Maqasid Agama Adalah Dialog
Tulisan ini dibuat ketika publik sedang dihebohkan dengan kasus pembubaran retret dan perusakan bangunan di Cidahu, Sukabumi. Kasus tersebut hanyalah satu tragedi di antara banyaknya potret intoleransi yang tidak terekspos media. Kasus kekerasan di masyarakat ibarat snowball, bola salju yang terus berputar kian membesar. Padahal dalam kitab suci, Tuhan sudah menegaskan untuk menjauhi berbantah-bantahan apalagi sampai melakukan kekerasan dan penghancuran, sebagaimana firman-Nya:
…وَلَا تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ …
…janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang… (QS. Al-Anfal: 46)
Memahami ayat tersebut, Al-Lahham menegaskan: “Kita menjadi sibuk saling mengkritik alih-alih berupaya mencapai perdamaian di antara sesama sehingga kita dapat kembali menjadi umat yang kokoh dengan entitas yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan di sekitar kita.”
Hal itu kian menemukan relevansinya hari ini. Kala umat kian sering beradu argumen bahkan sampai saling mempersekusi karena beda pemahaman. Perbedaan tidak lagi dilihat sebagai sarana yang bisa memperkaya dan mendewasakan. Justru yang berbeda dipaksa untuk sama. Jika tidak sekata, maka layak untuk dicerca.
Al-Lahham melihat bahwa pola pikir umat semacam ini merupakan warisan rasa sakit dan konflik sejarah masa lalu yang terus diwariskan. Dan kita, yang memahami ajaran agama tidak berlandaskan spirit maqasid, cenderung melihat warisan konflik itu sebagai ajaran agama yang dilanggengkan. Contohnya sejarah luka Sunni-Syiah yang terus dirawat. Hari ini, Iran yang berdiri paling depan melawan zionis justru dipertanyakan keseriusannya karena mereka adalah Syiah. Kita gagal move on untuk melihat masalah yang lebih luas dan terus hidup dalam kotak sempit perpecahan Sunni-Syiah.
Memang sebagai manusia, cenderung senang berkumpul dan bersimpati dengan mereka yang sependapat. Meski demikian, hal itu tidak membuat kita harus hidup seragam. Dalam bahasa Lahham, perbedaan pandangan bisa menjadi penyerbukan silang informasi yang melahirkan solusi baru.
“Perbedaan bukanlah kejahatan jika merangkul moral”, tegas Hannan. Ada adab dalam perbedaan. Berdebat pun boleh, tetapi dengan etika. Moral dan etika inilah yang menjadi maqasid beragama.
Karenanya untuk bisa hidup rukun dan harmonis, kita perlu memahami secara utuh maqasid syariah yang bersumber pada akhlak. Ketika akhlak sudah mengakar, meski ibadahnya berbeda, orang tidak akan bertengkar. Lahham dengan tegas mengatakan: “Menaati tujuan hukum Islam (maqasid syariah) tidak hanya mendekatkan di antara umat Islam, tetapi juga merupakan landasan penting dalam proyek “dialog antaragama” dan “dialog antarbudaya” untuk mencapai kepentingan duniawi”. Poin ini menjadi penting untuk dipahami kembali. Bahwa dialog intra dan antar agama itu justru sejalan dengan tujuan ajaran Islam.
Salah satu kunci dialog adalah mau mendengarkan cerita orang lain. Alih-alih hanya menuntut untuk didengar, kita perlu mendengar untuk bisa berempati. Hatta, kepada orang yang hari ini memutuskan untuk jauh dari agama sekali pun. Kata Lahham, mereka yang meninggalkan agama bisa jadi lahir dari pengalaman pahit traumatik melihat praktik beragama yang serampangan dari umatnya.
Karenanya dengan berdialog dan memahami agama dengan spirit maqasid, mereka yang dulu menjauh dari agama bisa kembali merengkuh dalam sinaran Ilahi. Terlebih setelah memahami bahwa substansu agama adalah mempermudah dan mengurangi beban kehidupan manusia, bukan sebaliknya. Sebagaimana firman-Nya:
يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّخَفِّفَ عَنْكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْاِنْسَانُ ضَعِيْفًا
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia diciptakan (dalam keadaan) lemah.” (QS. Al-Nisa: 28)
Jika Tuhan menghendaki kemudahan, mengapa manusia justru kian menciptakan kerumitan? Jika agama membantu kita menjadi manusia seutuhnya, mengapa kita malah hendak menjadi Tuhan yang menghakimi mereka yang berbeda?