Pos

rumah kitab

Merebut Tafsir: Rohingya dan Cara Orang Aceh Menyambut Tamu

Oleh Lies Marcoes

Minggu ini, pantai Utara Aceh kembali kedatangan tamu, para pengungsi Rohingya. Ketika aparat berupaya mengikuti protokol pengaturan pengungsi plus penanganan covid-19, orang Aceh sudah memasak timpan, makanan berbalut daun pisang terbuat dari tepung ketan, santan dan gula merah, penanda mereka siap menerima tamu.

Tahun 2016-2017 untuk pepentingan penelitian tentang perempuan Rohingya di pengungsian, saya mengamati dari dekat tinggal bersama para pengungsi di tenda-tenda mereka. Dari sana saya memiliki catatan tentang cara orang Aceh menghadapi gelombang pengungsi Rohingya yang masuk lewat perairan mereka.

Orang bisa berandai-andai, apa jadinya jika manusia perahu ini berlabuh di tempat lain. Tapi Aceh punya sejarah panjang perjumpaan mereka dengan tamu-tamu yang muncul di kuala dan pantai mereka. Karenanya tak perlu mengajari bagaimana cara orang Aceh menyambut tamu. Mereka adalah anak bangsa yang punya budaya teladan “peumulia jamee” – memuliakan tamu; sebuah laku hidup yang telah mendarah daging dan menyangkut harga diri serta keyakinan mereka. Secara adat, para nelayan Aceh pantang menolak siapapun yang tersesat di tengah laut. Semenanjung Aceh adalah pintu gerbang Nusantara yang senantiasa terbuka bagi kaum rantau dari seluruh penjuru dunia, bahkan sejak berabad silam sebelum kolonial datang dan memanfaatkan keramahan mereka dengan muslihat.

Belakangan, mereka juga mendapat pelajaran penting bagaimana mengelola bencana tsunami. Menerima takdir melepas sanak saudara dan sahabat yang hilang ditelan gelombang, menjamu para tetamu dari berbagai penjuru dunia, berkawan, atau bertengkar dengan para relawan penanggulangan bencana dan bernegosiasi soal damai dari konflik yang menahun. Bahkan pengalaman pahit mereka di masa konflik niscaya juga tak hanya meninggalkan luka, tetapi juga nilai-nilai tentang berbagi di kala sulit. Maka tak heranlah jika ratusan orang Rohingnya yang mereka pandu dari tengah laut hingga ke pantai, mereka sambut sebagai saudara yang hilang. Meski negara Indonesia tak punya perjanjian dengan negara manupun terkait pengungsi, orang Aceh telah mendahuluinya dengan menerima mereka dan bukan mengusirnya.

Namun pada kenyataannya, para pendatang itu bukanlah tetamu biasa yang dapat diajak singgah, sebagaimana dikisahkan dalam tradisi Peumulia Jamee. Dalam laporan kami, antropolog Dr. Reza Idria menuliskan dengan sangat apik budaya Peumulia Jamee sebagai budaya tinggi orang Aceh yang harus berhadapan dengan aturan-aturan baru antar negara. Tunduk pada aturan internasional dan kesepakatan antar negara, para tetamu itu ditetapkan sebagi pengungsi antar negara atau refugees. Dan atas nama aturan, mereka diperlakukan dengan standar baku layanan bagi pengungsi yang diatur oleh lembaga-lembaga internasional, seperti UNHCR atau oleh NGO internasional urusan pengungsi seperti IOM. Konsekuensinya, mereka tak terhindar dari penyeragaman penanganan.

Di pengungsian, mereka diperlakukan sama rata. Itu jelas penting dan prinsip. Namun, pada kenyataannya, warga pengungsi tak sama dan serupa. Minimal mereka beda jenis kelamin, umur, bahkan keadaan fisik, pendidikan, serta asal-usulnya. Dan dengan adanya pengakuan akan keragaman itu, maka perlakuan berbeda dan khusus akan menggenapkan perlakuan yang sama rata, namun belum tentu sama adil.

Untuk urusan pemisahan ruangan berdasarkan jenis kelamin, itu merupakan langkah pertama yang dianggap paling penting di camp manapun. Bagi Aceh, itu lebih utama. Bukan saja untuk kepentingan para pengungsi, melainkan juga demi menghormati semangat penerapan Syariat Islam di Aceh. Namun, sesuai dengan stereotipenya, semua anak-anak disatukan dengan perempuan meskipun tak sedikit mereka datang sebagai keluarga, pasangan suami istri, dengan anak-anak mereka. Bertangki-tangki penyediaan air diletakkan di kamp pengungsi lelaki di bagian depan), dan akibat pemisahan ruang itu telah membatasi akses dan volume air bagi pengungi perempuan. Mereka hanya bisa mengambilnya di sore dan malam hari dari sisa air yang dipakai para lelaki seharian.

Semua warga diberi makanan yang sama, tak terkecuali anak-anak balita atau orangtua. Makanan seragam dan standar seringkali jadi mubazir ketika tak menimbang kebiasaan dan pantangan. Orang Rohingya pantang minum susu. Mereka juga tak menyukai biskuit dan daging. Mereka lebih suka ikan dan sayuran segar. Mendekati perempuan untuk mengetahui apa yang mereka kehendaki agar tanpa menyalahi prinsip perbaikan gizi yang dapat segera memulihkan kesehatan mereka pastilah sangat berguna daripada memaksakan standar internasional yang belum tentu mereka terima.

Perbedaan tradisi dan keadaan melahirkan berbeda kebutuhan. Namun, tanpa pemahaman bahwa kebutuhan perempuan berbeda dari lelaki, kebutuhan anak-anak berbeda dari orang dewasa, orang dengan disabilitas dan non-diabilitas punya kebutuhan yang tak sama, maka penanganan bantuan bisa meleset dari tujuan. Karenanya, menggunakan pendekatan yang paham atas perbedaan itu (antara lain analisis gender dan analisis budaya) adalah keniscayaan karena bantuan adalah hak semua pengungsi tanpa kecuali.

Catatan lama ini mungkin dapat menjadi pertimbangan dalam memperlakukan para pengungsi, memadukan adat orang Aceh menjamu tamu dan tata cara hukum internasional yang sensitif gender dalam memperlakukan refugees.

LiesMarcoes, 27 Juni 2020

rumah kitab

Merebut Tafsir: Ngaji Seksualitas

Saya merasakan ada paradoks bahkan cenderung ke arah sengketa (dispute) ketika agama ( Islam) bicara soal seksualitas. Tidak ada pembahasan paling detail dalam bidang kajian agama dibandingkan hal-hal yang terkait dengan tema seksualitas. Dalam Kitab Kuning tema itu dibahas sejak kitab tingkatan paling dasar hingga tingkat luhur. Di luar bisik-bisik dari teman sepermainan, isu seksualitas sebetulnya paling gamblang saya dapatkan di madrasah sore ketika ngaji kitab Safinah di bawah bimbingan langsung 101 dari Ajengan Amud- ajengan di mesjid kami. Kala itu saya sudah kelas 2 SMP. Di bawah bab thaharah (bersuci), sebuah tema yang paling depan dalam seluruh kitab-kitab fikih, saya membaca bab tentang alat kelamin hingga hukum bersenggama. Sangat detail!

Namun dalam waktu yang bersamaan, atas nama moral, isu seksualitas begitu sulit dibahas secara terbuka bahkan cenderung ditabukan. Dalam pengelompokan ilmu fiqih, tema seksualitas masuk ke dalam rumpun fiqih hukum keluarga yang cenderung menjadi rumpun ibadah yang tertutup untuk direformasi.

Tahun 2017, Rumah KitaB menyelenggarakan serial diskusi soal keragaman seksualitas dalam kajian kitab klasik. Hal itu dimaksudkan untuk menengok ulang apa saja yang terdapat dalam khazanah keagamaan klasik tentang tema itu. Terus terang kajian ini didasari oleh keheranan karena tema itu begitu lekat dengan kehidupan perempuan, dengan fungsi-fungsi reproduksinya yang menentukan kelanjutan hidup dan peradaban manusia, tetapi tema itu lenyap dalam pembahasan soal hak-hak reproduksi yang berangkat dari otonomi perempuan atas tubuhnya.

Ngaji Seksualitas itu dilakukan sekali dalam sebulan, dihadiri oleh 7 sampai 10 para pembaca dan pecinta kitab klasik, berlangsung hampir sepanjang tahun. Sangat mencengangkan bagi saya bahwa pandangan-pandangan dan argumentasi yang bersifat diskursif dalam kitab klasik soal seksualitas begitu kaya, luas, ragam, terbuka dan jauh dari watak judgemental. Dari pengalaman itu saya menyimpulkan bahwa tampaknya, sumber masalah ketabuan bicara seksualitas bukan pada terbatasnya khasanah pemikiran Islam melainkan pada hilangnya tradisi pemikiran yang terbuka akibat meluasnya pendekatan yang lebih berwatak jurisprudensi dan kanunik. Kodifikasi hukum mengubah cara berpikir dari tradisi keilmuan fikih yang terbuka, ragam, tidak mengikat, menjadi tertutup, seragam dan mengikat.

Khazanah Islam terkait isu seksualitas sangat luas, demikian juga metodologi untuk memahaminya. Namun tradisi pemikiran klasik Islam yang sejatinya sanggup melahirkan pemikiran yang luas ragam dan terbuka itu secara historis mandeg dan redup tatkala umat Muslim masuk ke era penjajahan. Penjajahan ini bukan saja mematikan tradisi pemikiran Islam dengan watak eksploratif dan progresif, melainkan menundukkan cara berpikir itu menjadi kanunik, berwatak hukuman dan tertutup.

Pada kenyataannya seluruh negara-negara Islam mengalami penjajahan yang sangat dipengaruhi oleh tradisi hukum yang curiga dan tertutup dalam membahas isu seksualitas. Padahal hukum pada kenyatannya bukanlah sebuah nilai yang netral dan terbuka, melainkan bias dan tertutup serta bersifat mengikat.

Isu seksualitas pada kenyataannya terus berkembang. Karenanya ia juga harus terbuka pada pandangan-pandangan yang dapat menjawab problem-problem terbarukan. Hal ini hanya dimungkinkan ketika sistem itu bersemai dan bersemi dalam masyarakat yang demokratis. Malangnya negara-negara Islam paska kolonial terperosok pada sistem politik yang cenderung otortarian, partiarkh dan moralis dan itu berpengaruh kepada bangunan epistimologi keagamaanya termasuk fikih.

Padahal jika dilihat dalam teks-teks klasik, pandangan Islam tentang seksualitas sebetulnya jauh dari cara pandang serupa itu. Namun ketika memasuki era kontemporer, isu seksualitas dalam Islam telah mengambil tradisi Barat klasik. Ini tentu tak dapat dipisahkan dari masuknya sistem hukum negara penjajahan yang bercokol lama di dunia Islam. Artinya pembahasan isu seksualitas cenderung lebih dekat dengan cara pandang hukum yang kaku sebagaimana berlaku dalam sistem hukum kolonial ketimbang mengambil diskursus Islam klasik yang bersifat terbuka ragam dan tidak judgemental.

Menyadari bahwa isu seksualitas terus berkembang dan perkembangan itu membutuhkan pemikiran -pemikiran baru maka kita mesti juga terbuka untuk membahasanya. Pada waktu yang bersamaan dalam isu seksualitas dan isu keluarga lainnya, umat Islam memiliki peluang untuk mengambil akar diskursus Islam klasik yang tersedia dengan menggunakan metodologi yang juga tersedia sebagaimana juga dilakukan di masa lampau. Karenanya jalan yang dapat ditempuh adalah menggali kembali khazanah pemikiran klasik dengan pendekatan-pendekatan yang terbarukan seperti melihat isu seksualtas dari perspektif keadilan hakiki (istilah Dr Nur Rofiah) dengan memperhatikan persoalan ketimpangan gender di dalamnya.

Dengan cara itu, khasanah kekayaan Islam dapat digunakan untuk kemajuan peradaban dan kemanusiaan yang dapat ditunjukkan dalam pembahasan isu yang paling penting dalam relasi antar manusia: isu seksualitas. Ngaji Seksualitas! Siapa takut?

Lies Marcoes, 21 Juni 2020.

rumah kitab

Merebut Tafsir: Covid-19 – Mengambil Jarak “Yes”, Mengucilkan “No”

Oleh Lies Marcoes

Kompas TV memberitakan, ratusan warga mencegat ambulans bahkan dengan ancaman hendak membakarnya dan mengeluarkan paksa jenazah warga yang wafat terpapar covid-19. ( Kompas TV, 17 Juni 2020). Rupanya mereka tak menghendaki warga mereka yang wafat itu dikuburkan dengan prosedur sebagai jenazah covid- 19. Mereka telah melihat dan menerka-nerka betapa berat risiko yang akan dialami warga jika prosesi penguburan dilakukan dengan prosedur covid-19. Mereka akan terus diawasi petugas kesehatan dan gugus tugas covid-19, dan kampung mereka mungkin akan di-lockdown. Akibatnya mereka akan dilarang ke luar rumah/kampung. Mereka merasa mungkin akan dijauhi warga kampung lain bahkan tidak diberi akses melintasi jalan kampung-kampung lain. Bukan hanya akan mengalami pengucilan, pengakuan akan adanya warga yang wafat akibat covid-19 akan berdampak pada terbatasnya akses mereka untuk beraktivitas secara wajar termasuk dalam mencari nafkah.

Di tempat lain, dalam berita yang berbeda, satu keluarga dan para kerabatnya membawa pulang paksa jenazah covid-19 dari sebuah rumah sakit dan dipulasara ulang sesuai keyakinan agamanya. Mereka khawatir pemulasaraan jenazah di rumah sakit itu tak sesuai dengan tata cara agama yang mereka anut mengingat ketika pemulasaraan tak disaksikan pihak keluarga. Mereka juga tak terima jenazah dimasukkan ke dalam peti sesuai yang diasosiasikan dengan tata cara pemulasaraan agama lain. Keluarga itu khawatir mereka akan dikucilkan akibat pemulasaraan jenazah yang tidak sesuai dengan tata cara agama yang diyakini.

Dua peristiwa itu menurut saya membutuhkan solusi. Sebab “pengambil alihan” jenazah serupa itu sangat berisiko. Dikabarkan, 15 orang yang terlibat dalam proses memandikan dan mengkafani jenazah itu kemudian dinyatakan positif covid-19 dan kampung tempat mereka tinggal menjadi klaster yang diawasi.

Ketika kuliah di Medical Anthropology di Amsterdam kami membahas tema-tema serupa ini dalam pelajaran epidemiologi yang dilihat dalam isu kebudayaan. “Sakit” ternyata tak sekadar keadaan fisik seseorang yang tidak sehat, tetapi di dalamnya terdapat nilai-nilai tradisi, adat, budaya, dan cara pikir yang menyebabkan penyakit itu melahirkan persoalan lain, antara lain prasangka dan stigma.

Stigma paling tua dialami oleh penderita kusta atau lepra. Dalam sejarahnya, penyakit kusta atau lepra di Eropa, Timur Tengah, Afrika dan India dan kemudian menyebar di banyak negara tak terkecuali Indonesia. Penyakit ini muncul bersamaan dengan era kolonialisme di abad ke 19. Bakterinya pertama kali ditemukan oleh ilmuwan Swedia tahun 1837. Lalu lintas orang antar benua dalam kerangka kolonialisme telah pula membawa ragam penyakit yang disebabkan oleh bakteri seperti lepra. Pada kenyataannya ini bukan sekadar penanganan penyakit yang disebabkan oleh bakteri “leprae” itu tetapi menghadapi bencana lain yang disebabkan oleh stigma dan ketakutan. Guna mengatasi penyebaran serta sebaliknya menghentikan “perburuan” kepada penderita lepra, upaya pengendaliannya dilakukan pemerintahan kolonial dengan membangun rumah sakit khusus lepra. Ini merupakan sebuah model yang meniru penanganan lepra oleh sebuah ordo dalam agama Katolik yang membangun koloni-koloni Rumah Kusta di pulau-pulau terpencil. Untuk mengurangi stigma dan pengucilan kadang-kadang rumah khusus lepra ini disebut “Rumah Lazar”, mengambil nama Santo Lazarus yang diyakini sebagai pelindung bagi para penderita lepra.

Melampaui isu penyakit, lepra kemudian menjadi sebuah istilah untuk menggambarkan watak kebencian rasial. Lepra digunakan sebagai metafora yang menggambarkan alasan untuk membenarkan pelenyapkan pisik atau politik kelompok lain yang dianggap “liyan” dengan basis ras, etnis, atau pembeda-pembeda lainnya. Meskipun penyakit lepra kini telah dapat dikendalikan dengan pengobatan dan karantina, tetapi metafora kebencian dengan menggunakan istilah lepra terus dipakai sebagai alasan untuk melenyapkan pihak lain.

Dalam sejarah penyakit-penyakit menular, stigma seringkali muncul lebih ganas dari penyakitnya itu sendiri. Hal ini terjadi pada orang dengan HIV misalnya. Freddie Mercury penyanyi legendaris itu harus menyembunyikan penyakitnya hingga hari-hari menjelang kematiannya. Meskipun stigma pada orang dengan HIV tak sekuat pada orang dengan penyakit lepra, tetapi orang harus berpikir beribu kali untuk menyatakan secara publik bahwa seseorang mengidap HIV atau bahkan penyakit yang dianggap biasa saja seperti TBC. Prosedur inform concern kemudian diberlakukan untuk menjaga kerahasiaan seseorang dengan penyakit yang disandangnya.

Stigma lahir bersama mitos dan prasangka. Begitu kuatnya stigma sehingga pihak keluarga pun kerap ikut termakan oleh stigma itu. Mereka melakukan penyangkalan-penyangkalan atau menutup-nutupi jika di dalam suatu keluarga terdapat orang sakit dengan jenis penyakit yang gampang kena stigma. Pengalaman mengajarkan, dampak dari stigma lebih berat dari penyakit itu. Mereka akan dikucilkan, dijauhi dan dimusuhi bahkan dalam waktu yang lama. Sebaliknya pihak keluarga juga menderit rasa malu atau wirang baik oleh asal usul penyakit atau penyebabnya. Kebiasaan memasung orang dengan gangguan kejiwaan merupakan salah satu bentuk untuk menutupi wirang itu. Begitu juga dengan menyembunyikan anggota keluarga yang mengalami disabilitas fisik atau mental.

Perasaan wirang dalam kaitannya dengan penyakit adalah sebuah prilaku wajar jika mengingat tekanan-tekanan sosial yang dialami meskipun tidak dapat dibenarkan. Sering juga rasa itu merupakan bentuk dari sikap pengecut pada orang sehat di sekitar orang yang sakit. Mereka agaknya tak membayangkan akibatnya yang berlapis-lapis yang akan mereka hadapi jika mereka tak menutupinya.

Saya ingat waktu kecil di kampung, kami dibuat gempar oleh kematian seseorang yang tinggal di gubuk penyimpanan kayu bakar di tengah ladang. Pihak keluarga rupanya menyembunyikan lelaki tua yang merupakan kerabat yang numpang di keluarga itu karena ia menderita TBC akut. Keluarga itu sangat takut tak dapat menggunakan sumur warga. Lebih dari itu mereka malu bahwa dalam keluarga itu ada yang sakit TBC, penyakit orang miskin. Adik kelas saya waktu SMP, meninggal akibat pendarahan dalam upaya orang tuanya menggugurkan kandungan dari hubungan di luar perkawinan. Ia baru 13 tahun ketika itu. Pihak keluarganya telah menyembunyikannya tanpa membawanya ke dokter ketika ia mengalami pendarahan hebat dengan alasan malu.

Perasaan malu, atau takut akan stigma serta dampaknya berupa pengucilan yang disebabkan suatu penyakit ternyata tak hanya dialami oleh sebuah keluarga tempat penderita berasal. Dalam kasus covid-19, perasaan takut diasingkan, berdampak luas kepada warga yang kemudian melahirkan penyangkalan-penyangkalan kolektif. Dalam situasi yang berbeda, hal serupa dilakukan oleh penguasa atas nama stabilitas politik dan ekonomi

Dalam situasi ini, penanganan covid-19 membutuhkan bukan hanya informasi bagaimana penyakit bisa menular dilawan dan diatasi, tetapi juga kejujuran.

Diperlukan penerangan-penerangan yang dapat mengubah cara pandang orang terhadap covid-19 agar tak melahirkan stigma dan pengucilan. Dalam makna ini, penanganan covid-19 jelas tak hanya oleh Kementerian Kesehatan, melainkan oleh para pihak yang terhubung langsung dengan masyarakat seperti Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama. Di sini pula efektivitas cara kerja LSM yang bekerja dalam isu penanggulangan diskriminasi dan ujaran kebencian dapat dibuktikan. Demikian halnya para ahli kebudayaan harus ikut rawe-rawe rantas! Mengambi jarak “yes”, mengucilkan “no”!

Lies Marcoes, 18 Juni 2020.

.

rumah kitab

Merebut Tafsir: Pada akhirnya, memang sendirian

Terbangun dini hari, terbawa hari-hari kemarin, terbangun untuk menyiapkan sahur. Takbir dan beduk telah berhenti. senyap, sunyi.

Saya lahir dari keluarga besar, bersepuluh. Ayah ibuku juga keluarga besar. Hari Raya adalah hari kumpul keluarga. seperti banyak keluarga di Indonesia, kita selalu ingin bersama keluarga, minimal di Hari Raya.

Dalam keluarga Jawa, senantiasa bersama adalah niscaya. Tak hanya mengandung nilai namun secara sosiologis orang Jawa / Sunda dan suku-suku bangsa di Indonesia, atau bahkan Asia kita selalu diajari untuk kumpul bersama, mencari sanak saudara dulu tatkala kita merantau. Kita sejak kecil tak dibiasakan sendiri, kita selalu diajari untuk berbagi dan bersama-sama. Itu adalah nilai dan bahkan hakikat bermasyarakat. “Mangan-ora mangan kumpul”.

Namun ada kalanya bersama-sama, juga menjadi watak dan sikap dalam berprilaku. Orang tak berani bersikap ksatria, bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya sendiri, tak berani menghargai diri sebagai manusia merdeka, sebagai manusia yang bertanggung jawab. Kebersamaan melemahkan dan menghancurkan karsa sendiri.

Suami saya, orang Minang, juga dari keluarga besar, yang rumah gadangnya benar-benar “rumah gadang sambilan ruang”. Ia datang dari keluarga yang mementingkan keluarga, silaturahi, bersama-sama. Ketika saya akan kuliah di Belanda dengan meninggalkan tiga orang anak, ia melihat saya begitu bimbang. Terutama karena dia tak ada di samping saya. Suami saya bagi saya adalah sang patokan, ensiklopedia hidup, tempat saya minta pertimbangan. Tempat saya titip bacaan. Ia mengajarkan kepada saya soal nilai sendiri. Ia mengingatkan, manusia lahir sendiri dan kelak pulang pun sendiri. Meskipun shalat berjamaah, puasa di bulan yang sama ( Ramadhan) buka sahur bersama-sama, naik haji dengan berjuta umat dari seluruh dunia. Tuhan hanya akan menilai amalan, keikhlasan dan ketundukkan kita masing-masing. Tak berombongan, tak berjamaah tak berkloter-kloter, tak bersama-sama.

Tiga tahun lalu sang patokan saya pergi meninggalkan saya sendiri. Malam ini malam Idul Fitri ia seperti mengingatkan kembali, tak perlu sedih dan gentar, kelak kita pun pulang menuju Cahaya sendirian dengan membawa buku rapor sendiri! Selamat Idul Fitri Maaf lahir Batin.

 

Lies Marcoes, 24 Mei 2020.

rumah kitab

Apakah Aisyah Seorang Feminis?

Belakangan ini ada diskusi kecil-kecilan menyangkut pertanyaan apakah Aisyah seorang feminis?

Aisyah r.a. adalah perawi (yang meriwayatkan) hadis Nabi paling terpercaya, salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang memberi kepastian sebagai salah satu mata rantai perawi yang menjamin bahwa suatu hadis benar-benar berasal dari Rasulullah. Sebagai istri Nabi, ia memiliki legitimasi sebagai saksi tentang perilaku dan ucapan Nabi terhadap dirinya, baik sebagai perempuan atau sebagai istri.

Di antara sekian banyak hadis-hadis yang diriwayatkan melalui Aisyah, kita dapat mencari tahu soal perilaku Nabi kepada perempuan. Dari hadis Aisyah, kita mendapatkan gambaran tentang sikap Nabi yang santun, tidak memaksa, mendengarkan, mengakomodasi pendapat pandangan, dan bahkan protes kaum perempuan agar mengakhiri kekerasan suami terhadap istrinya. Atas  perannya itu, oleh kalangan feminis Muslim, Aisyah disebut-sebut sebagai seorang feminis.

Namun sekelompok perempuan lain (dan lelaki), tidak setuju dengan predikat itu. Argumennya, secara historis Aisyah (dan Islam) lahir pada abad ke-7, dan Islam berkembang menjadi sebuah peradaban unggul, sebelum jatuh dan masuk ke era kolonial. Islam telah lebih dulu menempatkan perempuan secara terhormat, setara, dan adil jauh sebelum kalangan feminis Barat memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Kalangan feminis baru bicara keadilan perempuan di penghujung abad 18, di abad 19 dan meluas di abad 20, sementara Aisyah telah lebih dulu 13 abad sebelumnya.

Alasan lain, agaknya terletak pada label feminis dan feminisme itu sendiri. Feminis (orangnya), atau feminisme (cara pandang/filsafat/ideologinya), atau aksi/advokasi feminis (sebagai gerakan sosial, panduan aksi menuju perubahan agar lebih baik bagi perempuan), dianggap sebagai suatu gerakan anti-kemapanan yang berpengaruh negatif kepada perempuan. Feminisme juga dianggap sebagai gerakan kebebasan dari Barat. Kata “Barat” dalam konteks feminisme sering mengandung stigma negatif ketimbang positif. Artinya bisa dianggap kebebasan yang kebablasan, atau dikelompokkan sebagai sekuler, anti-agama serta anti-keluarga.

Faktanya, feminisme memang sebuah gerakan pemikiran sekaligus gerakan sosial yang menggugat dan mengguncang tatanan norma keluarga dan norma sosial serta hubungan-hubungan yang telah mapan yang berlaku dalam sistem masyarakat patriarki (berpusat kepada lelaki).

Feminisme melihat secara kritis kemapanan hubungan-hubungan itu, yang di dalamnya dapat ada upaya melanggengkan posisi subordinat perempuan dengan alasan-alasan takhayul dan misoginis (membenci perempuan); perempuan berasal dari tulang rusuk lelaki (Adam), perempuan lemah fisik, mental dan ingatannya; perempuan kurang akalnya karena setiap bulan haid, perempuan sudah dimuliakan di rumah dan perumahan perempuan merupakan ketentuan Tuhan, perempuan sumber fitnah, atau anggapan perempuan tidak bisa amanah, perempuan tidak bisa memimpin, nilai perempuan separuh lelaki dan seterusnya.

Feminisme juga menyoal secara kritis hal-hal yang dianggap tak perlu lagi dibahas terkait hubungan-hubungan personal (di dunia privat) atau hubungan sosial, politik (di dunia publik) antara lelaki dan perempuan. Padahal tidak sedikit hubungan-hubungan itu memunculkan ketidakadilan meskipun telah dikodifikasikan ke dalam sistem keyakinan agama baik dalam akidah (keyakinan) maupun dalam sistem hukum (fikih, utamanya dalam rumpun fikih keluarga/perdata—ahwal asy syahsiyah).

Hal ketiga yang membuat feminisme ditakuti adalah karena mereka dianggap anti-keluarga. Tapi apa dan bagaimana feminisme bekerja?

Feminisme menyangkut aksi

Dalam pemahaman saya, sederhananya begini. Ketika seseorang atau sekelompok orang (bisa perempuan, atau lelaki tapi umumnya perempuan) mempertanyakan dengan kritis mengapa (ada) perempuan mendapatkan hambatan untuk memperoleh hak-haknya secara adil dengan alasan karena dia perempuan sehingga dengan hilangnya hak-hak itu ia atau mereka mengalami penindasan, maka orang tersebut disebut separuh feminis.

Dikatakan baru separuh feminis sebab, berbeda dari “isme” lainnya, feminisme adalah sebuah sistem berpikir (filsafat) atau cara pandang (perspektif) yang selalu mendialektikakannya dengan aksi untuk perubahan guna mengakhiri penindasan.

Feminisme adalah satu kesatuan tindakan yang dimulai dari berpikir atau bertanya secara kritis mengapa perempuan mengalami penindasan, dilanjutkan dengan aksi untuk mengakhiri penindasan itu. Demikianlah cara kerja feminis—bertanya-tanya, berpikir, membangun, dan menguji teori tentang sebab musabab penindasan, dan melakukan aksi untuk mengakhirinya. Ketika melakukan aksi, inspirasinya bisa dari mana-mana. Feminis Muslim mengambilnya dari ajaran Islam.

Sebagai “isme”, feminisme merupakan pemikiran modern. Ini menyangkut perempuan dan posisinya sebagai warga negara. Pemikiran dan aksi feminisme lahir dalam lintasan sejarah masyarakat modern. Artinya, feminisme berada dalam masyarakat yang telah memiliki aturan bernegara, aturan tentang hubungan rakyat dan negara, ada pemerintahan, ada rakyat, ada sistem parlemen dan ada sistem hukum, dan lain-lain yang berfungsi mengatur atau meregulasi. Masalahnya,  dalam cara mengatur itu perempuan sering tak dikalkulasi dengan ragam alasannya, antara lain alasan yang bersifat takhayul yang datang dari penafsiran manusia atas teks agama.

Kaitan dengan kolonialisme

Berbeda dari sejarah lahir dan munculnya feminisme di Barat, di dunia berpenduduk Muslim seperti Indonesia, Mesir, India beberapa wilayah di Afrika Utara, feminisme lahir bersamaan dengan kesadaran dan perlawanan terhadap penindasan yang disebabkan oleh kolonialisme.

Para feminis di Barat punya persoalannya sendiri. Meski penderitaannya bisa sama dengan perempuan di wilayah kolonial, namun akar masalahnya berbeda. Di Eropa, terkait soal diskriminasi dalam hak mendapatkan upah dan hak bersuara; di Amerika soal serupa sebagaimana di Eropa, namun berakar dari diskriminasi berbasis warna kulit. Pokoknya kontekstual sekali.

Namun meskipun perempuan di Barat tak mengalami persoalan kolonialisme serupa perempuan di negara-negara berpenduduk Muslim, pengalaman perempuan dalam dunia kolonialisme dapat mereka resapi dan pelajari. Muncul kesadaran kritis bahwa penjajahan adalah kejahatan kemanusiaan.

Mereka kemudian ikut melakukan perlawanan dengan menolak kolonialisme seperti yang dilakukan Estella (Stella) Zeehandelaar, seorang penganut feminis kerakyatan di Belanda. Ia mendukung perjuangan Kartini melawan aturan pembatasan bagi perempuan untuk meraih pendidikan bagi kaum perempuan. Perjuangan yang sama dilakukan kaum sosialis di Belanda yang membela hak-hak bagi lelaki kaum Bumi Putera untuk mengakses pendidikan hanya karena mereka bukan aristokrat dan bukan anak pangreh praja (birokrat).

Perempuan-perempuan di dunia jajahan menghadapi praktik diskriminasi berganda. Dari penjajah mereka didiskriminasi dengan memperlakukan rendah kaum jajahannya (baik lelaki maupun perempuan), sementara dari sisi adat dan budaya, perempuan mengalami pengekangan dengan alasan semata-mata karena perempuan dengan atribut-atribut (negatif) sebagai perempuan.

Aisyah adalah inspirasi positif bagi kaum feminis Muslim yang meyakini perempuan berhak atas pendidikan dan untuk pintar seperti Aisyah.

Jadi perjuangan kaum feminis adalah perjuangan bagi kaum perempuan agar mereka mendapatkan hak-haknya. Misalnya hak untuk lahir tanpa disesali hanya karena berkelamin perempuan, hak untuk tidak disunat dengan prasangka demi mengontrol libido seksnya, hak untuk tumbuh dengan mendapatkan gizi tanpa pilih kasih, hak untuk pendidikan dan bersekolah tanpa restriksi, hak untuk mendapatkan informasi yang benar, hak untuk bersuara dan berpendapat dan didengar pendapatnya, hak mendapatkan kedudukan yang setara dalam ragam pekerjaan, hak untuk menolak dikawinkan secara paksa, hak untuk tidak mengalami kekerasan, hak untuk mendapatkan rasa aman di rumah, di komunitas dan di ruang umum/publik, termasuk tidak dilecehkan dalam cara mereka berpakaian (misalnya pakai hijab atau pakai baju di atas lutut), hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif dengan alasan kelamin biologis dan kelamin sosialnya (gender) sebagai perempuan.

Bagi kaum feminis di negara-negara mayoritas Islam, mereka berjuang dengan agenda mereka sendiri: Mengatasi buta huruf, menghentikan praktik sunat, kawin usia anak, mengatasi larangan keluar rumah setelah mencapai usia tertentu, menolak pemaksaan memakai pakaian berdasarkan aturan yang didakukan sebagai kewajiban mutlak, menolak pemasangan kontrasepsi di luar kepentingan tubuh dan kesehatannya, menolak larangan bersekolah dan larangan ikut mengaji di pesantren. Dalam sejarah pesantren, baru pada tahun 1924 perempuan di lingkungan pesantren boleh ikut mengaji kitab di luar baca Al-Quran.

Berkat Kartini, kita semua kaum perempuan secara historis mendapatkan kesempatan pendidikan. Dalam bentuk aksi, gagasan emansipasi itu diteruskan oleh sejumlah tokoh pergerakan dan pendidikan seperti Dewi Sartika dan Rohana Koedoes. Di Muhammadiyah dan NU, pintu pendidikan dibuka bagi perempuan. Bahkan mereka yang kini menolak feminisme pun menerima manfaat dari perjuangan para perintis persamaan hak dalam pendidikan bagi kaum perempuan.

Lalu bagaimana dengan Aisyah? Karena feminisme adalah pemikiran di era modern maka cara membacanya adalah, “Apa pengaruh Aisyah bagi feminisme di dunia Islam?”. Sebab di eranya, feminisme memang jelas tidak (belum) ada, sebagaimana juga isme-isme yang lain yang berkembang di dunia Islam pasca-kolonial: Wahabisme, Salafisme, Sosialisme Arab, dan sejumlah isme yang muncul dalam khazanah politik dunia Islam.

Belakangan isme-isme itu berkembang dan menjadi ideologi dalam dunia modern yang ikut memandu umat Islam untuk keluar dari dunia penjajahan, kemiskinan atau kesulitan ekonomi, politik pada umumnya. Inspirasinya mungkin bercermin dari dua periode zaman Nabi yaitu periode Makkah dan Madinah.

Bagi kaum feminis Muslim, mereka juga mengambil inspirasi dari ajaran agama Islam baik dari elemen tasawuf, sejarah politik kekuasaan maupun dari teks-teks suci seperti Al-Quran/ tafsir, hadis, dan dari kodifikasi hukum Islam (fikih ). Ini tak ada bedanya dengan mereka yang menolak feminisme dalam dunia Islam. Mereka juga mengambil inspirasi dari sumber-sumber ajaran Islam tadi yang mereka sebut Islam sebagai world view.

Ada pun Aisyah, atau sahabat Nabi yang lain atau Nabi Muhammad sendiri, bagi kedua kelompok itu merupakan teks yang dibaca dan ditafsirkan. Aisyah dan sejarah Nabi serta teks-teks keagamaan terutama Al-Quran dan hadis menjadi sumber rujukan bagi mereka untuk menemukan ajaran, nilai, pedoman untuk menentukan apakah menerima atau menolak feminisme, apakah perempuan perlu diperjuangkan hak-haknya atau dibiarkannya tunduk pada ragam alasan yang menindasnya.

Selanjutnya tinggal bergantung kepada metodologi (manhaj) dalam mendekati rujukan atau teks itu. Bagi kalangan feminis, terutama yang menekuni kajian hadis dan sejarah Islam di periode awal, melihat Aisyah adalah sebagai teladan yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang sederajat dengan lelaki dalam menerima amanah sebagai perawi hadis.

Aisyah adalah contoh perempuan yang bisa memimpin peperangan untuk menegakkan hal yang ia percayai sebagai kebenaran, Aisyah adalah teladan dalam menolak perkawinan paksa. Aisyah adalah inspirasi positif bagi kaum feminis Muslim yang meyakini perempuan berhak atas pendidikan dan untuk pintar seperti Aisyah.

Bekal yang dimiliki kaum feminis Muslim adalah keyakinan bahwa Allah meletakkan secara setara antara lelaki dan perempuan dan Allah menjanjikan pahala dan hukuman setimpal bagi lelaki atau perempuan. Namun melalui seperangkat metodologi dan tools yang dikembangkan dalam ilmu pengetahuan dan advokasi, kaum feminis Muslim memastikan bahwa sistem yang bekerja dalam negara tidak boleh diskriminatif berdasarkan prasangka jenis kelamin. Di sanalah konsep keberpihakan digunakan sebagai pijakan kesadaran kritis itu.

Dengan pengertian itu, bagi saya, menyebut Aisyah bukan (sumber inspirasi) feminis merupakan sebuah pemahaman yang ahistoris. Kenyataannya, banyak yang memperjuangkan hak-hak perempuan sebagaimana diajarkan dalam prinsip agama Islam telah mengambil teladan dan inspirasi dari Aisyah.

 

Lies Marcoes, 5 Mei 2020

rumah kitab

Merebut Tafsir: Feminiskah Aisyah?

Oleh Lies Marcoes

Belakangan ada diskusi kecil-kecilan menyangkut pertanyaan apakah Aisyah seorang feminis?
Aisyah r.a., adalah perawi hadis Nabi paling terpercaya, salah seorang sahabat Nabi yang memberi kepastian sebagai salah satu mata rantai perawi yang menjamin bahwa suatu hadis benar-benar berasal dari Rasulullah. Aisyah adalah istri Nabi dan karenanya memiliki legitimasi sebagai saksi tentang perilaku dan ucapan Nabi terhadap dirinya baik sebagai perempuan atau sebagai istri. Di antara sekian banyak hadis-hadis yang sanadnya melalui Aisyah, tentu kita dapat mencari tahu soal perilaku Nabi kepada perempuan. Dari hadis Aisyah kita mendapatkan gambaran tentang sikap Nabi yang santun, tidak memaksa, mendengarkan, mengakomodasi pendapat pandangan dan bahkan protes kaum perempuan agar mengakhiri kekerasan suami terhadap istrinya. Atas “peran”nya itu, oleh kalangan feminis Muslim, Aisyah disebut-sebut sebagai seorang feminis.

Namun sekelompok perempuan lain (dan lelaki), tidak setuju dengan predikat itu. Argumennya, secara historis Aisyah (dan Islam) lahir abad ke 7, Islam berkembang menjadi sebuah peradaban unggul, sebelum jatuh dan masuk ke era kolonial. Islam telah lebih dulu menempatkan perempuan secara terhormat, setara dan adil jauh sebelum kalangan feminis Barat memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Kalangan feminis baru bicara keadilan perempuan di penghujung abad 18, di abad 19 dan meluas di abad 20, sementara Aisyah telah lebih dulu di abad ke 7.

Alasan lain, agaknya terletak pada label feminis dan feminisme itu sendiri. Feminis (orangnya) atau feminisme ( cara pandang/ filsafat/ ideologinya) atau aksi/advokasi feminis (sebagai gerakan sosial, panduan aksi menuju perubahan agar lebih baik bagi perempuan), dianggap sebagai suatu gerakan anti kemapanan yang berpengaruh negatif kepada perempuan. Feminisme juga dianggap sebagai gerakan kebebasan dari Barat. Kata “Barat” dalam konteks feminisme sering mengandung stigma negatif ketimbang positif. Artinya, bisa dianggap bebas-bebasan yang kebablasan, atau dikelompokkan sebagai sekuler, anti agama serta anti keluarga.

Nyatanya feminisme memang sebuah gerakan pemikiran sekaligus gerakan sosial yang menggugat dan mengguncang tatanan norma keluarga dan norma sosial serta hubungan-hubungan yang telah mapan yang berlaku dalam sistem masyarakat patriarki (berpusat kepada lelaki). Sebab feminisme melihat SECARA KRITIS kemapanan hubungan-hubungan itu yang didalamya DAPAT mengandung pelanggengan posisi subordinat perempuan dengan alasan-alasan takhayul dan misoginis (membenci perempuan); perempuan berasal dari tulang rusuk lelaki (Adam), perempuan lemah fisik, mental dan ingatannya; perempuan kurang akalnya karena setiap bulan haid, perempuan sudah dimuliakan di rumah dan perumahan perempuan merupakan ketentuan Tuhan, perempuan sumber fitnah, atau anggapan perempuan tidak bisa amanah, perempuan tidak bisa memimpin, nilai perempuan separuh lelaki dan seterusnya.

Feminisme juga menyoal SECARA KRITIS hal-hal yang dianggap tak perlu lagi dibahas terkait hubungan -hubungan personal ( di dunia privat) atau hubungan sosial, politik ( di dunia publik) antara lelaki dan perempuan. Padahal tak sedikit hubungan-hubungan itu memunculkan ketidakadilan meskipun telah dikodifikasikan ke dalam sistem keyakinan agama baik dalam aqidah (keyakinan) maupun dalam sistem hukum ( fiqh utamanya dalam rumpun fiqh keluarga/perdata – ahwal asy syahsiyah).

Hal ketiga yang membuat feminisme ditakuti adalah karena mereka dianggap anti keluarga.

Tapi apa dan bagaimana feminisme bekerja? Dalam pemahaman saya, sederhananya begini. Ketika seseorang atau sekelompok orang (bisa perempuan, atau lelaki tapi umumnya perempuan) mempertanyakan dengan KRITIS, mengapa (ada) perempuan mendapatkan hambatan untuk memperoleh hak-haknya secara adil dengan alasan KARENA DIA PEREMPUAN sehingga dengan hilangnya hak-hak itu ia/ mereka mengalami penindasan, maka orang tersebut disebut SEPARUH feminis.

Dikatakan baru separuh feminis, sebab, berbeda dari “isme” yang lain, FEMINISME adalah sebuah sistem berpikir (filsafat) atau cara pandang (perspektif) yang SELALU mendialektikakannya dengan AKSI untuk perubahan guna MENGAKHIRI penindasan. Feminisme adalah satu kesatuan tindakan yang dimulai dari berpikir /bertanya secara kritis mengapa perempuan mengalami penindasan, dilanjutkan dengan AKSI untuk mengakhiri penindasan itu. Demikianlah cara kerja feminis – bertanya-tanya, berpikir, membangun dan menguji teori tentang sebab musabab penindasan, dan melakukan aksi untuk mengakhirinya. Ketika melakukan AKSI inspirasinya bisa dari mana-mana. Feminis Muslim mengambilnya dari ajaran Islam.

Sebagai “isme” feminisme merupakan pemikiran modern. Ini menyangkut perempuan dan posisinya sebagai WARGA NEGARA. Pemikiran dan aksi feminisme lahir dalam lintasan sejarah masyarakat modern. Artinya feminisme berada dalam masyarakat yang telah memiliki aturan bernegara; aturan tentang hubungan rakyat dan negara, ada pemerintahan, ada rakyat, ada sistem parlemen dan ada sistem hukum dan lain-lain yang berfungsi mengatur/meregulasi. Masalahnya dalam cara mengatur itu perempuan sering tak dikalkulasi dengan ragam alasannya, antara lain alasan yang bersifat takhayul yang datang dari penafsiran manusia atas teks agama.

Berbeda dari sejarah lahir dan munculnya feminisme di Barat, di dunia berpenduduk Muslim seperti Indonesia, Mesir, India beberapa wilayah di Afrika Utara, feminisme lahir bersamaan dengan kesadaran dan perlawanan terhadap penindasan yang disebabkan oleh kolonialisme. Para feminis di Barat punya persoalannya sendiri. Meski penderitaannya bisa sama dengan perempuan di wilayah kolonial, namun akar masalahnya berbeda. Di Eropa, terkait soal diskriminasi dalam hak mendapatkan upah dan hak bersuara; di Amerika soal serupa sebagaimana di Eropa namun berakar dari diskriminasi berbasis warna kulit. Pokoknya kontekstual sekali. Namun meskipun perempuan di Barat tak mengalami persoalan kolonialisme serupa perempuan di negara-negara berpenduduk Muslim, pengalaman perempuan dalam dunia kolonialisme dapat mereka resapi dan pelajari. Muncul kesadaran kritis bahwa penjajahan adalah kejahatan kemanusiaan. Mereka kemudian ikut melakukan perlawanan dengan menolak kolonialisme seperti yang dilakukan Estella (Stella) Zeehandelaar, seorang penganut feminis kerakyatan di Belanda. Ia mendukung perjuangan Kartini melawan aturan pembatasan bagi perempuan untuk meraih pendidikan bagi kaum perempuan. Perjuangan yang sama dilakukan kaum sosialis di Belanda yang membela hak-hak bagi lelaki kaum Bumi Putera untuk mengakses pendidikan hanya karena mereka bukan aristokrat dan bukan anak “pangreh praja” (birokrat).

Perempuan-perempuan di dunia jajahan menghadapi praktik diskriminasi berganda: dari penjajah mereka didiskriminasi dengan memperlakukan rendah kaum jajahannya (baik lelaki maupun perempuan), sementara dari sisi adat dan budaya perempuan mengalami pengekangan dengan alasan semata-mata karena perempuan dengan atribut-atribut (negatif) sebagai perempuan.

Jadi perjuangan kaum feminis adalah perjuangan bagi kaum perempuan agar mereka mendapatkan hak-haknya. Misalnya hak untuk lahir tanpa disesali hanya karena berkelamin perempuan, hak untuk tidak disunat dengan prasangka demi mengontrol libido seksnya, hak untuk tumbuh dengan mendapatkan gizi tanpa pilih kasih, hak untuk berpendidikan dan bersekolah tanpa restriksi, hak untuk mendapatkan informasi yang benar, hak untuk bersuara dan berpendapat dan didengar pendapatnya, hak mendapatkan kedudukan yang setara dalam ragam pekerjaan, hak untuk menolak dikawinkan secara paksa, hak untuk tidak mengalami kekerasan, hak untuk mendapatkan rasa aman di rumah, di komunitas dan di ruang umum/publik, termasuk tidak dilecehkan dalam cara mereka berpakaian (misalnya pakai hijab atau pakai baju di atas lutut), hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif dengan alasan kelamin biologis dan kelamin sosialnya (gender) sebagai perempuan.

Bagi kaum feminis di negara-negara mayoritas Islam, mereka berjuang dengan agenda mereka sendiri: mengatasi buta huruf, menghentikan praktik sunat, kawin usia anak, mengatasi larangan keluar rumah setelah mencapai usia tertentu, menolak pemaksaan memakai pakaian berdasarkan aturan yang didakukan sebagai kewajiban mutlak, menolak pemasangan kontrasepsi di luar kepentingan tubuh dan kesehatannya, menolak larangan bersekolah dan larangan ikut ngaji di pesantren. Dalam sejarah pesantren, hanya baru 1924 perempuan di lingkungan pesantren boleh ikut ngaji kitab di luar baca Al Qurian.

Berkat RA Kartini, kita semua kaum perempuan SECARA HISTORIS mendapatkan kesempatan pendidikan. Dalam bentuk AKSI, gagasan emansipasi itu diteruskan oleh sejumlah tokoh pergerakan dan pendidikan seperti R.Dewi Sartika, Rohana Koedoes dll. Di Muhammadiyah dan NU, pintu pendidikan dibuka bagi perempuan. Bahkan mereka yang kini menolak feminisme pun menerima manfaat dari pejuangan para perintis persamaan hak dalam pendidikan bagi kaum perempuan.

Lalu bagaimana dengan Aisyah r.a.? Karena feminisme adalah pemikiran di era modern maka cara bacanya adalah “apa pengaruh Aisyah bagi feminisme di dunia Islam”?. Sebab di eranya feminisme memang jelas tidak (belum) ada, sebagaimana juga isme-isme yang lain yang berkembang di dunia Islam paska kolonial: Wahabisme, Salafisme, Sosialisme Arab dan sejumlah isme yang muncul dalam khazanah politik dunia Islam. Belakangan isme-isme itu berkembang dan menjadi ideologi dalam dunia modern yang ikut memandu umat Islam untuk keluar dari dunia penjajahan, kemiskinan atau kesulitan ekonomi, politik pada umumnya. Inspirasinya mungkin bercermin dari dua periode zaman Nabi yaitu periode Mekkah dan Madinah.

Bagi kaum feminis Muslim mereka juga mengambil inspirasi dari ajaran agama Islam baik dari elemen tasawuf, sejarah politik kekuasaan maupun dari teks-teks suci seperti al Qur’an / tafsir, hadis dan dari kodifikasi hukum Islam (fiqh). Ini tak ada bedanya dengan mereka yang menolak feminisme dalam dunia Islam. Mereka juga mengambil inspirasi dari sumber-sumber ajaran Islam seperti Al Qur’an / tafsir, hadis dan kodifikasi hukum Islam yang mereka sebut Islam sebagai worldview. Adapun Aisyah, atau sahabat Nabi yang lain atau Nabi Muhammad Saw sendiri, bagi kedua kelompok itu merupakan TEKS yang dibaca dan ditarfsirkan. Aisyah dan sejarah Nabi serta teks-teks keagamaan terutama Al-Quran dan Hadis menjadi sumber rujukan bagi mereka untuk menemukan ajaran, nilai, pedoman untuk menentukan apakah menerima atau menolak feminisme; apakah perempuan perlu diperjuangkan hak-haknya atau dibiarkannya tunduk pada ragam alasan yang menindasnya.

Selanjutnya tinggal bergantung kepada METODOLOGI (manhaj) dalam mendekati rujukan/ teks itu. Bagi kalangan feminis, terutama yang menekuni kajian hadis dan sejarah Islam di periode awal, melihat Aisyah r.a. adalah sebagai teladan yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang sederajat dengan lelaki dalam menerima amanah sebagai perawi hadis. Aisyah adalah contoh perempuan yang bisa memimpin peperangan untuk menegakkan hal yang ia percayai sebagai kebenaran, Aisyah adalah teladan dalam menolak perkawinan paksa, Aisyah adalah inspirasi positif bagi kaum feminis Muslim yang meyakini perempuan berhak atas pendidikan dan untuk pintar seperti Aisyah. Bekal yang dimiliki kaum feminis Muslim adalah keyakinan bahwa Allah meletakkan secara setara antara lelaki dan perempuan dan Allah menjanjikan pahala dan hukuman setimpal bagi lelaki atau perempuan. Namun melalui seperangkat metodologi dan tools yang dikembangkan dalam ilmu pengetahuan dan advokasi, kaum feminis Muslim memastikan bahwa sistem yang bekerja dalam negara tidak boleh diskriminatif berdasarkan prasangka jenis kelamin. Di sanalah konsep kepemihakan digunakan sebagai pijakan kesadaran kritis itu.

Dengan pengertian itu, bagi saya, menyebut Aisyah bukan (sumber inspirasi) feminis merupakan sebuah pemahaman yang a-historis. Kenyataannya banyak yang memperjuangkan hak-hak perempuan sebagaimana diajarkan dalam prinsip agama Islam telah mengambil teladan dan inspirasi dari Aisyah r.a.

Lies Marcoes,5 Mei 2020.

rumah kitab

Merebut Tafsir: Nasi Anjing

Oleh Lies Marcoes

Beberapa waktu lalu jagad media dihebohkan berita “Nasi Anjing” di tengah ketegangan berita penyebaran virus corona. Dikabarkan, warga di bilangan Jakarta Utara mendapatkan bingkisan nasi yang di dalam kertas bungkusnya terdapat cap kepala anjing dan tulisan “ Nasi Anjing”. Geger, tentu saja. Orang segera menduga-duga dengan berbagai skenario. Salah satunya ditafsirkan sebagai upaya menebar ketegangan dan adu domba.

Di luar kalkulasi politik tingkat tinggi, saya menangkap ada yang benar-benar tidak beres dalam soal hubungan antar suku, ras dan agama. Tapi andai saja nasi bungkus itu diletakan orang di depan pintu rumah kami, kecurigaan bahwa saya diberi hantaran nasi dengan lauk daging anjing pun niscaya terbersit. Minimal saya misuh-misuh dan segera membuangnya ke sampah. Belakangan, atas penelusuran pihak “berwajib” diketahui bahwa itu benar-benar nasi bungkus yang sehat, bersih dan halal dengan lauk ayam goreng (!) dan tidak ada keratan daging yang bisa dicurigi sebagai daging anjing. Di beritakan bahwa penyumbang hanya ingin menyatakan bahwa nasi itu bukan “nasi kucing” yang cuma sejumput dengan lauk sederhana. Ketika disebut “nasi kucing” orang tak tak mengasosiasikannya sebagai nasi dengan lauk daging kucing, lalu kenapa “nasi anjing” dipersoalkan, kira-kira begitu logikanya. Ditambahkan bahwa anjing adalah binatang yang baik, setia dan untuk banyak orang, seperti kucing, anjing adalah binatang rumah yang nyaman untuk disayang-sayang.

Namun di balik itu semua drama “nasi anjing: ini menyimpan pembelajaran penting. Dari peristiwa ini dapat dipetik pelajaran berharga yaitu soal sensitivitas dan ignorance (bukan sekedar tidak tahu tapi soal sikap naif dan polos atau tidak mau tahu). Di atas itu semua saya menangkap ada jurang menganga dalam membangun kesepamahaman soal keragaman.

Siapapun tak akan ada yang sanggup membantah, negeri seribu pulau sejuta ragam budaya ini adalah anugerah yang tak terhingga bagi kekayaan dunia yang menggambarkan asimilasi panjang antara benua, antar negeri, antar budaya, antar agama dan tradisi yang datang dari bentangan seluruh penjuru angin. Hasilnya adalah sebuah negeri yang elok dengan keragaman suku budaya tradisi adat agama lengkap dengan flora dan faunanya di atas hamparan pulau zamrud khatulistiwa.

Penjajah datang ke negeri ini dengan sebuah rezim pengaturan tata hubungan masyarakat dengan anggapan keragaman adalah ancaman terutama rentan memunculkan konflik dan karenanya harus diatasi. Dalam pikiran penjajah, konflik bukan hanya berbiaya mahal tetapi juga mengancam stabilitas kekuasaan mereka. Dalam setiap kekuasaan ada dua cara untuk “mengatasi” konflik: cara gampang- konflik ditumpas, diminimalisir dan distigma bahwa konflik adalah sebab masalah, atau cara tak gampang – konflik dikelola dengan menghadirkan (sistem) hukum yang sensitif pada keragaman. Pada yang kedua, konflik diterima sebagai fakta dan pengakuan atas keragaman yang perlu ruang untuk dibicarakan. Cara kedua meyakini konflik adalah penanda adanya hal-hal yang tak beres terkait rasa keadilan. Pada cara pandang itu konflik diterima sebagai penanda yang harus didengar terkait keadilan. Sementara pada yang pertama, konflik dianggap sebagai biang kerok masalah. Adanya konflik dianggap sebagai pembangkangan kepada kekuasaan.

Ketika negeri ini dibangun bersama dalam sebuah cita-cita Indonesia yang merdeka, cara kedua telah dipilih sebagai jalan. Karenanya demi Indonesia yang adil dan makmur yang dilandasai oleh ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab, kita senantiasa akan bermusyawarah sampai menemukan kemufakatan atas dasar persatuan dan keadilan sosial.

Namun (sayangnya), pada perkembangan berikutnya, ketika fondasi bangsa majemuk ini belum benar-benar “teteg” kokoh, negeri ini keburu di bawa ke rezim tentara yang meyakini bahwa konflik adalah akar masalah dan ancaman dan sama sekali tak dipahami sebagai penanda tak tercapainya kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat. Demi apa yang sekarang disebut “pembangunan”, anugerah terbaik dari negeri ini yaitu keragaman telah distigma dan dianggap sebagai beban dan ancaman. Karenanya, segala perbedaan lalu dikontrol dan dimasukkan kedalam sebuah lubang ranjau yang disebut ancaman subversif, dibawah politik palu gada SARA.

Bangsa yang keragamannya luar biasa ini dikerangkeng kedalam larangan-larangan atas nama keamanan demi pembangunan. Pelan-pelan anak negeri ini diajari untuk tak boleh berbeda dan tak boleh dinyatakan keberbedaannya. Namun yang lebih celaka adalah, atas nama itu semua kita menjadi ignorant, tidak tahu dan tidak mau tahu tentang orang lain.

Saya teringat, ketika sudah kuliah di IAIN/UIN saya diundang makan oleh sebuah keluarga yang kebetulan beragama Katolik. Ketika hendak makan, salah seorang anggota keluarga yang duduk di depan saya tiba- tiba memejamkan mata dan menunduk. Dengan bodohnya saya berkomentar” wah mau makan kok malah tidur”. Si Ibu yang ada di samping saya setengah berbisik berkata “ Eh itu sedang berdoa”. Bayangkan, ketika itu saya sudah hampir wisuda dalam jurusan “Perbandingan Agama”, tata cara berdoa agama lain saya tak tahu!

Perihal “nasi anjing” yang kita bahas di atas, bagi saya itu bukanlah soal ketidaktahuan (ignorance). Tapi kita telah terlalu lama dibuat tidak tahu, tidak mau tahu, tidak peduli atas (keyakinan,dan hal sensitif) bagi orang lain. Kita tidak dikenalkan lagi pada sensitvitas atas keragaman. Dan itu karena telah lama dihadapkan kepada bayangan setan yang diciptakan penguasa yang terus menerus meyakini keragaman adalah ancaman!.

#Lies Marcoes, I Mei 2020- Selamat Ulang Tahun Reza Maulana Natsir!

rumah kitab

Merebut Tafsir: Ikhtiar setelah Isolasi Mandiri 14 hari

Menjelang sahur hari kedua, sebaris pesan dari asisten program officer (APO) program pencegahan kawin anak di daerah X masuk. “Bu, Pak A positif kena covid 19″. Tentu berita itu mengagetkan. Pak A punya posisi penting dalam advokasi kami. Ia memiliki jabatan strategis, berpendidikan bagus, pintar dan terbuka, dan punya kehendak untuk perubahan di wilayahnya. Dengan posisi yang dimilikinya niscaya dia cukup mendapatkan informasi bagaimana cegah tangkal covid 19.

Berita WA itu berlanjut setelah saya menyatakan keterkejutan. ” Padahal beliau sudah menjalani isolasi mandiri 14 hari” balas sang APO. “Lalu? ” tanya saya. ” Iya Bu setelah itu beliau ngantor seperti biasa, kondangan karena mau puasa banyak yang hajatan, Jumatan, dan pertemuan-pertemuan lain seperti biasa”. “Lha ini”…seru saya.

Saya kira, warga banyak yang patuh mengikuti anjuran pemerintah untuk isolasi mandiri 14 hari, namun banyak yang tak paham artinya “isolasi mandiri 14 hari”. Disangkanya seperti habis puasa menahan diri 14 hari setelah itu Lebaran, bebas makan/keluar semaunya.

Saya menulis pesan panjang soal inti kegunaan isolasi mandiri 14 hari kepada sang APO untuk disampaikan ke jaringan pencegahan perkawinan anak di daerahnya.

Setelah 14 hari melakukan isolasi mandiri, dan ternyata TAK TAMPAK GEJALA, maka artinya orang yang menjalani isolasi itu KEMUNGKINAN sehat dari covid 19. Perjuangan selanjutnya justru itu yang paling penting. IKHTIAR UNTUK TETAP DALAM STATUS SEHAT setelah 14 hari isolasi.

Jangka waktu 14 hari seharusnya dipahami sebagai cara sederhana mengecek sendiri apakah ada gejala infeksi atau tidak: batuk, demam, sakit tenggorokan, sesak dan seterusnya.

Jika ternyata tak ada gejala, maka berikutnya adalah IKHTIAR untuk tetap menjaga untuk tetap SEHAT. Caranya telah berulang kali dijelaskan oleh pemerintah dan banyak pihak : jaga jarak dari orang/tidak bersentuhan atau disentuh seperti salaman,cipika cipiki, selalu cuci tangan pakai sabun di bawah air yang mengalir minimal selama 20 detik, selalu memastikan barang yang telah/bekas dipegang orang lain (kunci, pulpen, berkas surat, dokumen, kantong plasik, bungkusan, apapun) senantiasa diseka dengan lap/tisu disinfektan sebelum dipegang, atau sebaliknya segera cuci tangan setelah memegang benda-benda yang disentuh orang lain. Istiqomah pakai masker setiap waktu jika terpaksa harus bertemu orang atau datang ke kerumunan, banyak minum dengan ketentuan tempat minumnya tak berbagi (ibu/bapak dengan anak atau sebaliknya), tidak menyentuh muka, mata, mulut, hidung langsung dengan tangan, jika perlu gunakan alat (garpu steril/yang sering dilap alkohol/disinfektan).

Setelah 14 hari isolasi, disitulah sebetulnya jihad kita. Seperti orang habis puasa, menahan diri yang paling penting justru setelah lebaran. Setelah 14 hari isolasi itu perjuangan keras melawan covid 19 bagi setiap orang harus berlangsung. Terus waspada untuk tak memindahkan virus itu melalui media perantara baik langsung (bersin batuk,meludah, buang ingus dll) yang cairannya menerpa ke muka. Atau melalui perantara benda yang sudah dihinggapi covid 19.

Perjuangan atau jihad ini yang harus dilakukan TERUS MENERUS sepanjang waktu sampai pemerintah sebagai lembaga yang memiliki seperangkat instrumen untuk membuktikan virus telah hilang, kita baru Lebaran bebas covid 19, bebas dari puasa isolasi lanjutan.

Jadi jihad melawan covid 19 yang lebih berat dan karenanya harus sabar dan waspada adalah justru SETELAH ISOLASI MANDIRI 14 HARI lulus.

 

Lies Marcoes, 25 April 2020.

rumah kitab

Merebut Tafsir : Pijar itu Arief Budiman

Oleh Lies Marcoes

Tahun 1985, gagasan tentang gender mulai mengemuka di negeri ini. Namun referensi berbahasa Indonesia belum banyak dan tak memadai. Pemahaman tentang konsep gender (tanpa mau mengakui hubungannya yang erat dengan filsafat dan pemikiran feminisme ketika itu ) saya kumpulkan melalui serpihan-serpihan referensi atau dari diskusi-diskusi parsial.

Adalah buku Arief Budiman “Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat” yang pertama kali memberi pijar petunjuk jalan bagi saya untuk memahami secara lebih komprehensif mengapa gender diperlukan sebagai paradigma untuk membaca realitas manusia- lelaki dan perempuan. Dalam buku itu Arief memperkenalkan konsep nurture dan culture sebagai dua aspek yang mengkonstruksikan secara sosial untuk “menjadi” lelaki dan perempuan. Ternyata bukan hanya aspek biologis dan asuhan (nurture) yang menjadikan seseorang itu disebut lelaki atau perempuan, tetapi juga culture.

Dalam perkembangannya kita tahu yang dimaksud oleh Pak Arief adalah pembagian kerja secara gender. Kata “seksual” dimaksud adalah identitas kelamin kultural atau gender yang dibangun oleh sejarah manusia dan dibedakan dari seks (biologis).

Dalam keyakinan Islam, terputus amal seseorang setelah wafat kecuali, – antara lain- ilmu yang bermanfaat. Pak Arief Budiman telah meninggalkan puluhan buku yang niscaya menjadi pijar penunjuk bagi banyak orang untuk tetap lempang dan kritis. Dan salah satunya ia mewariskan buku yang saya yakin berpengaruh sangat besar atas lahirnya paradigma feminisme dan alat analisis gender yang berguna untuk mengkritisi pembangunan yang kerap abai kepada kebutuhan kaum perempuan, baik karena buta atau bias. buku-buku yang kemudian menjadi pijar penunjuk jalan bagi banyak orang di dunia, dan ini adalah amalan yang langgeng yang mengalir deras bagi Pak Aref Budiman Insya Allah. Innalillahi wainna ilaihi raajiun. Selamat jalan Pak Arief. Salam buat Soe Hok Gie dan Ismed Natsir ya Pak.

Lies Marcoes, 24 April 2020.

rumah kitab

Merebut Tafsir: Karena Angka Tak Bicara Realitas

Oleh Lies Marcoes

Angka adalah angka. Itu benar. Tapi Ilmu pengetahuan sosial membaca beda dengan ilmu tentang angka-angka. Sebab angka tak bicara kenyataan. Ketika seekor nyamuk menggigit seseorang dan orang itu tewas karena ternyata itu nyamuk DBD, statistik akan mencatat, satu orang tewas terkena DBD. Namun ilmu-ilmu sosial antropologi akan bertanya , 1 orang tewas akibat DBD itu berapa yang terdampak dari kematian itu?

Lalu ilmu sosial antropologi yang menggunakan perspektif feminis akan bertanya lebih jauh, ketika yang mati akibat DBD itu perempuan, mengapa perempuan lebih rentan terhadap DBD? Apakah ia mengalami kurang gizi, apakah karena sakit demam pada perempuan dianggap biasa? Lalu setelah terjadi kematian, ilmu sosial antropologi itu akan bertanya apa implikasinya bagi keluarga yang ditinggalkan ketika seorang perempuan/ibu wafat?

Sudah lama, ilmu pengetahuan menyoal angka nominal yang disajikan sebagai data dalam pembangunan. Sebab angka tak bicara realitas. Satu perempuan yang wafat akibat kekerasan di rumah tangganya, maka sesungguhnya satu entitas perempuan di seluruh dunia apapun suku, agama, ras, keadaan ekonomi dan umurnya sedang terancam kematian akibat kekerasan dalam rumah tangga.

Ragam metodologi dan metode penelitian bolak balik membuktikan, angka tak bicara fakta. Satu orang perempuan mengalami kekurangan gizi akibat stunting, maka satu generasi di bawahnya akan menjadi beban bagi pembangunan. Dari satu orang yang mengalami stunting kita dapat bertanya ia mendapat asupan apa saja ketika ibunya hamil dan selama ia balita? Hal yang pasti ia dan anak yang kelak akan dilahirkan niscaya akan mengalami defisit ketahanan tubuhnya serta kemampuan otaknya. Demikian juga satu orang anak yang dikawinkan dini, maka satu generasi keturunannya akan menjadi beban pembangunan akibat efek domino yang disebakan oleh perkawinan itu. Satu orang dokter, atau satu orang perawat kesehatan di satu kampung tewas karena DBD maka bukan hanya keluarganya yang terdampak, melainkan satu kampung terancam. Ketika satu orang kepala keluarga lelaki kena PHK, minimal ada 4 orang yang akan terdampak. Ini berlaku hampir sama bagi perempuan terlepas dari apapun status perkawinanya: lajang, menikah, bersuami tapi menganggur, bersuami tapi minggat, atau tanpa janda.

Penelitian (dengan persektif) feminis mengoreksi secara sangat tajam seluruh pendekatan pembangunan yang hanya menggunakan angka sebagai pembuktian. Sebab dalam pengalaman perempuan angka itu penuh dusta. Ia tak bicara fakta yang sebenarnya sebagaimana mereka alami. Ini bukan hanya soal ketidakpantasan bicara orang yang tewas akibat DBD dan gigitan seekor nyamuk, namun meng”angka”kan korban sesungguhnya mereduksi keluasan fakta dan realitas itu sendiri.

Bayangkan jika teori angka itu digunakan untuk menghitung kekerasan yang dialami rakyat Aceh dan Papua, lalu keluar statemen berbasis angka: hanya sejumlah xxx yang tewas akibat konflik (serangan oknum tentara?? ), penduduk Indonesia masih ratusan juta. Bayangkan jika teori angka digunakan untuk menghitung pemusnahan kelompok agama minoritas, lalu keluar statemen: hanya xxx yang punah, penduduk Indonesia masih ratusan juta. Bayangkan jika sejumlah orang dengan disabilitas tewas akibat salah urus, lalu keluar statemen penduduk Indonesia yang normal masih ratusan juta. Di depan mata kita segera menyaksikan bayang-bayang kekejaman dan kejahatan Adolf Hitler!

Angka memang angka, tapi ia hanya fenomena. Angka tak bisa dibiarkan tergeletak sendirian tanpa pemaknaan. Pemaknaan sosial kemanusiaan, pemaknaan yang dipetik dari pengalaman manusia, pengalaman suatu kelompok, pengalaman perempuan, pengalaman keluarga ketika berhadapan dengan kehilangan seorang anggota keluarganya akibat kematian- apapun penyebabnya, bisa DBD atau virus corona, penting untuk dinilai kematiannya tak sekadar dianggap angka. Sebab kematian dalam tragedi sesungguhnya memberi penanda dunia telah kehilangan sebuah noktah peradaban!.

 

Lies Marcoes, 17 April 2020.