Kesadaran, Peran Sosial, dan Kepedulian terhadap Lingkungan (1/3)

Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia dan menjadikannya sebagai khalifah untuk memakmurkan bumi, sebagaimana tercantum di dalam firman-Nya, “[Ingatlah] ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi,” [Q.S. al-Baqarah: 30]. Dia menundukkan bumi beserta seluruh isinya untuk kepentingan manusia, “Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya,” [Q.S. Hud: 61].

 

Untuk mewujudkan tujuan kekhalifahan umat manusia di muka bumi ini, diperlukan kerja sama dan integrasi antar seluruh umat manusia di dunia, sebagaimana firman-Nya, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa,” [Q.S. al-Hujurat: 13]. Salah satu aspek dari kerja sama ini adalah melestarikan kekayaan dan hal-hal baik yang melimpah di bumi dan bermanfaat bagi semua orang; seperti melindungi hewan dan tumbuhan, melestarikan air, rerumputan, sumber daya bawah tanah, dan hal-hal lainnya yang terdapat di permukaan bumi.

 

Hal ini terlihat dari perkataan Ibn Asyur ketika berbicara tentang tujuan umum syariat: “Tujuan umum dari tasyri‘ (pensyariatan) di antaranya adalah melestarikan sistem umat dan mempertahankan kebaikannya melalui kebaikan penguasanya, yaitu jenis manusia. Kebaikan jenis manusia meliputi kebaikan akal-pikiran, kebaikan pekerjaan, serta kebaikan harta benda duniawi yang ia hidup di dalamnya.”

 

Kenyataannya, persoalan “kekhalifahan” merupakan persoalan yang patut kita perhatikan karena akan menentukan peran dan kewajiban manusia terhadap lingkungannya. “Kekhalifahan” berarti bahwa manusia adalah penjaga dan pemelihara lingkungan, bukan pemiliknya. Ia bertanggung jawab atas pengelolaan, pengembangan, pembangunan, dan ia merupakan wali atas lingkungan tersebut.

 

Kewajiban “kekhalifahan” tentu saja mengharuskan manusia mengikuti apa yang diperintahkan oleh Sang Pencipta dan Sang Pemilik lingkungan ini, dan Sang Pemberi wewenang kepada manusia untuk menjaganya.

 

Kemudian, fungsi “kekhalifahan” mengharuskan manusia bertindak sebagai wali yang jujur sesuai dengan amanah yang diterimanya dari Tuhan. Bumi adalah tanah Tuhan, dan hamba-hambanya adalah hamba Tuhan. Ini menunjukkan tidak ada kepemilikan mutlak di dalam Islam, sehingga tidak seorang pun mempunyai hak untuk menyia-nyiakan apa yang dimilikinya sesuka hatinya. Kepemilikan dalam Islam dibatasi oleh pengendalian dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Tuhan, termasuk pemanfaatan dan pemeliharaannya dengan baik, serta menjaganya dari segala kerusakan atau vandalisme.

 

Dalam melaksanakan tugas “kekhilafahan” tidak dituntut bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri saja. Sebaliknya, ia harus memperluas jangkauan kepentingannya hingga mencakup seluruh lingkungannya dan apa-apa yang berada di wilayah kekuasaannya, dengan tidak menyebabkan kerusakan dan kehancuran terhadap makhluk hidup, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik,” [Q.S. al-A’raf: 56], “Apabila berpaling [dari engkau atau berkuasa], ia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanam-tanaman dan ternak. Allah tidak menyukai kerusakan,” [Q.S. al-Baqarah: 205].

 

Menafsirkan ayat-ayat ini, Ibn Asyur mengatakan bahwa Allah Swt. “memberi tahu kita bahwa kerusakan yang diperingatkan itu adalah kerusakan hal-hal yang ada di dunia ini, dan bahwa Dia yang telah menciptakan di dalamnya hukum kelangsungan hidup tidak berpikir melakukannya dengan sia-sia.”

 

Allah telah berulang kali menyatakan di dalam al-Qur’an bahwa dilarang berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allah menciptakannya dengan sangat baik dan mempersiapkannya untuk kemaslahatan umat manusia. Allah menyatakan tidak menyukai kerusakan, tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan, termasuk merusak lingkungan, mencemarinya, melanggarnya, serta melakukan tindakan menyimpang dari tujuan diciptakannya dunia ini. Semua ini adalah pengingkaran (kufur) terhadap nikmat, yang akan mendatangkan bencana dan pelakunya diperingatkan dengan azab sangat pedih yang akan menimpanya sama dengan azab yang menimpa kaum Ad dan Tsamud, dan kaum-kaum setelah mereka. “Yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab, sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi,” [Q.S. al-Fajr: 11 – 14].

 

Kerusakan komponen-komponen lingkungan berbeda-beda antara satu unsur dengan unsur lainnya; ada yang terkena kerusakan dan kehancuran, ada yang terkena pencemaran, ada yang terkena pemborosan dan hilangnya manfaat. Umumnya berkisar pada sifat kerusakan dan perusakan di muka bumi yang dilarang oleh Tuhan.

 

Jika lingkungan telah memberikan kemudahan bagi manusia, ditundukkan untuknya atas kehendak dari Yang Mahakuasa, maka pada saat yang sama, ia adalah salah satu makhluk Tuhan. Sehingga, karenanya, manusia–yang juga merupakan salah satu makhluk Tuhan–tidak boleh merusak dan menyakitinya, atau mencegahnya menjalankan fungsinya sesuai dengan tujuan penciptaannya di alam semesta ini. Prinsip umum dalam hukum Islam adalah: “la dharara wa la dhirar” (tidak membayakan diri dan orang lain)”[4]. Artinya, jika manusia merugikan dan menggangu hak-hak lingkungan, maka mau tidak mau kerugian itu akan kembali menimpa dirinya sendiri.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.