Pos

Peluncuran Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak dan Publikasi “Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda”

Pada 4 Februari 2020, dilaksanakan peluncuran Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak dan publikasi Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda. Acara ini merupakan bentuk kerja sama antara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), dan Badan Pusat Statistik (BPS). Kegiatan ini dilaksanakan di Hotel Pullman Jakarta dan dihadiri sekitar 150 undangan, yang terdiri dari mitra pembangunan, seperti UNICEF, UNFPA, Kedutaan Kanada dan Australia, organisasi masyarakat sipil, termasuk Rumah KitaB, Kalyanamitra, KAPAL Perempuan, dan lain-lain, perwakilan orang muda, dan perwakilan pemerintah daerah.

 

Kegiatan ini dibuka dengan sambutan dari Menteri PPN, Dr. Ir. H. Suharso Monoarfa. Beliau menegaskan bahwa pencegahan perkawinan anak merupakan prioritas pemerintah Indonesia dan telah dimasukkan ke dalam Tujuan Pembagunan Berkelanjutan (SDGs) Tujuan 5 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Target penurunan angka perkawinan anak di RPJMN adalah 8,74% di tahun 2024 dan 6,94% di tahun 2030. Sementara itu, pada tahun 2018, angka perkawinan anak masih berada di 11,2%.

 

Selanjutnya keynote speech disampaikan oleh Menteri PPPA, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, yang menjelaskan arahan Presiden Republik Indonesia terkait pencegahan perkawinan anak. Setelah disahkannya UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, saat ini pemerintah telah memiliki Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoma Mengadili Permohonan Dispensasi dan sedang menyusun Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan.

 

Dalam kesempatan ini, Rumah KitaB menghadirkan para penari dari Jitera Jakarta Utara yang menampilkan Tari Rentak Samrah Betawi. Anak-anak perempuan yang tergabung dalam kelompok tari ini merupakan mereka yang mengikuti kegiatan-kegiatan program BERDAYA oleh Rumah KitaB di Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. Pembina kelompok tari ini, Ibu Erni, juga merupakan alumni pelatihan BERDAYA yang bersama dengan Achmat Hilmi dari Rumah KitaB menanamkan pentingnya ruang aman dan ruang kreativitas bagi remaja, dan memperkenalkan mereka pergaulan yang sehat, inklusif, dan adil gender. Di situasi masyarakat yang semakin mempersempit ruang diskusi dan inklusivitas, kelompok ini hadir untuk memperluas ruang gerak remaja, terlepas dari latar belakang agama, suku, dan adat istiadat. Dengan diberikan ruang aman, niscaya anak-anak perempuan dapat terbebas dari perkawinan anak. Beberapa kali kelompok ini telah pentas di kegiatan tingkat nasional, salah satunya saat Seminar Nasional BERDAYA, Agustus 2019 silam.

 

Dalam kesempatan ini juga Rumah KitaB menampilkan pameran buku dan publikasi Rumah KitaB terkait perkawinan anak, seperti Fikih Perwalian, Fikih Kawin Anak, Mendobrak Kawin Anak, dan materi-materi kampanye yang dikembangkan bersama Jaringan AKSI.

 

Strategi Nasional (Stranas) Pencegahan Perkawinan Anak ini merupakan hasil sinergi antara pemerintah dengan lembaga non-pemerintah. Leading sector berada di Bappenas, namun data-data dan materi penyusunannya disuplai oleh kementerian/lembaga dan NGO, tak terkecuali Rumah KitaB.

 

Salah satu sumbangan yang Rumah KitaB berikan dalam Stranas ini adalah hasil penelitian lembaga kami yang menunjukkan bahwa perkawinan anak terkait erat dengan perubahan ruang hidup dan lingkungan. Maka tak heran wilayah-wilayah dengan perkawinan anak tertinggi terjadi di sebagian besar wilayah Sulawesi, Kalimantan, NTB, dan bagian selatan pulau Sumatera (BPS, 2018), karena di situlah terjadi perubahan ruang hidup yang masif.

 

Dengan diluncurkannya Stranas dan publikasi Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda ini, diharapkan semakin menguatkan sinergi lintas sektor untuk melakukan upaya pencegahan perkawinan anak. [FP]

Seminar Nasional Menyambut Pengesahan Perubahan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk Anak Indonesia – Millenium Hotel (16/10)

Sejumlah kementrian, Ormas dan LSM bersepakat untuk mengawal UU No 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU No 1 Tahun 1974 tentang batas usia perkawinan. Mereka membacakan statemen bersama pada Seminar Nasional “Menyambut Pengesahan Perubahan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk Anak Indonesia” yang diadakan di hotel Millenium, Jakarta. (16/10)

Acara yang diinisiasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) ini menghadirkan empat narasumber perwakilan dari pelbagai kementrian: Muhamadiyyah Amin, (Dirjen Bimas Islam Kementrian Agama), Lenny N. Rosalin (Deputi Menteri PPPA Bidang Tumbuh Kembang Anak), Subandi Sardjoko (Deputi Pembangunan Manusia, masyarakat dan Kebudayaan Kementrian PPN/Bapenas) dan Saiful Majid (Mahkamah Agung). Diharapkan setiap kementrian bekerja di wilayah kerjanya masing-masing untuk bersama-sama mengawal UU No. 16 Tahun 2019 tentang batas usia perkawinan dalam rangka mengurang perkawinan anak.

Sebagai lembaga yang bersentuhan langsung dengan masyarakat khususnya dalam menangani perkawinan, Kementrian Agama berjanji akan lebih memperkuat kelembagaan KAU. “Sejak 2018 Kemenag telah mempersiapkan program transformasi KUA melalui Pusat Layanan Keluarga (Pusaka) Sakinah,” ujar Muhammad Amin. Amin menjelaskan, pusaka Sakinah ini bekerja melakukan penguatan KUA dalam menangani isu-isu perkawinan dan keluarga, seperti perceraian, KDRT, kawin anak, kekerasan berbasis jender, intoleransi, dll. KUA diharapkan menjadi leading sector pembangunan keluarga sakinah melalui pengelolaan jejaringkerja lokal di kecamatan bekerjasama dengan petugas puskesmas, penyuluh KB, tokoh masyarakat, majelis taklim, dll.

“Kami berharap dalam lima tahu kedepan Kemenag menetapkan target 500 KUA Pusaka Sakinah, atau sedikitnya 1 KAU di tiap-tiap Kabupaten/Kota untuk diproyeksikan menjadi KUA model dalam pelayanan perkawinan dan keluarga,” kata Amin

Dalam upaya pencegahan perkawinan anak menurut perspektif Kementrian Agama, Muhammad Amin menegaskan, bahwa pencegahan perkawinan anak harus dilakukan bersamaan dengan pencegahan seks pranikah. Karena itu, menurutnya, perlu menbitkan regulasi yang mempercepat pencegahan perkawinan anak serta pengaturan yang lebih rinci terkait prosedur dan persyaratan pemberian izin orang tua maupun dispensasi kawin di pengadilan. Di samping terus mendorong sukses belajar 12 tahun agar anak terhindar dari kawin anak.

Sementara menurut Lenny S. Rosalin, perwakilan dari KPPPA, sebagai kementrian baru, bahwa lembaganya sudah mendapat mandat untuk melakukan pencegahan kawin anak sejak 2016 melalui Dokumen Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Doknas PPA) dan Rencana Aksi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (RAN PPA).

“Dalam Doknas PPA kita sudah menetapkan tujuan dan sasaran untuk memasukkan isu kawin anak ini dalam RPJMN 2020-2024 yang awalnya 11,2 % akan turun 8,74%,” kata Rosalin. Target utamanya adalah menciptakan kabupaten/kota layak anak yang salah satu indikatornya adalah tidak ada perkawinan anak.

Menurut Subandi Sardjoko, perwakilan dari Bapenas, rancangan RPJMN 2020-2024 ini sejalan dengan arah kebijakan pembangunan Indonesia ke depan, yaitu peningkatan pembangunan SDM. “Jumlah penduduk Indonesia 265 juta. 79,6 juta atau 30,5% adalah anak diusia 0-17. Karena itu, meningkatkan SDM termasuk di dalamnya adalah menyelamatkan anak Indonesia dari kawin Anak. Dan ini sudah masuk dalam strategi nasional (stranas) pencegahan perkawinan anak.” ujarnya.

Sedangkan dari Mahkamah Agung sedang menggodok Rancangan Peraturan Mahkamah Agung (Raperma) dalam dispensasi nikah. “Konsekuensi dinaikannya usia nikah dipastikan akan menaikkan pengajuan dispensasi nikah di pengadilan. Karena itu, kita perlu mengantisipasinya dengan diterbitkan Raperma ini. Tujuannya bagaimana agar hak-hak anak-anak tetap terlindungi,” kata Saiful Majid. [JM]

Bikin Miris. 1 Dari 4 Perempuan Menikah Sebelum Usia 18 Tahun

JAKARTA–Fakta soal perkawinan di bawah umur berlangsung di Indonesia. Ternyata 1 dari 4 anak perempuan di Indonesia menikah pada usia anak atau sebelum mencapai usia 18 tahun.

Lenny N Rosalin, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengungkapkan hal itu, dalam acara Dialog Publik dan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak di Jakarta, Selasa (18/12/2018).

Menurut Lenny, tingginya angka perkawinan usia anak di Indonesia sudah pada tahap mengkhawatirkan. Indonesia menempati posisi ke-2 di ASEAN dan ke-7 di dunia sebagai negara dengan angka perkawinan anak paling tinggi. Tingginya angka tersebut harus segera disikapi oleh berbagai pihak terutama pemerintah agar tingkat perkawinan anak dapat diturunkan sesuai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030.

Dampak perkawinan anak terjadi pada anak laki-laki dan perempuan. Namun anak perempuan lebih rentan mengalami kondisi tidak menguntungkan, seperti putus sekolah, hamil pada usia anak yang berpotensi menyumbang terjadinya komplikasi kesehatan reproduksi, angka kematian ibu (AKI), gizi buruk, stunting, pekerja anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perceraian dan berujung pada pemiskinan perempuan secara struktural.

“Keseluruhan hal tersebut menghambat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan juga capaian Sustainable Development Goals/SDGs. Untuk itulah, praktik perkawinan anak ini harus segera dihentikan,” jelas dia.

Kondisi ini menurut dia tentu sangat mengkhawatirkan karena anak telah kehilangan hak-hak mereka yang seharusnya dilindungi oleh negara. Jika kondisi ini dibiarkan akan menjadikan Indonesia berada dalam kondisi ‘Darurat Perkawinan Anak’, dan semakin menghambat capaian tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Oleh karena itu, Kemen PPPA sejak tahun 2016 terus berkolaborasi dengan berbagai lembaga masyarakat, kementerian/lembaga, pemerintah daerah mencetuskan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (GEBER PPA) sebagai upaya bersama untuk menekan angka perkawinan anak.

GEBER PPA merupakan inisiatif untuk menyinergikan upaya-upaya pencegahan perkawinan anak oleh pemerintah dan organisasi masyarakat sipil. Inisiatif ini bertujuan untuk mengakselerasi penurunan angka perkawinan anak dengan berperspektif pencegahan melalui edukasi masyarakat dan mendorong kebijakan atau hukum yang mengatur perkawinan anak. Aris Arianto

sumber: https://joglosemarnews.com/2018/12/bikin-miris-1-dari-4-perempuan-menikah-sebelum-usia-18-tahun/

‘Satu dari Empat Perempuan Indonesia Menikah di Usia Anak’

Tingginya angka perkawinan usia anak di Indonesia sudah pada tahap mengkhawatirkan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) menyatakan satu dari empat anak perempuan di Indonesia menikah pada usia anak atau sebelum mencapai usia 18 tahun. Hal ini dikemukakan oleh Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA Lenny N Rosalin mewakili Menteri PPPA dalam acara Dialog Publik dan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak di Jakarta Selasa (18/12).

Menurut Lenny, tingginya angka perkawinan usia anak di Indonesia sudah pada tahap mengkhawatirkan. Indonesia menempati posisi kedua di ASEAN dan ketujuh di dunia sebagai negara dengan angka perkawinan anak paling tinggi.

Tingginya angka tersebut harus segera disikapi oleh berbagai pihak terutama pemerintah agar tingkat perkawinan anak dapat diturunkan sesuai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030. “Dampak perkawinan anak terjadi pada anak laki-laki dan perempuan. Namun anak perempuan lebih rentan mengalami kondisi tidak menguntungkan,” ujar Lenny.

Kondisi tidak menguntungkan itu antara lain putus sekolah, hamil pada usia anak yang berpotensi menyumbang terjadinya komplikasi kesehatan reproduksi, angka kematian ibu (AKI), gizi buruk, stunting, pekerja anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perceraian dan berujung pada pemiskinan perempuan secara struktural. Keseluruhan kondisi tersebut menghambat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan juga capaian  Sustainable Development Goals/SDGs. “Untuk itulah, praktik perkawinan anak ini harus segera dihentikan,” katanya.

Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan karena anak telah kehilangan hak-hak mereka yang seharusnya dilindungi oleh negara. Jika kondisi ini dibiarkan, Lenny mengatakan, akan menjadikan Indonesia berada dalam kondisi ‘Darurat Perkawinan Anak’, dan semakin menghambat capaian tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Oleh karena itu, Kemen PPPA sejak 2016 terus berkolaborasi dengan berbagai lembaga masyarakat, kementerian/lembaga, pemerintah daerah dan jaringan media mencetuskan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (GEBER PPA). Gerakan ini sebagai upaya bersama untuk menekan angka perkawinan anak.

Ia menjelaskan, GEBER PPA merupakan inisiatif untuk menyinergikan upaya-upaya pencegahan perkawinan anak oleh pemerintah dan organisasi masyarakat sipil. Inisiatif ini bertujuan untuk mengakselerasi penurunan angka perkawinan anak dengan berperspektif pencegahan melalui edukasi masyarakat dan mendorong kebijakan atau hukum yang mengatur perkawinan anak.

Dalam momentum tersebut Kemen PPPA mengajak masyarakat untuk ikut dalam gerakan dengan turut menyuarakan upaya pencegahan perkawinan anak. Menteri PPPA, Yohana Susana Yembise juga menyampaikan bahwa upaya gerakan bersama ditandai dengan hal yang membanggakan.

Mahkamah Konstitusi, Kamis (13/12) telah membacakan putusan atas pengujian Pasal 7 (1) UU Perkawinan mengenai batas usia anak. MK memutuskan batas minimal usia perkawinan untuk perempuan harus dinaikkan dari sebelumnya 16 tahun.

Putusan progresif ini tentu merupakan kemenangan perjuangan pencegahan perkawinan anak untuk anak-anak Indonesia. Dalam putusan ini juga mengamanatkan untuk pemerintah bersama pembentuk Undang-Undang diberi waktu tiga tahun melakukan upaya untuk melaksanakan putusan tersebut. Tentu kerja keras tersebut akan dilakukan bersama, meskipun terdapat banyak tantangan yang luar biasa untuk menghapus praktik perkawinan anak.

Sebab, seperti disampaikan oleh MK, perkawinan anak adalah merupakan bentuk eksploitasi seksual pada anak dan inskonstitusional. Ia mengklaim Kementerian PPPA berkomitmen bersama seluruh stakeholders melakukan berbagai langkah strategis untuk pencegahan perkawinan anak.

Sumber: https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/18/12/19/pjy11i384-satu-dari-empat-perempuan-indonesia-menikah-di-usia-anak

KPPPA Luncurkan Gerakan Cegah Perkawinan Anak

Gerakan bersama ini untuk mempercepat upaya pencegahan perkawinan anak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak meluncurkan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak. Gerakan ini melibatkan lintas kementerian dan lembaga masyarakat.

“Semua pihak bergabung. Ini adalah kerja kolektif, sinergi kita bersama untuk anak-anak dan perempuan kita,” kata Deputi Tumbuh Kembang Anak Lenny N Rosalin ketika acara peluncuran Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak di Jakarta, Selasa (18/12).

Lenny mengatakan Gerakan Bersama tersebut disingkat dengan “geber” karena diibaratkan dengan mobil. Lenny mengatakan gerakan bersama itu dimaksudkan untuk “menggeber” atau mempercepat upaya-upaya pencegahan perkawinan anak.

Beersamaan dengan peluncurkan Gerakan Bersama itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga meluncurkan Peta Jalan Pencegahan Perkawinan Anak. Peta Jalan dan Gerakan Bersama itu harus berjalan beriringan.

“Tidak cukup berhenti dengan hanya memiliki peta jalan. Harus ada gerakan bersama yang dimotori lembaga masyarakat,” tuturnya.

Lenny berharap kerja bersama melalui Peta Jalan dan Gerakan Bersama itu bisa berdampak positif untuk mencegah sehingga perkawinan anak bisa dikurangi. Bahkan, ia berharap perkawinan anak bisa dihapuskan dari Indonesia.

Peluncuran Peta Jalan dan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak merupakan bagian dari 16 Hari Peringatan Antikekerasan terhadap Perempuan dan Hari Anak Internasional. Acara peluncuran Peta Jalan dan Gerakan Bersama dilanjutkan dengan Dialog Publik Pencegahan Perkawinan Anak yang melibatkan berbagai kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.

Sumber: https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/18/12/18/pjx7x5428-kppa-luncurkan-gerakan-cegah-perkawinan-anak

Peluncuran gerak bersama pencegahan perkawinan anak

Elshinta.com – Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017 menunjukkan bahwa angka perkawinan anak di Indonesia masih tinggi yakni 25,71 persen, dan sebanyak 23 provinsi berada diatas angka nasional. Tingginya angka tersebut harus segera disikapi oleh berbagai pihak terutama pemerintah agar tingkat perkawinan anak dapat diturunkan sesuai dengan yang ditargetkan dalam tujuan pembangunan berkelanjutan 2030.

Kontributor Elshinta, Misriadi, Selasa (18/12) melaporkan, satu dari empat anak perempuan menikah pada usia anak, yaitu sebelum dia mencapai 18 tahun. Setiap tahunnya, sekitar 340,000 anak perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan karena anak telah kehilangan hak-hak mereka yang seharusnya dilindungi oleh negara. Jika kondisi ini dibiarkan tentu akan menjadikan Indonesia berada dalam kondisi ‘Darurat Perkawinan Anak’, dan tentu saja akan semakin menghambat capaian tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Dampak perkawinan anak terhadap anak sangat komplek, seperti tercabut dari kesempatan menuntaskan pendidikan 12 tahun, beresiko tinggi terjadinya kematian pada ibu dan bayi, berpotensi tinggi terjadi kekerasan dalam rumah tangga, beresiko anak stunting, gangguan kesehatan reproduksi, sampai terjadinya siklus kemiskinan yang tidak terputus, karena mereka juga harus terpaksa bekerja. Dampak-dampak tersebut akan berpengaruh besar pada turunnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sehingga berpengaruh juga pada tidak tercapainya berbagai target pemerintah baik dalam program dan kebijakan dalam melindungi dan memenuhi hak-hak warganya sesuai mandat dalam konstitusi dan kebijakan nasional lainnya, serta dalam berbagai komitmen pemerintah dalam instrumen-instrumen hukum internasional, seperti Konvensi Hak Anak, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, SDGs.

Oleh karena situasi kedaruratan tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sejak tahun 2016 telah/sedang/akan terus berkolaborasi dengan berbagai lembaga masyarakat, kementerian/lembaga, pemuda dan jaringan media mencetuskan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (GEBER PPA) sebagai upaya bersama untuk menekan angka perkawinan anak. GEBER PPA merupakan inisiatif untuk mensinergikan upaya-upaya pencegahan perkawinan anak oleh pemerintah dan organisasi masyarakat sipil.

Inisiatif ini bertujuan untuk mengakselerasi penurunan angka perkawinan anak dengan berperspektif pencegahan melalui edukasi masyarakat dan mendorong kebijakan atau hukum yang mengatur perkawinan anak. Dalam momentum ini kami pun mengajak masyarakat untuk ikut dalam gerakan dengan turut menyuarakan upaya pencegahan perkawinan anak.

Sumber: https://elshinta.com/news/163873/2018/12/18/peluncuran-gerak-bersama-pencegahan-perkawinan-anak

KPPPA luncurkan gerakan bersama pencegahan perkawinan anak

Elshinta.com – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak meluncurkan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak dengan melibatkan lintas kementerian dan lembaga masyarakat.

“Semua pihak bergabung. Ini adalah kerja kolektif, sinergi kita bersama untuk anak-anak dan perempuan kita,” kata Deputi Tumbuh Kembang Anak Lenny N Rosalin ketika acara peluncuran Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak di Jakarta, Selasa (18/12).

Lenny mengatakan Gerakan Bersama tersebut disingkat dengan “geber”, diibaratkan dengan mobil, Lenny mengatakan gerakan bersama itu dimaksudkan untuk “menggeber” atau mempercepat upaya-upaya pencegahan perkawinan anak.

Bersamaan dengan peluncurkan Gerakan Bersama itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga meluncurkan Peta Jalan Pencegahan Perkawinan Anak. Peta Jalan dan Gerakan Bersama itu harus berjalan beriringan.

“Tidak cukup berhenti dengan hanya memiliki peta jalan. Harus ada gerakan bersama yang dimotori lembaga masyarakat,” tuturnya, seperti dikutip dari Antara.

Lenny berharap kerja bersama melalui Peta Jalan dan Gerakan Bersama itu bisa berdampak positif untuk mencegah sehingga perkawinan anak bisa dikurangi, bahkan dihapuskan dari Indonesia.

Peluncuran Peta Jalan dan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak merupakan bagian dari 16 Hari Peringatan Antikekerasan terhadap Perempuan dan Hari Anak Internasional.

Acara peluncuran Peta Jalan dan Gerakan Bersama dilanjutkan dengan Dialog Publik Pencegahan Perkawinan Anak yang melibatkan berbagai kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.

Sumber: https://elshinta.com/news/163861/2018/12/18/kpppa-luncurkan-gerakan-bersama-pencegahan-perkawinan-anak

Kawin Kontrak Jadi Modus Perkawinan Anak

Metrotvnews.com, Jakarta: Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise menceritakan tentang temuannya di daerah terkait perkawinan anak. Ia menemukan anak yang menikah di usia muda berulang kali melakukan pernikahan.

“Satu anak perempuan bisa menikah 15 kali. Tiga bulan cerai, menikah lagi, tiga bulan cerai lagi. Ini sangat menyedihkan,” kata Yohana di Kantor Kementerian PPPA, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat 3 November 2017.

Faktor yang menyebabkan anak menikah di usia muda bukan hanya faktor ekonomi. Bisa juga karena keinginan sendiri. Kawin kontrak menjadi salah satu modus perkawinan anak. Menteri perempuan pertama dari tanah Papua ini menyebut banyak modus melaksanakan perkawinan anak.

“Kawin macam-macam modusnya. Membuat pusing. Ternyata perempuan ini unik,” kata Yohana berkelakar.

Kementerian PPPA baru saja meluncurkan Gerakan Stop Perkawinan Anak. Gerakan ini dilatarbelakangi banyaknya aduan dari masyarakat untuk menghentikan perkawinan anak.

Dalam hal tingkat perkawinan anak, Indonesia berada di posisi ke-7 terbanyak di dunia. Demikian laporan dari Badan PBB yang mengurusi persoalan anak-anak (UNICEF).

Deputi bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA mendata anak usia 10-15 tahun yang sudah merasakan perkawinan sebanyak 34,5 persen, anak usia 16 tahun sebanyak 39,2 persen, dan anak usia 17 tahun sebanayk 26,3 persen.

 

(UWA)

Sumber: http://news.metrotvnews.com/peristiwa/wkBnADvk-kawin-kontrak-jadi-modus-perkawinan-anak

Ayu Juwita dari Sumut Jadi Menteri Sehari di Kementerian PPPA

Analisadaily (Jakarta) – Plan International Indonesia kembali menggelar event ‘Sehari Jadi Menteri’, di mana seorang remaja perempuan terpilih, Ayu Juwita dari Sumatera Utara menggantikan posisi Yohana Yambise sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA). Acara ini merupakan rangkaian kegiatan untuk memperingati Hari Anak Perempuan Internasional (International Day of the Girls), yang jatuh setiap tanggal 11 Oktober.

“Hari Anak Perempuan Internasional bisa dijadikan momentum bagi semua pihak untuk memperkuat upaya pemberdayaan dan perlindungan anak perempuan, terutama dalam mendukung pencegahan perkawinan anak. Hal ini juga merupakan bentuk dukungan kami untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals – SDGs) poin ke-5,” kata Country Director Plan International Indonesia, Myrna Remata-Evora, ditulis Analisadaily.com, Kamis (11/10).

Melalui kegiatan ini, Plan International Indonesia memberikan kesempatan bagi anak Indonesia khususnya anak perempuan untuk belajar jadi pemimpin. Hal ini sesuai dengan komitmen Plan International, untuk memastikan anak perempuan di seluruh dunia dapat belajar (learn), memimpin (lead), memutuskan (decide) dan berkembang dengan baik (thrive).

Acara ‘Sehari Jadi Menteri’ ini diikuti oleh 21 anak dan kaum muda terpilih, dari berbagai wilayah Indonesia. Mereka terpilih setelah mengikuti proses seleksi, yang melibatkan Kementerian PPPA, dan didukung oleh UNICEF dan Aliansi AKSI. Pada event ini, ke-21 anak muda itu berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan, terutama menyangkut hal yang berdampak pada kehidupan anak perempuan. Berkantor di KPPPA, Ayu Juwita menjadi Menteri dan memimpin rapat pimpinan bersama Sekretaris Menteri, Deputi dan Asisten Deputi, yang juga diisi oleh anak muda.

“Kaum muda adalah pemimpin masa depan. Salah satu masalah yang paling mendesak yang dialami banyak kaum muda di Indonesia saat ini adalah perkawinan usia anak. Fenomena perkawinan usia anak berpotensi mengakhiri pendidikan anak perempuan, merusak kesehatannya dan membuat mereka menghadapi risiko kekerasan yang lebih tinggi,” kata Perwakilan UNICEF Indonesia, Lauren Rumble.

Lies Marcoes, dari Aliansi AKSI mengatakan, Rumah Kitab sebagai lembaga riset advokasi pencegahan perkawinan anak sangat mengapresiasi kegiatan Hari Anak Perempuan Internasional, di mana tema tahun ini sangat relevan dengan kerja-kerja Rumah Kitab. Demikian juga 31 anggota jaringan Aksi Remaja Perempuan Indonesia (AKSI) yang dalam tahun ini memberi perhatian pada upaya pencegahan perkawinan usia anak.

“AKSI melihat dampak buruk perkawinan usia anak seharusnya dapat dicegah dengan pemberian informasi yang tepat bagi remaja dalam mencegah kawin anak,” tambah Ibu Lies Marcoes, Perkawilan dari Aliansi AKSI.

Dari 1.800 kandidat, terpilih 50 finalis yang ikut dalam kompetisi video blog, berdurasi 90 detik untuk menyuarakan pendapatnya jika menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk menghentikan praktik perkawinan usia anak di Indonesia.

Kemudian Plan International Indonesia bersama dengan Aliansi AKSI dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memilih 11 video blog terbaik, serta 10 video blog yang terpilih dengan jalur khusus untuk memastikan bahwa penyelenggara mendorong partisipasi aktif anak dan kaum muda yang tidak memiliki akses karena kondisi tertentu seperti tinggal di tempat yang terpencil.

Sebelum menjalankan peran “Sehari Jadi Menteri”, mereka telah mendapatkan pelatihan dasar kepemimpinan selama tiga hari dari tanggal 7-9 Oktober di Leadership Camp. Mereka belajar mengenai berbagai keterampilan kepemimpinan. Mereka juga diberikan pembekalan mengenai organisasi di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta isu-isu hak anak dan kesetaraan gender, terutama isu yg berkaitan dengan pencegahan perkawinan usia anak.

“Kami berharap setelah menjalani kegiatan “Sehari Jadi Menteri”, anak muda dapat menjadi agen perubahan (agent of change) di daerahnya untuk mendukung pencegahan perkawinan usia anak. Perkawinan usia anak membuat anak perempuan menanggung banyak risiko yang dapat mempengaruhi hidupnya, mulai dari putus sekolah, gangguan kesehatan reproduksi seperti komplikasi pada saat melahirkan hingga kekerasan dalam rumah tangga.”

“Kemiskinan juga cenderung berulang dari generasi ke generasi akibat perkawinan usia anak. Karena itu, sebagai organisasi yang peduli terhadap hak-hak anak, kami ingin masyarakat Indonesia sadar tentang hak-hak anak perempuan termasuk haknya untuk tidak menikah pada saat mereka masih usia anak,” tutup Program Manager Plan International Indonesia Wahyu Kuncoro.

(rel/rzp)

Sumber: http://news.analisadaily.com/read/ayu-juwita-dari-sumut-jadi-menteri-sehari-di-kementerian-pppa/431433/2017/10/12