Teladan Nabi Nuh dalam Penyelamatan Binatang Perspektif Iman Islam dan Katolik
Tanggal 4 Oktober setiap tahunnya diperingati sebagai World Animal Day atau Hari Binatang Sedunia. Peringatan tersebut menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran global (Global Awareness) akan kesejahteraan dan pelestarian habitat binatang. Pada mulanya, peringatan Hari Binatang Sedunia pertama kali diperingati pada tahun 1931 di kota Florence, Italia.
Peringatan tersebut terselenggara dalam rangkaian kegiatan Konvensi Ekologi Internasional yang berfokus pada isu-isu konservasi. Pemilihan tanggal 4 Oktober didasarkan pada peringatan liturgis Santo Fransiskus dari Assisi, seorang tokoh suci (Santo) dalam tradisi Katolik yang dikenal luas sebagai pelindung hewan dan lingkungan alam.
Secara historis, tujuan utama penetapan Hari Binatang Sedunia untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap spesies hewan yang berada dalam ancaman kepunahan akibat aktivitas manusia dan perubahan lingkungan. Namun, seiring dengan perkembangan pemikiran ekologi dan etika lingkungan, makna peringatan tersebut mulai mengalami perluasan.
Hari Binatang Sedunia kini juga dapat dipahami sebagai momentum global untuk menegaskan nilai-nilai spiritual dan ekologis dalam memperlakukan binatang sebagai makhluk hidup yang memiliki hak untuk dilindungi serta dihormati keberadaannya dalam sistem kehidupan di bumi.
Memandang Binatang dalam Perspektif Eko-teologi
Dalam perspektif eko-teologi, binatang menempati posisi sebagai makhluk yang diciptakan untuk hidup berdampingan dengan manusia. Dalam iman Islam dan Katolik, Allah sebagai Sang Pencipta menciptakan seluruh makhluk hidup bukan tanpa tujuan termasuk binatang. Dalam Alkitab dan Al-Qur’an, banyak sekali ayat yang menyebutkan mengenai binatang. Secara langsung, disebutnya binatang pada kedua kitab suci tersebut menegaskan bahwa binatang juga memiliki peran yang penting dalam kehidupan di alam.
Pada Alkitab khususnya Kitab Kejadian 1:20-23 menjelaskan bagaimana binatang tercipta. Ayat tersebut berbunyi “(1:20) Berfirmanlah Allah: “Hendaklah dalam air berkeriapan makhluk yang hidup, dan hendaklah burung beterbangan di atas bumi melintasi cakrawala.” (1:21) Maka Allah menciptakan binatang-binatang laut yang besar dan segala jenis makhluk hidup yang bergerak, yang berkeriapan dalam air, dan segala jenis burung yang bersayap. Allah melihat bahwa semuanya itu baik. (1:22) Lalu Allah memberkati semuanya itu, firman-Nya: “Berkembangbiaklah dan bertambah banyaklah serta penuhilah air dalam laut, dan hendaklah burung-burung di bumi bertambah banyak.” (1:23) Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari kelima.”
Sedangkan dalam Al-Qur’an, penciptaan binatang dijelaskan dalam Surah An-Nur ayat 41 yang memiliki arti, “Tidakkah engkau (Nabi Muhammad) tahu bahwa sesungguhnya kepada Allahlah apa yang di langit dan di bumi dan burung-burung yang merentangkan sayapnya senantiasa bertasbih. Masing-masing sungguh telah mengetahui doa dan tasbihnya. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka lakukan.”
Serta ayat 45 yang memiliki arti “Allah menciptakan semua jenis hewan dari air. Sebagian berjalan dengan perutnya, sebagian berjalan dengan dua kaki, dan sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Baik dalam ajaran Iman Islam dan Katolik, penciptaan binatang sebagai bagian dari kehendak Ilahi yang merefleksikan kebijaksanaan dan kasih Tuhan. Dalam kedua tradisi tersebut, seluruh makhluk hidup berada dalam satu kesatuan ciptaan yang saling bergantung.
Islam memandang binatang sebagai makhluk Allah yang juga bertasbih dan tunduk kepada-Nya, sebagaimana manusia diperintahkan untuk berlaku adil terhadap mereka. Demikian pula, dalam tradisi Katolik, binatang dilihat sebagai bagian dari ciptaan Allah yang “baik adanya,” sebagaimana ditegaskan dalam Kitab Kejadian.
Teladan Penyelamatan Binatang oleh Nabi Nuh dalam Ajaran Islam dan Katolik
Baik dalam ajaran Iman Islam dan Katolik, terdapat satu kisah yang sama mengenai penyelamatan binatang. Kisah tersebut merupakan kisah Nabi Nuh dengan banjir besar dan kapalnya yang sangat masyhur terkenal di masyarakat.
Dalam Alkitab, Kisah Nabi Nuh terkenal dengan sebutan bahtera Nuh yang tercatat dalam Kitab Kejadian Pasal 6.
“Berfirmanlah Allah kepada Nuh: “Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan kekerasan oleh mereka; jadi Aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan bumi” (6:13). “Buatlah bagimu sebuah bahtera dari kayu gofir; bahtera itu harus kaubuat berpetak-petak dan harus kaututup dari luar dan dari dalam.”
(6:14). “Beginilah engkau harus membuat bahtera itu: tiga ratus hasta panjangnya, lima puluh hasta lebarnya, dan tiga puluh hasta tingginya” (6:15). “Buatlah atap pada bahtera itu dan selesaikanlah bahtera itu sampai sehasta dari atas, dan pasanglah pintunya pada lambungnya; buatlah bahtera itu bertingkat bawah, tengah, dan atas” (6:16). “Sebab sesungguhnya Aku akan mendatangkan air bah meliputi bumi untuk memusnahkan segala yang hidup dan bernyawa di kolong langit; segala yang ada di bumi akan mati binasa.”
(6:17). “Tetapi dengan engkau Aku akan mengadakan perjanjian-Ku, dan engkau akan masuk ke dalam bahtera itu: engkau bersama-sama dengan anak-anakmu dan isterimu dan isteri anak-anakmu” (6:18). “Dan dari segala yang hidup, dari segala makhluk, dari semuanya haruslah engkau bawa satu pasang ke dalam bahtera itu, supaya terpelihara hidupnya bersama-sama dengan engkau; jantan dan betina harus kaubawa” (6:19). “Dari segala jenis burung dan dari segala jenis hewan, dari segala jenis binatang melata di muka bumi, dari semuanya itu harus datang satu pasang kepadamu, supaya terpelihara hidupnya.”
Dalam Al-Qur’an, kisah Nabi Nuh AS dan penyelamatan binatang dijelaskan pada surah Hud ayat 36-40, yang berbunyi “Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah engkau bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. Dan Nuh membuat bahtera; dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewatinya, mereka mengejeknya. Nuh berkata: ‘Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami pun akan mengejek kamu sebagaimana kamu mengejek kami. Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakannya dan ditimpa azab yang kekal. Hingga apabila perintah Kami datang dan tanur telah memancarkan air, Kami berfirman: ‘Bawalah ke dalam bahtera itu masing-masing sepasang dari segala jenis makhluk hidup, dan keluargamu kecuali orang yang telah ditetapkan terkena hukuman, serta orang-orang yang beriman.’ Dan tidak ada yang beriman bersama Nuh, kecuali sedikit” (QS. Hud: 39–40).
Menyelami Makna Keberagaman dan Keseimbangan Alam
Kisah penyelamatan binatang oleh Nabi Nuh baik dalam ajaran Islam dan Katolik mengandung makna eko-teologis yang menegaskan keterkaitan antara iman, kehidupan, dan keberlanjutan alam. Perintah Allah kepada Nabi Nuh untuk membawa sepasang makhluk hidup ke dalam bahtera merefleksikan tanggung jawab manusia dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan mencegah kepunahan spesies.
Secara tidak langsung, kisah Nabi Nuh mengajarkan kita semua bahwa pelestarian makhluk hidup merupakan bagian dari ketaatan spiritual yang berakar pada kesadaran akan kesatuan ciptaan. Jika kita melihat kisah tersebut dalam perspektif waktu masa kini, kisah tersebut dapat menjadi dasar teologis bagi upaya perlindungan binatang. Sehingga sejatinya penyelamatan binatang merupakan upaya penyelamatan bumi dan keberlangsungan kehidupan manusia itu sendiri.
Oleh karenanya, penting bagi kita untuk terus menyayangi binatang dengan tidak menyakitinya, tidak merusak habitatnya, serta memastikan keberlangsungan hidup binatang sebagai bagian dari sistem ekologis bumi. Selamat Hari Binatang Sedunia!




Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!