Urgensi Membahas Fatwa Hidup Satwa (Bagian 3-Akhir)

Pembahasan sebelumnya telah menguraikan tentang pentingnya meluruskan beberapa kesalahpahaman terhadap dalil-dalil yang terkesan merenggut hak hidup hewan. Selain persoalan hak hidup hewan, ada satu alasan utama lagi mengapa perlu memperhatikan satwa yaitu Allah swt sering mengajak manusia untuk belajar dari kehidupan hewan.

Eksistensi hewan di alam semesta adalah sebagai guru kehidupan bagi setiap insan. Menteri Agama, Nasaruddin Umar, dalam banyak kesempatan sering menyampaikan, “alangkah ruginya manusia, kalau gurunya hanya orang yang hidup”. Beliau menekankan bahwa kita juga bisa belajar dari orang yang sudah mati. Konteksnya adalah kesadaran irfani, bahwa ilmu itu tidak hanya seputar teks dan akal. Kita perlu tersambung dengan para leluhur yang telah mendahului kita.

Dengan horizon yang mirip, Gita Wiryawan juga menegaskan pentingnya belajar dari 125 milyar orang yang sudah mendahului kita, dibanding sebatas belajar dari 8 milyar penduduk bumi yang hidup saat ini. Keduanya menekankan poin terkait belajar sejarah dengan bahasa ‘belajar dari orang yang sudah mati’. Ketersambungan tradisi dengan orang terdahulu penting sebagaimana kita juga perlu memahami keterkaitan manusia dengan makhluk lainnya.

Berguru dengan Binatang

Karenanya, menyitir ungkapan Menag di atas, “alangkah miskinnya manusia, kalau gurunya hanya manusia”. Kita bisa dan perlu belajar dari makhluk lain, tumbuhan dan hewan. Dalam banyak kisah, kita sering mendengar narasi seorang ‘pelacur’ yang masuk surga karena seekor anjing dan seorang majikan yang dijerumuskan ke neraka karena seekor kucing. Hal ini memberikan pelajaran bahwa berakhlak mulia itu tidak hanya kepada sesama Muslim atau manusia, bahkan kepada hewan pun akhlak diutamakan.

Pelajaran ini juga dapat dipahami dari hadis Nabi saw berikut:

بينَما رجلٌ يمشي بِطريقٍ اشتَدَّ بهِ العَطشُ، فوجدَ بئرًا فنزلَ فيها، فشرِبَ ثمَّ خرجَ، فإذا كلبٌ يلهَثُ، يأكُلُ الثرَى من العَطشِ، فقال الرَّجُلُ: لقد بلغَ هذا الكلبُ من العَطشِ مِثلَ الَّذي كان بلغَني، فنزلَ البِئرَ فملأَ خُفَّهُ ثمَّ أمسكَه بفِيهِ فسَقَى الكلبَ، فشكرَ اللهُ لهُ، فغَفرَ لهُ. قالوا: يا رسولَ اللهِ، وإنَّ لنا في البهائمِ أجرًا؟ قال: في كُلِّ كَبِدٍ رطبَةٍ أجرٌ

Ketika seseorang sedang berjalan, ia merasa sangat haus. Ia pun menemukan sebuah sumur, lalu turun ke dalamnya dan minum. Ketika ia keluar, ia melihat seekor anjing menjulurkan lidahnya, menjilat tanah karena kehausan. Ia berkata, “Anjing ini telah merasakan haus seperti yang aku rasakan tadi.” Maka ia turun kembali ke sumur, mengisi sepatunya dengan air, menggigit (memegang) sepatu itu dengan mulutnya, lalu memberi minum anjing tersebut. Maka Allah pun berterima kasih kepadanya dan mengampuni dosanya. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita juga mendapat pahala bila berbuat baik kepada hewan?” Beliau menjawab, “Pada setiap makhluk yang bernyawa terdapat pahala.”

Hadis di atas melengkapi dalil mengapa perlu berpihak pada binatang. Selain pendekatan bayani dan burhani sebagaimana dua pembahasan sebelumnya, pendekatan irfani juga perlu dihadirkan. Nasihat Nabi dia atas menegaskan bahwa berlaku baik pada setiap makhluk itu berpahala. Bukankah hewan juga makhluk yang bernyawa? Maka hak hidup hewan juga perlu diperjuangkan.

Selain kisah di atas, ada lagi cerita yang dialami oleh seorang ulama tabi’ tabi’in terkenal, Imam ‘Abdullāh bin al-Mubārak (w. 181 H). Beliau dikenal sebagai sosok ahli hadis, zuhud, dan jihad. Dikisahkan bahwa suatu ketika Imam Ibn al-Mubārak sedang menulis dengan penanya. Tiba-tiba datang seekor lalat yang hinggap di ujung pena beliau untuk meminum tinta.

Beliau pun menahan tangannya, tidak mengusir lalat itu, dan membiarkannya minum sepuasnya dari tinta pena. Setelah lalat itu pergi, beliau berkata: “Inilah bagian rezeki yang Allah tetapkan untuknya dariku hari ini”.

Melihat Hewan dalam Perspektif Tasawuf

Dengan kacamata tasawuf, semua makhluk adalah hamba Allah. Sehingga kita sebagai manusia, tidak boleh menyakitinya apalagi mengabaikan hak asasinya. Bahkan seekor lalat yang kecil atau anjing yang dipandang najis, dengan kacamata irfani, menjadi ‘suci’ dan perlu dihargai hidupnya.

Memang hal ini sulit untuk dipahami dengan menggunakan sudut pandang rasionalitas-antroposentris. Perspektif ini jugalah yang membuat kerusakan alam kian masif terjadi. Dengan rasionalitas pencerahan, banyak orang yang belajar sains dan akhirnya menemukan berbagai penemuan terbaru. Penemuan tersebut membuat orang dengan mudah mengekstraksi kekayaan alam. Bersanding dengan pemahaman antroposentris, bahwa manusia sebagai pusat kehidupan, maka alam raya pun dikeruk kebablasan.

Maka cara pandang sufi yang melihat bahwa semua makhluk itu adalah ciptaan Allah dan tidak boleh dizalimi, perlu mewarnai cara pikir orang modern, terutama umat Islam. Melalui literatur klasik di atas, kita temukan banyak narasi yang menghargai setiap hewan. Bukan berarti pula, dengan cara ini, manusia tidak dapat mengonsumsi hewan sepenuhnya. Di sinilah norma agama dapat menjadi panduan.

Hikmah Halal dan Haram Binatang

Ada hewan yang bisa dikonsumsi, ada yang dilarang. Hewan yang bisa dikonsumsi pun tidak boleh berlebihan, karena akan berdampak pada kesehatan. Hewan yang hendak dikonsumsi pun perlu disembelih dengan cara terbaik yang mengurangi semaksimal mungkin rasa sakit pada hewan. Aturan yang ketat ini sejatinya untuk memberikan penghargaan kepada binatang, sebab mereka pun makhluk hidup yang sama dengan manusia.

Ada pula hewan yang terlarang untuk dimakan. Itu pun ada hikmahnya. Quraish Shihab dalam buku “Jawabannya adalah Cinta” menegaskan, hewan yang tidak boleh dimakan itu diciptakan untuk mengatur keseimbangan ekosistem kehidupan. Ada binatang yang diciptakan di samping untuk menjadi mangsa binatang yang lain, juga berperan membersihkan kotoran dan polusi yang terjadi. Ada banyak ikan di danau, sungai dan laut yang berfungsi demikian.

Di darat juga ada banyak, seperti babi dan tikus. Keduanya diciptakan memang dalam habibat yang kotor. Pun mereka dapat mengonsumsi apa saja, bahkan yang kotor. Karenanya manusia dilarang mengonsumsi hewan tersebut karena berpotensi terinfeksi penyakit. Hal ini sebagaimana yang pernah terjadi beberapa tahun silam, virus covid-19 yang pertama kali tersebar dari Wuhan, salah satu pemicunya adalah karena mengonsumsi hewan ekstrem seperti kelelawar dan ular.

Namun, bukan berarti karena mereka tidak boleh dimakan, lantas kehidupannya perlu diberantas. Justru dengan memberi ruang bagi hewan tersebut dengan tidak mengonsumsinya, kita sedang menjaga ekosistem dan keseimbangan alam.

Hari ini, keserakahan manusia membuat alam menjadi rusak. Karenanya, tafsir agama perlu bergerak dan berpihak. Menjaga manusia, satwa, sekaligus semesta dalam satu tarikan nafas ajaran agama. Itulah cara kita merawat peradaban.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses