Pos

Perempuan, Islam, dan Lingkungan: Kisah Astri Saraswati dalam Membangun Kesadaran Ekologis di Perbukitan Menoreh

Di tengah isu pembangunan berkelanjutan, peran perempuan yang mampu menginisiasi pertanian berbasis organik menjadi sangat menarik. Salah satu sosok inspiratif adalah Astri Saraswati. Astri, seorang alumnus Indonesia Mengajar, kini aktif mengajak ibu rumah tangga di Lereng Perbukitan Menoreh, Kulon Progo, untuk membudidayakan tanaman empon-empon secara organik. Kisah perjuangannya mengajarkan bahwa nilai-nilai Islam dan ekologi yang diterapkan oleh perempuan mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat pedesaan.

Sebelum terjun ke pengembangan budidaya empon-empon secara organik bersama ibu-ibu di Dusun Pringtali, Astri adalah relawan Indonesia Mengajar. Tertarik dengan ide yang digagas oleh Anies Baswedan, Astri, lulusan Universitas Teknologi Malaysia, ditempatkan di wilayah terpencil di Jambi. Selama bertugas, ia menyadari potensi sumber daya alam Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan.

Setelah purna tugas, Astri bersama suaminya, Andika Mahardika, menetap di Dusun Kedung Perahu, Sleman, pada 2013. Mereka mendirikan CV. Agradaya, yang memproduksi empon-empon kualitas premium untuk pasar Eropa. CV. Agradaya bertujuan memberdayakan ibu rumah tangga guna meningkatkan pendapatan dengan memanfaatkan lahan sekitar rumah untuk budidaya empon-empon secara organik. Tanaman yang dibudidayakan meliputi jahe, kunyit, dan temulawak. Pada 2016, hanya 150 orang dengan lahan 1500 m² yang terlibat. Kini, anggota mencapai 1500 orang dengan lahan lebih dari 1 hektar.

Perjalanan mengajak masyarakat tidak mudah. Berulang kali uji coba produksi jamu internasional menghadapi tantangan besar. Namun, Astri tetap sabar membina ibu-ibu yang mayoritas berusia di atas 50 tahun dan terbiasa menggunakan pupuk kimia. Untuk memotivasi mereka, Astri menawarkan harga panen lebih tinggi, yaitu Rp 25.000 – Rp 40.000/kg, dibanding harga pasar Rp 5.000 – Rp 20.000/kg. Syaratnya, proses budidaya hingga pasca panen harus memenuhi standar organik. Astri juga mengajak LSM membangun rumah pengeringan empon-empon untuk mendukung pengolahan.

Sejak ibu rumah tangga memanfaatkan pekarangan secara optimal melalui sistem tumpang sari, pendapatan meningkat. Jika sebelumnya hanya mengandalkan pisang, kelapa, dan kayu, kini hasil panen lebih cepat dan menguntungkan. Kesejahteraan Desa Pringtali pun membaik, terlihat dari perbaikan rumah, pembelian kendaraan, pelunasan hutang, dan biaya pendidikan anak hingga perguruan tinggi.

Dalam ajaran Islam, mencari rezeki sambil menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah. Al-Quran dan Hadis menekankan pentingnya menjaga kelestarian alam. Kisah Astri membuktikan bahwa membumikan ajaran Islam untuk membangun kesadaran ekologis di kalangan ibu rumah tangga mampu menciptakan dampak positif. Dengan memahami bahwa melestarikan alam adalah tanggung jawab bersama, upaya ini menjadi virus kebaikan yang menyebar luas.

Kesuksesan Astri memberdayakan ibu rumah tangga di pedesaan terpencil menunjukkan bahwa setiap usaha menghadapi ujian. Hanya mereka yang pantang menyerah yang meraih kesuksesan. Islam mengajarkan bahwa orang sukses bukan yang tidak diuji, melainkan yang sabar dalam menghadapi tantangan.

Kisah Astri juga mengajarkan bahwa membantu orang lain akan mendatangkan balasan baik dari Allah. CV. Agradaya berhasil membangun citra sebagai unit usaha yang peduli pada pemberdayaan perempuan marginal dan mendukung kelestarian lingkungan hidup.

Terobosan Astri adalah ide brilian. Ibu rumah tangga yang sebelumnya tidak produktif kini mampu meningkatkan pendapatan tanpa meninggalkan tugas utama sebagai madrasah pertama bagi anak-anak. Hal ini sejalan dengan syariat Islam yang menempatkan perempuan sebagai penjaga rumah dan lingkungan.

Pemilihan budidaya bahan baku jamu juga melestarikan warisan luhur bangsa Indonesia. Jamu telah diakui dunia sebagai kekayaan budaya dengan nilai filosofis tinggi. Mengembangkan jamu di pasar internasional adalah bagian dari menjaga sejarah bangsa.

Dengan demikian, kisah Astri dan komunitas pembudidaya empon-empon membuktikan peran perempuan dalam mengimplementasikan ajaran Islam terkait kelestarian lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan.

Bencana Alam: Ujian atau Rahmat? – Redefinisi Bencana Alam dalam Perspektif Islam

Rumah KitaB– Tidak dapat dipungkiri bahwa kerusakan ekologis adalah problematika yang sangat kompleks bagi manusia modern saat ini. Rentetan kejadian-kejadian bencana alam dan tanda-tandanya telah menjadi keresahan bersama, “Akankah kepunahan manusia terjadi dalam waktu dekat?” Bila kita bertolak pada Q.S Ar Rum ayat 41, bencana alam dan tanda-tanda kerusakan alam itu sengaja Tuhan hadirkan sebagai pengingat betapa manusia telah berbuat kerusakan di daratan dan lautan. Lalu, apa arti bencana alam dalam pandangan Islam itu sendiri?

“Bencana Alam” sebagai sebuah term seringkali disalahpahami. Penyebutan bencana alam selalu diwarnai dengan konotasi negatif. Hal ini dapat dilihat dari cara penyebutan “Korban Bencana Alam,” yang disematkan kepada orang-orang yang terkena dampak bencana alam. Seakan-akan manusia adalah korban dari kejahatan bencana alam, dan bencana alam adalah pelaku kejahatan tragis dan bengis terhadap manusia. Padahal, bencana alam tidak sepenuhnya terjadi karena fenomena alam semata, tetapi juga ada kaitannya dengan tindak tanduk hasil perbuatan manusia. Sebab pada hakikatnya, manusia tetaplah yang dimintai pertanggungjawabannya. Q.S Al Baqarah ayat 30 menggariskan manusia sebagai khalifatul fil Ard, yang memimpin dan mengelola bumi, baik bagi yang bernyawa (hewan, tumbuhan, dsb) maupun yang tidak bernyawa (air, tanah, udara, dsb).

Alih-alih memandang bencana alam sebagai hubungan relasional antara korban dan pelaku, lebih patut jika kita melihat bencana alam melalui dua pendekatan. Pertama, bencana alam sebagai fenomena alam yang berfungsi sebagai pengingat dan penyeimbang, sebagai siklus yang menjaga bumi (misalnya gempa bumi, gunung meletus, tsunami). Kedua, bencana alam yang hadir sebagai konsekuensi dari hasil ulah tangan manusia (misalnya banjir, tanah longsor, kekeringan). Keduanya memiliki fungsi masing-masing.

Khusus untuk bencana alam yang disebabkan oleh ulah manusia, al-Qur’an telah jelas melarang manusia berbuat kerusakan. Hal ini tertera pada Q.S Al A’raf ayat 56 yang berbunyi, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” Sedangkan untuk bencana alam yang merupakan bagian dari fenomena alam, hal itu adalah sunnatullah, sebab apa yang terjadi adalah ciptaan Allah yang tidak pernah sia-sia, sebagaimana dinyatakan dalam Q.S Ali Imran 191, “Rabbana ma khalaqta hadza batila, subhanaka fakina ‘adza bannar.”

Lalu, bagaimana al-Qur’an memaknai bencana alam itu sendiri? Adakah penggalian hikmah di dalamnya?

Penggalian makna bencana alam dalam al-Qur’an sangat penting. Ini akan meredefinisi makna bencana alam yang mungkin telah terdistorsi. Orang terdahulu memandang bencana alam sebagai tragedi yang sakral dan filosofis, sedangkan orang modern cenderung menolak hal tersebut. Bencana alam kini dianggap bersifat profan dan tidak memerlukan tradisi khusus untuk menghadapinya. Manusia modern menggunakan pendekatan logis, yakni dengan membaca ciri-ciri dan menghindari bencana alam itu sendiri. Meskipun saya sepakat bahwa bencana alam tidak layak disakralkan, namun pendalaman terhadap nilai filosofis bencana tetap perlu untuk kita perhatikan.

Jika kita mengacu pada Kisah Nabi Nuh tentang banjir bandang sebagai bencana yang Allah kirimkan kepada umat manusia, kita bisa melihat bahwa bencana itu tidak datang serta-merta. Bencana tersebut merupakan bagian dari konsekuensi akibat keburukan umat Nuh, yang menolak ajaran Nabi Nuh dan justru mengikuti orang-orang kaya yang berbuat kerusakan dan tipu daya besar (Q.S Nuh ayat 21-22). Ini relevan dengan masyarakat modern yang sering berpaling dari ajaran Islam dan berlomba-lomba mengejar kehidupan hedonis, mencintai orang kaya akan harta benda. Padahal mereka itulah yang sering berbuat kerusakan terhadap bumi. Oleh karena itu, Tuhan mengutus Nabi Nuh untuk membuat bahtera melalui bimbingan-Nya. Dan Allah menjanjikan keselamatan bagi mereka yang mengikuti Nuh, yakni keluarganya dan orang-orang yang beriman (Q.S Hud ayat 37-49).

Selain itu, jika kita merujuk pada kata kunci المصيبة (al-mushibah) dalam al-Qur’an, Q.S al-Hadid ayat 22 dapat dimaknai dengan tepat,
Tidak ada bencana (apa pun) yang menimpa di bumi dan tidak (juga yang menimpa) dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah.
Dengan demikian, jelas bahwa pandangan kita terhadap musibah atau bencana alam sebagai konotasi negatif adalah tindakan yang tidak bijak. Apa yang terjadi dalam bencana adalah bagian dari ketetapan Tuhan, dan sebagaimana dinyatakan dalam Q.S Ali Imran 191, bahwa segala yang telah Tuhan ciptakan tidaklah sia-sia.

Bahkan dalam hadist Nabi, musibah atau bencana alam yang menimpa orang-orang salih adalah bagian dari penggugur dosa-dosanya,
“Tidak ada satupun musibah (cobaan) yang menimpa seorang Muslim, melainkan dosanya dihapus Allah Ta’ala karenanya, sekalipun musibah itu hanya karena tertusuk duri.”
Hal ini juga diperkuat dengan hadist lainnya mengenai musibah,
“Jika suatu musibah menimpa seseorang dari kalian, maka bayangkanlah musibah itu menimpaku, maka hal itu adalah termasuk musibah yang terbesar.”
Hadist ini mengajarkan kita tentang kesabaran dalam menghadapi musibah, bahwa musibah yang kita terima adalah bagian dari musibah kecil dibandingkan dengan yang menimpa Rasulullah.

Pada akhirnya, Islam memberikan makna yang mendalam terhadap bencana alam atau musibah. Bencana lebih luas dari sekadar fenomena alam yang dipahami oleh orang modern saat ini, tetapi juga sebagai ketetapan Tuhan. Bencana alam berfungsi sebagai pengingat agar manusia kembali ke jalan-Nya dan sebagai penggugur dosa-dosa bagi orang-orang salih yang menanggungnya. Sikap kita seharusnya adalah meyakini dan mengamalkan al-Qur’an sebagai pedoman dan petunjuk hidup, sebagaimana bahtera Nabi Nuh yang membawa keselamatan bagi hewan-hewan, keluarganya, dan orang-orang beriman. Islam memaknai bencana dengan cara yang bijak, dimana alam dan manusia memiliki status yang sama sebagai makhluk yang berada dalam ketetapan Allah. Bahkan manusia memiliki tugas untuk mengelola dan memimpin ciptaan Allah di muka bumi, yang kemudian akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Wallahu a’lam bishawab. []

Rokok dalam Bingkai Maqashid al-Syariah: Apakah Bertentangan dengan Tujuan Syariah?

Merokok menjadi salah satu isu kesehatan yang mengandung banyak kontroversi dan sudah tidak asing lagi di kalangan remaja saat ini. Pengguna rokok tidak hanya terbatas pada laki-laki; di kalangan perempuan juga banyak yang mengonsumsinya. Bagi para penggunanya, merokok dianggap dapat menghilangkan stres, memberikan ketenangan, serta membantu fokus dalam mengerjakan sesuatu. Menurut penulis, hal ini dikarenakan adanya kecanduan yang menerpa pengguna rokok, sehingga ketika mereka tidak mengonsumsinya, akan merasa ada yang hilang, bahkan mengalami kebingungan luar biasa serta kehilangan fokus dalam banyak hal.

Bahaya Rokok dan Dampaknya bagi Kesehatan

Rokok seharusnya tidak menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat. Setiap individu pasti sudah mengetahui bahwa rokok mengandung berbagai zat berbahaya. Kandungan dalam rokok, seperti nikotin, tar, karbon monoksida, dan bahan kimia lainnya, berdampak buruk bagi kesehatan, baik untuk perokok aktif maupun pasif. Namun, kenyataannya banyak kalangan yang tidak mempedulikan bahaya tersebut. Bahkan, para remaja saat ini menjadikan rokok sebagai tolak ukur kedewasaan. Mereka menganggap bahwa ketika sudah merokok, berarti mereka sudah dewasa dan terlihat keren.

Rokok menjadi penyebab berbagai macam penyakit, seperti kanker paru-paru, penyakit jantung, stroke, hingga penyakit pernapasan kronis. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahaya rokok tidak hanya mempengaruhi penggunanya (perokok aktif) saja, tetapi orang di sekitarnya (perokok pasif) juga bisa terpengaruh. Bahkan, bahaya bagi perokok pasif lebih berisiko. Lebih parahnya lagi, anak-anak yang sangat rentan menjadi korban “perokok pasif” dapat terkena infeksi saluran pernapasan dan asma. Hal ini sudah tersebar di berbagai platform media sosial, salah satunya pada postingan “Gang Puncak Indah” di Instagram yang mengangkat kasus anak-anak korban perokok pasif.

Perspektif Maqashid al-Syariah terhadap Rokok

Bahaya rokok bagi kesehatan menjadi topik yang sangat relevan jika dikaitkan dengan perspektif maqashid al-syariah. Maqashid al-syariah adalah konsep yang menekankan bahwa tujuan dari syariah Islam adalah melindungi dan memelihara lima hal utama, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam hal ini, penulis berusaha menganalisis apakah penggunaan rokok bertentangan dengan tujuan utama syariah Islam. Dengan memahami lima tujuan utama maqashid al-syariah, muncul pertanyaan: Apakah merokok bertentangan dengan maqashid al-syariah?

Lima Tujuan Maqashid al-Syariah

  1. Hifz al-Din (melindungi agama): Mengharuskan umat untuk menjaga ibadah dan menjauhi segala sesuatu yang memengaruhi kualitas ibadah.
  2. Hifz an-Nafs (melindungi jiwa): Mengharuskan seseorang melindungi diri sendiri. Dalam QS. al-Baqarah ayat 195 disebutkan: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”
  3. Hifz al-Aql (melindungi akal): Mengacu pada perlindungan fungsi akal manusia.
  4. Hifz an-Nasl (melindungi keturunan): Mencakup perlindungan terhadap generasi mendatang.
  5. Hifz al-Mal (melindungi harta): Mengutamakan kebutuhan yang sesuai dan menolak pemborosan, seperti dalam QS. al-Isra’ ayat 27 yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang pemboros adalah saudara setan.”

Analisis Rokok dan Tujuan Maqashid al-Syariah

Dari pemaparan tersebut, dapat kita ketahui bahwa rokok sangat bertentangan dengan lima tujuan syariah Islam. Argumen tersebut didapatkan berdasarkan beberapa poin:

  • Agama (hifz al-din): Rokok tidak sesuai dengan tujuan menjaga agama karena membahayakan kesehatan, sehingga kualitas ibadah seperti shalat dan puasa dapat terganggu.
  • Jiwa (hifz an-nafs): Rokok tidak sesuai dengan tujuan menjaga jiwa karena menyebabkan berbagai penyakit yang merusak kesehatan fisik dan mental.
  • Akal (hifz al-aql): Rokok tidak sesuai dengan tujuan menjaga akal karena zat-zat yang terkandung dalam rokok dapat mengganggu fungsi otak dan memengaruhi kemampuan berpikir serta konsentrasi.
  • Keturunan (hifz an-nasl): Rokok tidak sesuai dengan tujuan menjaga keturunan karena dampaknya terhadap anak-anak yang menjadi “perokok pasif” dan rentan terkena penyakit kronis, terutama di saluran pernapasan.
  • Harta (hifz al-mal): Rokok tidak sesuai dengan tujuan menjaga harta karena biaya pengobatan bagi penyakit akibat rokok sangat besar dan menguras keuangan.

Banyak ulama telah memberikan pandangannya terhadap hukum rokok, ada yang mengharamkan dan ada yang memakruhkan. Masing-masing pandangan memiliki alasan kuat. Namun, setelah dijelaskan dalam perspektif maqashid al-syariah dan al-Qur’an, terlihat kecenderungan yang kuat bahwa merokok dianggap tidak sejalan dengan lima tujuan syariah Islam. Merokok dapat merusak kesehatan, menciptakan ketergantungan, mengganggu akal, mengancam keturunan, dan menyebabkan pemborosan harta. Oleh karena itu, merokok seharusnya dihindari oleh umat Islam, mengingat dampaknya yang sangat merugikan, baik bagi individu maupun masyarakat.

Membaca “Al-Mizan, A Covenant for The Earth”: Sebuah Perjanjian dari Para Ulama

Baru-baru ini, saya membaca sebuah buku karya seorang ulama besar di Indonesia, Quraish Shihab, berjudul Islam & Lingkungan: Perspektif Al-Quran Menyangkut Pemeliharaan Lingkungan. Dalam pengantarnya, Quraish Shihab menjelaskan bahwa buku ini dipersembahkan khusus untuk sebuah konferensi Agama dan Perubahan Iklim. Saya merasa tertarik untuk menelusuri lebih jauh mengenai konferensi tersebut.

Sebagai seorang muslim yang aktif menulis tentang lingkungan, konferensi seperti ini menjadi sangat penting bagi saya. Konferensi semacam ini menggarisbawahi peran signifikan Islam dalam mempengaruhi perilaku manusia untuk lebih bertanggung jawab terhadap alam. Diskusi-diskusi berlandaskan nilai-nilai Islam bisa menjadi solusi dalam menghadapi persoalan lingkungan yang selama ini lebih sering dilihat dari perspektif sains dan teknologi.

Al-Mizan: Sebuah Perjanjian untuk Bumi

Dokumen berjudul Al-Mizan: A Covenant for The Earth adalah sebuah perjanjian yang disusun oleh para ulama dan cendekiawan Muslim untuk menyerukan kepedulian terhadap lingkungan berdasarkan ajaran Islam. Al-Mizan tidak hanya menawarkan pandangan spiritual tentang alam semesta, tetapi juga memberikan pedoman praktis dan etis bagi umat manusia dalam menjaga keseimbangan alam (mīzān), sesuai yang diamanatkan dalam teks-teks agama. Dokumen ini mewakili suara kolektif komunitas Muslim dalam menanggapi krisis lingkungan global.

Refleksi Atas Krisis Lingkungan

Al-Mizan dimulai dengan pengamatan mendalam terhadap kondisi bumi yang kini mengalami degradasi parah akibat aktivitas manusia. Pemanasan global, pencemaran, penggundulan hutan, dan hilangnya keanekaragaman hayati hanyalah beberapa masalah yang disoroti. Diakui bahwa manusia bertanggung jawab atas kerusakan tersebut, dengan kontribusi terbesar berasal dari negara-negara maju dan industri besar. Para ulama mengingatkan bahwa bencana lingkungan berdampak tidak hanya pada alam, tetapi juga memperburuk ketidakadilan sosial, terutama bagi masyarakat rentan seperti masyarakat adat dan orang miskin yang paling terdampak meskipun kontribusinya kecil.

Dokumen ini mencatat bahwa, meskipun berbagai upaya seperti Kesepakatan Paris 2015 telah dilakukan, upaya tersebut sering kali tidak cukup untuk mencegah kenaikan suhu global. Al-Mizan menegaskan bahwa komunitas Muslim harus memainkan peran utama dalam mengatasi krisis ini, melalui tindakan ilmiah dan teknis serta dengan mengedepankan nilai-nilai moral dan spiritual yang kuat.

Manusia Sebagai Khalifah di Bumi

Salah satu konsep penting dalam Al-Mizan adalah peran manusia sebagai khalifah fī’l-ard (wakil Allah di bumi). Dalam pandangan Islam, manusia tidak hanya diberi kekuasaan atas alam, tetapi juga tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Konsep ini berdasarkan prinsip bahwa alam merupakan ciptaan Tuhan yang memiliki nilai intrinsik, bukan hanya sumber daya yang bisa dieksploitasi tanpa batas.

Sebagai khalifah, manusia diwajibkan menjaga mizan (keseimbangan) di bumi, yang mencakup keadilan sosial dan kesejahteraan semua makhluk hidup. Islam mengajarkan bahwa semua ciptaan Tuhan memiliki hak yang harus dihormati. Merusak alam berarti melanggar hak ciptaan Tuhan dan amanah yang diberikan kepada manusia.

Prinsip-Prinsip Etika Islam dalam Menjaga Alam

Dalam bab-bab selanjutnya, Al-Mizan menyajikan prinsip-prinsip etis yang mendasari tanggung jawab manusia terhadap alam. Tauhid (keesaan Tuhan) dijelaskan sebagai dasar etika Islam; segala bentuk eksploitasi atau perusakan alam adalah pelanggaran terhadap prinsip ini, karena semua makhluk adalah ciptaan Tuhan.

Prinsip ihsan (berbuat kebaikan) menekankan bahwa umat Muslim harus menjaga alam dengan penuh kasih sayang, memastikan bahwa tindakan yang dilakukan terhadap alam mengembalikan keseimbangan yang hilang. Prinsip rahmah (kasih sayang) mendorong belas kasihan tidak hanya kepada manusia tetapi juga kepada hewan, tumbuhan, dan elemen alam lainnya, menjadikan alam sebagai bagian dari komunitas kehidupan yang lebih besar.

Menuju Tindakan Nyata

Al-Mizan tidak hanya menyajikan prinsip-prinsip spiritual, tetapi juga menawarkan solusi praktis untuk krisis lingkungan. Al-Mizan mendorong umat Muslim kembali ke gaya hidup yang lebih sederhana dan berkelanjutan, menjauhi perilaku konsumtif yang berlebihan, dan mendukung upaya konservasi seperti penggunaan energi terbarukan, penanaman pohon, dan perlindungan sumber daya alam.

Dokumen ini juga menekankan pentingnya keterlibatan global dalam menangani masalah lingkungan. Meskipun perspektif yang diangkat berasal dari Islam, Al-Mizan mengakui bahwa krisis lingkungan adalah masalah yang melampaui batas agama dan bangsa, sehingga kerja sama global diperlukan untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan bagi seluruh makhluk di bumi.

Peran Kekhalifahan Keluarga dalam Krisis Iklim


Manusia sebagai Khalifah di Bumi: Tanggung Jawab Menjaga Lingkungan dalam Islam

Dalam ajaran Islam, manusia diberi amanah oleh Allah SWT sebagai khalifah di bumi. Ini berarti manusia bertugas memelihara dan menjaga kelestarian bumi beserta isinya. Dalam menghadapi ancaman krisis iklim yang semakin parah, keluarga menjadi tempat pertama dan utama untuk menanamkan tanggung jawab menjaga lingkungan. Tindakan ini harus selaras dengan nilai-nilai Islam yang merupakan fitrah manusia. Literasi iklim yang berlandaskan nilai-nilai Islam dapat melahirkan generasi yang tidak hanya peduli terhadap lingkungan, tetapi juga meyakini bahwa menjaga alam adalah bentuk syukur kepada Allah SWT yang bernilai ibadah—hablum minal alam.

Literasi Iklim: Upaya Menjalankan Amanah dari Allah SWT

Berbagai ayat dalam Al-Qur’an menekankan pentingnya menjaga kelestarian bumi. Salah satu ayat yang relevan adalah Surah Al-Baqarah ayat 30, yang menjelaskan peran manusia sebagai khalifah di bumi. Allah SWT menjadikan manusia sebagai representasi-Nya di bumi, bertugas untuk menjaga alam dan memastikan kelestariannya. Menanamkan literasi iklim di rumah adalah salah satu cara untuk menjalankan amanah besar ini.

Langkah awal untuk melahirkan generasi masa depan yang tangguh dalam menghadapi krisis iklim adalah melalui literasi iklim di rumah. Dengan memperkenalkan nilai-nilai keberlanjutan dan tanggung jawab terhadap lingkungan, keluarga dapat menjadi agen perubahan dalam mengupayakan adaptasi dan mitigasi terhadap krisis iklim. Anak-anak yang tumbuh dengan pemahaman tentang isu ini diharapkan lebih siap berkontribusi dalam menjaga kelestarian bumi.

Di rumah, literasi iklim dapat ditanamkan melalui kebiasaan sehari-hari, seperti menghemat air, bijak dalam menggunakan listrik, tidak menyia-nyiakan makanan, memilah sampah, dan mengurangi penggunaan barang sekali pakai. Peran orang tua, baik ibu maupun ayah, sama pentingnya dalam mengajarkan kebiasaan ini. Pendidikan perubahan iklim yang dimulai dari keluarga memberikan pemahaman kepada anak-anak bahwa menjaga bumi bukan hanya tugas pemerintah atau organisasi lingkungan, tetapi tanggung jawab setiap individu sebagai wujud syukur kepada Allah SWT atas segala sumber daya yang diberikan.

Kesetaraan Gender dalam Islam: Tanggung Jawab Bersama dalam Literasi Iklim

Islam menekankan kesetaraan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks keluarga, baik ibu maupun ayah memiliki kewajiban yang sama dalam mendidik anak. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini berarti tanggung jawab menjaga kelestarian bumi juga merupakan tanggung jawab bersama, antara laki-laki dan perempuan.

Dalam pendidikan literasi iklim, ayah dan ibu dapat berperan aktif dan kolaboratif. Ayah dapat menjadi panutan dalam menjalankan gaya hidup ramah lingkungan, seperti bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Ibu dapat mengajarkan bahwa menjaga alam adalah implementasi dari hablum minal alam (hubungan dengan alam), yang penting dipahami sejak dini. Dengan demikian, kesetaraan gender tidak hanya berlaku dalam peran domestik, tetapi juga dalam menjalankan amanah kekhalifahan di muka bumi.

Krisis Iklim dan Larangan Berbuat Kerusakan di Bumi

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT secara tegas melarang manusia berbuat kerusakan di bumi. Surat Al-A’raf ayat 56 berbunyi, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah [diciptakan] dengan baik; dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut [tidak akan diterima] dan harapan [akan dikabulkan]. Sesungguhnya rahmat Allah SWT dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” Ayat ini menjadi dalil bagi umat Islam tentang kewajiban menjaga kelestarian alam dan mencegah kerusakan, seperti eksploitasi sumber daya secara berlebihan.

Dalam pendidikan literasi iklim di rumah, ayat ini dapat dijadikan pegangan untuk mendidik anak-anak agar senantiasa menjaga kelestarian alam dan menggunakan nikmat Allah dengan bijaksana. Mengajarkan anak-anak untuk tidak boros dalam mengonsumsi energi, air, dan sumber daya adalah implementasi dari ajaran Al-Qur’an.

Keluarga sebagai Madrasah Pertama dalam Literasi Iklim

Peran ibu dalam mendidik anak-anak sangat penting, seperti yang diungkapkan oleh Hafiz Ibrahim: “Al-umm madrasatul ‘ula, idza adadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq,” yang berarti, “Ibu adalah sekolah pertama; jika engkau mempersiapkannya dengan baik, maka engkau akan mempersiapkan generasi yang baik pula.” Ungkapan ini merupakan pengakuan teologis atas peran perempuan, terutama pada masa ketika perempuan sering mengalami diskriminasi.

Islam mengajarkan bahwa tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara ibu dan ayah. Kolaborasi dalam mendidik anak, khususnya dalam literasi iklim, mencerminkan kesetaraan yang diajarkan dalam Islam. Peran ibu dan ayah diakui dan dihormati secara teologis oleh Islam.

Pendidikan di rumah bertujuan untuk mempersiapkan generasi yang tidak hanya paham tentang tanggung jawab terhadap lingkungan, tetapi juga tangguh dalam menghadapi krisis iklim dengan mengamalkan nilai-nilai Islam.

Kesimpulan

Dalam menghadapi krisis iklim, keluarga memiliki peran strategis sebagai tempat pertama dalam menanamkan literasi iklim, yang selaras dengan ajaran Islam. Islam menekankan peran manusia sebagai khalifah di bumi, yang bertugas menjaga kelestarian dan keseimbangan alam.

Dengan menanamkan literasi iklim yang berlandaskan nilai-nilai Islam dan mempraktikkan kesetaraan gender, keluarga dapat melahirkan generasi yang bertanggung jawab dalam menjaga bumi. Generasi ini akan cerdas secara intelektual dan moral, serta memahami bahwa menjaga alam adalah bagian dari fitrah manusia dan ibadah kepada Allah SWT yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab serta prinsip keadilan.

Perempuan dan Politik: Narasi Sejarah, Fikih, dan Lanskap Politik Umat

Perempuan dalam Politik

Perempuan dan politik seakan tak pernah habis diperbincangkan. Setiap perhelatan politik, termasuk Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) kali ini, perempuan terus menjadi topik pembicaraan, bahkan hingga menjadi variabel penentu kemenangan. Pemilihan Gubernur Surabaya, misalnya, diikuti oleh tiga perempuan. Menariknya, narasi Islam turut berkelindan dalam pembahasan ini.

Di tengah gegap gempita kampanye, kita masih menjumpai “serangan” terhadap calon-calon perempuan, mulai dari dalil agama hingga tudingan inkompetensi dalam memimpin daerah. Di sisi lain, sebagian calon perempuan melawan dengan menggunakan otoritas agama guna mengubah persepsi negatif atas kepemimpinan perempuan yang terlanjur terbangun dan bertahan hingga hari ini.

Padahal, di tengah kemajuan teknologi internet, kepemimpinan perempuan semakin luas diperbincangkan, dari siniar di YouTube hingga unggahan di Instagram. Buku-buku pun turut membahasnya. Oleh sebab itu, sebenarnya kita tidak lagi perlu mempermasalahkan isu ini.

Literasi Terkait Perempuan dan Politik

Baru-baru ini, Rumah KitaB (Yayasan Rumah Kita Bersama) menerbitkan buku berjudul Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan. Literasi terkait perempuan dan politik pun turut bertambah. Data-data sejarah yang disuguhkan dalam buku ini tidak sekadar asumsi atau tafsiran belaka. Keterlibatan perempuan dalam berbagai fase sejarah umat Islam dihadirkan dengan jelas.

Buku ini ditulis oleh Jamaluddin Mohammad, Roland Gunawan, Achmat Hilmi, dan Nur Hayati Aida. Mereka menyajikan kajian mendalam terkait perempuan dan politik yang diulas dari sisi sejarah, hukum Islam, dan persoalan sosial yang terkait. Yuk, kita ulas sekilas buku ini.

Sejarah Perempuan dalam Islam

Secara isi, buku ini terasa padat, namun ditulis dengan bahasa yang renyah sehingga pembaca tidak akan merasa bosan. Buku ini menghadirkan banyak kisah yang terjadi sepanjang sejarah umat Islam, khususnya terkait perempuan, ruang publik, dan politik. Menariknya, kita akan menemukan banyak fakta sejarah yang selama ini mungkin jarang kita temui.

Kehadiran perempuan di ruang publik secara aktif telah dijumpai dalam beragam peran. Mungkin selama ini kita hanya mengenal nama-nama perempuan agung seperti Khadijah al-Kubra dan Fathimah binti Nabi yang aktif dalam banyak urusan umat Islam. Namun, buku ini juga memperkenalkan kita pada nama-nama perempuan muslim lainnya, seperti Al-Syifa’ binti Abdillah al-Qurasyiyah, Fathimah binti Ali bin Abdullah ibn Abbas, dan Ummu Ja’far ibn Yahya al-Barmaki, yang memiliki peran besar dalam sejarah Islam.

Buku setebal lebih dari 140 halaman ini mengulas perempuan dari sisi normativitas hingga sosio-politik di sepanjang sejarah umat Islam. Ulasan fikih yang sering kali njelimet dan kompleks terkait perempuan, ditulis dalam bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami.

Analisis Gender dan Fikih

Ulasan fikih dalam buku ini mengingatkan saya pada buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial karya Mansour Fakih. Dalam buku tersebut, Fakih mengusulkan tiga agenda strategis dalam penafsiran agama yang perlu ditinjau dan dikaji ulang, yaitu subordinasi perempuan, persoalan waris dan saksi perempuan, serta hak produksi dan reproduksi perempuan.

Fakih mengusulkan penggunaan analisis gender dalam melihat produk hukum Islam yang kurang ramah terhadap perempuan. Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan ini mengangkat tema yang mirip, membahas dinamika sosial yang terjadi dalam umat Islam, terutama di Indonesia. Mohammad dan timnya mengulas dengan sangat elok tentang perkembangan gerakan perempuan, khususnya di Indonesia.

Sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia

Sejarah gerakan perempuan di Indonesia telah mengakar lama, dengan cita-cita partisipasi dan representasi perempuan dalam politik Indonesia yang terus berkembang hingga hari ini. Sejarah pengetahuan umat Islam juga terjalin erat dengan perkembangan feminisme di Indonesia.

Islam dan feminisme berkembang bersama dalam menghadapi persoalan perempuan yang semakin kompleks. Buku ini mengulas bagaimana feminisme muslim mencoba menjadikan agama tidak hanya sebagai sumber nilai dan norma, tetapi juga sebagai alat transformasi sosial. Di titik ini, semangat yang telah dibangun oleh Fakih berkelindan dengan isi buku ini.

Kompleksitas Keterwakilan Perempuan di Politik

Pada bagian akhir buku ini, kita dihadapkan pada kompleksitas kehadiran dan keterwakilan perempuan di ranah politik, yang masih problematik dan penuh tantangan. Politisi kita masih belum memiliki komitmen yang kuat dalam memperjuangkan posisi perempuan di ruang-ruang politik. Perlindungan hak-hak perempuan pun masih sangat lemah, bahkan bisa dikatakan rentan.

Banyak regulasi dan produk hukum yang melindungi perempuan masih sulit dilahirkan oleh pemangku kebijakan. Kalaupun ada, penerapannya seringkali problematik. Perempuan semakin sulit mendapatkan hak dan perlindungan yang seharusnya mereka terima.

Perempuan Sebagai Individu dan Bagian dari Sosial

Bagian paling menarik dari buku ini, menurut saya, adalah ulasan mengenai perempuan yang mengalami penindasan dari dua sisi sekaligus, yakni sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat. Perempuan diulas sebagai tubuh individual dan tubuh politik. Problematika representasi perempuan di ruang publik selalu terkait dengan dua aspek ini.

Sejarah, hukum Islam, dinamika sosial, dan politik terus membatasi perempuan, baik sebagai individu maupun secara sosial. Perempuan terus didefinisikan oleh pihak luar, baik tubuh individual maupun tubuh politiknya. Oleh karena itu, buku ini bisa dikatakan progresif dalam menggambarkan posisi dan representasi perempuan di ruang publik, menggunakan legitimasi fakta sejarah, ulasan hukum yang berpihak, hingga perlawanan atas dinamika sosial yang timpang dan menindas.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin. 

Keadilan Ekologis: Jalan Manusia dan Alam Menuju Rahmatan Lil ‘Alamin

 

Dalam perspektif Islam, alam semesta diciptakan dengan keteraturan yang pasti. Semua kehidupan di dalamnya berjalan dengan prinsip keharmonisan, keselarasan, dan keberlanjutan. Alam semesta memiliki pengaturan yang serasi serta perhitungan yang tepat, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rahman ayat 5-7:

“Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pepohonan, kedua-duanya tunduk kepadanya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan).”

Ayat ini menjelaskan bahwa meskipun terdapat unsur-unsur berbeda seperti pohon, air, matahari, udara, tanaman, hewan, dan manusia, setiap unsur tersebut saling bergantung satu sama lain.

Namun, kondisi saat ini justru menunjukkan kontradiksi. Pemanasan global yang terjadi adalah bukti bahwa keseimbangan alam terganggu akibat ulah manusia.

Keadilan Ekologis

Keseimbangan alam dikenal sebagai keadilan ekologis. Menurut laman jss.org.au (Jesuit Social Service), keadilan ekologis berarti keadilan sosial dan lingkungan. Prinsipnya adalah “semuanya saling terkait,” sehingga tindakan etis terhadap lingkungan merupakan bagian dari keadilan sosial.

Dengan kata lain, keadilan ekologis menggabungkan keadilan sosial dan kesadaran lingkungan. Perlindungan dan pemanfaatan lingkungan harus dilakukan secara adil, menghormati dan melindungi hak-hak semua makhluk hidup, termasuk manusia dan ekosistem lainnya.

Prinsip ini sesuai dengan Surah Al-Ahqaf ayat 3:

“Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka.”

Ayat ini menegaskan bahwa alam diciptakan dengan tujuan yang jelas, bukan tanpa arti. Sayangnya, perilaku manusia yang tidak bijak menyebabkan ketidakseimbangan dan kerusakan lingkungan.

Ketidakseimbangan Alam dalam Perspektif Imam Safet A. Catovic

Imam Safet A. Catovic, pemuka agama Islam di Universitas Drew dan penasihat Muslim Senior di GreenFaith, menuliskan dalam kata pengantar buku 40 Hadits Lingkungan:

“Krisis iklim global saat ini disebabkan oleh ‘perbuatan tangan manusia’ (Al-Qur’an 30:41): aktivitas yang berpusat pada kepentingan manusia, didorong oleh arogansi konsumsi dan keserakahan korporat. Pembakaran bahan bakar fosil yang hanya menuhankan profit juga berperan besar. Darurat iklim ini mengancam semua kehidupan di planet kita, terutama masyarakat miskin dan paling rentan.”

Krisis iklim berdampak buruk pada mereka yang sebenarnya berkontribusi paling sedikit terhadap pemanasan global, seperti perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas.

Menciptakan Alam yang Rahmatan Lil ‘Alamin

Merenungkan penciptaan alam sebagai tanda kekuasaan Allah akan membentuk kesucian jiwa sebagai seorang Muslim. Hal ini tertuang dalam Surah Ali-Imran ayat 189-190:

“Dan milik Allahlah kerajaan langit dan bumi; dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.”

Jika alam rusak, maka kualitas keimanan seorang Muslim belum sempurna. Kerusakan alam tidak hanya membahayakan seluruh isinya, tetapi juga keberlangsungan hidup manusia di masa depan.

Imam Safet A. Catovic juga menuliskan:

“Menyoroti eco-teaching dalam Islam, terutama melalui ajaran dan teladan hidup Nabi Muhammad Saw., sangat bermanfaat bagi umat Muslim dan umat agama lain. Kita harus bekerja sama untuk mengatasi perubahan iklim dan menjaga lingkungan yang adil, layak, dan lestari di masa depan.”

Menjaga Keadilan Ekologis

Dengan menerapkan keadilan ekologis, manusia bisa menciptakan harmoni yang menjaga hubungan antara manusia dan alam, sesuai dengan ajaran Islam. Keadilan ekologis menekankan perlindungan lingkungan secara adil dan seimbang, sejalan dengan Al-Qur’an yang mengajarkan pentingnya keteraturan alam.

Ketika keadilan sosial dan lingkungan terjaga, manusia tidak hanya melindungi alam, tetapi juga menjaga masa depan generasi mendatang dan semua makhluk hidup lainnya. Ketidakadilan terhadap alam akan menyebabkan ketidakseimbangan yang merugikan semua pihak, terutama yang paling rentan.

Tinjauan Islam dalam Upaya Menolak Gerakan Privatisasi Air


Air, sebagai sumber kehidupan yang dianugerahkan oleh Allah untuk seluruh umat manusia, seharusnya menjadi hak bersama warga negara, bukan komoditas yang dikuasai oleh segelintir pihak seperti korporasi atau organisasi tertentu. Ketika air diprivatisasi dan dikelola demi keuntungan segelintir pihak, hal ini bukan hanya pelanggaran terhadap hak asasi manusia, tetapi juga bertentangan dengan prinsip keadilan yang ditegaskan dalam Islam. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ar-Rahman (55:7-9):

“Langit telah Dia tinggikan dan Dia telah menciptakan timbangan (keadilan dan keseimbangan), agar kamu tidak melampaui batas dalam timbangan itu. Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi timbangan itu.”

Islam sangat menekankan keseimbangan dan keadilan dalam menjaga tatanan kehidupan, termasuk pengelolaan sumber daya alam. Sayangnya, kenyataan di Indonesia menunjukkan ketimpangan dalam pengelolaan air. Berbagai perusahaan, seperti PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), PT Aetra Air Jakarta, PT Tirta Benteng di Tangerang, dan PDAM di beberapa daerah telah terlibat dalam privatisasi air yang menyebabkan ketidakadilan akses, peningkatan tarif, dan kualitas layanan yang menurun. Fenomena ini menggambarkan ketidakseimbangan yang jelas, di mana kepentingan masyarakat luas terabaikan demi keuntungan pihak tertentu.

Pada dasarnya, privatisasi air di Indonesia tidak hanya bertentangan dengan prinsip kesetaraan dan keadilan, tetapi juga bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3, yang berbunyi:

“Bumi, Air, dan Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Lalu, bagaimana Islam memandang fenomena-fenomena tersebut?

Tinjauan Air dari Perspektif Qur’an dan Hadis

Air adalah salah satu elemen paling penting yang disebutkan berulang kali dalam Al-Qur’an. Kata “air” sendiri disebutkan sebanyak 60 kali, dan jika kita memperhitungkan istilah lain seperti al-matar (hujan), al-anhar (sungai), al-uyun (mata air), yanbu‘ (sumber air), nahr (sungai besar), dan al-bahr (laut), jumlah penyebutannya mencapai 214 kali. Penyebutan ini menegaskan peran vital air dalam kehidupan dan alam semesta, serta mencerminkan perhatian Islam terhadap keseimbangan ekosistem dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.

Sayangnya, eksplorasi terhadap makna air sering kali mendapat pengerdilan. Air dalam pandangan sebagian besar umat Islam sering kali terbatas hanya pada ritual ibadah, seperti wudhu dan mandi wajib. Perspektif ini cenderung mengerdilkan makna air yang sejatinya jauh lebih mendalam. Air bukan sekadar instrumen ritual, tetapi merupakan sumber kehidupan yang mendasar, baik dalam konteks ekologis maupun spiritual. Implikasinya, kerap terjadi pengabaian terhadap tanggung jawab kita dalam menjaga air itu sendiri.

Pengkerdilan makna air ini menunjukkan ketidakseimbangan dalam memahami hubungan manusia dengan alam (hablum minal alam). Oleh karena itu, kita perlu mengembalikan kesadaran kolektif akan kedudukan air sebagai elemen vital yang menuntut pemeliharaan dan penghormatan, tidak hanya dalam praktik ibadah, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari.

Fungsi air, menurut Al-Qur’an, adalah sumber utama kehidupan. Dalam surat Al-Anbiya’ ayat 30, Allah berfirman:

“Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air.”

Ayat ini menggarisbawahi bahwa tanpa air, kehidupan tidak akan ada. Al-Qur’an juga menekankan air sebagai sarana penciptaan manusia, sebagaimana disebutkan dalam An-Nur ayat 45 dan Al-Furqan ayat 54, yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dari air. Ini menunjukkan bahwa air bukan sekadar elemen fisik, tetapi juga simbol kehidupan itu sendiri.

Selain itu, Al-Qur’an menjelaskan bagaimana air memengaruhi tanah dan seluruh makhluk hidup. Dalam surat Al-Baqarah ayat 164 dan Al-Haj ayat 5, air disebut sebagai elemen yang menyuburkan tanah, menghidupkan tumbuh-tumbuhan, dan memberikan rezeki bagi makhluk hidup. Ayat-ayat ini menekankan fungsi air dalam ekosistem yang lebih luas, sebagai sarana keberlanjutan dan keseimbangan alam. Dari sini, Islam mengajarkan pentingnya menjaga air sebagai anugerah yang harus dipelihara dengan adil untuk memastikan kesejahteraan semua makhluk hidup di bumi.

Sejalan dengan ajaran Al-Qur’an, terdapat hadis yang menegaskan bahwa air adalah milik bersama dan tidak boleh dimonopoli. Rasulullah SAW bersabda:

“Manusia berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api” (HR. Abu Dawud).

Hadis ini menekankan bahwa air adalah salah satu sumber daya yang harus diakses oleh semua orang, tanpa ada pihak yang berhak untuk menguasai atau memperjualbelikannya secara eksklusif.

Upaya Islam dalam Menolak Gerakan Privatisasi Air

Islam memandang air sebagai hak publik yang harus dikelola demi kesejahteraan semua makhluk. Privatisasi air yang menguntungkan segelintir pihak bertentangan dengan prinsip keadilan dalam ajaran Islam. Oleh karena itu, perlu ada upaya nyata untuk menolak segala bentuk privatisasi yang merugikan masyarakat luas. Sekali lagi, air adalah karunia Tuhan yang tidak boleh dimonopoli atau diperdagangkan demi kepentingan pribadi.

Ada beberapa upaya yang bisa diambil, di antaranya adalah:

  1. Membentuk gerakan sosial. Upaya ini dimaksudkan memperjuangkan akses air bersih bagi semua orang, serta mendorong perubahan kebijakan yang melindungi hak publik atas sumber daya ini. Sebagaimana pesan dalam hadis bahwa kita umat Islam harus bersekutu atas air.
  2. Mendorong adanya fatwa ulama atas larangan kebijakan privatisasi air. Upaya ini memperkuat landasan moral dan hukum bagi umat Islam dalam menolak segala bentuk monopoli sumber daya air. Langkah ini juga membantu memperkuat solidaritas dalam gerakan menolak privatisasi, sehingga suara masyarakat semakin kuat dan terorganisir.
  3. Memanfaatkan tradisi wakaf dalam pengelolaan air. Gerakan mengelola air melalui wakaf dapat dijadikan sebagai gerakan remunisipalisasi (mengembalikan barang publik yang diprivatisasi menjadi barang publik kembali). Wakaf memungkinkan pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan dan bebas dari komersialisasi.
  4. Menghadirkan pendidikan dalam menciptakan kesadaran mengenai air. Pendidikan dapat membangun kesadaran di kalangan masyarakat tentang bahaya privatisasi air dan pentingnya melindungi hak atas air.

Dengan kombinasi gerakan sosial, fatwa, wakaf, dan pendidikan, Islam menyediakan solusi yang kuat untuk menolak gerakan privatisasi air dan memastikan akses yang adil bagi semua.[]

Bisakah Agama Menjadi Juru Selamat bagi Bumi yang Sekarat?

Suhu bumi makin tinggi. Lima tahun terakhir adalah suhu terpanas dalam sejarah sejak 1850. Tak tanggung-tanggung, di beberapa negara kenaikan suhunya mencapai 5 derajat. Gletser mulai mencair dan merobohkan gunungan es. Namun, di belahan dunia yang lain, bencana kekeringan menyebabkan gagal panen, kelaparan, hingga kematian. Sementara itu, manusia adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas hal ini. Data ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Laporan ini merupakan studi yang diluncurkan oleh para ilmuwan sebelum pertemuan iklim penting di Glasgow, Skotlandia, the 26th UN Climate Change Conference of the Parties (COP26).

Fenomena semacam ini sebenarnya sudah diperingatkan oleh para cendekia. Pada tahun 1985, Jill Jäger, seorang ilmuwan lingkungan, menghadiri pertemuan di sebuah kota kecil di Pegunungan Alpen Austria. Pertemuan yang dipimpin oleh ahli meteorologi bernama Bert Bolin ini merupakan pertemuan kecil para ilmuwan iklim yang bertujuan membahas hasil salah satu penilaian internasional pertama mengenai potensi perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.

Manusia harus lebih bijak dalam menghuni bumi. Tapi, bukankah manusia memang selalu bebal? Selalu tak pernah percaya dengan peringatan-peringatan, baik dari sesama manusia maupun dari Langit (Tuhan). Manusia pada abad sebelum Masehi pernah berkata bahwa bumi adalah ibu. Sebuah penggambaran bahwa bumi adalah ibu kosmik manusia. Jagalah bumi, karena sesungguhnya ia adalah ibumu. Sesungguhnya, tidak ada satu pun yang memperlakukannya (bumi) dengan baik atau buruk kecuali dia (bumi) melaporkannya kepada Allah Swt. (al-Mu’jam al-Kabîr li َath-Thabrani, no. 4595).

Pun, dalam pondasi Islam yang terbangun dalam kalimat tauhid, dijelaskan secara terang benderang bahwa tiada tuhan selain Allah—yang artinya bahwa selain Allah adalah ciptaan. Tak peduli apakah itu alam, hewan, atau manusia sekalipun. Itu artinya manusia sama derajatnya dengan gunung, hutan, dan sungai. Demikian pula, manusia setara dengan kambing, gajah, ayam, dan babi sekalipun. Alam, hewan, dan manusia sama di hadapan Khaliq (Pencipta) sebagai makhluk (ciptaan). Ketiganya adalah saudara. Manusia, yang dibekali dengan akal, merasa lebih unggul dari saudaranya yang lain, sehingga memperlakukan alam semesta sebagai sapi perah melebihi dari kebutuhan mereka sendiri, hingga sampai pada tahap keserakahan. Tanpa ampun.

Keserakahan dan ketamakan manusia ini mengantarkannya pada bencana. Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Abdul Muhari, menyebutkan bahwa sebanyak 1.862 bencana yang terjadi di Indonesia sepanjang Januari-Juli 2023 disebabkan oleh faktor perbuatan manusia.

Siapa lagi yang paling terdampak kalau bukan kelompok perempuan dan anak-anak? Perempuan, dalam tradisi masyarakat patriarki, dibebankan tanggung jawab untuk mengurus persoalan domestik dan memastikan seluruh kebutuhan rumah tangga terpenuhi. Di Lombok Utara, misalnya, kelangkaan air karena kekeringan menyebabkan perempuan berada dalam kondisi yang putus asa, karena kelangkaan air membuat emosi mereka naik turun. Dalam kondisi ini, laki-laki menuntut agar semua kebutuhan domestik terpenuhi tanpa mau tahu bagaimana prosesnya. Keadaan semacam ini pada akhirnya menyebabkan hubungan keluarga tak lagi harmonis. Selain itu, kelangkaan air menyebabkan anak-anak usia sekolah merasa minder untuk berangkat ke sekolah. Mereka merasa tidak pantas pergi ke sekolah karena kondisi tubuh yang kumal dan bau. Tak heran jika angka putus sekolah menjadi tinggi. Belum lagi masalah kesehatan reproduksi; kelangkaan air membuat perempuan terancam kesehatannya.

Sebegitu besar krisis ekologi yang melanda ruang hidup kita, agama seolah dianggap tak memiliki peran apapun. Padahal, agama memiliki fungsi strategis dalam perawatan lingkungan hidup. Oleh karena itu, agama seharusnya mengambil perannya dan lebih menggerakkan elemen agama untuk menjaga alam. Absennya narasi agama dalam isu krisis dan kerusakan lingkungan di antaranya terjadi karena masih minimnya kajian yang menelusuri khazanah pemikiran Islam dan menawarkan pembaruan dalam interpretasi teks-teks keagamaan terkait perawatan lingkungan.

Di Indonesia, pengajaran agama Islam ditransmisikan melalui berbagai macam cara. Paling umum ditemui di kalangan masyarakat adalah majelis taklim dan pesantren. Ini adalah ruang belajar kolosal yang terpusat pada satu figur tokoh agama atau pengasuh yang membahas persoalan-persoalan keseharian terkait agama. Dengan jumlah penganut agama Islam sebanyak 244,41 juta, tak mengherankan jika data yang dihimpun oleh Dirjen Bimas Islam mencatat jumlah majelis taklim mencapai 994.000 dan 39.167 pesantren. Data ini kemungkinan besar akan terus bertambah karena masih banyak yang belum terdaftar.

Ruang agama, seperti majelis taklim dan pesantren, memiliki peran yang sangat vital, bukan hanya dalam transmisi pemahaman keagamaan tetapi juga membumikan kebijakan strategis pemerintah. Pada saat pandemi, misalnya, tokoh agama dan ulama, khususnya yang memiliki majelis taklim dan pesantren, mempunyai peran signifikan dalam mensosialisasikan pentingnya jaga jarak sosial untuk menghalangi penyebaran virus COVID yang lebih masif, hingga pentingnya vaksin—dan menekankan bahwa vaksin COVID adalah halal bagi masyarakat dan jemaah. Dengan potensi ini, agama dapat berperan—melalui tokoh agamanya—sebagai juru bicara paling efektif dalam perawatan dan pemulihan lingkungan yang telah rusak karena keserakahan manusia.

Mengurai Benang Visi Kekhalifahan dan Misi Pelestarian Lingkungan

Indonesia adalah negara dengan populasi umat Muslim terbesar kedua di dunia, setelah Pakistan. Terdapat lebih dari 230 juta penduduk Muslim di Indonesia, yang setara dengan 87,2% dari keseluruhan populasi. Namun, di saat yang sama, Indonesia menempati peringkat kelima sebagai negara penghasil sampah terbesar di dunia, ketiga sebagai penyumbang sampah plastik terbesar di laut, dan kesepuluh sebagai negara paling berpolusi di dunia. Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi?

Islam dikenal sebagai agama yang bersih, yang menekankan nilai-nilai menjaga lingkungan serta menolak segala praktik yang merusak alam. Mengapa permasalahan lingkungan justru muncul dari negara yang hampir 88% populasinya beragama Islam? Ini jelas bertolak belakang dan “tidak masuk akal.” Seharusnya, Indonesia menjadi salah satu negara paling bersih, ramah lingkungan, dan bebas polusi.

Visi Kekhalifahan

Terdapat satu visi utama mengenai tujuan diciptakannya manusia. Hal ini telah disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan mensucikan-Mu?’ Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.'” (QS. Al-Baqarah: 30)

Ayat ini dengan jelas menyebutkan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi. “Khalifah fi al-Ardh” merujuk pada makna sebagai wakil Tuhan di bumi. Sebagai wakil Tuhan, manusia diharapkan untuk berperilaku dengan cara yang mencerminkan nilai-nilai kebaikan Tuhan, yang menciptakan, merawat, memelihara, dan melestarikan alam serta segala isinya.

Ayat ini juga mengandung amanat bahwa manusia bertanggung jawab untuk memimpin dan menjaga segala sesuatu yang telah Allah titipkan, termasuk alam. Allah menciptakan alam dan seisinya untuk kemaslahatan manusia. Sebagai manusia, kita memiliki kewajiban untuk menjaga dan merawat apa yang telah Allah berikan demi kelangsungan hidup. Tuntutan menjadi pemimpin yang bijaksana dan memegang amanah harus dipegang teguh, bukan malah menjadi pemimpin yang serakah, rakus, dan sombong.

Pelestarian Lingkungan

Konsep menjaga alam dan lingkungan sejatinya sesuai dengan cara bermuamalah yang diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Islam, terdapat tiga ajaran utama dalam bermuamalah, yaitu hablumminallah (hubungan manusia dengan Tuhan), hablumminannaas (hubungan manusia dengan manusia), dan hablumminalalam (hubungan manusia dengan alam). Sayangnya, masyarakat kita cenderung hanya fokus pada poin pertama dan kedua, sementara poin ketiga seringkali terabaikan.

Kesenjangan ini menyebabkan adanya ketidakselarasan antara ajaran agama dan praktik kehidupan sehari-hari. Ketika umat Muslim di Indonesia tidak menjalankan tanggung jawab lingkungan seperti yang diperintahkan dalam Al-Qur’an, maka ajaran mengenai hablumminalalam tidak diterapkan dengan baik. Ini menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan sebagai bagian dari iman dan ibadah masih kurang.

Dengan pemahaman bahwa menjaga lingkungan adalah bentuk ibadah dan tanggung jawab khalifah, seharusnya Indonesia bisa menjadi contoh dalam pelestarian alam. Tantangan terbesar adalah bagaimana mengintegrasikan ajaran agama yang kaya akan nilai-nilai keberlanjutan lingkungan ke dalam kesadaran dan perilaku sehari-hari masyarakat.

Tanpa kesadaran ini, nilai-nilai lingkungan dalam Islam hanya akan menjadi retorika tanpa aksi nyata. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih serius untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya menjaga alam, baik melalui pendekatan agama, kebijakan pemerintah, maupun gerakan sosial yang lebih luas.