengatakan bahwa syafaat (ampunan bagi dosa dan kesalahan) bukan untuk orang yang terus-menerus melakukan dosa dan tidak bertaubat sampai mati, tetapi untuk menambah derajat di surga, dan orang fasik akan kekal di neraka. Dalam persoalan khilafah, seorang boleh menjadi khalifah dengan syarat harus mampu, adil, murah hati, dan bertakwa. Ibn Hazm berkata tentang mereka, “Mereka mengharamkan makanan ahli kitab (Kristen dan Yahudi), mewajibkan seseorang yang mimpi basah di siang hari pada bulan Ramadhan untuk mengganti puasanya. Mereka berpandangan bahwa haji boleh dilakukan kapan saja sepanjang tahun. Mereka mengkafirkan orang yang menyampaikan khutbah pada Idul Fitri dan Idul Adha. Dalam berpendapat dan menentukan hukum mereka berpijak pada tekstualitas sejumlah ayat tanpa mempertimbangan sunnah Nabi yang menjelaskan al-Qur`an dan makna-maknanya. Mereka mengutuk para tokoh sahabat Nabi seperti Utsman, Ali, Thalhah, al-Zubair, dan lainnya. Mereka mewajibkan untuk menentang dan memberontak terhadap pemimpin yang tidak adil. Orang yang tidak sepakat dengan mereka mengenai semua itu maka ia diminta untuk bertaubat. Kalau bertaubat [ia akan dibiarkan hidup], tetapi kalau tidak, maka ia dibunuh. Orang yang berzina atau mencuri akan ditetapkan hadd (hukuman) baginya, lalu ia minta untuk bertaubat. Kalau bertaubat [ia akan dibiarkan hidup], tetapi kalau tidak, maka ia dibunuh.”
Mereka meyakini bahwa semua aliran selain aliran mereka adalah batil. Mereka berkata, “Kebenaran adalah apa yang kita pegang, dan kebatilan adalah apa yang dipegang oleh musuh-musuh kita; karena kebenaran di sisi Allah hanya ada satu.”
Dikisahkan bahwa mereka keluar dari Kufah untuk membunuh orang-orang, menawan keturunan-keturunan mereka, membunuh anak-anak, mengkafirkan umat, dan membuat kerusakan di berbagai penjuru negeri. Dan akibat konflik internal, mereka kemudian pecah menjadi beberapa kelompok, di antaranya Hafshiyah yang mengingkari kenabian, surga dan neraka; Yazidiyah yang meyakini kedatangan seorang rasul selain Muhammad, dan seterusnya.[]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!