Pos

Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan


Untuk menyambut Tahun Politik, Rumah KitaB kembali meluncurkan sebuah buku “Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan”. Buku setebal 340 halaman ini ditulis oleh peneliti-peneliti Rumah KitaB, yaitu Achmat Hilmi, Roland Gunawan, Nur Hayati Aida, serta Jamaluddin Mohammad.

Pada tanggal 13 Oktober 2024, buku yang dieditori Usman Hamid dan Ken Michi tersebut pertama kali didiskusikan bersama mahasiswa-mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Al-Biruni, Cirebon, dengan menghadirkan perwakilan penulis, Ketua JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) Fathan Mubarak, dan anggota Bawaslu Kabupaten Cirebon Amir Fawaz. Acara berlangsung meriah dan dihadiri oleh 85 mahasiswa/mahasiswi.

Saat flyer acara ini dibagikan di media sosial, seorang aktivis perempuan memprotes dan memberikan komentar: mengapa pembicaranya laki-laki semua? Bukankah tema yang diangkat berkaitan dengan Fikih Politik Perempuan? Bagaimana mungkin diskusi tentang perempuan tanpa melibatkan perempuan? Menjawab pertanyaan ini penting, sama pentingnya dengan menjawab pertanyaan mengapa harus ada afirmasi 30% perempuan dalam politik.

Yang tak dimiliki laki-laki ketika berbicara tentang perempuan adalah pengalamannya. Secara biologis, perempuan berbeda dengan laki-laki. Karena itu, tubuh perempuan mengalami pengalaman biologis seperti menstruasi, mengandung, melahirkan, nifas, dan menyusui. Pengalaman-pengalaman ini tidak bisa diwakili laki-laki.

Di samping itu, dalam kehidupan sosialnya, perempuan kerap kali mengalami ketidakadilan hanya karena berjenis kelamin perempuan, seperti stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda. Ketidakadilan berbasis gender ini adalah pengalaman sosial perempuan dan hanya perempuan yang mengalaminya.

Dua pengalaman perempuan inilah, pengalaman biologis dan pengalaman sosial, yang merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan perspektif dalam melihat dan membaca ketidakadilan gender dalam kehidupan sosial maupun politik. Itulah mengapa partisipasi politik perempuan perlu diafirmasi.

Dalam konteks Cirebon, kehadiran buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan ini merupakan gagasan baru yang menarik untuk didiskusikan di masyarakat pesantren di Kabupaten Cirebon, khususnya terkait hak politik dan hak kepemimpinan politik perempuan dalam perspektif agama. Selama ini pembicaraan keadilan gender telah menjadi wacana yang diterima masyarakat pesantren, namun dalam konteks politik, ini merupakan wacana baru. Dunia politik di Cirebon masih didominasi wajah maskulinitas yang sangat kuat. Silih bergantinya pemimpin politik jarang diiringi pembicaraan terkait hak-hak pemilih perempuan.

Buku ini berupaya mengurai problem keagamaan yang biasanya menjadi tembok besar bagi partisipasi perempuan dalam kepemimpinan politik, dan membantu masyarakat pemilih perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya yang tersandera oleh budaya patriarki yang berkawin dengan pandangan agama.

Dalam kehidupan politik yang patriarkis, nasib dan peran perempuan termarginalkan. Karena itulah politik afirmasi diperlukan untuk menjaring sebanyak-banyaknya partisipasi politik perempuan sekaligus diharapkan dapat mewarnai dunia dan kebijakan politik. Inilah salah satu pesan yang ingin disampaikan buku ini. Buku ini memberikan dasar dan legitimasi historis maupun teologis keterlibatan politik perempuan.

Bisakah Agama Menjadi Juru Selamat bagi Bumi yang Sekarat?

Suhu bumi makin tinggi. Lima tahun terakhir adalah suhu terpanas dalam sejarah sejak 1850. Tak tanggung-tanggung, di beberapa negara kenaikan suhunya mencapai 5 derajat. Gletser mulai mencair dan merobohkan gunungan es. Namun, di belahan dunia yang lain, bencana kekeringan menyebabkan gagal panen, kelaparan, hingga kematian. Sementara itu, manusia adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas hal ini. Data ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Laporan ini merupakan studi yang diluncurkan oleh para ilmuwan sebelum pertemuan iklim penting di Glasgow, Skotlandia, the 26th UN Climate Change Conference of the Parties (COP26).

Fenomena semacam ini sebenarnya sudah diperingatkan oleh para cendekia. Pada tahun 1985, Jill Jäger, seorang ilmuwan lingkungan, menghadiri pertemuan di sebuah kota kecil di Pegunungan Alpen Austria. Pertemuan yang dipimpin oleh ahli meteorologi bernama Bert Bolin ini merupakan pertemuan kecil para ilmuwan iklim yang bertujuan membahas hasil salah satu penilaian internasional pertama mengenai potensi perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.

Manusia harus lebih bijak dalam menghuni bumi. Tapi, bukankah manusia memang selalu bebal? Selalu tak pernah percaya dengan peringatan-peringatan, baik dari sesama manusia maupun dari Langit (Tuhan). Manusia pada abad sebelum Masehi pernah berkata bahwa bumi adalah ibu. Sebuah penggambaran bahwa bumi adalah ibu kosmik manusia. Jagalah bumi, karena sesungguhnya ia adalah ibumu. Sesungguhnya, tidak ada satu pun yang memperlakukannya (bumi) dengan baik atau buruk kecuali dia (bumi) melaporkannya kepada Allah Swt. (al-Mu’jam al-Kabîr li َath-Thabrani, no. 4595).

Pun, dalam pondasi Islam yang terbangun dalam kalimat tauhid, dijelaskan secara terang benderang bahwa tiada tuhan selain Allah—yang artinya bahwa selain Allah adalah ciptaan. Tak peduli apakah itu alam, hewan, atau manusia sekalipun. Itu artinya manusia sama derajatnya dengan gunung, hutan, dan sungai. Demikian pula, manusia setara dengan kambing, gajah, ayam, dan babi sekalipun. Alam, hewan, dan manusia sama di hadapan Khaliq (Pencipta) sebagai makhluk (ciptaan). Ketiganya adalah saudara. Manusia, yang dibekali dengan akal, merasa lebih unggul dari saudaranya yang lain, sehingga memperlakukan alam semesta sebagai sapi perah melebihi dari kebutuhan mereka sendiri, hingga sampai pada tahap keserakahan. Tanpa ampun.

Keserakahan dan ketamakan manusia ini mengantarkannya pada bencana. Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Abdul Muhari, menyebutkan bahwa sebanyak 1.862 bencana yang terjadi di Indonesia sepanjang Januari-Juli 2023 disebabkan oleh faktor perbuatan manusia.

Siapa lagi yang paling terdampak kalau bukan kelompok perempuan dan anak-anak? Perempuan, dalam tradisi masyarakat patriarki, dibebankan tanggung jawab untuk mengurus persoalan domestik dan memastikan seluruh kebutuhan rumah tangga terpenuhi. Di Lombok Utara, misalnya, kelangkaan air karena kekeringan menyebabkan perempuan berada dalam kondisi yang putus asa, karena kelangkaan air membuat emosi mereka naik turun. Dalam kondisi ini, laki-laki menuntut agar semua kebutuhan domestik terpenuhi tanpa mau tahu bagaimana prosesnya. Keadaan semacam ini pada akhirnya menyebabkan hubungan keluarga tak lagi harmonis. Selain itu, kelangkaan air menyebabkan anak-anak usia sekolah merasa minder untuk berangkat ke sekolah. Mereka merasa tidak pantas pergi ke sekolah karena kondisi tubuh yang kumal dan bau. Tak heran jika angka putus sekolah menjadi tinggi. Belum lagi masalah kesehatan reproduksi; kelangkaan air membuat perempuan terancam kesehatannya.

Sebegitu besar krisis ekologi yang melanda ruang hidup kita, agama seolah dianggap tak memiliki peran apapun. Padahal, agama memiliki fungsi strategis dalam perawatan lingkungan hidup. Oleh karena itu, agama seharusnya mengambil perannya dan lebih menggerakkan elemen agama untuk menjaga alam. Absennya narasi agama dalam isu krisis dan kerusakan lingkungan di antaranya terjadi karena masih minimnya kajian yang menelusuri khazanah pemikiran Islam dan menawarkan pembaruan dalam interpretasi teks-teks keagamaan terkait perawatan lingkungan.

Di Indonesia, pengajaran agama Islam ditransmisikan melalui berbagai macam cara. Paling umum ditemui di kalangan masyarakat adalah majelis taklim dan pesantren. Ini adalah ruang belajar kolosal yang terpusat pada satu figur tokoh agama atau pengasuh yang membahas persoalan-persoalan keseharian terkait agama. Dengan jumlah penganut agama Islam sebanyak 244,41 juta, tak mengherankan jika data yang dihimpun oleh Dirjen Bimas Islam mencatat jumlah majelis taklim mencapai 994.000 dan 39.167 pesantren. Data ini kemungkinan besar akan terus bertambah karena masih banyak yang belum terdaftar.

Ruang agama, seperti majelis taklim dan pesantren, memiliki peran yang sangat vital, bukan hanya dalam transmisi pemahaman keagamaan tetapi juga membumikan kebijakan strategis pemerintah. Pada saat pandemi, misalnya, tokoh agama dan ulama, khususnya yang memiliki majelis taklim dan pesantren, mempunyai peran signifikan dalam mensosialisasikan pentingnya jaga jarak sosial untuk menghalangi penyebaran virus COVID yang lebih masif, hingga pentingnya vaksin—dan menekankan bahwa vaksin COVID adalah halal bagi masyarakat dan jemaah. Dengan potensi ini, agama dapat berperan—melalui tokoh agamanya—sebagai juru bicara paling efektif dalam perawatan dan pemulihan lingkungan yang telah rusak karena keserakahan manusia.

Merebut Tafsir: Adil Gender Teladan dari Cipasung

Oleh Lies Marcoes

Cipasung terletak di Kabupaten Singaparna, Tasikmalaya. Namun sebutan itu lebih sering menunjuk pada sebuah pesantren besar Pesantren Cipasung. Selain mengembangkan pendidikan pesantren yang berpusat pada kegiatan belajar mengajar dan pengasuhan keagamaan, di Pesantren Cipasung ini terdapat lembaga pendidikan formal dari PAUD hingga Perguruan Tinggi. Dalam catatan sekretariat pesantren, saat ini terdapat 5000 siswa/mahasiswa sejak PAUD hingga Perguruan Tinggi. Separuh di antaranya (2984) tinggal di dalam pesantren yang diasuh langsung oleh para kyai, Ibu nyai, guru dan pengasuh pesantren baik yang tinggal di dalam kompleks atau di perkampungan di sekitar pesantren.

Salah satu lembaga pendidikan formal yang dimiliki Pesantren Cipasung adalah Madrasah Aliyah Negeri (MAN) II Cipasung. Mengunjungi MAN II Cipasung Anda akan mendapati sebuah lembaga pendidikan dengan arena belajar yang sangat ideal. Teretak agak menjorok dari jalan raya, MAN menempati lahan yang cukup luas. Setelah pintu gerbang, di sebelah kanan Anda akan disambut deretan piala dan sertifikat yang menunjukkan ragam prestasi yang diraih baik murid maupun pengajar sekolah ini. Di lingkungan MAN ini Anda akan menemukan sebuah arena pendidikan yang tertata dengan apik, sejuk, resik dan bernuansa pendidikan dengan ciri memerdekakan anak-anak untuk berkreasi dan berpikir. Siswa dan siswi bergaul sewajarnya, tidak ada pemisahaan dengan basis kecurigaan kepada perilaku mereka sebagai remaja. Arena olah raga, sebuah wahana yang sangat penting di usia mereka tersedia dengan fasilitas yang memadai untuk macam-macam jenis olah raga utamanya yang bersifat kelompok seperti basket dan volley ball. Di bagian depan terdapat masjid yang setiap saat dapat diakses murid untuk ibadah-ibadah wajib atau sunat baik dilakukan sendiri atau kolektif. Tembok-tembok diisi dengan semboyan hidup yang penuh semangat bukan yang menakut-nakuti atau mengancam. Sudah sangat jelas ini merupakan salah satu MAN terbaik di Indonesia yang ternyata dipimpin perempuan.

Saat ini MAN II Cipasung dipimpin oleh Ibu Dra. Hj Ida Nurhalida M.Pd, salah satu putri Kyai Ilyas Ruhiat. Di ruang kepala sekolah terdapat deretan mantan kepala sekolah. Ada tujuh foto berjajar di sana. Di antara deretan foto itu enam lelaki dan satu perempuan yaitu Ibu Ida Nurhalida.

Nyai Ida bersama suaminya Kyai Hobir, mengasuh salah satu pondok/ asrama raturan santri putri. Untuk diketahui dalam dunia pesantren yang menggabungkan pendidikan formal (madrasah berijasah) dan pendidikan non-formal (mengaji Qur’an , kitab klasik atau pembelajaran agama lainnya). Dalam model pembelajaran serupa itu peran seorang ibu nyai sebagai pengasuh pondok sangat penting. Ibu Nyai Ida, bersama adiknya Enung Nursaidah, mengembangkan kegiatan yang terkait dengan upaya pemberdayaan santri putri serta menjadikan pesantren Cipasung sebagai pusat layanan korban kekerasan terhadap perempuan (WCC) berbasis komunitas pesantren. WCC ini dikembangkan oleh jaringan WCC Puan Amal Hayati pimpinan Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid dan menangani sejumlah kasus kekerasan berbasis gender yang dialami komunitas d luar peantren yang membutuhkan penanganan serius karena jenis kekerasannya yang sangat berat seperti perkosaan oleh bapak kepada anak perempuannya.

Saat ini, Neng Ida, demikian Ibu Ida Nurhalida ini di sapa, merupakan tokoh penting dalam perkembangan Pesantren dan menjadikan Pesantren Cipasung salah satu pesantren yang mengembangkan kesetaraan gender di lingkungan pesantrennya. Pesantren Cipasung jelas merupakan salah satu mata rantai penting dalam jaringan ulama perempuan di Indonesia.

Kyai Ilyas Ruhiat , Ayahanda Ibu Nyai Ida adalah putra kyai Ruhiat pendiri Pesantren Cipasung. Pesantren Cipasung didirikan tahun 1931. Tahun 1994 pesantren ini mencatat peristiwa sejarah NU yang sangat penting yaitu terpilihnya Gus Dur sebagai ketua PB NU dan kyai Ilyas Ruhiyat sebagai ketua Tanfidziyah NU. Ini merupakan peristiwa maha penting mengingat terpilihnya Gus Dur juga menandai kesadaran berdemokrasi di lingkungan pesantren serta dalam gerakan civil society. Melalui muktamar ini kalangan nahdliyin melakukan perlawanan kepada rezim Orde Baru yang selalu ikut campur dalam mementukan kepemimpinan yang dikehendaki rezim. Saat itu konon Cendana tak menghendaki kepemimpinan Gus Dur dan mengajukan calon lain yang dikehendaki. Perlawanan kaum nahdliyin yang dipimpin para kyai pro demokrasi dilakukan dengan cara-cara yang elegan, arif dan dewasa. Calon yang diusung penguasa ternyata tak dipilih, dan NU memang karena perlawanan itu dilakukan secara prosedural demokratis.

Dalam konteks gerakan perempuan Islam, di pesantren ini pula muncul model pembelajaran tentang gender dengan pendekatan yang terintegrasi dengan nilai keagamaan yang deperhubungkan dengan nilai kemanusiaan berbasis pengalaman perempuan.

Tahun 1993-1994 Pesantren Cipasung menyelenggarakan kegiatan pelatihan fiqh an-Nisa bersama Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Ibu Ida, bersama sejumlah santri senior dan pengasuh pondok putri seperti Ibu Juju Zubaidah (alm) menjadi peserta aktif yang berinteraksi dengan saya dan para fasilitator dari P3M. Dalam catatan Ibu Ida, “Saya masih ingat kegiatan di laksanakan di madrasah bagian belakang rumah Ibu saya dan di madrasah lantai atas . Alm. ayahanda Kiyai Muhammad Ilyas Ruhiyat sangat mendukung kegiatan tersebut. Saat itulah pertama kali saya mengenai istilah “gender”.

Bagi saya, pelatihan di pesantren Cipasung merupakan momentum penting. Sebab di sinilah ditemukan model pembelajaran yang mengintegrasikan isu gender ke dalam Islam. Dalam membuka pemahaman tentang konsep gender misalnya, alih-alih menggunakan pemahaman yang standar dengan menjelaskan perbedaan konsep biologis dan sosial dari identitas lelaki dan perempuan, di pesantren ini pembahasan konsep gender diambil dari ayat Al Quran surat luqman ayat 14 yang didalamnya membahas tentang pesan kepada manusia untuk berbuat baik kepada ibu dan bapaknya, ibunya yang mengandung (biologis) dengan beban yang berat di atas berat wahnan ‘ala wahnin (kontruksi sosial) serta menyapihnya.

Dalam pandangan Ibu Nyai Ida di pesantren ini sesungguhnya penerapan kesetaraan gender sudah berlangsung lama tanpa menyebutkan keadilan gender. Di pesantren ini kyai Ilyas menerapkan perlakukan yang sama bagi anak perempuan dan anak lelaki berdasarkan musyawarah dan kasih sayang. Kesempatan yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan itu sama, tidak dibeda-bedakan, dan tidak ada pengekangan. Anak-anak kyai Ilyas diberi kebebasan untuk menekuni bidang yang diminati, diberi kebebasan untuk memilih jodoh tanpa ada paksaan.

Berdasarkan pengalaman itu Ibu Nyai Ida meyakini bahwa kyai Ilyas Ruhiyat adalah sosok yang adil gender. Ketika ada masalah yang membutuhkan solusi, Ibu Nyai Ilyas senantiasa diajak bermusyawarah, padahal dalam catatan Ibu Ida, ibunya hanya tamatan Sekolah Rakyat (SR). Di balik kesuksesan seorang Rais Am PBNU, Kiyai Muhammad Ilyas Ruhiyat, ada ibu yang sederhana namun memiliki kepekaan dan memberikan pertimbangan kepada setiap langkah Kyai Ilyas Ruhiat.

Tradisi memberi tempat kepada perempuan sebagai pengajar di lingkungan pondok di Cipasung telah dirintis oleh Kyai Ilyas Ruhiat, pendiri pesantren ini. Pesantren yang didirikan di era kolonial ini diajar langsung oleh kyai Ruhiat dan anak-anaknya seperti kyai Ilyas Ruhiat dan adik-adiknya. Kyai Ruhiyat juga dibantu oleh seorang ajengan perempuan yaitu Ibu Hj. Suwa. Ibu Hj. Suwa, ibunda Alm Juju Zubaedah salah satu aktivis Fiqh An Nisa saat itu mengajar kitab “Jawhar al-Maknun”, kitab “Alfiyyah”, dan kitab-kitab lainnya baik kepada santri laki-laki maupun santri perempuan. Ini menunjukkan bahwa Kyai Muhammad Ruhiat sejak dulu sudah adil gender.

Kiyai Mohammad Ruhiyat juga mendirikan sekolah yang terbuka bagi santri putri pada saat pesantren-pesantren lain masih menganggap sekolah itu haram karena sekolah identik dengan Belanda dan penjajahan. Oleh karena tahun awal tahun 1970-an Pondok Pesantren Cipasung sudah melahirkan alumni-alumni santri putri seperti Ibu Juju karena adanya visi yang jauh ke depan dari Kiyai Muhammad Ruhiyat.

Sejak berdirinya Pesantren Cipasung telah memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menjadi guru ngaji. Materi yang disampaikan kepada santri putra dan santri putri atau siswa dan siswi tidak ada yang dibedakan. Bahkan saat ini beberapa lembaga pendidikan formal di lingkungan Pesantren Cipasung ini dipimpin perempuan. Antara lain Kepala sekolah MI, kepala MTs , kepala MAN, Kepala SMA dan salah satu perguruan tingginya- STIE semuanya dipimpin perempuan. Dan berdasarkan penilaian obyektif yang terukur, kepemimpinan mereka dinilai berhasil.

Jadi, di Pesantren Cipasung ini isu gender tidak dibahas hanya sebagai wacana tetapi telah dipraktikkan. Lembaga pesantren memberikan peluang yang sama kepada laki-laki dan perempuan, serta mengafirmasi kebutuhan kebutuhan khusus bagi perempuan berupa dukungan-dukungan yang terkait dengan peran sosial mereka di keluarga dan masyarakat. Dalam kata lain, di pesantren Cipasung kata gender mungkin tak diucapkan , tetapi dalam praktik kehidupan mereka telah menerapkan dan merasakannya. Dengan cara itu Pesantren Cipasung berupaya mewujudkan Islam yang rahmatan li al-‘âlamîn. [] Lies Marcoes, 21 September 2019.

Roadbook “Fikih Perwalian” di Pesantren Kebon Jambu, Cirebon

DALAM rangka Book Road Show 2019 Rumah KitaB mengadakan bedah buku “Fikih Perwalian” di Masjid Perempuan Pondok Pesantren Kebon Jambu, Cirebon, pada Jum’at 6 September 2019. Acara ini menghadirkan sejumlah narasumber: Prof. Dr. Aminah Wadud, Dr. (HC). KH. Husein Muhammad, Lies Marcoes-Natsir, MA., dan Roland Gunawan.

Sebagaimana diketahui Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) atas dukungan Oslo Coalition menginisiasi kajian teks selama 10 bulan dengan 8 kali putaran diskusi mengenai wilâyah dan qiwâmah. Inisiatif ini muncul setelah menyadari bahwa kajian-kajian Islam kontemporer semakin memperkuat bangunan konsep wilâyah dan qiwâmah yang melahirkan asimetrisme relasi antara laki-laki dan perempuan. Hasil kajian ini kemudian dituangkan menjadi buku berjudul “Fikih Perwalian: Membaca Ulang Hak Perwalian untuk Perlindungan Perempuan dari Kawin Paksa dan Kawin Anak.” Kajian dilakukan karena hampir semua argumen keagamaan fikih yang terkait dengan praktik perkawinan anak berpusat kepada hak ayah (wilâyah), sementara yang terkait dengan fungsi perlindungan berpusat kepada lelaki dalam perannya sebagai suami (qiwâmah).

Dalam kajian wilâyah dan qiwâmah ini Tim Rumah KitaB mendasarkan argumennya pada al-Qur`an, hadits, karya-karya para ulama dengan menggunakan metodologi pembacaan teks maqâshid al-syarî’ah, ushul fiqh dan gender. Dengan ketiga pisau analisis ini, argumentasi yang kokoh dibangun guna menolak penafsiran yang selama ini diarahkan untuk memperkokoh asimetrisme relasi laki-laki dan perempuan yang banyak menyumbang pada buruknya status sosial, ekonomi, dan politik perempuan.

Buku ini berusaha mendudukkan pemahaman umat Muslim dan sumbangan dari pengalaman Islam di Indonesia terhadap tujuan kemaslahatan syariat terkait masalah hak ijbâr orangtua (ayah) atau wali mujbir dalam perkawinan dan meluruskan pemahaman-pemahaman subyektif bias gender yang tidak mempertimbangkan kepentingan masa depan anak-anak perempuan.

Sejumlah inovasi telah dilakukan para ulama, ahli fikih dan hakim agama dari Indonesia dalam mengatasi asimetrisme terdapat dalam buku ini seperti Prof. Dr. Teungku H. Mohammad Hasbi Ash-Shiddiqiy, Prof. Dr. Mr. Hazairin Harahap, S.H., Dr. (HC). KH. Sahal Mahfudz, dan Dr. H. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H. Upaya serupa juga dilakukan oleh para ulama modern seperti Rifa’at Rafi’ al-Thahthawi, Thahir al-Haddad, Muhammad Abduh, dan Qasim Amin.

“Intinya adalah mereka berusaha mengkontekskan perubahan sosial dengan teks agar teks tetap relevan dalam mengatasi asismetrisme hubungan gender dalam keluarga,” tutur Lies Marcoes-Natsir dalam pengantarnya.

Nyai Masriyah Amva, Pengasuh Pondok Pesantren Kebon Jambu, di dalam sambutannya sangat mengapresiasi upaya Rumah KitaB dalam menyosialisasikan hasil kajiannya tentang wilayah dan qiwamah. Ia sangat berharap dengan diadakannya bedah buku “Fikih Perwalian” ini wacana para santri dan mahasantri di Pesantren Kebon Jambu menjadi lebih terbuka sehingga lebih bisa menerima dan menghargai perbedaan pemikiran.[]

 

Empat Tokoh Islam di Indonesia: Mereka adalah tokoh Islam yang berjasa besar dalam menjaga dan memperbarui Islam di Indonesia.

EMPAT tokoh Islam berikut ini berperan besar dalam menjaga dan memperbarui Islam di Indonesia. Mereka mendirikan organisasi Islam sebagai sarana perubahan dalam berbagai bidang kehidupan.

KH Ahmad Dahlan: Melampaui Abduh

”Sejak umur 15 tahun, saat saya berdiam di rumah Tjokroaminoto,” cerita Bung Karno, “saya telah terpukau dengan KH Ahmad Dahlan.” Bung Karno bahkan menjadi anggota Muhammadiyah dan pernah menyatakan keinginan “dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan.”

Muhammadiyah, salah organisasi Islam terpenting di Indonesia, didirikan Ahmad Dahlan pada 18 November 1912. Tujuannya, “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumiputera” dan “memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya”. Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan, kesehatan, dan pendidikan ketimbang politik. Dari ruang gerak terbatas di Kauman, Yogyakarta, organisasi ini kemudian meluas ke daerah lain, termasuk luar Jawa.

Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 1 Agustus 1868 dengan menyandang nama kecil Muhammad Darwis. Ayahnya, KH Abubakar, seorang khatib masjid besar di Kesultanan Yogyakarta, sedangkan ibunya, Siti Aminah, putri seorang penghulu. Praktis, sejak kecil, dia mendapat didikan lingkungan pesantren serta menyerap pengetahuan agama dan bahasa Arab.

Ketika menetap di Mekah, di usia 15 tahun, dia mulai berinteraksi dan tersentuh dengan pemikiran para pembaharu Islam. Sejak itu, dia merasa perlunya gerakan pembaharuan Islam di kampung halamannya, yang masih berbaur dengan sinkretisme dan formalisme. Mula-mula dengan mengubah arah kiblat yang sebenarnya, kemudian mengajak memperbaiki jalan dan parit di Kauman. Robert W Hefner, Indonesianis asal Amerika Serikat, menyebut Dahlan merupakan sosok pembaharu Islam yang luar biasa di Indonesia, bahkan pengaruhnya melampaui batas puncak pemikiran Muhammad Abduh dari Mesir.

Ahmad Dahlan wafat di Yogyakarta pada 23 Februari 1923 dan dimakamkan di Karang Kuncen, Yogyakarta.

Ahmad Surkati: Mempercepat Kemerdekaan

Dalam Muktamar Islam I di Cirebon pada 1922, terjadi perdebatan antara Ahmad Surkati dari Al-Irsyad dan Semaun dari Sarekat Islam Merah. Temanya mentereng: “Dengan apa Indonesia ini bisa merdeka. Dengan Islamismekah atau Komunisme?” Perdebatan berlangsung alot. Masing-masing kukuh pada pendapatnya. Toh, ini tak mengurangi penghargaan di antara mereka. “Saya suka sekali orang ini, karena keyakinannya yang kokoh dan jujur bahwa hanya dengan komunismelah tanah airnya dapat dimerdekakan,” ujar Surkari.

Ahmad Surkati dilahirkan di pulau Arqu, daerah Dunggulah, Sudan, pada 1875. Sempat mengenyam pendidikan di Al-Azhar (Mesir) dan Mekah, Surkati kemudian datang ke Jawa pada Maret 1911. Ini bermula dari permintaan Jami’at Khair, organisasi yang didirikan warga keturunan Arab di Jakarta, untuk mengajar. Karena ketidakcocokkan, dia keluar serta mendirikan madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah di Jakarta pada 6 September 1914. Tanggal pendirian madrasah itu kemudian menjadi tanggal berdirinya Perhimpunan Al-Irsyad. Tujuan organisasi ini, selain memurnikan Islam, juga bergerak dalam bidang pendidikan dan kemasyarakatan.

Sejarawan Belanda G.F. Pijper dalam Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950 memandang hanya Al-Irsyad yang benar-benar gerakan pembaharuan yang punya kesamaan dengan gerakan reformis di Mesir sebagaimana dilakukan Muhammad Abduh dan Rashid Ridha. Dengan demikian, Surkati juga seorang pembaharu Islam di Indonesia. Sukarno bahkan menyebut Surkati ikut mempercepat lahirnya kemerdekaan Indonesia.

Ahmad Surkati wafat pada 6 September 1943. Sejak itu, perkembangan Al-Irsyad tersendat, sekalipun tetap eksis hingga kini.

Ahmad Hasan: Rujukan Kajian Islam

Sekalipun kerap berpolemik, Bung Karno pernah berpolemik dan melakukan surat-menyurat dengan Ahmad Hassan, sebagaimana tersurat dalam surat-surat dari Endeh dalam buku di Bawah Bendera Revolusi. Tak heran jika Bung Karno begitu menghargai pemikiran Islam Hassan.

Nama kecilnya Hassan bin Ahmad, lahir di Singapura pada 1887 dari keluarga campuran, Indonesia dan India. Semasa remaja dia melakoni beragam pekerjaan; dari buruh hingga penulis, di Singapura maupun Indonesia. Hassan pernah tinggal di rumah Haji Muhammad Junus, salah seorang pendiri Persatuan Islam (Persis), di Bandung.

Ketika pabrik tekstilnya tutup, dia mengabdikan diri di bidang agama dalam lingkungan Persis, dan segera popular di kalangan kaum muda progresif. Di Bandung pula Hassan bertemu dengan Mohammad Natsir, kelak jadi tokoh penting Persis, yang kemudian bersama-sama menerbitkan majalah Pembela Islam dan Al-Lisan. Dia juga mendirikan pesantren Persis, di samping pesantren putri, untuk membentuk kader, yang kemudian dipindahkan ke Bangil, Jawa Timur.

Persis didirikan di Bandung pada 12 September 1923 oleh aktivis keagamaan yang dipimpin Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus, keduanya pedagang. Dalam Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonsia Abad XX, Howard M. Federspiel menulis bahwa Persis adalah organisasi biasa, kecil, tak kukuh serta tak bergigi dalam percaturan politik saat itu. Namun, Persis berusaha keras memperbarui umat Islam saat itu yang mengalami stagnasi pemikiran dan penuh bid’ah, tahayul, dan khurafat.

Ahmad Hasan dikenal sebagai ulama pembaharu. Pikiran-pikirannya sangat tajam dan kritis terutama dalam cara memahami nash (teks) Alquran maupun hadits. Keahliannya dalam bidang hadits, tafsir, fikih, ushul fiqih, ilmu kalam, dan mantiq menjadikannya sebagai rujukan para penanya dan pemerhati kajian Islam. Dia juga ulama yang produktif menulis.

Ahmad Hassan tutup usia pada 10 November 1958 dalam usia 71 tahun.

KH Hasyim Asy’ari: Menjaga Tradisi Pesantren

“Jangan kamu jadikan semuanya itu menjadi sebab buat bercera-berai, berpecah-belah, bertengkar-tengkar, dan bermusuh-musuhan… Padahal agama kita hanya satu belaka: Islam!” ujarnya dalam kongres NU di Banjarmasin, Kalimantan, pada 1935. KH Hasyim Asy’ari sadar perlunya menghapus pertentangan antara kalangan tradisi maupun pembaharu.

Lahir pada 14 Februari 1871 di Desa Nggedang-Jombang, Jawa Timur, Hasyim Asy’ari adalah pendiri Nahdlatul Ulama, artinya kebangkitan ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dia mendirikannya bersama Kyai Wahab Chasbullah pada 31 Januari 1926 guna mempertahankan faham bermadzhab dan membendung faham pembaharuan.

Hasyim pernah belajar pada Syaikh Mahfudz asal Termas, ulama Indonesia yang jadi pakar ilmu hadits pertama, di Mekah. Ilmu hadits inilah yang kemudian menjadi spesialisasi Pesantren Tebuireng, yang kelak didirikannya di Jombang sepulangnya dari Tanah Suci. Lewat pesantren inilah KH Hasyim melancarkan pembaharuan sistem pendidikan keagamaan Islam tradisional. Dia memperkenalkan pengetahuan umum dalam kurikulum pesantren, bahkan sejak 1926 ditambah dengan bahasa Belanda dan sejarah Indonesia. Dalam buku Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Zamakhsyari Dhofier manggambarkan Hasyim Asy’ari sebagai sosok yang menjaga tradisi pesantren.

Di masa Belanda, Hasyim bersikap nonkooperatif. Dia mengeluarkan banyak fatwa yang menolak kebijakan pemerintah kolonial. Yang paling spektakuler adalah fatwa jihad: “Wajib hukumnya bagi umat Islam Indonesia berperang melawan Belanda.” Fatwa ini dikeluarkan menjelang meletusnya Peristiwa 10 November di Surabaya.

Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947. Dalam perjalanannya, NU larut dalam politik praktis hingga akhirnya kembali ke khitah 1926. [Aryono dan Budi Setiyono]

Sumber: http://historia.id/agama/empat-tokoh-islam-di-indonesia

Training Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren di Darus Sunnah International Institute For Hadith Sciences, 27 Oktober 2017

Pelatihan Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences

Pada semester kedua tahun 2017, Rumah Kita Bersama menyelenggarakan kegiatan pelatihan “Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren” di pesantren Darus Sunnah.

Setelah berkoordinasi 2 bulan sebelumnya dengan pesantren-pesantren yang akan diikut sertakan pada kegiatan pelatihan pendidikan karakter, akhirnya, terselenggaralah kegiatan pelatihan pendidikan karakter yang melibatkan puluhan guru dan pelajar dari berbagai pesantren yang menjadi jaringan pesantren di wilayah Tangerang.

Kegiatan pelatihan di Tangerang diadakan di Darus Sunnah pada 27 Oktober 2017. Pesantren ini dikenal sebagai satu-satunya pesantren yang berfokus pada pengajaran ilmu hadits namun berfaham moderat dan progressif. Kegiatan pelatihan “Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren” di pesantren ini juga melibatkan para guru dan santri, perempuan dan laki-laki, yang asal dari berbagai pesantren yang berlokasi di wilayah Tangerang dan sekitarnya, di antaranya pesantren Nurul Hikmah, Pesantren Darus Sa’adah, Madrasah Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah, Pesantren Daar el-Qolam, Pesantren Putri Al-Hasanah Darunnajah, Pesantren Subulussalam, serta beberapa mahasiswi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, dan Institute Ilmu Al-Qur’an (IIQ).

Rumah Kita Bersama menggunakan dua metode pelatihan berbeda di setiap kegiatan karena perbedaan kelompok peserta, yaitu kelompok guru dan kelompok pelajar (santri). Pertama, Untuk kelompok guru, metode yang digunakan berupa diskusi aktif peserta dengan menerapkan metodologi pengajaran pendidikan, sesuai dengan tipe kebutuhan di lingkungan pendidikan masing-masing. Nilai-nilai yang dibahas di dalam kelompok diskusi para guru ini di antaranya Cinta Tanah Air, Toleransi, Kesetaraan, Kejujuran, Tanggung Jawab, Kerjasama, dan Kepedulian. Diskusi ini juga menganalisis sandaran teologis dan analisis komparatif antar mazhab pemikiran dan aliran, melalui studi kasus yang tengah terjadi di lapangan, sehingga para guru diharapkan dapat menjadi penengah saat menghadapi perbedaan dan pertentangan yang terjadi di Lembaga pendidikan.

 

Kedua, untuk kelompok pelajar menggunakan metode pelatihan berupa active learning dengan diskusi aktif para peserta yang dibagi ke dalam beberapa kelompok belajar, setiap kelompok mendiskusikan nilai-nilai seperti toleransi, kasih sayang, kesetaraan, kerjasama, kepedulian, cinta tanah air, kejujuran dan rendah hati. Diskusi kelompok juga membahas metode penerapan nilai dalam kehidupan sehari-hari.

 

Internalisasi nilai dalam puisi, lagu, dan nyanyian, dikhususkan untuk pelajar, disesuaikan dengan spirit nilai yang dibahas di dalam kelompoknya. Sementara internalisasi nilai untuk para guru menitik beratkan pada membangun kesadaran pentingnya metode pendidikan karakter diterapkan melalui nonton film-film kisah nyata pentingnya pendidikan karakter.

Komposisi peserta yang hadir di kedua lokasi pelatihan itu sangat beragam, jumlah laki-laki dan perempuan pun hampir berimbang. Tingkat partisipasi peserta di dalam pelatihan ini sangat tinggi, karena para peserta menyadari bahwa lembaga pendidikan tempat mereka bernaung itu dikepung oleh situasi dan kondisi yang sangat mempengaruhi tumbuhnya dekadensi moral di kalangan remaja, tawuran antar pelajar dan cengkeraman jaringan narkoba, serta kondisi wilayah yang juga dipenuhi oleh para aktivis jihadis yang mempengaruhi pola pemikiran remaja terhadap ketertarikan remaja pada aksi kekerasan atas nama agama. Tangerang merupakan lokasi yang subur bagi tumbuhnya dakwah salafi-jihadi. Hizbut Tahrir banyak mendapat simpatisan dari wilayah Tangerang dengan pengajian-pengajiannya yang mengajarkan pelajar menjadi pelaku kekerasan, mengkafirkan sesama teman yang terjadi di kalangan remaja baik di ruang kelas maupun di media sosial.

Hak Pendidikan Anak Perempuan

Kelembagaan seperti pesantren berperan besar dalam menghentikan praktik perkawinan anak. Ini menunjukkan institusi agama memiliki otoritas tinggi yang bisa melebihi otoritas aparat negara. Kyai dapat menjadi mitra dalam advokasi menurunkan praktik perkawinan anak dengan otoritasnya.

Sebuah pesantren di Batu Putih, Sumenep yang memiliki lembaga formal setingkat Tsanawiyah (SMP) asuhan Kyai Syafi’i mengizinkan murid perempuannya yang telah menikah untuk tetap meneruskan pendidikan, meskipun secara fomal hal itu tidak dibenarkan.

Bagi sang Kyai, sepanjang praktik kawin anak masih kuat berlaku di masyarakat, sementara negara tidak sanggup memberantasnya karena terkait dengan budaya, maka yang wajib dilakukannya adalah mengikuti kaidah hukum fiqh “mengurangi sebanyak mungkin mudharat yang ditimbulkannya”.

Karena tidak dapat mencegah praktik kawin anak, yang ia usahakan adalah tidak mengurangi hak pendidikan anak perempuan.

Catatan lapangan Roland Gunawan, diolah oleh Lies Marcoes

Rumah KitaB; Membawa Mutiara dari Pesantren

YAYASAN Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) adalah lembaga non profit yang digagas sejak tahun 2005. Lembaga ini bekerja untuk penguatan dan pemberdayaan pesantren dalam pengembangan khazanah pemikiran, pendidikan serta tradisinya. Penguatan pesantren dilakukan melalui berbagia kegiatan dan berangkat dari penelitian-penelitian yang relevan. Tujuannya adalah untuk mensosialisasikan tradisi pesantren ke dunia yang lebih luas dan secara timbal balik menginternalisasikan pengetahuan, wacana, pemikiran dan perspektif dari dunia luar yang relevan untuk perkembangan pesantren.

Pada bulan Februari 2014 yang lalu Rumah KitaB mengadakan workshop dan training “Pengembangan Civic Education Berbasis Tradisi Pesantren” di dua daerah, Cirebon dan Jakarta.  Masing-masing daerah tiga hari: Cirebon dari tanggal 18 – 20 Februari 2014, dan Jakarta dari tanggal 25 – 27 Februari 2014. Kegiatannya: hari pertama “Workshop Pengembangan Civic Education Berbasis Tradisi Pesantren untuk Para Pimpinan Pesantren”, hari kedua “Training of Trainer untuk Para Guru/Ustadz tentang Pembelajaran Civic Education”, dan hari ketiga “Workshop Peer Educator untuk Para Santri dan Pelajar dalam Civic Education”. Mengundang beberapa narasumber yang populer di dunia pesantren, seperti KH. Imam Aziz (Tokoh LKiS), KH. Marzuqi Wahid (Tokoh Fahmina Institute), KH. Abdurrahman Nawi (Pengasuh Pondok Pesantren Al-Awwabin), dan KH. Prof. Khozin Nasuha (Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid, Arjawinangun).

Kegiatan ini sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian sosialisasi buku “Kumpulan Bahan Ajar Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren” yang tak lain adalah hasil ijtihad para peneliti Rumah KitaB yang umumnya merupakan alumnus pesantren. Buku ini lahir dilatari keprihatinan menyaksikan problem sosial di negeri ini yang terkait dengan degradasi karakter anak bangsa. Yayasan Rumah KitaB mencoba memberi setitik sumbangsih agar mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk memberi solusi yang tepat. Secara spesifik, buku ini mengungkap praktek-praktek terbaik pendidikan karakter yang berkembang di pesantren untuk menjadi sumber inspirasi bagi dunia pendidikan di Indonesia. Namun, dalam buku ini juga ditampilkan banyak inspirasi tentang nilai-nilai luhur yang berasal dari dunia luar pesantren. Hal itu dimaksudkan agar pesantren juga mengalami pengayaan khazanah.

Lanny Octavia, Direktur Program Rumah KitaB sekaligus penanggungjawab kegiatan ini, menjelaskan tentang kiprah Rumah KitaB dalam hal Civic Education, khususnya pendidikan karakter dengan basis pesantren. Menurutnya, pendidikan karakter bukanlah hal baru bagi Rumah KitaB. Sejak tahun 2011, dengan dukungan dari Kementerian Agama, serta bekerjasama dengan UNISMA dan UNWAHAS, lembaga ini sudah melakukan penelitian ke 22 pesantren di seluruh Indonesia tentang Best Practice Nilai-nilai Kebangsaan. Tidak hanya terbatas pada pesantren-pesantren di Jawa, tetapi juga di Sumatera, Lombok, Papua, dan berbagai daerah di Nusantara. Kemudian, di tahun 2012, Rumah KitaB bekerjasama dengan Yayasan Paramadina Jakarta dalam pengembangan Living Values Education(Pendidikan Menghidupkan Nilai). Kerjasama ini melahirkan draf buku “Modul Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren”. Selanjutnya, di pertengahan tahun 2013 Rumah KitaB bekerjasama dengan OSLO Coalition dalam program Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan). Dan dari kerjasama ini lahir buku “Kumpulan Bahan Ajar Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren”.

Selama ini, menurut Lanny Octavia, kalau berbicara mengenai lembaga pendidikan Islam, lebih spesifiknya pesantren, banyak orang menghubungkannya dengan peristiwa-peristiwa kekerasan atas nama agama, juga terorisme, karena ternyata pelakunya adalah alumnus pesantren. Bahkan ada beberapa pesantren yang disinyalir tidak mau melakukan upacaya bendera Merah Putih. Hal ini memunculkan pertanyaan; ada apa di pesantren? Apakah pesantren adalah sarang kekerasan dan terorisme? Apakah di pesantren tidak ada nilai nasionalisme?

Dengan penelitian itu, Rumah KitaB berupaya menggali secara lebih mendalam tentang nilai-nilai luhur yang hidup di pesantren, dan ditemukanlah nilai-nilai seperti toleransi, kasih sayang, kesetaraan, nasionalisme, rendah hati, kebersamaan, kesungguhan, kesabaran, dan nilai-nilai luhur lainnya yang menunjukkan bahwa pesantren sebetulnya sangat anti kekerasan dan terorisme, bahkan mendukung penuh keutuhan NKRI.

Sementara itu, KH. Imam Aziz, salah satu narasumber dalam kegiatan ini, menuturkan keprihatinannya terhadap kondisi bangsa ini, “Semakin ke depan, kondisi negeri ini semakin memprihatinkan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana kalau generasi bangsa yang sekarang ini justru lebih buruk daripada generasi-generasi terdahulu, yaitu generasi yang—paling tidak—belajar tentang ilmu agama, atau yang generasi yang mengenyam pendidikan di sekolah yang mengajarkan tentang nilai-nilai keagamaan. Kenyataannya, ketika di antara mereka menjadi pejabat, mereka tidak bisa menghindar dari prilaku korupsi. Karena sistem di pemerintahan memang memungkinkan siapapun untuk melakukan korupsi.”

Makanya, menurutnya, perlu dipikirkan juga mengenai lingkungan material siswa/i, seperti rumah, sekolah, kantor, dan lain sebagainya. Selain itu, perlu juga dipikirkan tentang lingkungan yang berhubungan dengan sistem, seperti sistem politik, sistem pendidikan dan seterusnya. Artinya, dengan begitu, pendidikan karakter tidak bisa dipisah-pisahkan antara antara individu dan lingkungan sosialnya. Karena, pada kenyataannya, meskipun di sekolah sudah diajarkan tentang nilai kejujuran dan kasih sayang, tetapi ketika seorang siswa/i keluar dari pintu sekolah, ia disuguhi fenomena lingkungan yang sama sekali bertentangan dengan apa yang didapatkannya di sekolah, seperti melanggar lalu-lintas, tawuran, dan lain-lain. Menghadapi lingkungan semacam itu, pilihan-pilihan moralnya sangat rapuh. Artinya, kalau pendidikan karakter dilihat sebagai pilihan-pilihan moral, maka pilihan-pilihan moral tersebut dengan mudahnya tergerus oleh lingkungan yang buruk. Inilah yang harus dipikirkan bersama, karena pendidikan karakter itu tidak bisa berdiri sendiri, tidak independen.

Dengan demikian, apa yang dilakukan Rumah KitaB merupakan salah upaya yang sangat baik, yaitu memikirkan kembali bahwa pesantren merupakan sumber nilai-nilai dan manusia-manusia unggul yang mampu berkiprah untuk kebaikan masa depan bangsa Indonesia. [RG-MA]