Pos

Bagaimana Fikih Memandang Krisis Iklim dan Pemanasan Global?

Pembahasan tentang krisis iklim, lingkungan, dan pemanasan global belum ditemukan secara khusus dalam khazanah fikih klasik. Namun, ajaran-ajaran yang berkaitan dengan lingkungan sebenarnya tersebar di beberapa bagian dalam ilmu fikih lainnya.

Hal menarik dari hal ini adalah bahwa kondisi alam pada masa Imam Mazhab belum begitu mendesak, sehingga isu lingkungan belum menjadi perhatian utama. Sebaliknya, dalam fikih klasik, topik yang lebih sering dibahas terkait lingkungan adalah mengenai perlindungan hewan.

Prinsip Dasar Fikih Tentang Lingkungan

Walaupun fikih klasik tidak membahas krisis iklim dan pemanasan global secara spesifik, secara implisit ajaran fikih sangat menganjurkan perawatan dan penjagaan terhadap seluruh ciptaan Allah, baik makhluk hidup maupun benda mati. Prinsip dasar fikih menegaskan bahwa semua makhluk ciptaan Allah dianggap “muhtarom” (mulia), yang berarti keberadaannya harus dilindungi.

Kaidah Fikih Tentang Krisis Iklim dan Pemanasan Global

Meskipun tidak secara eksplisit membahas krisis iklim, beberapa kaidah fikih (Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah) memberikan pesan penting tentang bagaimana mencegah meluasnya dampak krisis iklim dan pemanasan global. Berikut beberapa kaidah yang relevan:

1. Meraih Maslahah dan Mencegah Mafsadah

Kaidah pertama ini berarti mencapai kebaikan (maslahah) dan mencegah kerusakan (mafsadah). Dalam konteks krisis iklim, kaidah ini mengarahkan kita untuk melakukan pengelolaan alam yang bermanfaat dan menghindari eksploitasi berlebihan. Pengelolaan ini harus sejalan dengan upaya mencegah kerusakan yang menjadi penyebab terjadinya krisis iklim.

2. Mencegah Kerusakan Diutamakan Daripada Meraih Kebaikan

Imam As-Suyuthi menjelaskan bahwa dalam menentukan skala prioritas, menolak kerusakan lebih diutamakan daripada meraih kebaikan. Dalam konteks pemanasan global, kaidah ini menekankan bahwa menjaga kelestarian alam harus diprioritaskan. Ini serupa dengan pepatah “mencegah lebih baik daripada mengobati.”

3. Kepentingan Umum Diutamakan Atas Kepentingan Khusus

Kaidah ini menegaskan bahwa ketika kepentingan umum bertentangan dengan kepentingan pribadi, kepentingan umum harus didahulukan. Dalam perspektif pemanasan global, kepentingan masyarakat luas untuk menurunkan tingkat pemanasan global harus lebih diutamakan daripada kepentingan individu yang justru dapat memperburuk keadaan.

4. Memilih Resiko Paling Ringan

Jika dihadapkan pada dua pilihan yang berisiko, kaidah ini menegaskan untuk memilih resiko yang paling kecil dampak negatifnya. Dalam hal kebijakan terkait lingkungan, baik masyarakat maupun pembuat kebijakan harus mempertimbangkan dampak negatif terhadap lingkungan dan memilih solusi yang paling minim resikonya.

5. Jangan Berbuat Bahaya atau Membahayakan

Kaidah ini berpendapat bahwa tujuan utama syariat adalah untuk meraih kebaikan dan mencegah kerusakan. Dalam konteks pemanasan global, tindakan yang dapat memperburuk pemanasan global harus dihindari karena bisa membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan secara luas.

Relevansi Fikih Terhadap Krisis Iklim

Meskipun pembahasan spesifik tentang krisis iklim dan pemanasan global tidak ditemukan dalam fikih klasik, nilai-nilai dalam fikih tetap relevan untuk menanggapi masalah ini. Kaidah-kaidah fikih yang disebutkan memberikan landasan etis untuk menjaga lingkungan. Prinsip-prinsip tersebut menekankan pentingnya pengelolaan alam yang berkelanjutan dan menolak segala bentuk kerusakan yang dapat memperparah krisis iklim.

Dengan memahami kaidah-kaidah ini, kita dapat menyelaraskan tindakan sehari-hari dan kebijakan dengan ajaran Islam yang mendukung kelestarian alam. []

Perempuan dan Politik: Narasi Sejarah, Fikih, dan Lanskap Politik Umat

Perempuan dalam Politik

Perempuan dan politik seakan tak pernah habis diperbincangkan. Setiap perhelatan politik, termasuk Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) kali ini, perempuan terus menjadi topik pembicaraan, bahkan hingga menjadi variabel penentu kemenangan. Pemilihan Gubernur Surabaya, misalnya, diikuti oleh tiga perempuan. Menariknya, narasi Islam turut berkelindan dalam pembahasan ini.

Di tengah gegap gempita kampanye, kita masih menjumpai “serangan” terhadap calon-calon perempuan, mulai dari dalil agama hingga tudingan inkompetensi dalam memimpin daerah. Di sisi lain, sebagian calon perempuan melawan dengan menggunakan otoritas agama guna mengubah persepsi negatif atas kepemimpinan perempuan yang terlanjur terbangun dan bertahan hingga hari ini.

Padahal, di tengah kemajuan teknologi internet, kepemimpinan perempuan semakin luas diperbincangkan, dari siniar di YouTube hingga unggahan di Instagram. Buku-buku pun turut membahasnya. Oleh sebab itu, sebenarnya kita tidak lagi perlu mempermasalahkan isu ini.

Literasi Terkait Perempuan dan Politik

Baru-baru ini, Rumah KitaB (Yayasan Rumah Kita Bersama) menerbitkan buku berjudul Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan. Literasi terkait perempuan dan politik pun turut bertambah. Data-data sejarah yang disuguhkan dalam buku ini tidak sekadar asumsi atau tafsiran belaka. Keterlibatan perempuan dalam berbagai fase sejarah umat Islam dihadirkan dengan jelas.

Buku ini ditulis oleh Jamaluddin Mohammad, Roland Gunawan, Achmat Hilmi, dan Nur Hayati Aida. Mereka menyajikan kajian mendalam terkait perempuan dan politik yang diulas dari sisi sejarah, hukum Islam, dan persoalan sosial yang terkait. Yuk, kita ulas sekilas buku ini.

Sejarah Perempuan dalam Islam

Secara isi, buku ini terasa padat, namun ditulis dengan bahasa yang renyah sehingga pembaca tidak akan merasa bosan. Buku ini menghadirkan banyak kisah yang terjadi sepanjang sejarah umat Islam, khususnya terkait perempuan, ruang publik, dan politik. Menariknya, kita akan menemukan banyak fakta sejarah yang selama ini mungkin jarang kita temui.

Kehadiran perempuan di ruang publik secara aktif telah dijumpai dalam beragam peran. Mungkin selama ini kita hanya mengenal nama-nama perempuan agung seperti Khadijah al-Kubra dan Fathimah binti Nabi yang aktif dalam banyak urusan umat Islam. Namun, buku ini juga memperkenalkan kita pada nama-nama perempuan muslim lainnya, seperti Al-Syifa’ binti Abdillah al-Qurasyiyah, Fathimah binti Ali bin Abdullah ibn Abbas, dan Ummu Ja’far ibn Yahya al-Barmaki, yang memiliki peran besar dalam sejarah Islam.

Buku setebal lebih dari 140 halaman ini mengulas perempuan dari sisi normativitas hingga sosio-politik di sepanjang sejarah umat Islam. Ulasan fikih yang sering kali njelimet dan kompleks terkait perempuan, ditulis dalam bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami.

Analisis Gender dan Fikih

Ulasan fikih dalam buku ini mengingatkan saya pada buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial karya Mansour Fakih. Dalam buku tersebut, Fakih mengusulkan tiga agenda strategis dalam penafsiran agama yang perlu ditinjau dan dikaji ulang, yaitu subordinasi perempuan, persoalan waris dan saksi perempuan, serta hak produksi dan reproduksi perempuan.

Fakih mengusulkan penggunaan analisis gender dalam melihat produk hukum Islam yang kurang ramah terhadap perempuan. Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan ini mengangkat tema yang mirip, membahas dinamika sosial yang terjadi dalam umat Islam, terutama di Indonesia. Mohammad dan timnya mengulas dengan sangat elok tentang perkembangan gerakan perempuan, khususnya di Indonesia.

Sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia

Sejarah gerakan perempuan di Indonesia telah mengakar lama, dengan cita-cita partisipasi dan representasi perempuan dalam politik Indonesia yang terus berkembang hingga hari ini. Sejarah pengetahuan umat Islam juga terjalin erat dengan perkembangan feminisme di Indonesia.

Islam dan feminisme berkembang bersama dalam menghadapi persoalan perempuan yang semakin kompleks. Buku ini mengulas bagaimana feminisme muslim mencoba menjadikan agama tidak hanya sebagai sumber nilai dan norma, tetapi juga sebagai alat transformasi sosial. Di titik ini, semangat yang telah dibangun oleh Fakih berkelindan dengan isi buku ini.

Kompleksitas Keterwakilan Perempuan di Politik

Pada bagian akhir buku ini, kita dihadapkan pada kompleksitas kehadiran dan keterwakilan perempuan di ranah politik, yang masih problematik dan penuh tantangan. Politisi kita masih belum memiliki komitmen yang kuat dalam memperjuangkan posisi perempuan di ruang-ruang politik. Perlindungan hak-hak perempuan pun masih sangat lemah, bahkan bisa dikatakan rentan.

Banyak regulasi dan produk hukum yang melindungi perempuan masih sulit dilahirkan oleh pemangku kebijakan. Kalaupun ada, penerapannya seringkali problematik. Perempuan semakin sulit mendapatkan hak dan perlindungan yang seharusnya mereka terima.

Perempuan Sebagai Individu dan Bagian dari Sosial

Bagian paling menarik dari buku ini, menurut saya, adalah ulasan mengenai perempuan yang mengalami penindasan dari dua sisi sekaligus, yakni sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat. Perempuan diulas sebagai tubuh individual dan tubuh politik. Problematika representasi perempuan di ruang publik selalu terkait dengan dua aspek ini.

Sejarah, hukum Islam, dinamika sosial, dan politik terus membatasi perempuan, baik sebagai individu maupun secara sosial. Perempuan terus didefinisikan oleh pihak luar, baik tubuh individual maupun tubuh politiknya. Oleh karena itu, buku ini bisa dikatakan progresif dalam menggambarkan posisi dan representasi perempuan di ruang publik, menggunakan legitimasi fakta sejarah, ulasan hukum yang berpihak, hingga perlawanan atas dinamika sosial yang timpang dan menindas.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin. 

Perbedaan Pendapat di dalam Fikih

PERBEDAAN dalam masalah hukum merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada setiap pensyariatan (tasyrî’) yang menjadikan aktivitas-aktivitas manusia berikut adat-adat mereka sebagai sumber, di samping juga pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran dan pertimbangan mereka sebagai dasar pijakan. Hal itu disebabkan kerena adat-adat manusia berbeda-beda, pekerjaan-pekerjaan mereka bermacam-macam, dan pendapat-pendapat mereka beragam, sesuai dengan fitrah mereka yang diciptakan Allah Swt.. Bila dasar pikiran yang digunakan berbeda, sudah tentu hasilnya pun akan berbeda pula. Itulah sebabnya seluruh syariat positif (al-syarî’ah al-wadh’îyyah) hingga saat ini masih saja menjadi obyek perbedaan dan pemicu perdebatan, karena itu merupakan ‘buatan’ sekaligus hasil pemikiran manusia dalam upaya mencapai maslahat-maslahat yang mereka inginkan. Dan maslahat-maslahat yang dicapai tentu saja tidak sama antara satu dengan yang lain tersebab perbedaan pandangan, tujuan, lingkungan dan zaman.

Kiranya perbedaan semacam itu tidak terjadi dalam syariat Islam di masa Nabi Saw. hidup, yaitu ketika beliau menyampaikannya di tengah-tengah manusia dan menjelaskan signifikansinya dalam kehidupan. Hal ini disebabkan karena Allah Swt. selalu ‘turut campur’ dalam menentukan mana yang termasuk wahyu dari-Nya guna mengatur manusia dan mana yang termasuk ijtihad atau upaya penalaran subyektif Nabi Saw.. Apapun yang berasal dari Allah Swt. maka tidak ada pertentangan di dalamnya. Allah Swt. berfirman di dalam al-Qur`an, “Apakah mereka tidak merenungkan al-Qur`an? Dan kalau [al-Qur`an itu] berasal dari selain Allah niscaya mereka akan menemukan banyak sekali pertentangan di dalamnya.”[1]

Adapun setelah Nabi Saw. wafat, yaitu ketika pawahyuan al-Qur`an sudah terhenti, maka orang-orang setelah beliau (para shahabat) atau orang-orang setelah mereka (para tabi’in dan tabi’it tabi’in) berupaya menerapkan ajaran dari beliau terhadap kejadian-kejadian baru. Nah di sinilah mereka dihadapkan pada kenyataan-kenyataan dengan berbagai corak dan beragam kondisi serta perbedaan tempat.[2] Dalam hal ini mereka berpijak pada pandangan dan perbandingan antara apa yang terjadi di masa Nabi Saw. dengan apa yang terjadi setelahnya, disertai identifikasi adanya persamaan antara kejadian-kejadian yang lalu dengan kejadian-kejadian setelahnya dan kesamaan konteks hukum berikut ‘illah-nya.

Kemudian pada tahapan selanjutnya dicarilah makna-makna teks yang sesuai dan hubungan antara yang satu dengan yang lain sembari melakukan ithlâq, taqyîd, takhshîsh, ta’mîm dan naskh. Ini semua adalah hal-hal yang di dalamnya terdapat banyak sekali pola pandang sehingga melahirkan banyak perbedaan; di antaranya perbedaan kejadian-kejadian yang lalu berikut kondisi dan penentuan konteks hukum tentangnya serta pengokohan aspek-aspek persamaan antaranya dengan kejadian-kejadian yang baru; di antaranya adalah perbedaan teks yang diriwayatkan tentang hukum-hukum yang ada, baik yang diriwayatkan secara benar (shahîh) atau tidak, atau yang sudah ditetapkan atau tidak; di antaranya perbedaan dalam mengetahui konteks hukum berikut syarat-syaratnya; di antaranya perbedaan dalam menjadikan titik persamaan sebagai dasar legal yang mana hukum dapat melampaui konteks asalnya; di antaranya perbedaan dalam menghubungkan hukum yang ada dengan kesimpulan dari ‘illah-nya; dan masih banyak lagi perbedaan yang lainnya.[3]

Sebelum melangkah lebih jauh membahas perbedaan dalam fikih, alangkah baiknya bila saya memaparkan terlebih dahulu tentang fikih di masa Nabi Saw..

 

Fikih di Masa Nabi Saw.
Di masa hidupnya Nabi Saw. menyampaikan hukum-hukum yang disyariatkan Allah Swt. kepada umat Muslim, yaitu menyampaikan hukum-hukum yang tertera di dalam al-Qur`an dan menjelaskannya, atau menerapkannya di tengah-tengah mereka sebagai contoh, atau memberikan nasihat dalam hal-hal yang mereka selisihkan. Nabi Saw. adalah marja’ (tempat kembali/rujukan) ketika di antara mereka terjadi perselisihan, mafza’ (tempat berlindung) di saat mereka dirundung kesusahan, râ`id (pemimpin) dalam semua urusan, hâdîy (pemberi petunjuk) di kala mereka dilanda kebingungan, dan mursyid (pembimbing) ketika mereka terjerembab ke dalam kubang kesesatan. Jika mereka berselisih mengenai suatu perkara, maka beliau mengembalikannya kepada yang benar (al-shawâb). Dan jika kebenaran tidak nampak kepada mereka, maka beliau segera menunjukkannya.

Sebagian dari mereka terkadang dihadapkan pada suatu perkara yang menuntut penyelesaian mendesak sehingga tidak memungkinkan untuk bertanya langsung kepada Nabi Saw. dikarenakan jauhnya tempat atau dalam perjalanan. Maka mereka kemudian melakukan ijtihad untuk mengetahui hukumnya, dan ketika pada suatu kesempatan mereka hadir di majlis beliau maka mereka langsung mengadukan hasil ijtihad mereka kepada beliau, kemudian beliau menerangkan kepada mereka tentang kebenaran perkara tersebut yang segera mereka terima dengan penuh keimanan.

Pernah suatu ketika shahabat Amru ibn al-Ash ra. diutus untuk memimpin para tentara muslim dalam sebuah peperangan di tahun kedelapan Hijriyah. Dan pada suatu malam yang sangat dingin ia mimpi basah; junub! Waktu shalat Shubuh pun tiba. Ia khawatir kalau memaksakan diri untuk mandi akan membahayakan bagi kesehatan fisiknya, apalagi saat itu masih dalam suasana perang. Karena kekhawatiran itulah ia hanya bertayamum untuk kemudian melaksanakan shalat bersama shahabat-shahabat yang lain.

Dan pada suatu kesempatan, yaitu ketika berkumpul bersama Nabi Saw., para shahabat menceritakan apa yang dialami oleh Amru ibn al-Ash. Beliau pun kemudian bertanya kepadanya, “Wahai ‘Amru, apakah kau melakukan shalat bersama sahabat-sahabatmu sedang kau dalam keadaan junub?” Amru ibn al-Ash menjawab dengan menyebutkan salah satu ayat dalam al-Qur`an yang berbunyi, “Janganlah kamu membunuh diri kamu sendiri, sesungguhnya Allah sangatlah Penyayang kepada kamu.” Mendengar itu Nabi Saw. hanya tertawa dan tidak mengatakan apa-apa. Maka tenanglah Amru ibn al-Ash.[4]

Atha` ibn Yasar juga meriwayatkan tentang dua orang yang sedang bepergian. Di tengah perjalanan keduanya tidak menemukan air, padahal waktu shalat sudah tiba. Akhirnya keduanya bertayamum dan kemudian melakukan shalat. Setelah itu keduanya melanjutkan perjalanan. Tetapi belum begitu jauh melangkah keduanya melihat air. Lalu salah seorang dari keduanya berwudhu dan mengulangi shalatnya, sedangkan yang lain tidak melakukannya. Maka begitu bertemu Nabi Saw. keduanya langsung menceritakan hal tersebut. Kemudian beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya, “Kamu benar, shalatmu mendapat pahala.” Setelah itu beliau berkata kepada orang yang berwudhu dan mengulangi shalatnya, “Kamu mendapat dua pahala.”[5]

Demikianlah keadaan di masa Nabi Saw., tidak ada perbedaan hukum. Ketika beliau menetapkan hukum atas suatu perkara maka tidak ada seorang pun yang tidak mematuhinya. Tidak ada seorang pun dari para shahabat yang berselisih pendapat dengan beliau. Kalau ada orang yang berpendapat dalam masalah hukum, dan kemudian diutarakan kepada Nabi Saw., kalau beliau menerima dan mengakuinya maka dengan sendirinya itu menjadi syariat yang kudu dijalankan. Tetapi kalau beliau menolak, maka setelah itu tidak ada yang boleh mengerjakannya.[6]

Dengan demikian, berdasarkan paparan di atas, fikih di masa Nabi Saw. sebetulnya bersifat praksis (terapan), tidak bersifat teoritis seperti sekarang ini. Kala itu sumber hukum yang dijadikan pijakan dalam setiap permasalahan adalah figur Nabi Saw. sebagai penerima wahyu secara langsung dari Tuhan.[7] Artinya, setiap kali ada masalah, terutama yang berhubungan dengan agama, umat Muslim langsung menanyakannya kepada beliau. Kala itu pula, masalah apapun yang terjadi hanya membutuhkan solusi yang amat sederhana. Sebab umat Muslim masih sedikit dan tinggal di satu tempat, yaitu di Jazirah Arab.[8]

 

Perbedaan Pendapat di Masa Shahabat
Setelah Nabi Saw. berpulang ke Rahmatullah, otomatis penurunan wahyu terhenti. Di sini para shahabat, ketika dihadapkan pada sebuah perkara yang menuntut penjelasan suatu hukum, mereka mencarinya di dalam al-Qur`an dan kemudian di dalam Sunnah. Apabila mereka menemukannya di dalam kedua pedoman tersebut atau di salah satunya, maka dengan penuh keimanan mereka mengamalkannya.

Salah seorang dari mereka bertanya kepada yang lain ketika ia tidak mengetahui hukum dari suatu perkara. Seperti riwayat yang menyebutkan bahwa seorang nenek datang kepada Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq ra. menanyakan tentang warisan untuknya. Sang khalifah lalu mencarinya di dalam al-Qur`an namun tidak menemukannya, dan ia juga tidak mengetahui adanya suatu acuan dari Nabi Saw. yang secara eksplisit atau implisit membahas tentang warisan untuk nenek-nenek. Akhirnya ia bertanya kepada shahabat-shahabat yang lain, kemudian muncullah al-Mughirah ra. dan Muhammad ibn Salamah yang memberi kesaksian bahwa Nabi Saw. memberikan hak waris seper enam untuk seorang nenek.[9]

Tetapi kalau mereka benar-benar tidak menemukannya di dalam al-Qur`an maupun Sunnah, maka sang Khalifah akan mengumpulkan beberapa orang pilihan dari para sahabat yang dianggap mumpuni dalam masalah hukum untuk melakukan musyawarah. Kalau nantinya mereka sependapat dalam suatu hukum, maka sang khalifah akan langsung menerapkannya. Tetapi bila terjadi perbedaan di antara mereka, maka sang khalifah akan memilih yang menurutnya lebih mendekati kebenaran demi terwujudnya maslahat umat Muslim secara umum, tanpa menganggap hal itu sebagai penghalang untuk merubah pilihannya tersebut mana kala nantinya terdapat pendapat lain yang lebih benar.[10]

Dengan demikian, pasca wafatnya Nabi Saw., perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan sahabat tidak lain merupakan konsekuensi dari ijtihad mereka mengenai suatu perkara yang tidak ada satupun teks yang menegaskannya, baik dari al-Qur`an atau Sunnah. Dan Nabi Saw. sendiri di masa hidup beliau telah mengajarkan kepada para shahabat cara melakukan istinbâth (pengambilan kesimpulan hukum) dan cara melakukan ijtihad dalam hal yang belum mendapat ketegasan hukum secara tekstual.

Dan meskipun terjadi perbedaan dalam berijtihad di kalangan shahabat, hanya saja di dalamnya terdapat beberapa keistimewaan, di antaranya:[11]

Pertama, mereka merasa cukup dengan kenyataan yang ada. Mereka tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebelum terjadi, dan tidak meletakkan jawaban-jawaban sebelum bertanya terlebih dahulu, sebagaimana juga dilakukan oleh orang-orang setelah mereka. Jika mereka bertanya tentang sesuatu, mereka berkata, “Apakah itu terjadi?” Kalau itu terjadi, maka mereka kemudian melakukan ijtihad guna menemukan jawabannya. Dan kalau itu tidak terjadi, maka mereka tidak memberikan jawaban apa-apa. Mereka hanya berkata, “Biarkan itu terjadi, kemudian kami akan memberi jawaban.” Setidaknya ini menunjukkan bahwa mereka memang tidak menyukai pendapat yang bersifat asumtif atau hipotesis.

Ya, mereka tidak suka bertanya tentang suatu hal yang tidak terjadi. Bahkan mereka mencela orang yang memaksakan diri untuk menanyakannya. Hal ini dipertegas oleh Umar ibn al-Khaththab ra. dengan perkataannya yang cukup populer di masanya, “Tidak ada seorang pun yang boleh menanyakan sesuatu yang belum terjadi. Sesungguhnya Allah Swt. telah menetapkan apa yang ada.”

Kedua, adanya kebebasan ijtihad di kalangan shahabat. Setiap orang dari mereka melakukan ijtihad dalam hal yang dianggap benar. Meski demikian mereka tetap menghargai pendapat-pendapat sebagian yang lain ketika terjadi perbedaan. Ini bisa dilihat dari perbedaan pendapat yang terjadi antara Ibn Abbas dan Zaid ibn Tsabit mengenai bagian “ibu” dari harta warisan yang mencakup suami, ayah dan ibu, atau istri, ayah dan ibu. Ibn Abbas berpendapat, “Ia mempunyai hak sepertiga dari harta itu.” Berbeda dengan Zaid ibn Tsabit yang berpendapat, “Ia mempunyai hak sepertiga sisa dari harta itu.” Kemudian Ibn Abbas bertanya, “Adakah di dalam al-Qur`an sepertiga sisa dari harta?” Zaid menjawab, “Aku hanya mengatakan dengan pendapatku, dan kau juga mengatakan dengan pendapatmu.” Jadi keduanya tidak saling menyalahkan, justru saling menghargai.

Ketiga, mereka enggan menisbatkan pendapat kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Mereka sangat hati-hati menisbatkan pendapat yang mereka kemukakan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Mereka lebih banyak menisbatkannya kepada diri mereka sendiri. Misalnya, salah seorang dari mereka berkata, “Ini pendapat si Fulan, kalau benar maka itu dari Allah, dan kalau salah maka itu dari dirinya sendiri atau dari setan. Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya terbebas dari sesuatu yang buruk.”

Hal itu juga dicontohkan oleh Abu Bakar ra., yaitu ketika ia dihadapkan pada sebuah masalah yang tidak ditemukan landasan hukumnya baik di dalam al-Qur`an ataupun Sunnah. Ia melakukan ijtihad berdasar pendapatnya, lalu berkata, “Ini adalah pendapatku, kalau benar maka itu berasal dari Allah, tetapi kalau salah maka itu berasal dariku, dan aku memohon ampun kepada Allah.”

Di sini nampak betapa para shahabat melakukan ijtihad berdasar kemampuan mereka dalam merumuskan hukum yang terbentuk melalui pendidikan Nabi Saw. semasa beliau hidup. Sehingga perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan mereka tidak berlandaskan pada hawa nafsu, melainkan pada kematangan ilmu yang beriringan dengan keimanan yang menghujam kuat di dalam dada.

 

Latarbelakang Terjadinya Perbedaan
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang lumrah dalam kehidupan manusia. Dalam kaitannya dengan Islam, paling tidak ini menunjukkan kerealistisannya sebagai sebuah agama yang memperlakukan manusia sebagai manusia yang memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya dalam hal tingkat kemampuan, pengetahuan dan pemahaman. Setelah masa-masa kenabian perbedaan pola pandang di kalangan sahabat acap terjadi, tetapi perbedaan tersebut tidak timbul dari kelemahan akidah, atau keraguan terhadap kebanaran ajaran Nabi Saw., melainkan semata-mata karena keinginan yang kuat untuk merumuskan hukum-hukum yang sesuai dengan kehendak Allah Swt..

Kita lihat berdasar kejadian-kejadian yang ada, bahwa semua faktor yang melatarbelakangi perbedaan di kalangan sahabat tidak keluar dari perbedaan pemahaman terhadap teks karena faktor-faktor lughawiyah (kebahasaan) atau ijtihadiyah (penalaran), yaitu dalam manafsirkan ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi Saw.. Namun di balik faktor-faktor tersebut sama sekali tidak ada maksud-maksud tersembunyi yang sengaja diupayakan untuk menumbuhkan benih pertentangan sebagaimana sering dilakukan oleh orang-orang munafik.

Dan secara natural ada beberapa faktor perbedaan dari satu masa ke masa yang lain, sehingga sulit untuk dibangun semacam pagar-pagar pemisah antara faktor-faktor satu masa dari masa yang lainnya. Namun terdapat beberapa hal baru dalam dunia Islam yang memunculkan unsur-unsur spirit perbedaan.

Sejak terbunuhnya Khalifah Utsman ibn Affan ra., wilayah-wilayah Islam mengalami goncangan-goncangan amat dahsyat sehingga melahirkan peristiwa-peristiwa yang memasukkan ke dalam ‘ranah perbedaan’ banyak hal yang tadinya berada di luarnya. Inilah yang barangkali membuat penduduk setiap wilayah ‘mengisolasi’ apa yang sampai kepada mereka dari Sunnah Nabi Saw. karena khawatir terjadi pemalsuan dan penipuan.

Kemudian lahirlah aliran Kufah dan aliran Basrah sebagai lingkungan amat subur bagi interaksi berbagai pemikiran politik, di samping muncul berbagai kelompok seperti Khawarij, Syi’ah, Murji`ah, Muktazilah dan lain-lain.

Tak ayal lagi, karena banyaknya kelompok yang bermunculan, maka metode pemikiran juga semakin banyak, yang mana setiap kelompok mempunyai pijakan-pijakan atau kaidah-kaidah tersendiri yang digunakan dalam berinteraksi dengan teks-teks agama serta menafsirkan sumber-sumber syariat dan menyikapi berbagai problem baru yang muncul. Sehingga menjadi sangat wajar bila peletakan patokan-patokan baku menjadi sangat penting, juga perumusan metode-metode dan cara-cara penyimpulan hukum-hukum realitas dari wahyu ilahi, serta pembatasan mana yang boleh masuk ke dalam ‘ranah perbedaan’ dan mana yang tidak.

Dan sungguh merupakan rahmat Allah Swt. yang telah menjadikan fikih boleh masuk ke dalam ‘ranah perbedaan’. Sebab pada dasarnya fikih merupakan pengetahuan seorang ahli fikih (faqih) mengenai hukum realitas berdasar dalil-dalil universal dan partikular (al-adillah al-kullîyyah wal juz’îyyah) yang terkandung di dalam al-Qur`an dan Sunnah. Bisa saja kesimpulan hukum seorang ahli fikih sesuai dengan maksud syariat, dan bisa juga tidak. Namun dalam dua keadaan tersebut ia tidak dituntut lebih dari upayanya mencurahkan puncak kemampuan akalnya untuk sampai pada suatu kesimpulan hukum. Artinya, jika ia tidak benar-benar sampai pada hukum yang dimaksudkan syariat, maka paling tidak apa yang ia capai itu mendekati kebenaran dan tujuannya. Oleh sebab itulah perbedaan menjadi sesuatu yang dibolehkan dalam agama.

Secara umum, terutama setelah masa-masa para shahabat, faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya perbedaan dalam penyimpulan hukum bisa dibagi menjadi tiga, yaitu:

 

1. Faktor-faktor yang menyangkut bahasa
Terkadang dalam teks-teks syariat terdapat “lafazh musyrarak” (kata yang mempunyai banyak makna), seperti kata “‘ayn” yang bisa berarti “mata”, “barang”, “emas murni” dan lain sebagainya.

Jika dalam teks syariat terdapat kata yang tidak terkait dengan konteks tertentu, maka makna-makna yang ada bisa digunakan seluruhnya, tergantung masing-masing mujtahid mau menggunakan yang mana.

Misalnya para ahli fikih berbeda pendapat dalam memaknai kata “al-qur`” dalam Q.S. al-Baqarah: 228. Kata “al-qur`” bisa dimaknai “al-thuhr” (masa suci) atau bisa juga “al-haydh” (masa haid). Di sini para ahli fikih berbeda pendapat mengenai iddah perempuan yang ditalak suaminya, apakah dengan tiga kali suci atau dengan tiga kali haid? Para ahli fikih di Hijaz berpendapat bahwa iddah perempuan yang ditalak suaminya adalah tiga kali suci, sedangkan para ahli fikih Irak berpendapat tiga kali haid.[12]

Dan terkadang ada suatu kata dalam teks syariat yang bermakna haqîqîy dan majâzîy. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih, mana di antara kedua makna tersebut yang lebih bisa gunakan.[13]

Misalnya, kata “al-mîzân” dalam Q.S. al-Rahman: 7. Ada sebagian yang lebih memilih makna majâzîy, yaitu “keadilan”. Dan ada sebagian yang memilih makna haqîqîy, yaitu “timbangan”.

 

2. Faktor-faktor yang menyangkut periwayatan Sunnah
Sebagian besar perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama salaf bermuara di sini. Terkadang sebuah hadits tidak sampai kepada mujtahid tertentu, sehingga ia berfatwa berdasar makna tekstual ayat atau hadits lain, atau dengan melakukan qiyas (analogi) terhadap kejadian yang pernah terjadi di masa Nabi Saw. hidup, atau dengan yang lain.

Terkadang sebuah hadits sampai kepada seorang mujtahid, tetapi ia menemukan kekurangan di dalamnya yang membuat ia enggan mengamalkannya. Misalnya, ia meragukan keshahihan sanad hadits tersebut karena terdapat perawi yang majhûl (tidak diketahui/tidak dikenal), atau lemah dalam menghafal silsilah isnad-nya, atau karena maqtû’ atau mursal.

Para ahli fikih bisa saja berbeda pendapat mengenai makna-makna hadits, misalnya mereka berbeda dalam masalah “al-muzâbanah”, “al-mukhâbarah”, “al-muhâqalah”, “al-mulâmasah”, “al-munâbadzah”, dan “al-gharar” karena perbedaan mereka dalam menafsirkannya.

Terkadang ada sebuah hadits yang sampai kepada seorang mujtahid dengan suatu lafazh (redaksi), dan sampai kepada mujtahid lain dengan lafazh yang berbeda. Misalnya, salah satu dari keduanya menghapus sebuah kata yang mana makna hadits tersebut menjadi tidak sempurna kecuali dengan kata itu.

Kadang-kadang ada sebuah hadits sampai kepada seorang mujtahid disertai dengan asbâbul wurûd-nya, dan sampai kepada mujtahid lain tanpa disertai dengan itu sehingga membuat pemahamannya berbeda dengan yang pertama.

Terkadang ada seorang perawi yang menerima sebuah hadits secara lengkap, sementara perawi lain tidak. Maka tak nyana ini akan berpengaruh pada pemahaman keduanya.

Kadang juga seorang mujtahid menganggap sebuah hadits telah di-nasakh, atau di-takhshîsh, atau di-taqyîd, sementara mujtahid lain tidak beranggapan demikian. Maka sudah tentu ini akan membuat pendapat keduanya berbeda.

 

3. Faktor-faktor yang menyangkut kaidah-kaidah ushuliyah dan acuan-acuan penyimpulan hukum
Ilmu ushul fikih merupakan sekumpulan kaidah dan acuan yang dibuat oleh para mujtahid untuk lebih mengakuratkan proses ijtihad dan penyimpulan hukum-hukum syariat yang sifatnya furu’iyah dari dalil-dalil tafshiliyah (terperinci). Para mujtahid menetapkan dalam metode-metode ushuliyah mereka dalil-dalil yang darinya dapat disimpulkan hukum-hukum, kemudian mereka menentukan cara-cara penyimpulan hukum syariat dari setiap dalil yang ada, juga langkah-langkah yang mesti ditempuh untuk sampai kepada hukum syariat yang dimaksud.

Setiap mazhab atau aliran mempunyai kaidah-kaidah dan acuan-acuannya masing-masing. Ada madzhab yang berpendapat bahwa fatwa seorang sahabat Nabi Saw. kalau sudah populer dan tidak ada satu pun yang menentangnya—dari para sahabat sendiri—bisa digunakan sebagai hujjah, karena para sahabat tidak akan mengeluarkan fatwa kecuali berlandaskan pada sebuah dalil, atau pemahaman mereka terhadapnya, atau berdasarkan apa yang mereka dengar dari Nabi Saw..

Sebagian mujtahid ada yang menggunakan al-mashâlih al-mursalah, yaitu hal-hal yang di dalam syariat tidak terdapat sesuatu yang menunjukkan keberadaannya, sebagaimana tidak terdapat sesuatu yang menunjukkan penghapusan terhadapnya. Jika seorang mujtahid menemukan di dalam hal-hal tersebut sesuatu yang menjamin kemaslahatan, maka ia akan berpendapat berdasar maslahat tersebut dengan anggapan bahwa syariat digariskan hanya untuk menjamin kemaslahan manusia.[14]

Ada juga beberapa hal lain yang hingga saat ini masih menjadi obyek perdebatan di kalangan ahli fikih atau mujtahid, seperti istishlâh (pencapaian maslahat), istihsân (kebaikan yang dicapai dengan rasio), istish-hâb (penetapan hukum yang telah berlaku sebelumnya), syar’ man qablanâ (syariat agama pra-Islam), sadd al-dzarâ`i’ (tindakan preventif), ‘amal ahl al-Madînah (tradisi penduduk Madinah), ‘urf (adat istiadat), istiqrâ` (observasi), al-akhdz bi aqall mâ qîla (pengambilan ukuran minimal yang dikemukakan), al-akhdz bi al-ahwath (pengambilan yang lebih hati-hati), dan lain sebagainya.

 

Penutup
Setelah kita membahas—meski tidak detail—mengenai faktor-faktor yang mengakibatkan timbulnya perbedaan pendapat di kalangan shahabat, ahli fikih atau mujtahid, di sini kita bisa mengambil beberapa kesimpulan berikut:

Pertama, bahwa fikih di masa sahabat terbentuk dengan munculnya kejadian-kejadian baru setelah wafatnya Nabi Saw.. Apabila di dalam teks-teks syariat (al-Qur`an dana Sunnah) tidak ditemukan ketentuan hukumnya, maka mereka melakukan ijtihad dan mengamalkannya berdasarkan maslahat.

Kedua, bahwa al-Qur`an merupakan pedoman utama bagi para mujtahid. Kalau ada suatu masalah, maka yang pertama kali mereka rujuk adalah al-Qur`an. Dan meskipun para shahabat adalah orang-orang yang dianggap paling mampu memahami al-Qur`an karena mereka benar-benar mengetahui asbâb al-nuzûl-nya, tetapi tetap saja terjadi perbedaan pendapat di antara mereka disebabkan tingkat keilmuan dan intelektualitas mereka.

Ketiga, bahwa perbedaan tingkat kecerdasan dan keilmuan para shahabat disebabkan karena sebagian dari mereka yang selalu bersama Nabi Saw. lebih lama, sedangkan sebagian lainnya ada yang disibukkan dengan jihad, atau disibukkan dengan pekerjaan berdagang dan bercocok tanam. Sehingga apa yang didengarkan sebagian dari Nabi Saw. tidak diketahui oleh yang lain. Maka wajar kiranya bila terjadi silang pendapat di antara mereka. Terlebih lagi dalam kehidupan umat Muslim di masa-masa setelah mereka hingga masa kini.

Maka, berdasarkan kesimpulan-kesimpulan tersebut, dapat dikatakan bahwa perbedaan hakikatnya merupakan rahmat dari Allah Swt. bagi hamba-hamba-Nya. Kita lihat betapa umat Muslim hidup di berbagai belahan bumi dengan kondisi dan lingkungan yang berbeda-beda. Bisa saja suatu mazhab atau aliran tertentu lebih cocok bagi lingkungan yang ini, sementara yang lain lebih sesuai dengan lingkungan yang itu. Dan satu hal yang perlu dipahami, bahwa kita tidak mungkin bisa melebur-satukan mazhab-mazhab yang ada, dan itu memang bukan sesuatu yang penting. Tetapi yang penting adalah mengetahui faktor-faktor yang sekiranya dapat mendamaikan mazhab-mazhab tersebut, sehingga tidak ada lagi yang namanya pertikaian dan permusuhan di antara umat Muslim.[]

 


[1] Ada beberapa hal penting mengenai perbedaan tingkat validitas antara periwayatan al-Qur`an dan Sunnah—yang membuat al-Qur`an lebih diutamakan ketimbang Sunnah—yang sebetulnya bisa dikatakan sebagai pemicu terjadinya silang pendapat dalam masalah hukum di kalangan sahabat, selain perbedaan pemahaman mereka terhadap kedua sumber hukum tersebut, yaitu:

Pertama, bahwa al-Qur`an dalam periwayatannya dari Nabi Saw. tidak ada yang memicu perselisihan sehingga tidak melahirkan perbedaan dalam hukum, berbeda dengan Sunnah yang tidak ‘selamat’ dari perselisihan dalam hal kebenaran (keshahihan) periwayatannya, sehingga ada satu kelompok yang mengamalkan sementara yang lain tidak.

Kedua, bahwa al-Qur`an sudah dikodifikasi dan banyak yang menghafalnya. Hal ini sangat diketahui oleh umat Muslim. Al-Qur`an merupakan dasar agama sekaligus pedoman dan sandaran bagi mereka. Mereka semua berkewajiban mengikutinya. Sementara Sunnah tidaklah menyatu atau terkodifikasi layaknya al-Qur`an, tetapi bertebaran di antara para shahabat yang meriwayatkannya. Siapa pun dari mereka yang mengetahuinya, maka ia akan mengamalkannya, sebaliknya yang tidak mengetahuinya, maka ia akan langsung melakukan ijtihad, dan tentu saja ijtihadnya berbeda dari ijtihad shahabat lain. Sehingga timbullah perbedaan pendapat di kalangan mereka.

Ketiga, bahwa perbedaan para shahabat dalam periwayatan Sunnah disebabkan oleh perbedaan mereka dalam pemahaman terhadapnya mana kala mengandung banyak kemungkinan, baik lafazh ataupun maknanya, sehingga nantinya melahirkan perbedaan di kalangan mereka dalam beberapa hukum. Berbeda dengan al-Qur`an yang memang mereka hafal lafazh-lafazhnya ‘di luar kepala’ dan terpercaya.

Keempat, bahwa perbedaan dalam penyimpulan hukum dari al-Qur`an disebabkan oleh perbedaan pemahaman mereka terhadapnya. Perbedaan semacam ini juga terjadi dalam memahami Sunnah.

[2] Umat Muslim di masa Nabi Saw. masih sedikit dan tinggal di satu tempat, yaitu di Jazirah Arab. Namun, setelah beliau wafat, mereka melakukan ekspansi ke beberapa tempat di luar Jazirah Arab dan berbaur serta menjalin interaksi dengan masyarakat yang berbeda keyakinan dan budayanya, sehingga masalah-masalah yang muncul kemudian menjadi kompleks dan rumit. Hal ini menuntut para ulama untuk melakukan langkah-langkah kongkret guna mencari solusi-solusi bagi seluruh permasalahan yang ada, terutama hal-hal yang berhubungan dengan agama, agar interaksi kaum muslimin dengan masyarakat-masyarakat lain itu berjalan secara dinamis. Tentu saja langkah-langkah yang mereka lakukan itu bukan tanpa dasar, justru, meski sudah dianggap sempurna, al-Qur`an menyuruh manusia untuk terus melakukan perubahan sesuai dengan fitrahnya sebagai satu-satunya makhluk Tuhan yang dianugerahi akal, di samping juga beberapa hadits Nabi Saw. Dengan dasar inilah para ulama klasik kemudian melakukan upaya-upaya mempersambungkan prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat universal (al-kullîyyât) pada kasus-kasus kehidupan yang bersifat partikular (al-juz`îyyât). Inilah yang populer disebut ijtihad. Dan hasil ijtihad—sebagai proses intelektual untuk menurunkan ketentuan universal pada ketentuan-ketentuan yang bersifat partikular sekaligus kerangka teknis operasionalnya—itulah yang disebut fikih.

[3] Syaikh Ali al-Khafif, Asbâb Ikhtilâf al-Fuqahâ`, Kairo: Darul Fikr al-Arabi, Cet. 2, 1996, hal. 8

[4] H.R. Ahmad dan Abu Daud.

[5] Syaikh Ali al-Khafif, Asbâb Ikhtilâf al-Fuqahâ`, Kairo: Darul Fikr al-Arabi, Cet. 2, 1996, hal. 10 – 11

[6] Ibid., hal. 11

[7] Di masa Nabi Saw. hukum-hukum tidak memiliki sumber selain al-Qur`an dan Sunnah. Al-Qur`an adalah sumber primer yang hanya menjelaskan dasar-dasar hukum yang bersifat umum tanpa menyentuh hukum-hukum secara detail. Sedangkan Sunnah merupakan sumber sekunder yang menjelaskan secara detail hal-hal yang bersifat umum di dalam al-Qur`an.

[8] Syaikh Muhammad Mahdi Syamsuddin, al-Ijtihâd wa al-Tajdîd fî al-Fiqhil Islâmî, Beirut: al-Mu`assasah al-Dauliyah, Cet. 1, 1999, hal. 46

[9] Dr. Abu Sari’ Muhammad Abdul Hadi, Ikhtilâf al-Shahâbah, Kairo: Maktabah Madbuli, Cet. 1, 1991, hal. 15

[10] Hal ini menegaskan bahwa sumber-sumber fikih di masa sahabat adalah al-Qur`an, Sunnah, Ijma’ dan Ra`y. Hanya saja “ra`y” yang dimaksud di sini adalah pendapat yang membuat hati tenang setelah melalui proses berpikir dan perenungan yang mendalam, disertai upaya pencarian terhadap relevansi pada suatu perkara yang mencakup dalil-dalil yang bertentangan, atau suatu perkara yang memang tidak ada satu pun teks yang menegaskannya. Makanya bagi mereka “ra`y” itu mencakup ijtihad dalam memahami makna teks-teks yang bertentangan atau tidak ada. Sebagaimana juga mencakup qiyâs, istihsân, sadd al-dzarâ`i’, al-mashâlih al-mursalah, dan hal-hal lain yang pada masa-masa berikutnya menjadi kaidah-kaidah dasar yang digunakan oleh para imam untuk merumuskan hukum-hukum fikih.

[11] Dr. Abu Sari’ Muhammad Abdul Hadi, Ikhtilâf al-Shahâbah, Kairo: Maktabah Madbuli, Cet. 1, 1991, hal.. 20 – 26

[12] Ibid., hal. 87

[13] Syaikh Ali al-Khafif, Asbâb Ikhtilâf al-Fuqahâ`, Kairo: Darul Fikr al-Arabi, Cet. 2, 1996, hal. 126

[14] Ibid., hal. 231

Hak Perempuan: Dalih Pamungkas Bernama Syariah

Reformasi hukum demi melindungi perempuan di negara muslim sering dijegal dengan alasan Syariah Islam. Namun politisasi agama demi merawat tradisi patriarkat itu kian ditolak, termasuk dari kalangan ulama Fiqh.

 

Nasib perempuan di Mauritania adalah sederet panjang tanda tanya. Ketika pemerintah mengusulkan rancangan legislasi perlindungan perempuan, untuk kesekian kali parlemen menolak mengesahkannya.

Padahal RUU tersebut bisa membantu “mengikis prasangka dan sikap diskriminatif terhadap perempuan dan remaja putri,“ begitu bunyi salah satu bagian naskah yang disusun pemerintah.

Pengesahan UU Perlindungan Perempuan termasuk dimotori oleh Menteri Kehakiman Haimouda Ould Ramdane yang menyebut tindak kekerasan terhadap perempuan sebagai “kejahatan.“ Menurut naskah RUU tersebut, korban pelecehan seksual kelak bisa mendakwa pelaku di pengadilan.

Pada 2018 silam pemerintah gagal meyakinkan parlemen buat meloloskan legislasi tersebut. Kelompok oposisi mengritik kesetaraan hak bagi perempuan bertentangan dengan Syariah Islam. Kini pemerintah menyusun rancangan baru untuk melunakkan sikap partai-partai konservatif.

Kontroversi seputar hak perempuan di bawah bayang-bayang Fiqh Islam juga terjadi di negara muslim lain. Di Indonesia misalnya, Undang-undang Penghapusan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan (RUU-PKS) dituduh melegalkan zina.

Padahal cekcok ideologi seperti itu diyakini akan kian menyudutkan perempuan. Akibatnya legislasi yang awalnya diniatkan untuk membantu, malah justru berdampak sebaliknya.

Lobi politik dari langit 

Diskursus seputar hak perempuan banyak dicampuri oleh “lobi agama” yang berusaha menggalang dukungan politik, keluh Saad Eddin al-Hilali, Guru Besar Perbandingan Hukum di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.

Termasuk ke dalam “lobi agama“ adalah “ulama tua yang muncul di media untuk mempengaruhi opini publik, tanpa mengindahkan mereka yang berpandangan lain dan terlepas dari apakah pendapat mereka sejalan dengan ajaran agama atau tidak,“ kata dia.

Dengan kata lain, kaum oposan menggunakan Syariah Islam sebagai alat untuk meredam upaya memperkuat hak perempuan. Siapapun yang menentang akan mudah terseret ke dalam tuduhan melawan perintah Tuhan.

“Seakan pendapatnya datang dari Allah“ 

Al-Hilali geram menyimak lobi kaum konservatif. “Kita harus mencegah, bahwa setiap individu bisa berlaku seakan-akan pendapatnya langsung datang dari Allah,“ tukas dia.

“Pada dasarnya setiap fatwa Fiqh bisa mengandung kebenaran atau kekeliruan, bahkan jika ia dikeluarkan oleh level tertinggi sekalipun.“

Mauritania termasuk negara yang marak praktik sunat perempuan. Namun legislasi yang dibuat untuk melindungi perempuan berulangkali dijegal partai-partai konservatif di parlemen.

Mauritania termasuk negara yang marak praktik sunat perempuan. Namun legislasi yang dibuat untuk melindungi perempuan berulangkali dijegal partai-partai konservatif di parlemen.

 

Hal serupa diungkapkan Marwa Sharafeldin. Menurut guru besar ilmu hukum di Universitas Harvard itu, praktik menggunakan dalih “bertentangan dengan ajaran agama“ buat menolak sebuah undang-undang yang melindungi perempuan, tidak bisa diterima.

Tuduhan ini hanya memperkuat pandangan Islamofobia, bahwa Islam ikut mendukung kekerasan terhadap perempuan. Terkadang ada yang sengaja memicu bimbang antara legislasi hukum dan agama untuk mencapai sasaran politik lain, kata Sharafeldin.

“Dengan cara itu sejumlah perwakilan Islam Politik berusaha mencari untung di atas nasib perempuan.“

Minimnya perlindungan hukum 

Proses legislasi yang terlunta-lunta turut memicu dampak negatif pada nasib perempuan. Di Mauritania misalnya, konstitusi belum mendefinisikan atau mengkriminalisasi kekerasan seksual secara layak, tulis organisasi HAM Human Rights Watch dalam sebuah studinya.

Dan karena hukum pidana tidak mendefinisikan secara gamblang praktik pemerkosaan atau serangan seksual lain, justru korban sendiri yang sering mendapati diri menjadi kejaran aparat.

“Jika perempuan tidak mampu meyakinkan lembaga kehakiman, bahwa hubungan seksual tidak dilakukan secara sukarela, maka si pendakwa bisa berubah menjadi yang terdakwa,” tulis HRW.

Pun di Mesir perdebatan tentang hak perempuan berulangkali meruak di gedung parlemen. Sejak beberapa bulan terakhir wakil rakyat di Kairo sudah membahas rancangan Undang-undang Pencatatan Sipil. Terutama partai-partai konservatif menuduh RUU tersebut lebih mengutamakan perempuan ketimbang laki-laki, sesuatu yang dianggap bertentangan dengan agama dan tradisi.

Azza Soliman, aktivis HAM Mesir

Azza Soliman, aktivis HAM Mesir

Oleh Azza Soliman, aktivis HAM dan pendiri LSM “Pusat Bantuan Hukum Perempuan Mesir,” praktik mencampurkan agama dalam pembahasan hak sipil perempuan dianggap tidak bermanfaat, “kalau saya melibatkan diri dalam pembahasan itu, saya kan tidak melakukannya atas dasar Syariah,” kata dia kepada DW, “melainkan merujuk pada penderitaan perempuan.”

Menurutnya defisit perundang-undangan berdampak secara langsung terhadap kehidupan perempuan. “Undang-undang Pernikahan misalnya mengakibatkan proses perceraian memakan waktu bertahun-tahun. Hal serupa terjadi dalam proses hukum yang melibatkan hak perempuan, kebebasan menggunakan uang atau hak menjenguk anak setelah perceraian.”

Terutama proses persidangan kekerasan terhadap perempuan berlangsung terlalu lambat, keluh Soliman.

Dia terutama menyayangkan perilaku politisi konservatif yang hampir selalu menggunakan Syariah Islam sebagai “argumen tandingan“ dalam pembahasan hak perempuan atau keluarga.

Tradisi kuno seperti konsep “harga diri laki-laki” dan keluarganya seringkali disamarkan dengan jubah agama. “Kalau yang dibahas adalah isu lain seperti ekonomi atau kriminalitas, Syariah kan juga tidak digunakan untuk menolak amandemen perundang-undangan.“

rzn/vlz

 

Sumber: https://www.dw.com/id/hak-perempuan-dalih-pamungkas-bernama-syariah/a-53586265

Rumah KitaB: Cegah Perkawinan Anak Lewat Teks Keagamaan yang Ramah Gender

Lembaga riset Rumah KitaB meluncurkan buku kajian fikih untuk mencegah perkawinan anak.

by Elma Adisya, Reporter

MAGDALENE.CO – Perkawinan anak di Indonesia sudah sampai taraf yang mengkhawatirkan. Laporan Badan PBB untuk Dana Anak-anak (UNICEF) pada 2016 menunjukkan bahwa 457.600 perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum berusia 15 tahun, menempatkan Indonesia di posisi ketujuh negara-negara dengan kasus perkawinan anak terbanyak di dunia.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017 dari Badan Pusat Statistik memperlihatkan bahwa dua dari lima anak perempuan usia 10-17 tahun, pernah menikah sebelum usia 15 tahun. Secara total, satu dari sembilan anak perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun. Artinya 22,91 persen perempuan di Indonesia melakukan praktik perkawinan anak, menurut data dari Badan Pusat Statistik.

Pemahaman teks keagamaan yang tidak ramah gender adalah salah satu faktor yang menyuburkan perkawinan anak di negara ini. Minimnya pengetahuan akan bahaya perkawinan anak di masyarakat dan doktrin keagamaan yang keliru telah mendorong lembaga riset dan advokasi kebijakan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) meluncurkan buku Fikih Perwalian: Membaca Ulang Hak Perwalian untuk Perlindungan Perempuan dari Kawin Anak dan Kawin Paksa pada Selasa (25/6) di Jakarta.

Fikih Perwalian merupakan hasil dari penelitian Rumah KitaB dengan dukungan dari Oslo Coalition dari University of Oslo. Dipimpin oleh Ketua Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP),  Ulil Abshar Abdalla, dan Direktur Eksekutif Rumah KitaB, Lies Marcoes, tim peneliti Rumah KitaB mengkaji teks-teks fikih mengenai konsep hak perwalian perempuan. Kajian tersebut berlangsung selama 10 bulan dengan delapan kali putaran diskusi bersama berbagai pemangku kepentingan seperti ulama, aparat penegak hukum, dan organisasi perempuan.

Fikih merupakan salah satu bidang ilmu syariat Islam yang secara khusus membahas mengenai persoalan hukum dalam Islam. Hal ini menjadi sangat penting bagi umat Islam karena fikih menjelaskan aspek-aspek kehidupan manusia, seperti kehidupan pribadi, kehidupan masyarakat, dan hubungan dengan Tuhan.

“Buku ini mencoba membongkar isu-isu yang sulit sekali dibongkar dalam argumentasi keagamaan, yaitu otoritas ayah terhadap anak perempuannya ketika ia masih gadis, lalu otoritas suami terhadap istri ketika ia sudah menikah,” ujar Lies dalam acara peluncuran buku.

Dalam konteks perkawinan anak di Indonesia, orang tua yang berperan sebagai wali nikah banyak yang mengajukan dispensasi perkawinan kepada pengadilan agama ketika Kantor Urusan Agama (KUA) menolak pengajuan perkawinan anak mereka yang masih di bawah umur. Dengan dalih menjalankan perintah agama dan menghindari fitnah, orang tua tidak memperhitungkan keamanan anak perempuan dalam aspek lain seperti kesehatan reproduksi, pendidikan, dan kesejahteraan.

Lies mengatakan bahwa melalui buku ini, para pemangku kebijakan dan aparat penegak hukum diharapkan dapat memiliki perspektif agama dan pemahaman fikih yang mengakomodasi hak perempuan.

Ulil mengatakan bahwa perbincangan tentang fikih yang ramah terhadap perempuan sudah lama berjalan dalam sejarah Islam, dan beberapa ulama sudah menyadari bahwa fikih yang saat itu berlaku banyak menimbulkan ketimpangan.

“Karena dalam tradisi Islam sebetulnya para ahli fikih itu sangat terbuka sekali oleh hukum-hukum yang berlaku di luar fikih. Mereka siap menerima sumber hukum dari luar fikih sendiri,”  ujar Ulil.

Dalam perkembangannya, negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim seperti Mesir, Maroko, dan Tunisia sudah mengadopsi tafsir-tafsir teks Alquran yang lebih ramah gender lalu menggabungkan hukum tersebut dengan hukum internasional dan hak asasi manusia, ujar Ulil.

 

“…dalam tradisi Islam sebetulnya para ahli fikih itu sangat terbuka sekali oleh hukum-hukum yang berlaku di luar fikih. Mereka siap menerima sumber hukum dari luar fikih sendiri.”

 

Sebagai contoh, pemerintah Maroko pada 2004 mengesahkan hukum keluarga atau Mudawannah yang memberi jalan pada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dari 400 pasal yang berada dalam hukum keluarga tersebut, salah satu pasalnya menyatakan bahwa perempuan tidak membutuhkan izin wali untuk menikah, sehingga perempuan secara hukum dilindungi oleh undang-undang untuk menentukan sendiri calon suaminya, menikahkan dirinya sendiri, dan menolak untuk dikawinkan paksa dengan lelaki yang bukan pilihannya.

Tidak hanya mengatur tentang perwalian perempuan, Maroko juga sudah menaikkan batas umur minimum perkawinan baik laki-laki maupun perempuan adalah 18 tahun, merevisi aturan sebelumnya di mana laki-laki berumur 17 tahun dan perempuan 15 tahun. Hal ini diubah agar pernikahan dini tidak lagi terjadi.

Contoh negara Islam lain yang juga sudah memiliki hukum keluarga yang memenuhi hak-hak perempuan adalah Tunisia. Sejak 2007, Tunisia menetapkan batas usia minimum menikah untuk perempuan dan laki-laki adalah 18 tahun. Selain itu, dari tahun 1956, Tunisia sudah melarang masyarakatnya untuk melakukan poligami. Hak lain yang dimiliki perempuan Tunisia saat ini adalah untuk menikah dengan laki-laki non-muslim dan juga menjadi wali untuk pernikahan anak mereka.

Di Indonesia, hukum-hukum yang menyangkut perkawinan masih sangat bias gender dan merugikan perempuan, ujar Nursyahbani Katjasungkana, aktivis perempuan dan juga pendiri dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK).

“Undang-Undang Perkawinan yang saat ini masih bias gender, contohnya kita bisa lihat dalam pasal yang mengatur peran suami yang menempatkan sebagai kepala keluarga dan istri wajib menjalankan rumah tangga dengan sebaik-baiknya,” ujar Nursyahbani dalam diskusi yang sama.

Meski sudah ada pihak-pihak yang mengajukan kajian yudisial ke Mahkamah Konstitusi untuk menaikkan batas umur pernikahan, batas umur minimum masih saja 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki, seperti tercantum dalam Pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 1974.

Hakim Yustisial Biro Hukum dan Hubungan masyarakat Mahkamah Agung, Muhammad Noor mengatakan bahwa dalam kasus perkawinan anak, mayoritas hakim berhadapan dengan budaya di daerah yang berbeda-beda. Untuk itu, Mahkamah Agung bersama dengan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) tengah bekerja sama untuk membuat sebuah pedoman pemeriksaan perkara dispensasi kawin.

“Masalahnya, secara undang-undang, pasal tentang dispensasi kawin itu hanya itu saja, enggak ada aturan yang lain. Ukurannya bagaimana, cara memeriksanya, apa yang perlu di pertimbangkan oleh hakim itu enggak ada,” ujar Noor.

Ia menambahkan bahwa buku Fikih Perwalian yang memaparkan tafsir ramah perempuan dapat membantu para hakim mendapatkan perspektif yang lebih baik dalam membuat keputusan-keputusan, dan berinisiatif untuk mengedukasi orang tua.

 

Sumber: https://magdalene.co/story/cegah-perkawinan-anak-lewat-teks-keagamaan-yang-ramah-gender

Membebaskan Fikih Dari Asimetrisme: Sebuah Catatan

Oleh Nur Hayati Aida

Pandangan teologis, utamanya fikih, kata Ibu Lies Marcoes, selama ini terbangun dari hubungan asimetris antara laki-laki dan perempuan. Di mana relasi keduanya tak imbang atau genjang. Relasi ini ternyata dianggap sebagai sesuatu yang tetap dan tak bisa berubah atau qath’i oleh sebagian orang, termasuk di dalamnya adalah fukaha. Banyak orang yang beranggapan bahwa hukum Islam adalah apa yang tercantum dalam fikih. Padahal, menurut Gus Ulil Abshar Abdalla, hukum Islam bukan hanya apa yang tercantum dalam (kitab-kitab) fikih, tetapi fikih adalah part of the big picture.

Laki-laki yang selama ini menjadi pusat pembuat hukum, menikmati kemewahan dalam berbagai hal, di antaranya dalam persoalan wilayah dan qiwamah. Proses pemberian kemewahan pada laki-laki ini, menurut Kiai Husein Muhammad, bukan hanya semata-mata sebagai bentuk pelimpahan hak berdasarkan jenis kelamin karena nasab atau relasi yang timbul atas terjadinya perkara hukum, misalnya pernikahan. Melainkan lebih pada tanggungjawab dan melindungi hak anak atau istri.

Sayangnya, pembacaan semacam ini kurang popular dalam masyarakat. Fikih yang kita nikmati saat ini, tutur Kiai Husein Muhammad, adalah produk kebudayaan abad pertengahan Arabia. Sepeninggal Nabi Muhammad, nyaris semua yang ada adalah penafsiran. Sedangkan penafsiran erat kaitannya dengan ruang dan waktu, sehingga tafisran atas teks-teks agama, pun dengan (tafsiran) hadis Nabi, adalah produk dari budaya.

Untuk mencapai pembacaan teks agama yang adil untuk perempuan dan laki-laki diperlukan sebuah metodologi baru. Sebuah metode yang ramah dan sensitif pada perempuan, sehingga mampu membaca kebutuhan yang khas perempuan yang selama ini tertutupi oleh keperkasaan teks yang misoginis. Meski, tentu saja, upaya ini tak jarang dituduh sebagai agenda Barat dan mempromosikan immoralitas. Lenna Larsen, seorang peneliti Norwegian Center of Human Rights – University of Oslo, menyebutkan bahwa pendekatan egalitarian seperti ini bukanlah mempromosikan imoralitas, tapi untuk melindungi keluarga, terutama untuk anak dan istri yang rentan terhadap perlakuan tidak adil.

Upaya untuk melakukan rekonstruksi atau dekonstruksi penafsiran pada teks-teks tidaklah mudah. Selama berabad-abad lamanya penafsiran dan pemikiran teologis telah mengalami sakralisasi. Butuh investasi waktu dan pemikiran yang tak sedikit dalam hal ini. Namun, tentu ini bukan berarti mustahil.

Satu di antara ikhtiarnya telah dilakukan oleh Rumah KitaB dengan diterbitkannya buku ‘Fikih Perwalian: Membaca Ulang Hak Perwalian Untuk Perlindungan Perempuan dari Kawin Paksa dan Kawin Anak. Buku yang diproduksi oleh Rumah KitaB ini dinilai penting oleh Bapak Muhammad Noor, Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung RI, karena bisa digunakan sebagai rujukan oleh para hakim dan pendamping komunitas yang selama ini menangani kasus hukum keluarga, utamanya kawin anak dan kawin paksa.

 

 

 

 

Apa Benar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Tidak Sesuai dengan Nilai-nilai Islam?

Oleh Achmat Hilmi, Lc., MA.

Berdasarkan Data yang dirilis oleh Komnas Perempuan tahun 2013, terdapat 15 Bentuk Kekerasan Seksual yang terjadi merujuk pada hasil pemantauan selama 15 tahun terhadap kasus ini, dimulai dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2013, yakni 1) Pemerkosaan; 2) Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan pemerkosaan; 3) Pelecehan seksual; 4) Eksploitasi Seksual; 5) Perdagangan Perempuan untuk tujuan seksual; 6) Prostitusi paksa; 7) Perbudakan seksual; 8) Pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung; 9) Pemaksaan kehamilan; 10) Pemaksaan Aborsi; 11) Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi; 12) Penyiksaan seksual; 13) Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; 14) Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan dan mendeskriminasi perempuan; 15) Kontrol seksual, termasuk lewat aturan deskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Betapa pentingnya kehadiran RUU PKS diharapkan dapat menjawab persoalan yuridis dan menjadi payung hukum bagi perempuan dan anak-anak yang menjadi korban. Mereka harus diberikan kejelasan dan kepastian hukum terkait kekerasan seksual yang dialami. Kehadiran RUU PKS dapat menyejahterakan semua rakyat Indonesia sesuai amanat proklamasi. Sejahtera bagi perempuan Indonesia berarti bebas dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

Dalam Islam, Perempuan memiliki hak, otonomi, dan otoritas atas tubuhnya sendiri, karena itu segala jenis kekerasan terhadap perempuan tidak dibenarkan oleh agama. Dasar Argumentasinya Sabda Nabi, “tidak boleh membahayakan orang lain dan tidak boleh membahayakan diri sendiri.” Setiap bentuk kekerasan seksual merupakan bentuk pelanggaran terhadap kemuliaan manusia yang dijamin oleh Tuhan. Allah Swt. berfirman, “Dan Sesungguhnya Kami telah muliakan anak-anak Adam (manusia)”, (QS. Al-Isra/17 :  70 ).

Islam mengharamkan berbagai bentuk kekerasan baik di dalam keluarga maupun di luar keluarga. Larangan perilaku kekerasan seksual dalam Islam itu berlaku secara umum, tidak ada ruang pengecualian. Islami memiliki visi sebagai agama yang menjamin kemaslahatan kepada seluruh manusia. Setiap bentuk pelanggaran atas kemaslahatan itu merupakan pelanggaran terhadap visi Islam itu sendiri. Allah Swt. berfirman, ”“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS.  Al Baqarah: 185).

Karena itu larangan melakukan kekerasan seksual juga berlaku di dalam keluarga. Sekalipun dalam lembaga perkawinan, Islam memperkenankan suami isteri untuk melakukan hubungan seksual, namun harus dilakukan dengan cara yang bermartabat dan atas dasar kerelaan bagi kedua pihak. Pemerkosaan dalam perkawinan merupakan bentuk pelanggaran serius atas nilai-nilai perkawinan ideal dalam Islam. Allah berfirman, “Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf”. [Terj. Q.S. Al-Baqarah/2:228].  Imam Qurthubi berkata: “Maksud ayat ini yaitu Allah memerintahkan laki-laki untuk mempergauli isteri dengan baik, begitu juga sebaliknya”.

Dalam konteks fikih, Islam mewajibkan setiap laki-laki untuk memperlakukan perempuan dalam ruang domestik dan ruang publik dengan sangat baik, berinteraksi dengan penuh cinta dan kasih sayang. Bahkan. Islam memerintahkan laki-laki untuk menjadi penjaga perempuan dari berbagai bentuk perilaku kekerasan. Rasulullah bersabda, “istaushǔ bi al-nisâ-i khayran (Aku wasiatkan kalian untuk berbuat baik kepada perempuan)”[HR. Muslim 3729]. Sabda Rasul juga, “Khairukum khairukum li ahlihi wa anâ khairukum li ahlî (sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap isterinya dan aku adalah orang yang paling baik terhadap isteriku) [HR. At-Tirmidzi].

Islam menyediakan lembaga keluarga tidak sebatas untuk melegalkan hubungan seksual namun sebagai lembaga yang mampu mempersiapkan generasi yang berkualitas. Di dalamnya terdapat struktur keluarga yang memiliki peran dan tanggung jawab dalam penanaman nilai-nilai yang luhur. Lembaga keluarga adalah tempat pertama anak-anak berkenalan dengan konsep akhlak atau etika, tentang apa itu yang baik dan apa itu yang buruk. Peran orang tua, baik ibu atau bapak, dalam lembaga keluarga menjadi krusial. Terutama peran ibu sebagai pendukung pengembangan nilai-nilai yang positif dalam keluarga.

Beragam bentuk perlindungan bagi perempuan yang telah dipraktikkan di dalam Islam. Pertama, Islam telah berhasil menghapus tradisi-tradisi jahiliyah arab yang mendiskriminasi perempuan, antara lain mengubur bayi perempuan hidup-hidup, poligami, perbudakan seks, dan prilaku kekerasan-diskriminatif. Allah Swt Berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu”. [Terj. Q.S. Al-Hujurat : 13].

Kedua, perempuan diberikan hak untuk meraih pendidikan sama tingginya dengan laki-laki. Nabi bersabda, “Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi muslim (laki-laki) dan muslimah (perempuan)”. [Imam Nawawi, Al-Majmu’, 1/24].

Ketiga, Nabi Muhammad juga telah berhasil membebaskan budak-budak perempuan agar dapat hidup setara dengan laki-laki. Begitu pun budak laki-laki juga banyak dimerdekakan oleh kanjeng Nabi. Allah Swt. berfirman, “(Hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya.” [Terj. QS. An Nisâ’: 92]

Keempat, Perempuan  diberikan hak memperoleh warisan dari harta pusaka yang ditinggalkan oleh mendiang orang tuanya. Bahkan Prof. Dr. Hazairin, Guru Besar Hukum Islam di era 50-an mengatakan bahwa Islam membagi warisan laki-laki dan perempuan dengan bagian yang sama, secara kualitas maupun kuantitas. [Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits, 1].

Kelima, Para ulama seperti Syaikh Muhammad Abduh, Tengku Hasbi Ash-Shiddiqi berkontribusi dalam melarang keras poligami. Allah berfirman ; “Dan kamu sekali-kali tidak akan mungkin (mustahil) dapat berlaku adil pada isteri-isteri(mu)”. [Terj. Q.S. An-Nisa ; 129].

WORKSHOP BUKU FIKIH PERWALIAN

Fikih Kuliner

Sumber gambar: https://img.okezone.com/content/2017/06/19/320/1719840/baca-5-trik-berikut-sebelum-memulai-bisnis-kuliner-ZuGZFxfq5A.jpg

Rasulullah pernah dikirimi keju oleh penduduk Syam [sekarang Syiria]. Tanpa basa-basi, Rasulullah
langsung memakannya. Padahal, sudah masyhur di masyarakat, kebiasaan orang Syam mengolah dan
mencampur keju dengan jeroan babi (infahah al-khinzir). Bukankah babi haram? Mengapa Rasulullah
tidak tabayyun terlebih dulu?

Ada kaidah fiqh berbunyi: “al-ashlu baqa’u ma kana ala ma kana” (hukum asal sesuatu dikembalikan
pada asal mulanya). Segala sesuatu yang asal mulanya halal, kemudian diduga terkontaminasi benda
haram, maka hukumnya tetap halal.

Rasulullah berpegang pada hukum asal keju yang halal. Adapun ia diduga bercampur barang haram,
mengingat kebiasaan penduduk Syam mencampur keju dengan jeroan babi, hanyalah dugaan. Dugaan
tidak bisa menghapus keyakinan. “al-yaqin la yuzalu bi syak”.

Kaidah ini, biasa digunakan minoritas muslim ketika hidup di negara-negara non muslim. Mereka makan
dan minum seperti biasa tanpa dihantui pertanyaan-pertanyaan menakutkan: apakah minyak yang
digunakan bukan minyak babi? Apakah piring dan sendoknya bukan bekas masakan babi? Apakah
mereka mencucinya dengan tujuh kali basuhan yang salah satunya dicampur debu? Apakah tangan
mereka tidak habisa memegang anjing? Dan lain lain. Jika pertanyaan-pertanyyan tersebut terus dipelihara bisa-
bisa mereka mati kelaparan.

Dalam soal hukum makanan [plus minuman], Islam sebetulnya memberi banyak kelonggaran. Prinsip
dasarnya, selagi makanan itu lezat, nikmat, dan baik untuk tubuh, tidak menjijikkan dan tidak
membahayakan tubuh, maka hukumnya halal (lihat QS al-Anam 145; QS al-Araf 15). Kecuali yang secara
tegas disebut al-Quran maupun Hadis.

Mengingat begitu banyak jenis makanan di dunia ini, para ulama membuat kaidah untuk mengukur
sekaligus menentukan halal-haramnya:
“Kullu ma istatobathu al-arab fahua halal wa kullu ma istakhbatsathu al-arab fahua haram” (setiap
makanan yang menurut orang Arab lezat dan nikmat maka hukumnya halal dan setiap makanan yang
menurut orang Arab menjijikkan hukumnya haram).

Jadi, menurut kaidah ini, semua jenis makanan dikembalikan pada “selera” orang Arab. Jika pas di lidah
mereka hukumnya halal. Sebaliknya, jika menurut mereka menjijikkan dihukumi haram.

Sebagai orang Jawa saya keberatan dengan kaidah ini. Apalagi kuliner Nusantara lebih kaya dibanding
kuliner Arab. Terlebih tidak semua makanan Arab saya sukai. Saya doyan “mandi lahm” tapi tidak suka
(jijik) “air kencing unta”). Kelihatannya, dalam soal makanan, Islam Nusantara punya madzhabnya sendiri.
Wallahu alam bi sawab. [Jamaluddin Mohammad]

Bukan Hanya Shahrukh Khan

Menutup tahun 2015 saya menghadiri workshop di ANU Canberra dengan tema “Gender, Relationship and Women’s Agency: An India –Indonesia Comparative Workshop”. Dalam acara itu saya mempresentasikan perkembangan terkini soal fundamentalisme dan agency perempuan. Itu adalah perluasan dari studi Rumah KitaB terdahulu sebagaimana didokumentasikan dalam buku Kesaksian Para Pengabdi. Sebelum saya memutuskan untuk presentasi itu saya telah menyiapkan sebuah paper pendek melacak hubungan India dan Indonesia dalam kajian tentang perempuan dan Islam. Saya membaginya berdasarkan periode sejarah yang linier; masa kolonial, masa kemerdekaan, dan era modernisasi pasca kemerdekaan. Secara keseluruhan tulisan ini hendak mengingatkan kembali bahwa pengaruh India di Indonesia bukan hanya film dan bintang Bollywood seperti Shahrukh Khan dan filmnya yang sangat populer dan masih terus diputar Kuch Kuch Hota Hai.

Era Kolonial

Pengaruh Islam India terhadap Islam Indonesia sepertinya cukup terbatas. Dari presentasi sejumlah penelitian sebagaimana dipaparkan dalam workshop, pengaruh terhadap Malaysia jauh lebih besar. Ini bisa dipahami karena sama-sama dijajahi Inggris, banyak orang India Islam menetap dan berketurunan di semenanjung Malaysia.

Pengaruh India di Indonesia yang terlihat ada di Sumatera, dengan kedatangan ulama Gujarat Ar-Raniri. Pengaruh ajaran dan pemikiran Ar –Raniri menjadi tema-tema kajian Islam Nusantara. Hingga saat ini bisa ditemukan batu nisan di pesisir Aceh yang kelihatanya buatan Gujarat.

Menurut penelitian Martin van Bruinessen, tarekat Syattariyah yang berkembang di Aceh berasal dari India, tetapi mencapai Indonesia melalui guru-guru tarekat yang bermukim di Madinah. Setelah itu tarekat Syattariyah berkembang di sejumlah wilayah di Sumatera dan Jawa.

Dilihat dari perkembangan mazhab fikihnya, India bagian utara menganut madzhab Hanafi dan itu tak berkembang di Indonesia. Tradisi madrasah reformis Deoband punya dampak lebih menonjol di semenanjung Malaysia, bukan di Indonesia. Jika dilihat dari jejak mazhab yang berkembang di Indonesia dan tradisi-tradisi keagamaan seperti ziarah kubur, selamatan, sunat perempuan, Indonesa kelihatannya mendapat pengaruh dari India bagian selatan yang menganut mazhab Syafi’i. Namun, tradisi serupa itu juga merupakan tradisi para perantau dari Hadhramaut/Yemen. Dengan begitu, mungkin tradisi itu datang dari Hadramaut melalui Gujarat dan lalu ke Indonesia. Sunat perempuan, misanya, bukan hal yang dikenali dalam tradisi Islam di India, namun menjadi tradisi di Yemen.

Santiniketan – Santiasrama

Dalam dunia pendidikan tradisonal dan mandiri mungkin pengaruh India lebih menonjol seperti penggunaan istilah santri, ashrama, dan yang relevan pengaruh kitab fikih Al-Malibari dari India Selatan/Barat Laut.

Pengaruh paling menonjol dapat terlihat dalam dunia pendidikan. Tradisi pendidikan pesantren yang mengajarkan kemandirian dan tinggal di asrama kelihatannya merupakan pengaruh tradisi pendidikan dalam agama Hindu dari India. Kemandirian itu tak semata-mata soal mengajari hidup mandiri, tetapi juga semangat untuk bebas dari jajahan Belanda, sebagaimana semangat India bebas dari penjajahan Inggris.

Dalam konteks ini, pengaruh paling nyata dapat dilihat di Majalengka, Jawa Barat. KH Abdul Halim, tokoh pendidikan agama, pada tahun 1931 mendirikan pesantren di atas bukit berudara sejuk di Sukamanah, Ciomas, Majalengka. Cita-citanya adalah mendidik santri mandiri yang punya keahlian keterampilan livelihood. Selain belajar, mereka dilibatkan dalam praktik berkebun, pertukangan dan menenun. Mereka didorong untuk mandiri secara ekonomi dan tak mengandalkan untuk bekerja sebagai pegawai kolonial. Nama kompleks pesantren itu tidak menggunakan nama daerah, atau nama lembaga pendididikan Islam ala Mesir, melainkan meniru gagasan Rabindranath Tagore yang mendirikan Santiniketan. KH Abdul Halim memberi nama Santiasrama.

Santiasrama pada masa itu telah dikelola secara modern, berbeda dari umumnya pesantren NU di Jawa Timur. Pendidikan ini memberi tempat bagi santri putri; bahkan pengganti KH Abdul Halim adalah Ibu Siti Fatimah Halim, salah seorang anak KH Abdul Halim yang memiliki pemikiran modern dalam hal pendidikan livelihood. Di masa kepemimpinan Ibu Siti Fatimah, berdiri poliklinik mengadopsi PKU Muhammadiyah.

Pengaruh India yang paling menonjol di Indonesia tentu gerakan Ahmadiyah, baik Qadian maupun Lahore. Tafsir Muhammad Ali dari Qadian di tahun 30-an sangat berpengaruh kepada golongan berpendidikan Belanda/Barat terutama karena tafsir Al Qur’an Ahmadiyah bercorak rasional modernis. Tafsir pertama dalam bahasa Jawa yang disusun Tjokroaminoto dipengaruhi oleh pandangan-pandangan rasional tafsir Muhammad Ali.

Salah satu tema yang menarik dan relevan dengan isu perempuan dalam tafsir Ahmadiyah adalah soal warisan dengan gagasan yang tidak tunggal 2:1. Ada upaya untuk memberikan hak yang sama melalui mekanisme hibah kepada anak perempuan sebelum orangtua meninggal. Hal itu dapat ditelusuri dalam tafsir Muhammad Ali.

Pengaruh dalam Pemikiran Perempuan Islam di Era Modern

Saya harus menyebut dua nama penting yang berpengaruh pada perkembangan pemikiran perempuan dalam Islam di Indonesia di era modern pembangunan. Mereka adalah Asghar Ali Engineer dan Riffat Hassan.

Buku Ashgar Hak-Hak Perempuan dalam Islam merupakan buku terjemahan yang sangat berpengaruh kepada kaum feminis di era 80-an. Bukunya Women’s Rights within Islam diterjemahkan dan beredar luas di awal tahun 90-an. Bersama Wardah Hafdz, Henny Supolo, kami mengundang Asghar Ali dan mengadakan ceramah di Jakarta dan Yogyakarta yang dihadiri para aktivis perempuan dengan latar belakang pendidikan pesantren dan IAIN/UIN.

Sebagai pembaharu, Asghar Ali sebetulnya lebih populer di Indonesia daripada di India sendiri. Islam India rata-rata sangat konservatif, ini mungkin juga dipengaruhi posisinya sebagai minoritas. Asghar Ali Engineer merupakan minoritas di dalam minoritas. Ia dari madzhab Khoja (salah satu aliran Syiah Isma’iliah), yang dianggap sesat oleh Islam Sunni; dan di dalam jamaah Khoja sendiri, dia seorang reformer yang hampir disingkirkan oleh preman-preman bayaran imam kaum Khoja. Ashgar menemukan pengikutnya di Indonesia bukan di India.

Sementara Riffat Hassan memang keturunan Pakistan bukan India. Dan ia mengembangkan pemikirannya di Amerika, bukan di Pakistan, dan ia tak punya pengagum banyak di Pakistan. Bukunya Equal Before Allah sangat terkenal di Indonesia. Ia menawarkan metode penafsiran yang berpengaruh kepada para pemikir dari pesantren, terutama dalam meletakan kesetaraan lelaki perempuan dengan mematahkan argumen soal konsep penciptaan dari tulang rusuk.

Kedua tokoh ini berpengaruh di dunia akademik di Indonesia, terutama di IAIN dalam metodologi pembacaan teks Qur’an baik untuk bidang tafsir, filsafat, dan ushul fiqh.

 

India dan Indonesia juga menghadapi sejumlah tantangan yang mungkin sama. Antara lain soal dampak kemiskinan dan menguatnya fundamentalisme. Globalisasi transnasional fundamentalisme melahirkan gerakan-gerakan radikal yang kecewa pada pengelolaan negara yang melahirkan ketimpangan-ketimpangan sosial ekonomi dan ketidakadilan. Situasi itu menyuburkan gagasan tentang khalifah atau negara Islam sebagai jalan keluar yang niscaya lebih baik karena “diciptakan oleh Tuhan”.

Dalam situasi itu, perempuan menjadi ajang kontestasi. Kajian Rumah KitaB tentang perempuan dan fundamentalisme menunjukkan kuatnya keterlibatan perempuan dalam kelompok radikal karena di sana mereka mendapat tempat untuk berjihad. Sebetulnya kelompok fundamentalis sangat patriakh. Mereka tak memberi tempat yang baik dan setara kepada perempuan. Namun, mereka membutuhkan para pengikut setia yang fanatik dan menjadi penganut ideologi yang juga fanatik. Kalangan perempuan menjadi bagian dari kelompok itu. Semula mereka diberi peran sebagai pelaku jihad kecil. Mereka berjihad melalui rahimnya untuk memperbanyak pasukan Allah, jundullah. Namun, sejumlah perempuan muda tak puas dengan posisi itu, mereka dilibatkan menjadi bagian dari pelaku jihad “keras” dengan kepintarannya merakit bom atau meledakkan dirinya sebagai martir.

Ini adalah tantangan bagi kelompok Islam progresif terkait isu perempuan dalam Islam di Indonesia dan India. Negara berkepentingan untuk paham soal ini, tapi kelompok progresif juga tak bisa menganggap ini persoalan yang cukup dihadapi oleh kelompok dan gerakan perempuan. Dibutuhkan strategi yang kuat yang melampaui pendekatan-pendekatan yang selama ini dinamai sebagai pemberdayaan perempuan. []

Tempat & penyelenggara: Australian National University, Canberra, Australia

Waktu: 17 – 18 Desember 2015

Foto-foto diambil oleh Leopold Sudaryono.