Perjalanan Pemikiran al-Ghazali (2/3)
Tasawuf merupakan fase terakhir dari perkembangan pemikiran al-Ghazali. Pada fase ini, al-Ghazali menemukan apa yang dinamakannya ‘hakikat kebenaran’. Hakikat kebenaran itu diperolehnya setelah mengalami skeptisme berat. Ia menceritakan pengalamannya itu di dalam sebuah kitab berjudul “al-Munqidz min al-Dhalâl”. Kitab ini memaparkan bagaimana al-Ghazali keluar dari derita skeptisme yang membuatnya mempertanyakan setiap kebenaran sampai membuat tubuhnya menjadi lemah dan tidak dapat melakukan apa-apa. Al-Ghazali berhasil mengakhiri penderitaan itu setelah mendapatkan cahaya Tuhan yang memercik ke dalam lubuk hatinya. Dengan cahaya Tuhan itulah dia mampu menemukan hakikat kebenaran.[1] Rupa-rupanya, kembali kepada Tuhan adalah solusi terbaik setelah mengalami kebingungan dalam menentukan kebenaran. Kebenaran telah terpecah-pecah akibat perbedaan akal manusia. Hal ini tentu saja menuntut adanya ‘campur tangan’ Tuhan yang terjewantahkan dalam wujud sebuah ilham yang tidak bisa ditalar rasio.[2]
Jika kitab “al-Munqidz min al-Dhalâl” adalah biografi al-Ghazali dalam menemukan hakikat kebenaran, maka kitab “Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn” merupakan pemaparan mengenai hakikat kebenaran itu sendiri. Kitab ini telah memicu laju perkembangan tasawuf dalam peradaban Islam. Kelebihan kitab ini tidak hanya terletak pada materi tasawufnya semata, melainkan juga pada mekanisme penanaman materi itu di dalam peradaban Islam. Al-Ghazali menanamkan pemikiran-pemikiran tasawuf tersebut melalui jalur resmi pemikiran Sunni, yaitu fikih.[3] Di sini, ia menganggap ibadah tidak hanya berupa praktik zhahiriyah semata, tetapi juga mencakup aspek batiniyah. Ia berusaha memberikan signifikasi spiritual lebih mendalam terhadap semua ibadah wajib dalam Islam. Bersuci, shalat, puasa, zakat, dan haji bukan hanya merupakan amal zhahir, tetapi juga merupakan amal batin. Selain itu, al-Ghazali juga berusaha memperlebar arti ibadah hingga tidak hanya mencakup hal-hal yang wajib. Semua aktivitas manusia dapat pula dianggap sebagai ibadah asalkan disisipi dengan makna-makna spiritual.[4]
Kelebihan lain dari kitab tersebut terletak pada metodologi tasawuf yang ditawarkan. Tidak seperti para filsuf yang mencukupkan diri pada capaian keilmuan, juga tidak seperti para ahli fikih yang mencukupkan diri pada praktek amaliah, al-Ghazali justru berusaha membangun metodologi tasawufnya melalui penyatuan antara ilmu dan amal. Menurutnya, mempelajari ilmu tasawuf harus didahulukan sebelum menceburkan diri ke dalam dunia tasawuf. Ilmu sangat dibutuhkan dalam dunia tasawuf dan lebih utama dari semua ibadah yang dijalankan tanpa ilmu.[5] Ini menandakan bahwa al-Ghazali memasuki dunia tasawuf setelah menguasai ilmunya. Ilmu itu diperolehnya melalui kitab-kitab karya para imam sufi. Al-Ghazali telah mempelajari kitab “Qût al-Qulûb” karya Abu Thalib al-Makki dan “al-Risâlah al-Qusyayrîyyah” karya Imam al-Qusyairi, dll. Kitab-kitab inilah yang banyak mempengaruhi lahirnya kitab “Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn”.[6]
Dengan demikian, ilmu tasawuf sebenarnya hanyalah sebatas pengantar dalam mengarungi samudera spiritualitas. Melalui ilmu tasawuf segala ketentuan dalam menjalani dunia kesufian akan diketahui, juga hal-hal yang semestinya didahulukan dan hal-hal yang seharusnya diakhirkan. Ilmu tasawuf akan memberikan informasi mengenai tata-cara membersihkan hati dari entitas selain Tuhan. Namun, selain penguasaan terhadap ilmu, olah diri juga harus dilakukan dengan banyak berbuat amal kebajikan dan selalu lebur dalam dzikir-dzikir Tuhan agar jiwa menjadi suci. Apabila itu terjadi, maka akan terwujudlah mukâsyafah dan musyâhadah, yang nantinya akan berujung pada tingkatan fanâ`.[7] Mukâsyafah, musyâhadah, dan fanâ` hanya bisa terjadi di saat seorang sufi mampu menyatukan zhâhir dan bâthin, syariat dan hakikat, dengan keimanan yang benar kepada Tuhan serta selalu berbuat baik kepada ciptaan-Nya. Apabila ia tidak mampu melakukan hal itu, maka tatanan kesufian di dalam dirinya akan hancur. Sehingga ia tidak bisa menobatkan diri sebagai sufi, sebab ia tidak akan mendapatkan mukâsyafah, musyâhadah, dan fanâ` sebagai anugerah dari Tuhan.[8]
_______________________
[1] Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalâl, Beirut: al-Maktabah al-Sya’biyah, t. th. hal. 11
[2] Majdi Muhammad Ibrahim, al-Tashawwuf al-Sunnîy; Hâl al-Fanâ` Bayn-a al-Junaydîy wa al-Ghazâlîy, Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah, 2002, hal. 506
[3] Muhammad Abed al-Gabiri, Nahn-u wa al-Turâst, Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, hal. 169-170
[4] Yohana Qamer, al-Ghazâlîy, Beirut: Katholik, 1947, hal. 24
[5] Majdi Muhammad Ibrahim, op.cit, hal. 476
[6] Zakiy Mubarak, al-Akhlâq ‘ind-a al-Ghazâlîy, Cairo: Daar al-Kitab al-Arabi, 1968, hal. 74
[7] Umar al-Faruk, Târîkh al-Fikr al-‘Arabîy ilâ Ayyâm ibn Khaldûn, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1972, hal. 512
[8] Ibid., hal. 507
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!