Peran Sosial Perempuan dan Kaitannya dengan Kepedulian Terhadap Lingkungan (1/2)
Islam menghormati perempuan dengan penghormatan luar biasa. Tak terhitung jumlah hak yang diberikan kepada perempuan. Bukan sebatas memulihkan harkat dan martabatnya, melainkan juga melibatkannya dalam berbagai tanggungjawab seperti halnya laki-laki demi mewujudkan tujuan ibadah kepada Tuhan.
Teks-teks al-Qur`an dan sunnah menegaskan sifat saling melengkapi di antara keduanya. Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan perbuatan orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan,” [Q.S. al-Imran: 195]; “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana,” [Q.S. al-Taubah: 71]. Dalam artian, keduanya turut serta dan saling melengkapi dalam melaksanakan tanggungjawab dan tugas yang dibebankan Tuhan kepada mereka di dunia ini.
Saling melengkapi dan ikut serta dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepada keduanya oleh syariat, tidak menjadikan syariat mengabaikan fitrah perbedaan di antara keduanya sehubungan dengan fungsi bawaan yang membedakan satu dari yang lainnya; pada mulanya keduanya adalah dua individu yang muncul dari satu pasangan, terpisah satu sama lain karena masing-masing menjalankan tugasnya. Syaikh Mutawalli al-Sya’rawi mengatakan dengan sangat baik mengenai hal ini:
“Kata imra`ah berarti padanan bagi rajul. Imra`ah berarti perempuan, dan rajul berarti laki-laki. Jika kita perhatikan, kita akan menemukan bahwa ada spesies yang menyatukan keduanya, yaitu manusia. Maksud saya, spesies adalah asal mula dua jenis, yaitu individu-individu yang setara, dan tidak ada perbedaan dalam komposisi aslinya. Oleh karena itu, kita harus mengatakan bahwa spesies itu dibagi menjadi dua jenis untuk melakukan dua tugas yang berbeda. Jika tidak, jika misinya sama, spesies tersebut tidak akan membelah dan tetap menjadi satu, dan pembagian ini menunjukkan bahwa masing-masing mempunyai ciri-ciri yang menunjukkan jati dirinya.”
Karena itu, dalam syariat terdapat ketentuan-ketentuan umum bagi keduanya sehubungan dengan tugas-tugas yang keduanya lakukan dan ikut serta di dalamnya. Syariat juga memiliki ketentuan-ketentuan khusus untuk masing-masing dari keduanya yang sesuai dengan fitrah keduanya. Tidak ada perbedaan antara tanggungjawab moral, sosial, politik, keilmuan, intelektual, dan lainnya, selain pengecualian yang secara tegas didefinisikan oleh syariat.
Peran Sosial Perempuan
Bagian ini akan fokus pada peran sosial partisipasi perempuan. Dalam hal ini kita memiliki teladan yang baik dalam dalam sîrah Nabi Saw., yaitu ketika para sahabat perempuan, dan sebelum mereka ummahât al-mu`minîn (istri-istri Nabi Saw.) terlibat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, dengan keluar untuk belajar dan mengajar.
Bukan rahasia lagi bahwa para sahabat perempuan ini telah meminta kepada Nabi Saw. untuk menyediakan hari khusus bagi mereka sendiri saja (supaya mereka juga bisa belajar bersama Nabi Saw.). Kemudian mereka pergi untuk bertani, membajak, menggembalakan hewan ternak, dan berdagang, bahkan mereka juga ikut di dalam rombongan mujahidin (para pejuang dalam perang), baik sebagai petarung atau perawat, atau paramedis bagi yang sakit dan terluka, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang dengannya para sahabat perempuan menunjukkan bahwa seorang perempuan Muslim dapat menjadi anggota aktif kehidupan masyarakat bila mereka menginginkannya, sebagai respons terhadap kebutuhan hidup yang serius dan aktif.
Tentu saja itu merupakan suasana yang sangat hidup di bawah naungan syariat yang tidak melabrak moral dan melanggar kesopanan. Para sahabat perempuan diberi hak untuk memilih pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. Saat itu para perempuan bisa bekerja untuk mendapatkan upah di beberapa tempat, atau melayani masyarakat dan membantu sesama perempuan, dan berkontribusi dalam perjuangan melawan kemiskinan, kebodohan, penyakit, dan kejahatan.
Peran perempuan sebagai khalifah di muka bumi dapat dijalankan dengan berbagai cara sesuai dengan kecenderungan, spesialisasi, keinginan, dan tentunya kesempatan, karena setiap orang diciptakan untuk apa yang mungkin baginya, sebagaimana dianjurkan oleh Nabi Saw.
Peran Penting Perempuan dalam Pendidikan Lingkungan
Dalam keadaan apa pun, peran penting seorang perempuan dalam keluarga di antaranya, bersama laki-laki, adalah membesarkan putra-putrinya. Seorang perempuan harus menyadari fungsi eksistensialnya dalam kehidupan dunia, yaitu melahirkan keturunan sebagai penerus (khalifah), dan mereka adalah putra-putrinya. “Peran penting perempuan tidak akan berubah. Ia harus melanjutkan proses reproduksi manusia. Hal ini tidak hanya untuk kelangsungan hidup umat manusia, tetapi juga untuk memberinya pengalaman mengambil manfaat dan menikmati berkah menjadi perempuan dan kemudian menjadi ibu.”
Perempuan, atau lebih tepatnya ibu, ketika menjalankan peran vitalnya dalam kehidupan “keibuan”, harus memanfaatkan perannya sebagai ibu dalam mempersiapkan generasi mendatang untuk mewujudkan suksesi kehidupan, melalui pengasuhan alamiah (makanan, pakaian, dan kebersihan), kemudian pendidikan sosial dan agama. Di sini, ibu adalah pelaksana penyebaran prinsip, nilai dan ajaran agama kepada putra-putrinya. “Seorang ibu harus giat memperkuat fondasi keluarga dan membesarkan putra-putrinya dengan pemahaman yang benar dan tekad yang tulus; untuk mengubah realitas bangsa menjadi lebih baik.”
Dalam menjalankan pekerjaannya sehari-hari, seorang ibu merepresentasikan teladan hidup bagi putra-putrinya, teladan seseorang yang bekerja dan aktif menghadapi kesulitan hidup dalam rangka beribadah kepada Tuhan. Setiap orang memainkan perannya dengan penuh kesabaran, kejujuran, dan tekad yang kuat untuk berubah; mengubah suasana rumah dari menjadi rumah yang bersih, teratur, tenang, dan sehat, atau mengubah pola perilaku, persepsi, dan pikiran.
Anak yang terlahir adalah sebuah kertas kosong, maka sang ibu mempunyai peran penting dan mendasar untuk mengisinya, dan menuliskan di atasnya segala sesuatu yang diinginkannya dari anaknya, dan dengan melakukan itu ia berangkat dari kesadarannya akan perannya sebagai manusia yang menjadi khalifah di muka bumi; kepada putra-putrinya, kepada rumah tangganya, kepada masyarakatnya, kepada agama, bangsa dan negaranya.
Segala sesuatu yang dituliskan ibu di dalam benak anaknya menunjukkan ketulusannya, yang memperlihatkan sejauh mana kesadaran, pengetahuan, intelektualitas, dan pemahamannya terhadap peran penerusnya.
Ibu bertanggungjawab menyebarkan konsep dan budaya kebersihan, keindahan, dan wewangian di rumah. Ia bertanggungjawab mengubah prinsip kebersihan menjadi perilaku halus dan beradab yang diikuti oleh seluruh anggota keluarga di dalam rumah. Dari sini kemudian berlanjut ke lingkungan eksternal kecil, lalu lingkungan umum. “Kebersihan adalah perilaku yang diupayakan dan dapat kita pelajari sebagai hasil didikan yang dengannya kita tumbuh dan berkembang.”
Mengendalikan anak ketika masih kecil jauh lebih mudah daripada mengendalikannya ketika sudah dewasa. Mengajari dan mendidik anak ketika masih kecil jauh lebih mudah daripada mendidiknya ketika sudah dewasa. Maka benarlah pepatah yang mengatakan: “Belajar di Waktu kecil seperti mengukir di atas batu.”
Pendidikan lingkungan dimulai sejak bulan-bulan pertama kehidupan seorang anak, yaitu ketika ibu menanamkan di dalam dirinya perilaku kebersihan dan pelestarian lingkungan. Proses penanaman perilaku kebersihan berlanjut bahkan saat ia duduk untuk buang hajat, sehingga ia belajar bahwa setiap tindakan memiliki prinsip yang mengikuti, karena ia bukanlah binatang yang makan kapan pun ia mau dan buang hajat di mana saja di lingkungannya.
Ketika seorang ibu membuang sampah, ia akan membuangnya di tempat yang telah ditentukan untuk membuang sampah. Anak akan melihat perilaku ini dan menyimpannya dalam ingatannya hingga suatu hari ia dapat menerapkan perilaku tersebut.
Demikian seterusnya, dan seiring berjalannya waktu anak tersebut tumbuh dan berkembang hingga ia menjadi dewasa, di mana ia mempelajari banyak perilaku dan mekanisme yang dilatih oleh ibunya. Sang ibu tidak perlu menyuruhnya, “Jangan buang sampah dari jendela!”, sebab ia belum pernah melihat ibunya melakukan hal itu. Sang ibu juga tidak perlu menyuruhnya untuk membersihkan debu dari karpet atau taplak meja, sebab ia sering melihat ibunya melakukan itu.
Ketika seorang ibu mengajak seluruh anggota keluarganya pada saat libur sekolah atau hari libur nasional untuk melakukan pembersihan menyeluruh, mulai dari dapur, kamar tidur, hingga kamar mandi, kemudian menata pakaian, buku dan perlengkapan sekolah, mengelap sepatu, kemudian membersihkan bagian luar rumah, mengejawantahkan sabda Nabi Saw.: “Sesungguhnya Allah Maha Baik, dan menyukai kepada yang baik, Maha Bersih dan menyukai kepada yang bersih, Maha Pemurah, dan menyukai kemurahan, dan Maha Mulia dan menyukai kemuliaan, karena itu bersihkanlah diri kalian,” [H.R. al-Tirmidzi] maka dengan perilakunya ini ia telah menanamkan nilai-nilai keteraturan dan ketertiban, yang diwakili oleh kebersihan dan kepedulian terhadap lingkungan tempat ia tinggal. Dan dengan itu ia telah mentransformasikan prinsip dan nilai menjadi perilaku dan tindakan yang beradab di hati seluruh anggota keluarga kecilnya.
Perempuan dapat mengambil peran berharga ini di rumahnya, dan ia bisa mengukuhkan jati dirinya. Dengan melakukan hal ini, ia menghilangkan perbudakan dirinya dengan memerankan diri sebagai subjek yang mandiri, dan dengan cara ini ia juga dapat mengisi kesenjangan yang seharusnya dapat ia jembatani berupa penanaman nilai-nilai luhur di keluarga kecilnya.
Kesadaran perempuan akan diri dan perannya sebagai pelindung keluarga serta penjaga nilai dan prinsip, berarti, dalam skala nilai, ia sadar sepenuhnya akan peran dan hakikat dirinya, keberadaan dan fungsinya, dan bahwa ia adalah khalifah Tuhan di muka bumi.
Perempuan berakal, yang menyadari perannya sebagai pelindung keluarga, menyadari sepenuhnya bahwa celah di dalam rumah tangganya dapat diisi olehnya, di mana ia akan mengurus putra-putrinya, dan dengan demikian berkontribusi dalam membangun masyarakat serta menjaga stabilitas, ketahanan, dan keamanannya. Dengan mengikuti seruan akal sehatnya, ia akan mengamankan stasiun di salah satu perbatasan yang paling rawan, yaitu mengurus rumah tangga dan membesarkan putra-putrinya, mendidik dan membekali mereka agar mereka tidak mudah terpengaruh oleh paham-paham yang merusak.
Bersambung….
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!