Pos

Maqasid Agama Adalah Dialog

Tulisan ini dibuat ketika publik sedang dihebohkan dengan kasus pembubaran retret dan perusakan bangunan di Cidahu, Sukabumi. Kasus tersebut hanyalah satu tragedi di antara banyaknya potret intoleransi yang tidak terekspos media. Kasus kekerasan di masyarakat ibarat snowball, bola salju yang terus berputar kian membesar. Padahal dalam kitab suci, Tuhan sudah menegaskan untuk menjauhi berbantah-bantahan apalagi sampai melakukan kekerasan dan penghancuran, sebagaimana firman-Nya:

…وَلَا تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ …

…janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang… (QS. Al-Anfal: 46)

Memahami ayat tersebut, Al-Lahham menegaskan: “Kita menjadi sibuk saling mengkritik alih-alih berupaya mencapai perdamaian di antara sesama sehingga kita dapat kembali menjadi umat yang kokoh dengan entitas yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan di sekitar kita.”

Hal itu kian menemukan relevansinya hari ini. Kala umat kian sering beradu argumen bahkan sampai saling mempersekusi karena beda pemahaman. Perbedaan tidak lagi dilihat sebagai sarana yang bisa memperkaya dan mendewasakan. Justru yang berbeda dipaksa untuk sama. Jika tidak sekata, maka layak untuk dicerca.

Al-Lahham melihat bahwa pola pikir umat semacam ini merupakan warisan rasa sakit dan konflik sejarah masa lalu yang terus diwariskan. Dan kita, yang memahami ajaran agama tidak berlandaskan spirit maqasid, cenderung melihat warisan konflik itu sebagai ajaran agama yang dilanggengkan. Contohnya sejarah luka Sunni-Syiah yang terus dirawat. Hari ini, Iran yang berdiri paling depan melawan zionis justru dipertanyakan keseriusannya karena mereka adalah Syiah. Kita gagal move on untuk melihat masalah yang lebih luas dan terus hidup dalam kotak sempit perpecahan Sunni-Syiah.

Memang sebagai manusia, cenderung senang berkumpul dan bersimpati dengan mereka yang sependapat. Meski demikian, hal itu tidak membuat kita harus hidup seragam. Dalam bahasa Lahham, perbedaan pandangan bisa menjadi penyerbukan silang informasi yang melahirkan solusi baru.

“Perbedaan bukanlah kejahatan jika merangkul moral”, tegas Hannan. Ada adab dalam perbedaan. Berdebat pun boleh, tetapi dengan etika. Moral dan etika inilah yang menjadi maqasid beragama.

Karenanya untuk bisa hidup rukun dan harmonis, kita perlu memahami secara utuh maqasid syariah yang bersumber pada akhlak. Ketika akhlak sudah mengakar, meski ibadahnya berbeda, orang tidak akan bertengkar. Lahham dengan tegas mengatakan: “Menaati tujuan hukum Islam (maqasid syariah) tidak hanya mendekatkan di antara umat Islam, tetapi juga merupakan landasan penting dalam proyek “dialog antaragama” dan “dialog antarbudaya” untuk mencapai kepentingan duniawi”. Poin ini menjadi penting untuk dipahami kembali. Bahwa dialog intra dan antar agama itu justru sejalan dengan tujuan ajaran Islam.

Salah satu kunci dialog adalah mau mendengarkan cerita orang lain. Alih-alih hanya menuntut untuk didengar, kita perlu mendengar untuk bisa berempati. Hatta, kepada orang yang hari ini memutuskan untuk jauh dari agama sekali pun. Kata Lahham, mereka yang meninggalkan agama bisa jadi lahir dari pengalaman pahit traumatik melihat praktik beragama yang serampangan dari umatnya.

Karenanya dengan berdialog dan memahami agama dengan spirit maqasid, mereka yang dulu menjauh dari agama bisa kembali merengkuh dalam sinaran Ilahi. Terlebih setelah memahami bahwa substansu agama adalah mempermudah dan mengurangi beban kehidupan manusia, bukan sebaliknya. Sebagaimana firman-Nya:

يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّخَفِّفَ عَنْكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْاِنْسَانُ ضَعِيْفًا

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia diciptakan (dalam keadaan) lemah.” (QS. Al-Nisa: 28)

Jika Tuhan menghendaki kemudahan, mengapa manusia justru kian menciptakan kerumitan? Jika agama membantu kita menjadi manusia seutuhnya, mengapa kita malah hendak menjadi Tuhan yang menghakimi mereka yang berbeda?

Mengapa Perlu Membaca Al-Quran dalam Sinaran Maqasid?

Seluruh umat Islam meyakini sumber otentik utama adalah Al-Quran. Namun, pemahaman terkait kalam Tuhan itu tak pernah usai dibahas. Hannan Al-Lahham termasuk di antara suara perempuan yang memahami ayat Al-Quran. Sebagai seorang perempuan, tentu dia punya misi melihat bagaimana Al-Quran memuliakan perempuan.

Sayangnya, dalam sejarah umat Islam, tampak ada upaya menomorduakan peran perempuan. Lahham menegaskan, “Dulu, Islam menjadi inspirasi pencerahan dan kemajuan karena pemikirannya yang berlandaskan pada maqasid syariat”. Artinya, ada pembacaan yang keliru hari ini sehingga umat Islam menjadi mundur. Lahham mengkritisi pembacaan ayat Al-Quran secara tekstual sebagai salah satu kemunduran umat Islam.

Misalnya ada gerakan masif untuk melakukan poligami bermodal pemahaman Surat An-Nisa ayat 3 secara tekstual. Hal ini justru bertentangan dengan semangat maqasid syariat yang menekankan keadilan dan kesetaraan. Karenanya, Lahham mengusulkan pembacaan Al-Quran dalam sinaran maqasid.

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi hal tersebut. Pertama, menggali maqasid Al-Quran adalah upaya melaksanakan perintah Tuhan kepada manusia yang menegaskan: Dalam rangka melaksanakan perintah Allah Swt kepada manusia, “Afalaa yatadabbaruna al-Qur`an” “Maka apakah mereka tidak memikirkan Al-Qur’an?”

Kedua, dengan memahami maqasid, akan lebih mudah berijtihad terhadap permasalahan kontemporer. Hari ini ada banyak tantangan baru yang tidak dihadapi oleh Nabi dan generasi awal. Jika hanya mengandalkan pemahaman terdahulu, umat Islam akan tertinggal. Misalnya dalam memahami kekuatan pada firman Allah Surat Al-Anfal ayat 60:

وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ وَّمِنْ رِّبَاطِ الْخَيْلِ …

Persiapkanlah untuk (menghadapi) mereka apa yang kamu mampu, berupa kekuatan (yang kamu miliki) dan pasukan berkuda…

Menurut penafsiran di era kenabian, yang dimaksud dengan al-quwwah pada ayat tersebut adalah memanah. Pemahaman ini benar pada eranya, tetapi belum tentu relevan pada masa berikutnya. Saat ini kekuatan memanah sudah tertinggal jauh dengan teknologi nuklir dan rudal. Kalau memahami secara tekstual, ayat itu tetap diimplementasikan dengan kekuatan memanah.

Dengan menggunakan pendekatan maqasid, maka yang dilihat adalah spirit dari memanah. Bukan aktivitas memanah itu sendiri. Dahulu, teknologi memanah adalah senjata jarak jauh tercanggih. Poinnya adalah menyerang musuh dari jauh. Teknologi nuklir dan rudal hari ini menjadi senjata paling canggih. Sehingga dari sini, ijtihad yang dihasilkan lebih berkemajuan.

Ketiga, membebaskan diri dari beredarnya fatwa lemah yang membuat kemunduran umat Islam. Misalnya fatwa yang melarang wanita beraktivitas di luar rumah. Dengan melihat spirit maqasid, bahwa di era Nabi, larangan perempuan berjalan sendiri karena banyak hal yang mengancam jiwa. Ancaman itu hari ini tidak ada. Semua orang dapat berjalan dengan aman. Ada lembaga keamanan di mana-mana. Pun semua sudah terhubung melalui media maya. Karenanya pelarangan wanita beraktivitas justru menciderai maqasid.

Alasan berikutnya menurut Lahham adalah agar seorang Muslim dapat hidup di zamannya tanpa kehilangan identitasnya, sehingga memperoleh kembali ketenangan pikiran dan membebaskan dirinya dari kepribadian ganda yang menjangkiti mayoritas umat Islam. Mereka adalah Muslim, tetapi mereka hidup sesuai dengan nilai-nilai, persepsi, dan metode sistem Barat.

Poin ini penting untuk ditekankan juga dalam konteks gerakan aktivisme yang dilakukan Lahham di Timur Tengah. Ia memang dikenal kuat menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan dan kesetaraan. Namun yang menarik, upaya tersebut dilakukan murni dari ajaran Islam. Melalui pembacaan maqasid, ia sadar bahwa substansi Islam adalah keadilan dan kesetaraan.

Karenanya, dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan, kesetaraan yang dibangun adalah framework Islam. Bukan dalam kacamata feminis Barat yang sering dituduhkan kepadanya. Bagi sebagian orang, melihat bahwa mereka yang menggaungkan kesetaraan gender sudah terpengaruh dengan ideologi Barat. Padahal belum tentu. Tidak perlu menjadi feminis untuk menyuarakan keadilan, sebab maqasid agama pun menghendaki demikian.

Terakhir, mempelajari maqasid Al-Quran juga dapat membantu mendekatkan penafsiran yang berorientasi pada persatuan dan kesatuan umat Islam. Sebagaimana firman Allah:

اِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِيْ شَيْءٍۗ …

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun engkau (Nabi Muhammad) tidak bertanggung jawab terhadap mereka…” (QS. Al-An’am: 159)

Hari ini kata Lahham, “Kita telah kehilangan persatuan persaudaraan yang dibutuhkan di antara orang-orang beriman. Mereka seharusnya seperti satu tubuh, yang jika satu bagiannya mengeluh, bagian tubuh yang lain menanggapinya dengan tidak bisa tidur dan demam berpeluh. Bangunan yang tadinya kokoh runtuh, menjadi tumpukan puing-puing luluh. Perpecahan dan pertentangan berkembang menjadi konflik dan pertikaian di antara kita.”

Dengan demikian, yang dibutuhkan hari ini bukan hanya memasifkan pengajian agama, tetapi juga pemahaman agama yang berorientasi pada substansi, maqasid. Jangan sampai kita sibuk beragama dengan kulit, lupa dengan isi. Wallahu a’lam.

Membaca Teori Maqasid Al-Quran Perspektif Perempuan

Salah satu metode penafsiran Al-Quran kontemporer yang banyak dikaji adalah maqasid Al-Quran. Bagi beberapa kalangan, ada yang belum bisa membedakannya dengan maqasid al-syariah. Quraish Shihab dalam buku terbarunya, “Metodologi Tafsir Al-Quran: Dari Tematik Hingga Maqashidi” menjelaskan perbedaannya. Menurutnya, maqasid al-syariah mencakup seluruh maksud ajaran agama Islam dalam aneka bidangnya. Sedangkan maqasid Al-Quran terbatas pada teks kitab suci. Karenanya yang pertama lebih umum dari yang kedua. Tetapi keduanya saling berkaitan.

Boleh dikatakan, maqasid Al-Quran lahir dari pengembangan maqasid al-syariah. Semangat maqasid ini lahir untuk melihat ajaran agama secara kontekstual dan komprehensif. Agama tidak hanya dipahami secara ritual kulitnya saja. Sejak era Imam Al-Syatibi dengan Al-Muwafaqat hingga Ibn ‘Asyur di era modern, semua mencoba mengulik maksud dari kehadiran Islam.

Satu catatan penting, hampir seluruh tokoh yang mengurai teori ini adalah laki-laki. Memang dapat dipahami dalam konteks yang lebih luas, mufassir, muhaddits, faqih, mayoritas adalah pria. Di sinilah perlu menghadirkan sosok perempuan, bukan sebatas sebagai pelengkap, melainkan memberikan wacana pembanding.

Mengenal Hannan Al-Lahham

Kehadiran Hannan Al-Lahham menjadi oase di tengah hegemoni patriarki keilmuan. Hannan adalah seorang mufassirah dari Damaskus, Syria. Situasi keluarga dan lingkungannya sangat mempengaruhi sosoknya hari ini yang kian getol menyuarakan spirit ajaran Islam yang esensi dan nir-kekerasan. Salah satu artikel hasil wawancara yang dilakukan Ḥajîbah Aḥmad Syîdakh dengan Hannan Lahham yang berjudul Ma’a al-Ustâdzah annân Laḥḥâm “âibah al-Ta’ammulât al-Qur’âniyyah wa al-Isyrâqât al-Tanwîriyyah” menuturkan pengalaman pahit masa kecilnya. Ia lahir dari keluarga yang jauh dari nilai agama dan sangat patriarki. Belum lagi situasi negaranya yang konflik membuat ia kian memahami bahwa Islam itu mengistimewakan laki-laki dan melekat dengan kekerasan.

Kilas baliknya terhadap ajaran Islam adalah tatkala ia bertemu dengan pemikiran Jaudat Sa’id. Sosok ini berhasil membuatnya memahami Islam dari kacamata lain, khususnya nir-kekerasan. Selain menyoroti isu perdamaian, ia pun mendalami studi Al-Quran. Berbekal ilmu dasar pernah belajar sastra Arab meski tidak selesai, ia belajar secara non-formal dengan membaca, menghadiri pengajian dan berdiskusi.

Tahun 1979, bersama suami dan anaknya, mereka hijrah ke Arab Saudi dan menjadi pengajar di Universitas King Abdul Aziz, Jeddah. Di masa inilah titik mula kepenulisan tafsir Hannan dimulai. Hannan adalah satu di antara sedikit wanita modern yang aktif menulis tafsir Al-Quran. Satu lingkungan yang selama ini dianggap jarang melahirkan ahli tafsir perempuan. Dalam buku “Wanita Ahli Tafsir Abad Modern: Sebuah Revolusi Besar dari Kesarjanaan Kaum Hawa”, disebutkan produktivitas Lahham dalam menulis tafsir. Meski tidak tuntas seluruh Al-Quran, hingga saat ini ia berhasil menulis sembilan jilid dengan total ketebalan 2.273 halaman.

Di antara karya yang sudah dihasilkan adalah Min Hadyi Sûrah al-Nisâ’ (1986), Min Hadyi Sûrah Ali ‘Imrân (1989), Min Hadyi Sûrah al-Baqarah (1989), Ta’ammulât fî Sûrah al-Ahzâb (1995), Hikâyât li Ahdâf Laylah al-Qadr (1997), Majmû’ah Sûrah al-‘Asr (1998), Ta’ammulât fî Manzilah al-Mar’ah fî al-Qur’ân al-Karîm (2002), dan Maqâid al-Qur’ân al-Karîm (2004). Karya yang terakhir akan mendapat pembahasan lebih istimewa dalam tulisan ini dan ke depannya.

Bagi pembaca Rumah KitaB, tulisan ini akan dibuat secara berkala dengan mengambil rubrik Kajian Kitab. Secara khusus mengulas kitab Maqasid al-Quran karya Hannan Lahham. Mengapa memilih karya tersebut? Ada tiga alasan pemilihan kitab ini. Pertama, topik utama kitab ini mengurai pemaknaan Al-Quran yang kontekstual (maqasid). Hari ini kita melihat betapa marak pemaknaan kitab suci yang tekstual berakibat pada stereotip ajaran Islam.

Kedua, kitab ini ditulis oleh seorang perempuan, penulis langka dalam kajian ini. Kehadiran penulis perempuan bahkan mufassirah patut diberikan ruang dan diapresiasi. Apalagi karena framework yang dihadirkan mendukung keadilan dan kesetaraan. Ketiga, ada beberapa isu yang secara khusus menjadi titik tekan dalam maqasid Al-Quran yang diangkat, yaitu perempuan dan kemanusiaan. Dengan alasan tersebut, cukuplah kiranya mengulas karya Hannan Lahham ini secara lebih detail.

Mengapa Perempuan Berbicara Maqasid Al-Quran?

Dalam pendahuluan, Lahham menuturkan bahwa ia sudah tertarik dengan kajian seputar maqasid. Ia baca berbagai karya mulai dari Kitab Muwafaqat Al-Syatibi, Kitab Maqasid Allal Al-Fassi, hingga buku Ahmad Raisuni tentang teori maqasid. Dari pembacaannya terhadap turats, membuatnya gelisah terhadap kondisi umat hari ini. Ia mengajukan satu pertanyaan sekaligus pernyataan valid:

“Bagaimana kita dapat memasuki era modern dan ‘post-modern’ jika kita belum menguatkan fondasi dan prinsip-prinsip keagamaan kita? Apa yang kita pegang hari ini, di saat kita sudah berada di ambang milenium ketiga, tidak lebih dari sekadar berpegang pada beberapa hukum tambahan, yang telah dijadikan acuan dan kriteria untuk mengeluarkan fatwa-fatwa ‘aneh’ dan rapuh yang tidak ada kaitannya dengan tujuan hukum Islam (maqasid al-syari’ah), khususnya yang berkaitan dengan dunia wanita.”

Pernyataan tersebut menyiratkan satu kegelisahan intelektual yang juga pernah disampaikan oleh reformis dari Mesir, Muhammad Abduh. Beliau mengatakan bahwa ajaran Islam yang luhur telah ternodai oleh perilaku umat Islam yang bobrok. Lahham melihat bahwa umat Islam modern mundur karena cara memahami teks yang menghilangkan konteks (maqasid). Alih-alih membuat Islam hadir dengan keadilannya, justru praktik yang melanggengkan patriarki tetap dijalankan atas nama agama.

Spirit maqasid ini pada akhirnya akan mewarnai ulasan Lahham ketika memahami Al-Quran. Satu pembacaan yang jarang dilakukan tetapi perlu diungkapkan. Terutama bagi kita yang juga gelisah dan menginginkan ajaran agama dipahami dengan makna, bukan sebatas hampa. Wallahu a’lam. 

Pro-Kontra Persaksian dalam Pernikahan

Di era globalisasi dan kemajuan teknologi saat ini, pembahasan tentang kedudukan persaksian dalam pernikahan menjadi semakin relevan dan mendesak. Masyarakat modern masih menghadapi berbagai tantangan terkait praktik pernikahan tidak tercatat yang terus berlangsung di berbagai lapisan masyarakat. Fenomena ini menunjukkan pentingnya mengkaji ulang konsep persaksian tradisional dalam fikih Islam dan bagaimana konsep tersebut dapat diterapkan dalam konteks kekinian.

Pernikahan merupakan ikatan sakral yang ditetapkan Allah untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Sebagai sebuah akad yang memiliki konsekuensi hukum dan sosial yang signifikan, Islam telah mengatur berbagai ketentuan untuk memastikan keabsahan dan kesempurnaan pernikahan. Di antara ketentuan tersebut adalah keharusan adanya persaksian dalam akad nikah.

Para ulama telah mencapai kesepakatan bahwa persaksian merupakan salah satu syarat dalam pernikahan. Hal ini didasarkan pada berbagai dalil, baik dari Al-Qur’an maupun hadis. Namun demikian, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kedudukan persaksian tersebut apakah merupakan syarat yang menentukan keabsahan akad (syarat sah) ataukah hanya sebagai syarat kesempurnaan (syarat kamal).

Berdasarkan latar belakang tersebut, tulisan ini akan mengkaji secara mendalam tentang kedudukan persaksian dalam pernikahan menurut perspektif fikih Islam, khususnya berdasarkan analisis Imam Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid, dengan harapan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif tentang permasalahan ini.

Landasan Teoretis Persaksian dalam Pernikahan

Imam Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid menjelaskan bahwa perbedaan pendapat ini berakar pada perbedaan dalam memahami dalil-dalil yang berkaitan dengan persaksian nikah serta interpretasi terhadap tujuan disyariatkannya persaksian. Sebagian ulama, seperti Imam Syafi’i dan jumhur, memandang persaksian sebagai syarat sah yang harus dipenuhi saat akad. Sementara ulama lain, seperti Imam Malik, menganggapnya sebagai syarat kesempurnaan yang diperlukan sebelum dukhul.

Meski terdapat perbedaan pendapat tentang waktu diperlukannya saksi, para ulama sepakat bahwa pernikahan yang disembunyikan (nikah sirri) tidak diperbolehkan. Hal ini menunjukkan pentingnya aspek pengumuman dan dokumentasi dalam pernikahan untuk melindungi hak-hak yang timbul darinya, seperti hak keturunan, waris, dan nafkah.

Perbedaan Pendapat Ulama tentang Kedudukan Persaksian

Menurut pandangan Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, persaksian merupakan syarat kesempurnaan dalam pernikahan yang hanya diperlukan saat akan terjadi dukhul (hubungan suami istri). Mereka berpendapat bahwa akad nikah tetap sah meskipun dilakukan tanpa kehadiran saksi. Namun, pasangan tersebut tidak boleh melakukan hubungan suami istri sebelum menghadirkan saksi. Argumentasi mereka didasarkan pada pemahaman bahwa tujuan utama persaksian adalah untuk mengumumkan pernikahan dan mencegah terjadinya pengingkaran di kemudian hari.

Berbeda dengan pandangan di atas, Imam Malik berpendapat bahwa persaksian merupakan syarat sah yang harus dipenuhi pada saat akad nikah berlangsung. Menurut beliau, tanpa kehadiran saksi, akad nikah dianggap tidak sah atau batal. Pendapat ini didasarkan pada hadits yang menyatakan bahwa tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil. Imam Malik memandang persaksian sebagai bagian integral dari rukun akad yang tidak bisa ditunda pelaksanaannya.

Perbedaan pendapat ini memiliki implikasi hukum yang signifikan. Menurut Abu Hanifah dan Syafi’i, pernikahan tanpa saksi tetap valid meskipun tidak sempurna, dan pasangan hanya perlu menghadirkan saksi sebelum melakukan hubungan suami istri. Sementara menurut Malik, pernikahan tersebut sama sekali tidak valid dan memerlukan akad baru dengan kehadiran saksi jika ingin dianggap sah.

Hakikat dan Fungsi Persaksian dalam Pernikahan

Perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai fungsi persaksian dalam pernikahan mencerminkan kedalaman pemikiran fikih Islam dalam memahami maksud syariat. Perbedaan ini terutama berpusat pada interpretasi terhadap hakikat persaksian apakah merupakan ketentuan hukum syar’i yang memiliki dimensi ibadah dengan syarat-syarat tertentu, atau sekadar sarana untuk dokumentasi dan pencegahan konflik semata.

Persaksian sebagai Sarana Pengumuman (I’lan)

Imam Abu Hanifah memandang bahwa tujuan utama persaksian dalam pernikahan adalah sebagai sarana pengumuman (I’lan) semata. Berdasarkan pandangan ini, beliau memperbolehkan kesaksian dari orang yang fasik, karena yang terpenting adalah tercapainya fungsi pengumuman tersebut kepada masyarakat. Perspektif ini menekankan aspek sosial dari persaksian, di mana fokus utamanya adalah memastikan bahwa pernikahan tersebut diketahui oleh masyarakat untuk mencegah fitnah dan prasangka buruk.

Persaksian sebagai Dokumentasi Hukum

Sementara itu, Imam Syafi’i memiliki pandangan yang lebih komprehensif mengenai fungsi persaksian. Menurut beliau, persaksian tidak hanya berfungsi sebagai pengumuman, tetapi juga sebagai bentuk dokumentasi yang memiliki konsekuensi hukum. Oleh karena itu, beliau mensyaratkan adanya sifat adil pada diri saksi. Keadilan ini diperlukan karena saksi tidak hanya berperan dalam mengumumkan pernikahan, tetapi juga menjadi penjamin keabsahan akad yang bisa dipertanggungjawabkan di kemudian hari.

Perbedaan pandangan ini memiliki implikasi penting dalam praktik pernikahan. Menurut Abu Hanifah, selama fungsi pengumuman tercapai, maka persaksian telah memenuhi tujuannya, terlepas dari kualitas moral saksi. Di sisi lain, Imam Syafi’i menekankan pentingnya integritas saksi karena mereka tidak hanya berperan dalam pengumuman, tetapi juga dalam aspek hukum dan dokumentasi yang mungkin diperlukan di masa depan.

Dalil-dalil dan Argumentasi Hukum

Di antara dalil-dalil yang menjadi landasan hukum persaksian dalam pernikahan adalah hadits-hadits Nabi Saw dan fatwa sahabat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan, Nabi Saw bersabda:

أعلنوا هذا النكاح واضربوا عليه بالدفوف

“Umumkanlah pernikahan ini, dan tabuhkanlah rebana padanya”

Hadits ini secara eksplisit memerintahkan untuk mengumumkan pernikahan kepada masyarakat. Perintah pengumuman ini mengindikasikan bahwa pernikahan dalam Islam bukanlah urusan privat semata, melainkan memiliki dimensi sosial yang perlu diperhatikan. Penyebutan “tabuhkanlah rebana” dalam hadits menunjukkan bahwa Islam mendorong bentuk-bentuk pengumuman yang dapat menarik perhatian masyarakat, sehingga berita pernikahan tersebar luas.

Selain itu, terdapat fatwa dari Umar bin Khattab RA yang dengan tegas melarang nikah sirri (pernikahan yang disembunyikan). Diriwayatkan bahwa Umar RA pernah mendapati suatu pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu beliau berkata: “Ini adalah nikah sirri dan aku tidak memperbolehkannya. Seandainya aku hadir, niscaya aku akan merajam.” Sikap tegas Umar RA ini menunjukkan betapa pentingnya aspek publikasi dalam pernikahan. Kedua dalil ini saling menguatkan dalam menegaskan prinsip bahwa pernikahan dalam Islam harus diumumkan dan tidak boleh disembunyikan.

Dengan demikian, dalam konteks modern pemahaman ini dapat menjadi landasan untuk memperkuat sistem pencatatan pernikahan yang berfungsi tidak hanya sebagai prosedur administratif, tetapi juga sebagai wujud implementasi nilai-nilai syariat dalam melindungi hak-hak keluarga.