Pro-Kontra Persaksian dalam Pernikahan

Di era globalisasi dan kemajuan teknologi saat ini, pembahasan tentang kedudukan persaksian dalam pernikahan menjadi semakin relevan dan mendesak. Masyarakat modern masih menghadapi berbagai tantangan terkait praktik pernikahan tidak tercatat yang terus berlangsung di berbagai lapisan masyarakat. Fenomena ini menunjukkan pentingnya mengkaji ulang konsep persaksian tradisional dalam fikih Islam dan bagaimana konsep tersebut dapat diterapkan dalam konteks kekinian.

Pernikahan merupakan ikatan sakral yang ditetapkan Allah untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Sebagai sebuah akad yang memiliki konsekuensi hukum dan sosial yang signifikan, Islam telah mengatur berbagai ketentuan untuk memastikan keabsahan dan kesempurnaan pernikahan. Di antara ketentuan tersebut adalah keharusan adanya persaksian dalam akad nikah.

Para ulama telah mencapai kesepakatan bahwa persaksian merupakan salah satu syarat dalam pernikahan. Hal ini didasarkan pada berbagai dalil, baik dari Al-Qur’an maupun hadis. Namun demikian, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kedudukan persaksian tersebut apakah merupakan syarat yang menentukan keabsahan akad (syarat sah) ataukah hanya sebagai syarat kesempurnaan (syarat kamal).

Berdasarkan latar belakang tersebut, tulisan ini akan mengkaji secara mendalam tentang kedudukan persaksian dalam pernikahan menurut perspektif fikih Islam, khususnya berdasarkan analisis Imam Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid, dengan harapan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif tentang permasalahan ini.

Landasan Teoretis Persaksian dalam Pernikahan

Imam Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid menjelaskan bahwa perbedaan pendapat ini berakar pada perbedaan dalam memahami dalil-dalil yang berkaitan dengan persaksian nikah serta interpretasi terhadap tujuan disyariatkannya persaksian. Sebagian ulama, seperti Imam Syafi’i dan jumhur, memandang persaksian sebagai syarat sah yang harus dipenuhi saat akad. Sementara ulama lain, seperti Imam Malik, menganggapnya sebagai syarat kesempurnaan yang diperlukan sebelum dukhul.

Meski terdapat perbedaan pendapat tentang waktu diperlukannya saksi, para ulama sepakat bahwa pernikahan yang disembunyikan (nikah sirri) tidak diperbolehkan. Hal ini menunjukkan pentingnya aspek pengumuman dan dokumentasi dalam pernikahan untuk melindungi hak-hak yang timbul darinya, seperti hak keturunan, waris, dan nafkah.

Perbedaan Pendapat Ulama tentang Kedudukan Persaksian

Menurut pandangan Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, persaksian merupakan syarat kesempurnaan dalam pernikahan yang hanya diperlukan saat akan terjadi dukhul (hubungan suami istri). Mereka berpendapat bahwa akad nikah tetap sah meskipun dilakukan tanpa kehadiran saksi. Namun, pasangan tersebut tidak boleh melakukan hubungan suami istri sebelum menghadirkan saksi. Argumentasi mereka didasarkan pada pemahaman bahwa tujuan utama persaksian adalah untuk mengumumkan pernikahan dan mencegah terjadinya pengingkaran di kemudian hari.

Berbeda dengan pandangan di atas, Imam Malik berpendapat bahwa persaksian merupakan syarat sah yang harus dipenuhi pada saat akad nikah berlangsung. Menurut beliau, tanpa kehadiran saksi, akad nikah dianggap tidak sah atau batal. Pendapat ini didasarkan pada hadits yang menyatakan bahwa tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil. Imam Malik memandang persaksian sebagai bagian integral dari rukun akad yang tidak bisa ditunda pelaksanaannya.

Perbedaan pendapat ini memiliki implikasi hukum yang signifikan. Menurut Abu Hanifah dan Syafi’i, pernikahan tanpa saksi tetap valid meskipun tidak sempurna, dan pasangan hanya perlu menghadirkan saksi sebelum melakukan hubungan suami istri. Sementara menurut Malik, pernikahan tersebut sama sekali tidak valid dan memerlukan akad baru dengan kehadiran saksi jika ingin dianggap sah.

Hakikat dan Fungsi Persaksian dalam Pernikahan

Perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai fungsi persaksian dalam pernikahan mencerminkan kedalaman pemikiran fikih Islam dalam memahami maksud syariat. Perbedaan ini terutama berpusat pada interpretasi terhadap hakikat persaksian apakah merupakan ketentuan hukum syar’i yang memiliki dimensi ibadah dengan syarat-syarat tertentu, atau sekadar sarana untuk dokumentasi dan pencegahan konflik semata.

Persaksian sebagai Sarana Pengumuman (I’lan)

Imam Abu Hanifah memandang bahwa tujuan utama persaksian dalam pernikahan adalah sebagai sarana pengumuman (I’lan) semata. Berdasarkan pandangan ini, beliau memperbolehkan kesaksian dari orang yang fasik, karena yang terpenting adalah tercapainya fungsi pengumuman tersebut kepada masyarakat. Perspektif ini menekankan aspek sosial dari persaksian, di mana fokus utamanya adalah memastikan bahwa pernikahan tersebut diketahui oleh masyarakat untuk mencegah fitnah dan prasangka buruk.

Persaksian sebagai Dokumentasi Hukum

Sementara itu, Imam Syafi’i memiliki pandangan yang lebih komprehensif mengenai fungsi persaksian. Menurut beliau, persaksian tidak hanya berfungsi sebagai pengumuman, tetapi juga sebagai bentuk dokumentasi yang memiliki konsekuensi hukum. Oleh karena itu, beliau mensyaratkan adanya sifat adil pada diri saksi. Keadilan ini diperlukan karena saksi tidak hanya berperan dalam mengumumkan pernikahan, tetapi juga menjadi penjamin keabsahan akad yang bisa dipertanggungjawabkan di kemudian hari.

Perbedaan pandangan ini memiliki implikasi penting dalam praktik pernikahan. Menurut Abu Hanifah, selama fungsi pengumuman tercapai, maka persaksian telah memenuhi tujuannya, terlepas dari kualitas moral saksi. Di sisi lain, Imam Syafi’i menekankan pentingnya integritas saksi karena mereka tidak hanya berperan dalam pengumuman, tetapi juga dalam aspek hukum dan dokumentasi yang mungkin diperlukan di masa depan.

Dalil-dalil dan Argumentasi Hukum

Di antara dalil-dalil yang menjadi landasan hukum persaksian dalam pernikahan adalah hadits-hadits Nabi Saw dan fatwa sahabat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan, Nabi Saw bersabda:

أعلنوا هذا النكاح واضربوا عليه بالدفوف

“Umumkanlah pernikahan ini, dan tabuhkanlah rebana padanya”

Hadits ini secara eksplisit memerintahkan untuk mengumumkan pernikahan kepada masyarakat. Perintah pengumuman ini mengindikasikan bahwa pernikahan dalam Islam bukanlah urusan privat semata, melainkan memiliki dimensi sosial yang perlu diperhatikan. Penyebutan “tabuhkanlah rebana” dalam hadits menunjukkan bahwa Islam mendorong bentuk-bentuk pengumuman yang dapat menarik perhatian masyarakat, sehingga berita pernikahan tersebar luas.

Selain itu, terdapat fatwa dari Umar bin Khattab RA yang dengan tegas melarang nikah sirri (pernikahan yang disembunyikan). Diriwayatkan bahwa Umar RA pernah mendapati suatu pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu beliau berkata: “Ini adalah nikah sirri dan aku tidak memperbolehkannya. Seandainya aku hadir, niscaya aku akan merajam.” Sikap tegas Umar RA ini menunjukkan betapa pentingnya aspek publikasi dalam pernikahan. Kedua dalil ini saling menguatkan dalam menegaskan prinsip bahwa pernikahan dalam Islam harus diumumkan dan tidak boleh disembunyikan.

Dengan demikian, dalam konteks modern pemahaman ini dapat menjadi landasan untuk memperkuat sistem pencatatan pernikahan yang berfungsi tidak hanya sebagai prosedur administratif, tetapi juga sebagai wujud implementasi nilai-nilai syariat dalam melindungi hak-hak keluarga.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses