rumah kitab

Merebut Tafsir: Nasi Anjing

Oleh Lies Marcoes

Beberapa waktu lalu jagad media dihebohkan berita “Nasi Anjing” di tengah ketegangan berita penyebaran virus corona. Dikabarkan, warga di bilangan Jakarta Utara mendapatkan bingkisan nasi yang di dalam kertas bungkusnya terdapat cap kepala anjing dan tulisan “ Nasi Anjing”. Geger, tentu saja. Orang segera menduga-duga dengan berbagai skenario. Salah satunya ditafsirkan sebagai upaya menebar ketegangan dan adu domba.

Di luar kalkulasi politik tingkat tinggi, saya menangkap ada yang benar-benar tidak beres dalam soal hubungan antar suku, ras dan agama. Tapi andai saja nasi bungkus itu diletakan orang di depan pintu rumah kami, kecurigaan bahwa saya diberi hantaran nasi dengan lauk daging anjing pun niscaya terbersit. Minimal saya misuh-misuh dan segera membuangnya ke sampah. Belakangan, atas penelusuran pihak “berwajib” diketahui bahwa itu benar-benar nasi bungkus yang sehat, bersih dan halal dengan lauk ayam goreng (!) dan tidak ada keratan daging yang bisa dicurigi sebagai daging anjing. Di beritakan bahwa penyumbang hanya ingin menyatakan bahwa nasi itu bukan “nasi kucing” yang cuma sejumput dengan lauk sederhana. Ketika disebut “nasi kucing” orang tak tak mengasosiasikannya sebagai nasi dengan lauk daging kucing, lalu kenapa “nasi anjing” dipersoalkan, kira-kira begitu logikanya. Ditambahkan bahwa anjing adalah binatang yang baik, setia dan untuk banyak orang, seperti kucing, anjing adalah binatang rumah yang nyaman untuk disayang-sayang.

Namun di balik itu semua drama “nasi anjing: ini menyimpan pembelajaran penting. Dari peristiwa ini dapat dipetik pelajaran berharga yaitu soal sensitivitas dan ignorance (bukan sekedar tidak tahu tapi soal sikap naif dan polos atau tidak mau tahu). Di atas itu semua saya menangkap ada jurang menganga dalam membangun kesepamahaman soal keragaman.

Siapapun tak akan ada yang sanggup membantah, negeri seribu pulau sejuta ragam budaya ini adalah anugerah yang tak terhingga bagi kekayaan dunia yang menggambarkan asimilasi panjang antara benua, antar negeri, antar budaya, antar agama dan tradisi yang datang dari bentangan seluruh penjuru angin. Hasilnya adalah sebuah negeri yang elok dengan keragaman suku budaya tradisi adat agama lengkap dengan flora dan faunanya di atas hamparan pulau zamrud khatulistiwa.

Penjajah datang ke negeri ini dengan sebuah rezim pengaturan tata hubungan masyarakat dengan anggapan keragaman adalah ancaman terutama rentan memunculkan konflik dan karenanya harus diatasi. Dalam pikiran penjajah, konflik bukan hanya berbiaya mahal tetapi juga mengancam stabilitas kekuasaan mereka. Dalam setiap kekuasaan ada dua cara untuk “mengatasi” konflik: cara gampang- konflik ditumpas, diminimalisir dan distigma bahwa konflik adalah sebab masalah, atau cara tak gampang – konflik dikelola dengan menghadirkan (sistem) hukum yang sensitif pada keragaman. Pada yang kedua, konflik diterima sebagai fakta dan pengakuan atas keragaman yang perlu ruang untuk dibicarakan. Cara kedua meyakini konflik adalah penanda adanya hal-hal yang tak beres terkait rasa keadilan. Pada cara pandang itu konflik diterima sebagai penanda yang harus didengar terkait keadilan. Sementara pada yang pertama, konflik dianggap sebagai biang kerok masalah. Adanya konflik dianggap sebagai pembangkangan kepada kekuasaan.

Ketika negeri ini dibangun bersama dalam sebuah cita-cita Indonesia yang merdeka, cara kedua telah dipilih sebagai jalan. Karenanya demi Indonesia yang adil dan makmur yang dilandasai oleh ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab, kita senantiasa akan bermusyawarah sampai menemukan kemufakatan atas dasar persatuan dan keadilan sosial.

Namun (sayangnya), pada perkembangan berikutnya, ketika fondasi bangsa majemuk ini belum benar-benar “teteg” kokoh, negeri ini keburu di bawa ke rezim tentara yang meyakini bahwa konflik adalah akar masalah dan ancaman dan sama sekali tak dipahami sebagai penanda tak tercapainya kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat. Demi apa yang sekarang disebut “pembangunan”, anugerah terbaik dari negeri ini yaitu keragaman telah distigma dan dianggap sebagai beban dan ancaman. Karenanya, segala perbedaan lalu dikontrol dan dimasukkan kedalam sebuah lubang ranjau yang disebut ancaman subversif, dibawah politik palu gada SARA.

Bangsa yang keragamannya luar biasa ini dikerangkeng kedalam larangan-larangan atas nama keamanan demi pembangunan. Pelan-pelan anak negeri ini diajari untuk tak boleh berbeda dan tak boleh dinyatakan keberbedaannya. Namun yang lebih celaka adalah, atas nama itu semua kita menjadi ignorant, tidak tahu dan tidak mau tahu tentang orang lain.

Saya teringat, ketika sudah kuliah di IAIN/UIN saya diundang makan oleh sebuah keluarga yang kebetulan beragama Katolik. Ketika hendak makan, salah seorang anggota keluarga yang duduk di depan saya tiba- tiba memejamkan mata dan menunduk. Dengan bodohnya saya berkomentar” wah mau makan kok malah tidur”. Si Ibu yang ada di samping saya setengah berbisik berkata “ Eh itu sedang berdoa”. Bayangkan, ketika itu saya sudah hampir wisuda dalam jurusan “Perbandingan Agama”, tata cara berdoa agama lain saya tak tahu!

Perihal “nasi anjing” yang kita bahas di atas, bagi saya itu bukanlah soal ketidaktahuan (ignorance). Tapi kita telah terlalu lama dibuat tidak tahu, tidak mau tahu, tidak peduli atas (keyakinan,dan hal sensitif) bagi orang lain. Kita tidak dikenalkan lagi pada sensitvitas atas keragaman. Dan itu karena telah lama dihadapkan kepada bayangan setan yang diciptakan penguasa yang terus menerus meyakini keragaman adalah ancaman!.

#Lies Marcoes, I Mei 2020- Selamat Ulang Tahun Reza Maulana Natsir!

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.