Perjalanan Pemikiran al-Ghazali (1/3)

HAMPIR pasti, tidak ada umat Muslim yang tidak mengenal Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali atau Imam al-Ghazali. Bahkan di kalangan Ahl al-Sunnah atau biasa disebut kaum Sunni tidak sah seseorang mengaku muslim tanpa mengenal Imam al-Ghazali.

Al-Ghazali hidup di saat peradaban Islam mengalami perpecahan. Kala itu, kekhilafahan Islam di Baghdad tidak lagi menjadi pemerintahan sentral umat Muslim. Pemerintahan Islam di Baghdad harus menghadapi ancaman dari berbagai kesultanan Islam di luarnya, terutama dari dinasti Syi’ah Fathimiyah dan dinasti Buwaihiyah. Keduanya merupakan kekuatan besar yang mengancam posisi dan otoritas kekhalifahan di Baghdad. Tidak hanya melakukan penggerusan politik melalui kekuatan militer, keduanya melakukan perlawanan melalui hegemoni budaya dan pemikiran. Jadi, bisa dimengerti jika pemikiran keagamaan dianggap sebagai jalan keluar yang benar-benar dibutuhkan saat itu. Selain untuk meredam emosi masyarakat, pemikiran keagamaan dianggap dapat menjinakkan arus gelombang oposisi yang kontra terhadap pemerintahan. Dengan kerangka serupa itu, maka semua tindakan penguasa akan dianggap netral jauh dari kepentingan individu dan kelompok karena ditampilkan untuk dan atas nama agama.[1]

Justifikasi agama terhadap kekuasaan merupakan sebuah keniscayaan pada saat agama dilibatkan dalam pertarungan politik. Tak ayal, pertarungan politik kemudian menjelma menjadi pertarungan ideologi dan pemikiran. Tiap-tiap kekhalifahan berusaha menafikan legalitas pemerintahan oposan melalui wacana dan pemikiran. Pada akhirnya pemikiran dianggap sebagai senjata paling ampuh untuk merebut kekuasaan selain kekuatan militer. Dalam situasi seperti ini, peran para pemikir sangat menentukan bahkan dominan. Mereka merupakan bagian tak terpisahkan dari kekuasaan. Mereka sangat dibutuhkan untuk melindungi ideologi negara dan memerangi segala bentuk pemikiran yang lahir dari pihak oposisi. Kenyataan inilah yang kemudian menobatkan gerakan intelektualitas tidak lagi sepenuhnya demi kebenaran. Mayoritas akademisi hanya berorientasi untuk mendapatkan popularitas dan kenikmatan duniawi yang diperoleh dari kedekatan dengan penguasa.

Demikianlah kira-kira konteks sosial politik di masa al-Ghazali hidup. Karenanya bisa dimengerti, bahwa perpindahannya dari Naisabur menuju Mu’askar tidak lain untuk meraih popularitas dan mendapatkan kedudukan penting di dalam pemerintahan. Kala itu ia memposisikan diri sebagai pemikir yang getol mempertahankan ideologi resmi pemerintah. Ia merasa tertuntut menghadapi berbagai ancaman pemikiran dari kekuasaan oposan. Ia harus mampu melawan pemikiran Muktazilah di Buwaih dan pemikiran Batiniyah di Mesir. Lemahnya kekhalifahan Islam di Baghdad telah membuat aliran Sunni tercabik-cabik. Dibutuhkan upaya baru untuk menyelamatkannya dari kepunahan sekaligus untuk mengatasi krisis akibat tidak adanya kesesuaian antara metodologi dengan identitas pemikirannya. Pengingkaran aliran pemikiran yang dikembangkan kalangan Sunni terhadap kausalitas telah menabrak efektivitas metodologi Muktazilah yang sangat menuntut kepercayaan terhadap rasio. Di sinilah letak strategis kontribusi al-Ghazali. Keberhasilannya menyempurnakan metode “qiyâs al-ghâ`ib ‘alâ al-syâhid” yang digunakan Muktazilah dengan cara memasukkan ilmu logika ke dalam metode tersebut. Hal itu telah membuahkan konsekuensi berupa pemaduan antara ilmu kalam dan filsafat dalam ilmu kalam Sunni.

Keberhasilan ini merupakan bukti kemampuan al-Ghazali membuka lembaran baru dalam dinamika pemikiran Islam. Ia mampu membawa aliran Sunni sebagai pemenang dalam dialektika pemikiran Islam klasik. Bahkan pemikirannya melampaui pemikiran semua akademisi Muslim di masanya. Dalam perlawanan terhadap filsafat, al-Ghazali tidak sekedar sebagai jelmaan dari al-Juwaini. Al-Juwaini melawan filsafat hanya pada unsur-unsur eksternalnya saja, sehingga tidak mampu meruntuhkan kekuatan medodologi pemikiran Muktazilah. Sedangkan al-Ghazali langsung menyentuh unsur-unsur internalnya sehingga metodenya sangat mematikan. Demikian pula dalam masalah usul fikih, al-Ghazali tidak sebatas sebagai jelmaan dari al-Syafi’i. Rumusan metodologi usul fikihnya tidak hanya berkutat pada tataran kebahasaan sebagaimana al-Syafi’i, tetapi juga merambah ke ilmu logika sebagai sebuah keharusan dalam perumusan hukum.

Terkait ilmu logika, pendekatan al-Ghazali tidak sama dengan para akademisi lain yang konsen dalam ilmu tersebut. Promosi al-Ghazali akan urgensi ilmu logika jauh berbeda dengan promosi Ibn Hazm. Promosi al-Ghazali hanya ditujukan untuk menggantikan metodologi ‘irfânîy-bâthinîy, namun tidak menyentuh ‘irfânîy-shûfîy sebagaimana Ibn Hazm. Tidak hanya itu, ia juga tidak seperti al-Farabi yang menggunakan ilmu logika sebagai metodologi pencapaian temuan-temuan ilmiah. Al-Ghazali memfungsikan ilmu tersebut justru sebagai instrumen dalam mempertahankan pemikiran Sunni dari serangan pemikiran oposan. Dan akhirnya ia pun mampu menyudahi perang pemikiran masa klasik dengan menjadikan Sunni sebagai pemenang, sekaligus menjadi penyebab terjadinya perpaduan antara paham Sunni dengan tasawuf.

Dengan demikian, tidak berlebihan bila al-Ghazali diklaim sebagai simbol intelektualitas Islam di masanya. Dalam dirinya mengalir berbagai macam intelektualitas, mulai dari ilmu fikih, ilmu kalam, filsafat, hingga tasawuf. Penguasaannya terhadap ilmu-ilmu itu sangat mendalam. Ia mampu menyaingi para akademisi yang membidangi ilmu-ilmu tersebut. Ia adalah pakar Asy’ariyah ketika mendiskusikan ilmu kalam, seorang sufi saat merumuskan metodologi tasawuf, sekaligus seorang filsuf kala membantah kerancuan-kerancuan pemikiran para filsuf.[2] Hal itu menunjukkan bahwa penguasaannya terhadap ilmu-ilmu tersebut merupakan tuntutan realitas. Posisinya sebagai akademisi dinasti Saljuk menuntut dirinya untuk menguasai segala kecenderungan pemikiran. Ia harus menguasai ilmu kalam untuk melawan pemikiran Muktazilah, menguasai filsafat dan tasawuf guna melawan pemikiran Syi’ah Bathiniyah.

__________________

[1]          Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fî Nazhr al-Ghazâlîy, Cairo: Dar al-Ma’arif, 1994, hal. 15

[2]          Muhammad Yasin Arabi, Mawâqif wa Maqâshid fî al-Fikr al-Falsafîy al-Islâmîy al-Muqârin, Dar al-Arabiyah li al-Kitab, 1991, hal. 271

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.