Pos

Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dengan Disabilitas


Kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas terus meningkat setiap tahunnya. Data Komnas Perempuan tahun 2023 mencatat ada 105 kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas, lebih tinggi dibandingkan kasus tahun 2022 yang berada di angka 72 kasus.

Kasus kekerasan seksual yang terjadi, sebanyak 40 kasus terhadap perempuan disabilitas mental, 33 kasus perempuan disabilitas sensorik (penglihatan, pendengaran, dan bicara), 20 kasus perempuan disabilitas intelektual, 12 kasus perempuan disabilitas fisik.

Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada sepanjang tahun 2021 terjadi 987 kasus kekerasan terhadap anak penyandang disabilitas. Dari data itu kekerasan seksual menempati urutan tertinggi yang mencapai sebanyak 591 kasus.

Meski begitu, kasus kekerasan diperkirakan sebagai fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terlaporkan tetap masih lebih kecil ketimbang kasus yang tidak terlaporkan. Sebab, bukan perkara yang mudah bagi perempuan dan anak perempuan untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya.

Budaya dan sistem hukum seringkali masih sulit memberikan rasa keadilan kepada penyandang disabilitas sebagai penyintas kekerasan seksual. Selain pelayanan hukum belum secara keseluruhan memiliki aksesibilitas yang tinggi.

Perempuan penyandang disabilitas sebagai korban kekerasan seksual memang sering mengalami diskriminasi dalam proses penyidikan dan peradilan. Selain itu, proses penyelidikan juga cenderung menemui jalan buntu (Alhamudin Maju Hamongan Sitorus: 2022).

Pada saat sama, masih banyak keluarga yang cenderung abai terhadap perempuan penyandang disabilitas sebagai penyintas kekerasan seksual. Bahkan solusi yang diambil keluarga justru memasang alat kontrasepsi, sehingga yang menjadi urusan bukan tindakan kekerasan seksualnya, melainkan agar perempuan penyandang disabilitas tidak mengalami kehamilan. Belum lagi, manakala pelaku merupakan orang terdekat yang selama ini menjadi pelindung dalam kehidupan keseharian.

Akar Kekerasan
Kekerasan seksual adalah tindakan pemaksaan atau memanipulasi untuk melakukan tindakan seksual yang tidak diinginkan tanpa izin. Penyintas kekerasan bisa siapa saja, anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua, termasuk penyandang disabilitas. Sementara pelakunya bisa orang asing, tetapi sebagian besar anggota keluarga, orang yang dipercaya, dan teman (NSVRC: 2010).

Tindakan kekerasan seksual mengakibatkan trauma jangka panjang, bahkan bisa terjadi sepanjang sisa hidup penyintas kekerasan seksual, sakit, hilangnya rasa percaya diri, ketakutan, dan juga pengucilan sosial.

Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas berakar pada berbagai diskriminasi dan stigma yang kuat dalam budaya patriarki dengan terjadinya diskriminasi ganda berdasarkan status gender dan disabilitasnya.

Status gender menempatkan perempuan penyandang disabilitas seperti juga perempuan tanpa disabilitas yang harus patuh terhadap nilai dan norma gender tradisional. Ideologi patriarki juga menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua, dan menjadikannya sebagai objek seksual.

Dalam konteks disabilitasnya, perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas mengalami kekerasan seksual karena lemahnya dukungan sosial dan hukum, eksklusi sosial, keterbatasan gerak, persoalan komunikasi, dan stereotip terhadap penyandang disabilitas.

Konstruksi mengenai gender dan disabilitas menunjukkan adanya relasi kuasa yang timpang antara penyintas dan pelaku kekerasan seksual. Relasi yang secara terus menerus diproduksi melalui berbagai pranata sosial, termasuk pendidikan dan tradisi budaya yang bias gender.

Strategi Pencegahan
Problem kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan dengan penyandang disabilitas merupakan problem struktural, sistemik, dan masif. Pencegahan terjadinya kasus, dengan begitu tak lagi memadai manakala hanya mengandalkan pendekatan persuasif dan pendekatan prosedur formal.

Persoalan struktural menunjukkan terjadinya berbagai tindakan kekerasan seksual berada pada ranah ideologis dan sistem, sehingga membutuhkan respons yang menyeluruh dan secara bersamaan. Ada tiga lokus dalam pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas.

Pertama, level paradigmatik. Pada level ini agenda perubahan berada pada upaya mengubah cara pandang terhadap perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas. Misalnya, melakukan pengarusutamaan GEDSI (Gender Equality, Disability, and Inclusion) melalui berbagai kanal literasi publik.

Agenda ini akan menggeser pandangan stereotip terhadap penyandang disabilitas, seperti tak berguna, tak berdaya, menyedihkan, kutukan, dan anggapan negatif lainnya. Lalu menggantinya dengan cara pandang positif, penyandang disabilitas memiliki hak yang sama, penyandang disabilitas tak memiliki perbedaan dengan siapa pun dalam menjalani kehidupan, kecuali mereka hanya membutuhkan alat bantu mobilitas. Dan siapapun memiliki potensi menjadi penyandang disabilitas.

Perubahan cara pandang ini, tidak saja akan mencegah para pelaku tindak kekerasan. Namun, menjadikan para penyedia layanan kekerasan terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas akan menjadi bersikap ramah, dan menghargai para penyintas kekerasan seksual.

Kedua, mengimplementasikan UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai pemenuhan hak-haknya, dan melakukan harmonisasi berbagai kebijakan lain dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Misalnya, melakukan harmonisasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang mengatur pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan pada segala bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Harmonisasi ini mendorong seluruh layanan terhadap perempuan dan anak perempuan dengan penyandang disabilitas sebagai penyintas kekerasan seksual mendapatkan menjadi ramah.

Ketiga, mewujudkan aksesibilitas fisik, misalnya ruang mudah dijangkau pengguna kursi roda dan kruk, ada penunjuk arah (guiding block) bagi disabilitas netra. Selain itu, aksesibilitas sosial, misalnya tersedia juru bahasa isyarat, dan para petugas layanan yang ramah dengan memiliki kapasitas berinteraksi dengan penyintas kekerasan seksual.[]

rumah kitab

Merebut Tafsir: Yang Tersisa dari Kontroversi Oki Setiana Dewi

Kontroversi “ceramah” Oki Setiana Dewi (OSD) meninggalkan beberapa catatan penting. Pertama, kesadaran tentang kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) telah “go public”. Begitu potongan ceramahnya mengudara, reaksi pun muncul, dari yang tipis-tipis sampai yang teoretis. Tak hanya perempuan yang ahli di bidangnya tetapi para lelaki yang merasa dipermalukan. Ini sebuah capaian hebat. Ini sungguh buah dari kerja keras kampanye dan aksi anti kekerasan terhadap perempuan yang bergulir sejak era reformasi, terutama setelah terbentuknya Komnas Perempuan di era Presiden Habibie, dan keluarnya kebijakan Pengarusutamaan Gender di era Presiden Abdurrahman Wahid dan keluarnya UU anti kekerasan teradap perempuan di era Presiden Megawati, untuk sekedar menyebut beberapa tonggak penting.

Kedua, isu kekerasan juga telah mengalami proses konseptualisasi teoretis. Istilah “normalisasi KDRT” yang digunakan untuk melawan pandangan Oki adalah sebuah konsep yang mengekstraksi bahwa kekerasan bukanlah sesuatu yang normal dan biasa saja, itu adalah sebuah tindakan kejahatan kemanusiaan. Kerangka teori untuk menjelaskan apa, mengapa kekerasan terjadi dengan basis ketimpangan gender dan karenanya bukan sesuatu yang tak disengaja telah menjadi pengetahuan yang dapat menjelaskan seluk beluk tentang kekerasan terhadap perempuan (Silahkan Oki baca-baca buku dulu ya sebelum ceramah, referensinya telah bertebaran dalam bahasa Indonesia, himbauan yang sama berlaku bagi anggota DPR yang menggantung RUU kekerasan seksual).

Ketiga, kekerasan yang berbungkus pandangan agama telah dikupas tuntas untuk melawan pendekatan tekstualis. Meski ada ustadz mazhab “sejenis” yang mengutip ayat untuk membenarkan pandangan OSD, namun pandangan itu hancur lebur oleh konsep yang lebih matang yang telah dibangun dalam tradisi pemikiran di lingkungan kiai, nyai, ustadz dan ustadzah yang telah khatam baca kitab dalam tradisi pesantren. Mereka membaca dan faham konsep maqashid syariah – tujuan-tujuan inti ajaran/ syariat Islam, antara lain tentang konsep hifdzun nafs (menjaga nyawa/menjaga jiwa). Dalam konsep itu kekerasan apapun bentuknya adalah manifestasi dari pelanggaran salah satu dari lima maqashid syariah itu. OSD sebaiknya belajar lagi tentang prinsip-prinsip hak asasi manusia termasuk hak asasi perempuan dalam hasanah pemikiran Islam yang terus dikembangkan sejak era Imam Ghazali di abad ke 11. (Oki sekali kali ikut deh Kajian Islam dan Gender yang diasuh Nyai Dr. Nur Rofiah, atau ngaji di lingkungan KUPI dengan ibu nyai Badriah Fayumi  atau ngaji Mubadalah yang diasuh Kiai Faqihuddin Abdul Kodir, Dr (HC) Kiai Husein Muhammad, atau ngaji tafsir dari Prof. Nasaruddn Umar, Prof. Hamim Ilyas dan banyak lagi).

Keempat, dan ini tampaknya kurang tereksplorasi dalam diskusi, bahwa kekerasan adalah sebuah siklus. Jika hari itu OSD menceritakan suami perempuan itu memukul (OSD malah mencontohkannya menggampar sekuat tenaga), maka ketahuilah bahwa kekerasan itu PASTI telah berlangsung bertahun-tahun ke belakang. Kekerasan fisik yang terjadi hari itu, menurut catatan lembaga-lembaga perlindungan perempuan korban KDRT di seluruh dunia, memberi isyarat bahwa kejadian kekerasannya bukan baru pagi itu tetapi minimal telah berlangsung dua tahun ke belakang. Dari yang berbentuk hardikan, bentakan, merendahkan, ancaman, sumpah serapah, predikat sebutan sekebun binatang, sampai kekerasan fisik, memukul, menyundut dengan rokok, dilempar benda-benda yang ada didekat pelaku,  dan berakhir dengan kekerasan yang benar-benar merampas nyawa.

Ini beda dari kekerasan non gender seperti kekerasan berbasis konflik SARA yang eskalasinya linier memuncak, dari adu mulut sampai benar-benar adu fisik. Hal yang bahaya dari KDRT (perhatikan ya Oki!) adalah kejadian kekerasan itu berbentuk siklus melingkar, bukan linier. Siklus melingkar artinya, satu kejadian kekerasan dalam rumah tangga biasanya diikuti dengan penyesalan pelaku, lalu suasa psikologisnya masuk ke masa pemakluman dan pengampunan dari istri, lalu masa “bulan madu”, lalu diikuti masa jeda kekerasan dan jika ada pemicu lagi pelaku akan menghajar lebih keras lagi. Begitu seterusnya dengan intensitas yang makin kuat dan siklus waktu yang makin pendek. Karena KDRT membentuk siklus, karenanya KDRT menjadi sangat berbahaya dan menjadi biang pembunuh dalam rumah tangga.

Kelima, ini juga kurang tereksplorasi dalam diskusi kali ini. Soal standar ganda dan stereotype kekerasan. Oki mengatakan perempuan itu suka “lebay”. Suka mengadu dan melebih-lebihkan. Ini sebuah pernyataan yang menjadi setero/gaung suara yang bergema tapi menyesatkan. Perempuan, seperti Oki ya, dikonstruksikan secara sosial (termasuk dari ceramah agama) agar menjadi “perempuan”. Itu artinya perempuan dibentuk sesuai dengan harapan sosialnya dalam bertingkah laku. Mereka harus lemah, sabar, pasrah, mengalah, tidak boleh lebih dari lelaki dan seterusnya. Harapan sosial itu tentu harus diekspresikan dalam tingkah laku; ramah tidak judes, baik tidak galak, diam tidak bersuara, dan tak masalah jika emosional. Nah jika asuhannya menghendaki begitu, tentu perempuan dikonstruksikan untuk menyampaikan segala sesuatu dengan ekspresi dan harapan sosialnya itu. Bicara hal yang rasional (anak sakit, mahar mahal, suami selingkuh) tapi dengan ekspresi emosional, menangis misalnya. Tapi karena penilaiannya menggunakan standar ganda sikap serupa itu dinilai “berlebih-lebihan”. Coba bandingkan kalau hal serupa terjadi kepada lelaki, ia menangis dalam mengekpresikan perasannya, tanggapannya bukan “berlebih-lebihan” tapi dianggap lelaki yang lembut, sensitif, yang perasa. Air matanya dinilai sebagai bentuk sikap sportifnya, sementara pada perempuan dianggap emosional karena mendahulukan rasa daripada otak. Nah!

Lies Marcoes #6 Februari 2022

 

KESIMPULAN DAN CATATAN PENUTUP SEMINAR INTERNASIONAL: Hasil Penelitian Rumah KitaB Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan

Dari seminar ini ada beberapa catatan, kesimpulan, dan rekomendasi  terkait penelitian yang dilakukan Rumah KitaB. Berikut beberapa hasil catatan dari seminar ini:

  1. Hasil paling menonjol dari penelitian ini adalah tuntutan untuk mengkaji ulang tentang konsep kekerasan ekstrem. Konsep itu selama ini didominasi oleh cara pandang maskulin dan patriarki yang menguncinya dalam kekerasan fisik: bom bunuh diri, penyerangan aparat, money laundering, yang keseluruhannya berpusat pada gangguan keamanan negara terkait radikalisme dan terorisme. Cara kaji serupa itu, menurut penelitian ini, telah mengabaikan kekerasan ekstrem lain yang terjadi setiap hari yang dialami perempuan. Kekerasan itu mengancam keamanan insani berupa kematian jiwa dan kematian akal sehat yang merampas kebebasan berpikir dan berupaya.
  2. Penelitian ini mencatat kekerasan yang mengancam keamanan insani perempuan juga mengancam pada pilar-pilar yang selama ini menjadi kekuatan Islam Indonesia sebagai Islam yang toleran, yang peduli pada keragaman sebagai warisan dari Islam Indonesia.
  3. Berdasarkan empat pertanyaan penelitian, secara berturut-turut penelitian ini mencatat sejumlah temuan. Pertama, soal definisi perempuan. Melalui hegemoni ajaran, perempuan ditekankan sebagai sumber fitnah (keguncangan) di dunia. Kehadirannya, terutama di ruang publik, menjadi alasan instabilitas moral yang merusak tatanan sosial, bahkan ekonomi. Oleh karena itu, perempuan harus tunduk pada fitrahnya sebagai pihak yang harus dikontrol, diawasi, dicurigai, dan dibatasi di ruang publik, baik secara langsung maupun simbolik.
  4. Ajaran serupa itu disosialisasikan dan dinormalisasikan lewat ragam cara. Cara konvensional melalui ceramah dan cara lain seperti menggunakan sosial media serta ragam kampanye kreatif lainnya.
  5. Ajaran dan ujaran yang disampaikan terus menerus dapat melemahkan mental perempuan dan membentuk kekerasan non-fisik. Mereka cemas, takut, merasa tidak aman oleh sebuah hidden power yang terus menggedor kesadaran mereka sebagai sumber fitnah. Namun, pelanggengan ajaran dan ujaran ini tak terjadi tanpa peran modal dan pasar yang menawarkan barang dan jasa serba syar’i. Penelitian ini juga mencatat ragam perlawanan perempuan atas ajaran itu, meskipun tak membentuk agensi.
  6. Rekomendasi yang disampaikan dalam seminar ini mencakup: pertama, Perlunya mengisi ruang wacana: mendukung dan menyediakan lebih banyak ruang ulama-ulama progresif, termasuk ulama perempuan, dalam menyebarkan upaya moderasi dengan konten dampak fundamentalisme terhadap perempuan. Ini bisa dilakukan lewat banyak media online, baik yang berbasis kelompok keagamaan  maupun kelompok lain. Kontennya diusahakan sesederhana mungkin agar memudahkan ditangkap oleh masyarakat awam. 

Kedua, Produksi pengetahuan: (1) Melanjutkan penelitian dari apa yang sudah diketahui lewat penelitian ini dengan mengambil sejumlah pertanyaan yang diajukan Prof. Musdah sebagai titik berangkat untuk eksplorasi lebih jauh, misalnya, kenapa sebagian orang tergabung sebagian tidak, faktor apa saja yang paling berpengaruh? (2) Melakukan Participatory Action Research (PAR); mengorganisir warga biasa dalam siklus kegiatan kolektif sambil mempelajari isu-isu yang mereka hadapi. Ini akan menghasilkan sejumlah data pembuka mata, lalu membicarakan tindakan kolektif apa yang bisa dilakukan untuk menghadapi isu-isu tersebut, lalu menjalankannya sembari mempelajarinya, sehingga menjadi bahan pembelajaran (pengetahuan) baru untuk tindakan kolektif selanjutnya yang lebih baik. Produksi pengetahuan ini juga bisa menyediakan konten untuk kampanya merebut kembali ruang wacana.

Catatan kesimpulan dan rekomendasi di atas menjadi sesi terakhir dan penutup dari seri ringkasan tiap sesi yang telah disebarluaskan oleh Rumah KitaB dari bulan November 2020 lalu.

Ringkasan Hasil Seminar Internasional: Tanggapan Nurhady Sirimorok, M.A atas usulan Prof. Michele Ford dan Prof. Musdah Mulia Terkait Hasil Penelitian Rumah KitaB Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan

Nurhady Sirimorok, M.A, Peneliti Senior Rumah Kitab memberikan tanggapan kepada dua nara sumber  dalam Acara Seminar Internasional: Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan. Ia merespon usulan yang disampaikan Prof. Michele Ford, Prof. Musdah Mulia, dan tiga rekomendasi penelitian. 

Menurutnya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk merebut kembali ruang wacana, seperti memperbanyak penceramah perempuan. Ia juga mendorong perlu adanya dukungan pada kelompok dan media (Mojok.com, Islami.co, dan lainnya) yang dapat melawan narasi kelompok fundamentalis. Ia bersetuju usulan Prof. Musdah, konten pengajian tidak boleh elitis, dan harus dikemas sedemikian rupa sehingga bisa diterima oleh masyarakat menengah ke bawah. 

Nurhady menjelaskan, berdasarkan penelitian, kelas menengah ke bawah dan pekerja memiliki kunci untuk melakukan resistensi terhadap fundamentalisme. Secara riil, mereka tidak bisa mengikuti ajaran tersebut, namun selama ini mereka dihinggapi perasaan bersalah karena tidak bisa menjadi Muslim yang kaffah.

Menurut Nurhady lebih lanjut, meluaskan narasi agama juga dapat dilakukan melalui para ulama, baik laki-laki maupun perempuan, yang memiliki cara pandang progresif. Terkait produksi pengetahuan baru, berdasarkan pertanyaan-pertanyaan Prof. Musdah, ia melihat bahwa penelitian yang ada saat ini dapat dipertajam dengan penelitian baru. Misalnya, penelitian dengan purposive sampling dan menanyakan faktor apa yang bisa membuat mereka bergabung, tidak bergabung, atau bahkan keluar dari kelompok fundamentalis. Bagi Nurhady, sudah terjawab dalam penelitian ini, namun perlu diperdalam di penelitian selanjutnya. Penelitian tentang ruang-ruang yang bisa dijangkau oleh perempuan yang terpapar pandangan fundamentalis juga penting untuk dihadirkan menurutnya. 

Nurhady menyertakan rekomendasi dalam tanggapannya, agar tidak elitis, pengetahuan dapat diproduksi langsung di komunitas. Bisa dilakukan participatory action research (PAR) dengan melibatkan perempuan di sejumlah kelompok. Ini merupakan kerja pengorganisasian dan produksi pengetahuan langsung di masyarakat. Biasanya ada banyak data pembuka mata yang bisa ditindaklanjuti oleh mereka secara kolektif. Kelompok fundamentalis juga melakukan pengorganisasian. Mereka memberikan pinjaman kepada orang-orang desa tanpa agunan dan tanpa bunga, dengan syarat mereka ikut kajian. Jadi, mereka datang ke masyarakat untuk memberikan solusi dan mengajak bergabung untuk ikut kajian.[]  

TANGGAPAN ATAS PRESENTASI HASIL PENELITIAN “FUNDAMENTALISME DAN KEKERASAN BERBASIS GENDER” RUMAH KITAB

Oleh: Prof. Michele Ford (Direktur SSEAC, Universitas Sydney, Australia)

 

Professor Michele Ford adalah pengamat dan peneliti gerakan buruh dan perempuan di Indonesia dan negara lainnya di Asia Tenggara. Michele mengikuti perubahan di keluarga Muslim Indonesia selama kurang lebih 20 tahun karena hampir semua keluarga dari pihak suaminya di Indonesia beragama Islam. Ia juga melihat dalam organisasi serikat buruh yang pada dasarnya bukan organisasi dengan haluan keagamaan, namun pandangan yang mendiskriminasikan perempuan, misalnya dalam kepemimpinan, belakangan kerap menggunakan argumen keagamaan.

Menurut Michele, terjadinya peningkatan paham fundamentalisme di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari perubahan geopolitik global dan perubahan lokal di Indonesia. Perubahan global tidak hanya terjadi di dunia Islam, tetapi juga di Kristen, Hindu, Budha, dan lainnya—di mana konservatisme atau fundamentalisme juga meningkat.

Ibu Michele memberikan konteks bagaimana fundamentalisme memiliki momentum pertumbuhannya di Indonesia. Menurutnya, setelah Reformasi, terjadi banyak perubahan sosial dan politik di Indonesia, dan kelompok konservatif atau fundamentalis banyak mendapatkan ruang. Ada perubahan bagaimana mereka berpakaian dan berinteraksi dengan non-Muslim.

Michele mengapresiasi hasil penelitian Rumah KitaB. Menurutnya  terdapat beberapa hal penting yang perlu digarisbawahi dalam penelitian ini; Pertama, hegemoni wacana. Kekerasan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga non-fisik. Penelitian ini melihat adanya kematian non-fisik yang dialami perempuan, di mana mereka kehilangan jiwa, pikiran, kebebasan, kemerdekaan, dan kemandiriannya. Ibu Michele bersepakat tentang hal ini dan ini bisa dilihat dengan jelas di Indonesia. Ada upaya penyempitan ruang bagi perempuan di ruang publik. Kedua, penelitian ini juga menyebutkan hilangnya otoritas perempuan sebagai akibat dari fundamentalisme—tidak hanya pakaian, tetapi juga ruang ekspresi bagi perempuan karena perempuan ditempatkan di dalam rumah. Ini juga berkaitan dengan hubungan laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap sebagai sumber fitnah, dan fitrah perempuan harus patuh pada laki-laki sebagai imam.

Menurut Michele, meski ideologi fundamentalis di Indonesia banyak berasal dari luar, namun mereka juga didukung oleh konsep yang lebih umum di Indonesia, seperti politik tubuh, mobilitas, risiko memiliki pemimpin perempuan, dan lainnya. Ibu Michele mendorong bagaimana kelompok fundamentalis dapat dilihat dalam gambar yang lebih besar.

Dampak terhadap perempuan yang ikut kelompok fundamentalis jauh lebih berat dari pada perempuan yang ikut kelompok lainnya di Indonesia, terutama di bidang ekonomi. Di laporan disebutkan, perempuan mengalami ketergantungan ekonomi kepada laki-laki karena dia tidak diperbolehkan bekerja dan bepergian keluar rumah. Menurut Ibu Michele, hal itu tidak hanya terjadi di kelompok fundamentalis, tetapi ini juga banyak terjadi di kelompok lainnya dan di luar Indonesia. Jika terkungkung dalam satu tempat yang terbatas, maka perempuan akan sulit untuk mendapatkan perspektif lain di luar komunitasnya. Dalam konteks itu, jika perempuan tidak memiliki pengalaman yang membuka wawasan, maka akan sulit untuk menantang status quo.

Michele Ford menekankan isu fundamentalisme ini harus diletakkan dalam kontinum yang lebih luas di Indonesia. Ketika mengkritik keberadaan perempuan di kelompok fundamentalis, kita juga harus mengkritik keberadaan perempuan di kelompok lainnya yang dianggap sebagai organisasi mainstrem. Apakah terjadi hegemoni wacana juga di kelompok non-fundamentalis?

Menurutnya, salah satu tema yang sangat penting dalam laporan ini adalah tema “kelas”; dampak kelas pada perempuan dalam kelompok fundamentalis. Dalam laporan disebutkan, perempuan kelas menengah lebih menemui kemudahan ketika mengikuti kelompok fundamentalis karena mereka bisa hidup berkecukupan tanpa bekerja di luar rumah. Bebannya lebih berat kepada perempuan kelas pekerja atau perempuan yang tidak mapan ekonominya. Ideologi mereka mengatakan perempuan tidak boleh bekerja di luar rumah, namun mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Jadi, ada tekanan antara ideologi yang dianut dengan kenyataan yang dialami sehingga menimbulkan tekanan jiwa yang berat. Meski mengalami situasi yang berat, di pihak lain, perempuan tersebut terekspos dengan ide-ide yang berbeda, misalnya, bertemu dengan perempuan yang tidak mengikuti pola kehidupan yang sama dengannya. Ini kesempatan yang bisa digunakan untuk memengaruhi atau membuka wawasan perempuan kelas pekerja yang berada di kelompok fundamentalis.

Dr. Michele Ford mempertajam rekomendasi yang disampaikan oleh Rumah KitaB. Pertama, perang wacana; bagaimana orang yang memiliki wawasan yang lebih terbuka tentang peranan perempuan dalam Islam bisa berpengaruh. Dalam pengamatannya, suara progresif dalam dunia Islam sekarang kalah dengan suara konservatif di ruang publik. Jadi, ruang-ruang publik itu harus diraih kembali dengan suara-suara Islam yang lebih progresif dan mengakui bahwa perempuan bisa hidup berdaulat dan bisa hidup baik. Kedua, membesarkan suara-suara tokoh agama yang menganut Islam progresif atau moderat. Ini sangat pas sebagai sebagai sebuah strategi dan tidak bisa dilepaskan dengan rekomendasi pertama dan keempat. Ketiga, mengamati praktik-praktik fundamentalis di sekolah negeri. Berdasarkan penelitian ini, ada praktik-praktik fundamentalis di sekolah-sekolah negeri. Ini juga terjadi di lembaga negara.  Dalam pengalaman penelitiannya Dr. Ford juga melihat ada seorang pekerja dari serikat buruh yang dipaksa memakai jilbab sebelum masuk ke kantor pemerintah; padahal itu bukanlah peraturan negara. Pengadaan ruang aman bagi korban kekerasan non-fisik, di sisi lain, agak kontroversial diterapkan namun ini sangat penting. Keempat, bagaimana dasar-dasar yang bisa diterima pemikir dan masyarakat Muslim dibangun atas interpretasi pandangan keagamaan ala Rumah KitaB dan lembaga lainnya. Pandangan agama yang mendukung perempuan bisa hidup sejajar dan penuh dalam kehidupan publik dan ekonomi perlu dibangun. Dengan melakukan ini, kelompok moderat bisa menang dalam perang wacana tersebut. Rekomendasi keempat ini merupakan pekerjaan mendasar untuk mengatasi masalah-masalah perempuan di kelompok fundamentalis.[]

 

RINGKASAN HASIL SEMINAR INTERNASIONAL: Tanggapan Prof. Musdah Mulia atas Hasil Penelitian Rumah KitaB Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan

Prof. Musdah Mulia, Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace, dalam tanggapan atas presentasi ringkasan Penelitian sebagaimana disampaikan Ibu Lies Marcoes dan Nurhayati Aida menyatakan bahwa penelitian ini sangat penting dan ia sangat mengapresiasinya.

Namun begitu, ada beberapa pertanyaan untuk para peneliti yang masih harus dijelaskan secara lebih ringkas dan tegas. Pertama, apa faktor utama yang mendorong perempuan bergabung dengan fundamentalisme? Dalam beberapa penelitian, ada banyak faktor yang mendorong perempuan bergabung dengan fundamentalisme misalnya ideologi, ekonomi, sosial, politik, dan lainnya. Kedua, apakah informan merupakan kelompok inti yang militan, pendukung, atau hanya sekadar simpatisan. Ketiga, secara sosiologis, identitas perempuan yang tergabung dalam fundamentalisme ini gambarannya seperti apa, misalnya, latar belakang politiknya, atau latar belakang ormas keagamaannya. Keempat, pola masuk ke dalam jaringan (rekrutmen) ini seperti apa. Apakah melalui perkawinan, pertemanan, atau lainnya. Kelima, rata-rata sudah berapa lama mereka bergabung dalam kelompok tersebut. Keenam, bagaimana mereka mengimplementasikan ajaran fundamentalisme dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupannya, mereka mungkin mengalami benturan-benturan. Misalnya, jika mereka pegawai negeri, maka mereka tidak bisa memakai pakaian syar’i ke kantor atau yang lain sebagainya.

BNPT sudah pasti telah melihat gejala-gejala ini. Pemerintah semestinya sudah melakukan sesuatu atas gejala yang ditemukan dalam penelitian ini. BNPT tidak harus melakukannya sendiri, tetapi BNPT bisa bersinergi dengan lembaga/kementerian lain dan civil society. Penelitian Rumah KitaB ini bisa dilihat dengan teori yang dikemukakan Charles Kimball dalam bukunya When Religion Becomes Evil (2013). Kata Kimbal, agama menjadi berbahaya atau thaghut jika: Pertama, pemeluk agama mengklaim agamanya sebagai satu-satunya kebenaran yang mutlak. Jika sudah demikian, maka pemeluk agama tersebut akan melakukan apa saja untuk mendukung klaim kebenarannya. Kedua, pemeluk agama mengkultuskan pemimpin agama dan bertaklid buta kepadanya. Ketiga, pemeluk agama gandrung memimpikan romantisme zaman ideal. Dalam Islam misalnya, bermimpi menegakkan khilafah. Keempat, membenarkan penggunaan segala cara. Kelima, mulai meneriakkan perang suci atau meneriakkan agama untuk kepentingan-kepentingan jangka pendek.

Sikap yang bisa kita lakukan dalam mengatasi gejala-gejala yang lahir dari fundamentalisme di antaranya merebut ruang publik untuk menarasikan indahnya cinta, kasih sayang, komitmen persaudaraan dan emansipasi dalam beragama. Dengan begitu agama mampu membebaskan manusia dari ketidakadilan, kebodohan, dan mengentaskan dari kemiskinan dan keterbelakangan. Serta agama mampu untuk membimbing dan mentransformasikan manusia menjadi lebih manusiawi. Narasi-narasi ini harus menjadi mainstream di publik, namun tidak dengan cara memaksa.

Penelitian Rumah KitaB ini mengafirmasi penelitian-penelitian sebelumnya tentang fundamentalisme di berbagai tempat; bahwa kelompok fundamentalisme cenderung melakukan tuntutan kolektif agar nilai-nilai etika dan keyakinan mereka diterima oleh masyarakat dan secara legal wajib dilaksanakan. Sebetulnya, apa yang disampaikan para penceramah fundamentalis adalah hal yang biasa karena itu juga didengar di pesantren (apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan perempuan).

Namun, kita menemukan beberapa hal yang berbeda. Pertama, dalam kelompok konservatis seperti NU, Muhammadiyah, dan pesantren, hal itu masuk domain fikih yang bersifat cair, dan terbuka. Namun kelompok fundamentalis menganggap itu sebagai doktrin akidah. Misalnya mereka meyakini apabila ada perempuan yang terlihat rambutnya maka dia tidak akan bisa mencium bau surga. Pandangan itu tidak diletakkan sebagai suatu pendapat atau tafsir keagamaan yang bisa saja ada pendapat lain yang berbeda, namun sedemikian rupa ditutup sebagai satu-satunya pandangan. Tak heran pendapat seperti  membuat perempuan d lingkungan mereka merasa bersalah jika tidak menutup tubuhnya. Kedua, kelompok fundamentalis itu anti-Barat. Ini terlihat dari sikap mereka yang mengutuk modernisme. Ketiga, kelompok fundamentalis memandang persoalan-persoalan masyarakat secara simplistik mengabaikan logika sebat akibat yang kompleks. Apapun persoalannya, akan bisa diselesaikan jika khilafah tegak. Keempat, kelompok fundamentalis memiliki konsep al-wala wal bara, sebuah konsep tentang keharusan bersikap loyal hanya kepada pendapatnya, atau kelompoknya dan berkewajiban memutus hubungan dengan kelompok yang berada di luar kelompoknya sendiri. Konsep ini menafikan pluralisme karena menganggap masyarakat hanya dua kelompok saja, yaitu Muslim dan jahiliyah. Kelima, mereka membakar emosi dengan slogan-slogan pendek yang mengancam, menakut-nakuti, menutup kesempatan untuk berpikir. Keenam, mengedepankan sikap doktriner dalam menyikapi persoalan. Ketujuh, mengendalikan dan memobilisasi penganut mereka dengan cara cuci otak anti rasionalitas berpikir.

Fundamentalisme penting untuk diketahui dan diidentifikasi, karena bahayanya luar biasa; mereka anti-feminisme, anti-humanisme, anti-demokrasi, anti-tasawuf, anti-Barat, anti-modernisme, anti-nalar, dan lainnya. Bahaya-bahaya fundamentalisme penting dikenali karena akan mengganggu upaya-upaya Indonesia untuk membangun sumber daya manusia, khususnya perempuan yang jumlahnya setengah dari populasi Indonesia (135 juta jiwa). Kalau fundamentalisme berhasil meyakinkan perempuan sebagai sumber fitnah, sumber dosa, maka mereka akan mematikan pikiran umat Islam, pikiran kaum perempuan untuk beragama dengan menggunakan nalar. Padahal Islam itu agama nalar, agama pengetahuan. Al Qur’an terus menerus mengingatkan, apakah kamu tidak berpikir dalam melihat tanda-tanda keagungan Allah. Modal untuk beriman adalah akal, berpikir, bukan taqlid buta. Kalau fundamentalsime berhasil mengharamkan KB, mendorong perempuan menjadi mesin reproduksi, melarang perempuan bekerja, maka semua upaya dan program pembangunan yang dicanangkan pemerintah akan berantakan.

Dampak fundamentalisme terhadap perempuan melahirkan kondisi ketidakadilan. Fundamentalisme mengekalkan pandangan-pandangan yang tidak adil bagi perempuan. Ini akan melahirkan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan lain sebagainya.

Pemetaan Resiliensi Perempuan

Penelitian Rumah Kitab telah memetakan sejumlah resiliensi yang dilakukan perempuan. Namun, sebagaimana disebutkan, resiliensi itu masih sangat lemah, sporadis, tidak berbasis pengorganisasian dan pengetahuan untuk pemberdayaan. Ini karena organisasi-organisasi keagamaan yang telah mapan kurang memberi perhatian kepada kaum perempuan yang terdampak oleh fundamentalisme. Prof. Musdah Mulia mencontohkan  bentuk-bentuk resiliensi perempuan di beberapa negara berpenduduk Islam. Rafatu Abdul Hamid di Nigeria mengkonter fundamentalisme dengan melakukan penguatan dan pemberdayaan di tingkat keluarga. Di Kenya, konter fundamentalisme juga dilakukan dengan memperkuat struktur keluarga dan pendidikan. Konsep moderasi beragama sangat penting untuk disosialisasikan hingga ke level yang paling bawah. Di Pakistan, perempuan-perempuan ulama diberdayakan. Mereka berkumpul dan menjadi agen-agen pembaharuan. Di Maroko, perempuan mendesak pemerintah untuk menciptakan kelompok religius moderat dan membahas hukum-hukum keluarga yang berangkat dari pandangan Islam moderat masuk ke dalam hukum keluarga yang progresif. Soal batas usia kawin misalnya, Mereka berhasil mengubah UU Perkawinan yang dapat melindungi perempuan dari praktik tradisional perkawinan anak.  Praktik-praktik serupa ini dapat menjadi pembelajaran, dan semuanya dilakukan oleh para perempuan di beberapa negara yang mengalami hal yang sama dengan Indonesia. Pemerintah perlu melakukan itu dengan mengajak semua stakeholders. Dan hal itu hanya dapat dilakukan jika pemerintah dapat melihat dampak fundamentalisme kepada perempuan sebagaimana ditunjukkan dari hasil penelitian Rumah Kitab. Dengan metode penelitian kritis feminis atau metode yang melihat secara seksama  perbedaan lelaki dan perempuan ini menghasilkan temuan penelitian yang menyumbang kepada pengetahuan juga advokasi. Selamat Rumah KitaB![]   

RINGKASAN HASIL SEMINAR INTERNASIONAL SESI 1: Membaca dan Mengatasi Ancaman Fundamentalisme terhadap Perempuan

Oleh Lies Marcoes & Nur Hayati Aida

 

RUMAH KITAB- USAID, The University of Sydney, Kresna Strategic

Jakarta, Rabu 21 Oktober 2020

 

Pengantar

Mulai hari ini secara berturut-turut Rumah KitaB akan menurunkan ringkasan beberapa sesi dari Seminar Internasional guna menyebarluaskan hasil seminar.

Sesi pertama ini menyajikan presentasi dari Lies Marcoes dan Nur Hayati Aida, dlanjutkan dengan para penanggap dan ditutup dengan catatan kesimpulan dan rekomendasi.

Selamat Membaca.

 

Sesi 1

Membaca dan Mengatasi Ancaman Fundamentalisme terhadap Perempuan

Lies Marcoes & Nur Hayati Aida

Dalam sesi Satu (1) Seminar Internasional Hasil Penelitian Rumah KitaB tentang Fundamentalisme dan Kekerasan Berbasis Gender, disampaikan laporan penelitian dari lima Wilayah. Presentasi disampaikan oleh Lies Marcoes dan wakil peneliti senior Nur Hayati Aida. Berikut adalah rungkasan presentasinya

Islam di Indonesia adalah Islam jalan tengah (wasathiyah). Islam corak itu  disangga  oleh tiga pilar, yaitu organisasi masyarakat (NU dan Muhammadiyah), pesantren sebagai sub-kultur Islam Indonesia, dan perguruan tinggi Islam.

Muslim Indonesia bersepakat dan menerima Pancasila sebagai ideologi negara yang mengakomodir kemajemukan Indonesia, karena sejalan belaka dengan nilai-nilai Islam.

Penanda lain bahwa Indonesia merupakan Islam moderat adalah Islam Indonesia memberi tempat yang layak dan baik kepada perempuan di ruang publik di semua sektor—bahkan menjadi hakim agama pada 1957—di mana negara Islam lainnya kala itu tidak menerimanya. Islam Indonesia juga memungkinkan terjadinya konvergensi antara feminis sekuler dan feminis Muslim secara alamiah untuk mengatasi problem kemanusiaan perempuan.

Keuntungan konvergensi yang berbasis filsafat kritis dan pembacan teks keagamaan itu dapat melawan ideologi state-ibuism — yang berangkat dari budaya Jawa feodal, dan fasis militer– di masa Orde Baru. Pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. Inpres ini memastikan tersedianya pembiayaan dan kebijakan tentang pengarusutamaan gender untuk semua kementerian dan lembaga serta pembangunan di tingkat daerah.

Namun, dalam waktu yang bersamaan, Indonesia berada dalam arus perubahan, baik lokal maupun internasional. Beberapa indikasi perubahan di tingkat lokal yang paling menonjol adalah masyarakat mengalami proses perubahan ekonomi dari agraris ke industri. Perubahan ini berpengaruh terhadap perubahan relasi gender di tingkat keluarga, komunitas, dan negara. Dalam masyarakat industri, akses perempuan ke ruang publik semakin terbuka, baik secara struktural maupun formal. Namun, sebagaimana ditemukan dalam penelitian Rumah KitaB tentang perkawinan anak, perubahan ini mengancam ‘maskulinitas’ karena lelaki kehilangan pijakannya, baik secara moril maupun ekonomi. Perubahan ini melahirkan sikap menguatnya maskulinitas dengan bertahan pada sikap-sikap konservatif yang disediakan agama dan budaya.

Sementara di tingkat internasional, terjadi perubahan-perubahan geopolitik di negara-negara berpenduduk Muslim seluruh dunia pascakolonial. Dimulai dengan munculnya Wahabi/Salafi di Saudi Arabia di awal abad ke 20 yang secara perlahan sampai di Indonesia melalui jaringan jamaah haji dan pendidikan.

Revolusi Iran yang berhasil menumbangkan pemerintahan tiran Syah Iran yang korup menginspirasi anak-anak muda Indonesia. Penerjemahan buku-buku yang ditulis oleh intelektual Iran yang berpengaruh kepada Revolusi Iran menyebar di Indonesia dan menjadi bacaan alternatif. Bersamaan dengan itu, Ikhwanul Muslimin di Mesir yang dimotori oleh Hasan Al-Banna juga memikat generasi Muslim muda Indonesia. Buku-buku Ikhwan Muslimin banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan menjadi inspirasi kaum muda Indonesia untuk melakukan aktivitasnya yang berbeda dari aktivitas Ormas keagamaan lokal, seperti NU dan Muhammadiyah.

Selanjutnya,  dunia dikejutkan dengan lahirnya kelompok  Taliban dalam perang Afghanistan yang memunculkan konsep jihad yang berbeda yaitu jihad amaliah berupa terror, lalu  perang Irak, lahir dan bubarnya ISIS dan penyebaran ideologinya melalui sosial media.

Semua peristiwa di atas, baik di tingkat lokal maupun internasional, sedikit banyak menantang corak Islam moderat Indonesia. Setelah Reformasi, atas nama demokrasi, paham trans-nasional fundamentalisme lahir dalam berbagai bentuk kelompok dan organisasi—antara lain Salafi—di Indonesia . Pada dasarnya Salafi adalah sebuah organisasi yang sangat maskulin. Namun, ketika masuk ke Indonesia, Salafi mengalami pribumisasi—dari yang semula domain laki-laki menjadi arena aktivitas yang dimotori oleh perempuan. Salafi berkembang di Indonesia karena peran perempuan.

Pribumisasi Salafi dapat dilihat dalam berbagai penanda-penanda perubahan yang menantang Islam wasathiyah. Antara lain adanya kecenderungan   mengontrol  tubuh dan seksualitas perempuan di ruang publik; perempuan menjadi tidak berwajah di ruang publik. Kecurigaan terhadap tubuh dan seksualitas perempuan di ruang publik, mendorong perempuan untuk masuk kembali ke rumah. Di ruang publik, perempuan dianggap sebagai penyebab instabilitas moral dan sosial atau fitnah.

Selain itu, muncul secara dominan upaya pembacaan teks-teks agama secara tekstualis tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan perempuan. Misalnya, olahraga untuk perempuan adalah panahan dan naik kuda. Atau jika perempuan ingin bekerja di ruang publik, maka dia harus menutupi tubuhnya sedemikian rupa.

Ajaran yang kaku dan tekstualis tersebut memicu kerenggangan hubungan sosial di dalam keluarga setelah proses ber”hijrah”. Hubungan-hubungan sosial menjadi lebih eksklusif dan tidak menghargai keragaman. Semua penanda itu beroperasi melalui tubuh, pemikiran, pengetahuan, dan kebudayaan yang dilekatkan kepada perempuan.

Atas dasar itu, Rumah KitaB berusaha mengkaji kembali tentang apa yang dimaksud dengan kekerasan ekstrem dan keluar dari pandangan arus utama melalui sebuah penelitian. Saat ini kajian kekerasan ekstrem hanya terkait dan didominasi oleh tema-tema state security (keamanan negara). Rumah KitaB mengkaji kekerasan ekstrem pada human security (keamanan insani) khususnya perempuan. Kajian ini hanya bisa terlihat jika menggunakan alat baca yang tepat yaitu analisis gender. Fokus penelitian ini adalah melihat konsep agensi dan kesalehan perempuan Muslim.

Tesis penelitian Rumah KitaB ini adalah kekerasan berbasis gender—fisik, non-fisik, simbolik, atau ekonomi—yang dialami perempuan akibat fundamentalisme –yang diajarkan setiap hari sehingga kemudian membentuk ‘everyday oppression’.

Dalam penelitian ini, Rumah KitaB menggunakan istilah fundamentalisme, bukan konservatisme karena beberapa hal: 1) dalam isu perempuan,  konservatisme memasukkannya dalam fikih –yang memungkinan untuk berdialog dengan realitas, sementara fundamentalisme memasukkan isu perempuan pada domain akidah/keyakinan –yang tertutup, tunggal, dan mengikat; 2) Watak konservatif adalah menjaga dan memelihara tradisi dengan argumentasi keagamaannya, sementara fundamentalis mencurigai dan menumpas tradisi karena tradisi  dianggap menyimpang dari ajaran agama; 3) Pada konservatif, kebenaran ada pada metodologi, sementara fundamentalis, kebenaran ada pada hasil akhir; 4) Konservatif mengutamakan hasil akhirnya yang maslahah, sementara fundamentalis memiliki konsep al-wala wal bara—loyalitas tentang kebenaran, di mana kebenaran ada pada dirinya dan di luar adalah salah.

Sebagai referensi, Rumah KitaB menggunakan kajian serupa yang pernah dilakukan oleh dua orang akademisi. Pertama, oleh Saba Mahmood yang berbicara tentang konsep politik kesalehan (politics of piety) perempuan di Mesir, Rachel Rinaldo yang mengkaji tentang mobilisasi kesalehan (mobilizing piety) organisasi  perempuan di Indonesia, yaitu Fatayat, Rahima, perempuan PKS, dan Solidaritas Perempuan. Kedua penelitian itu, melihat bahwa sebetulnya kesalehan bisa memberdayakan dan menggerakkan kebaikan. Di Indonesia, Rachel bahkan melihat kesalehan bisa menumbuhkan kesadaran kritis dan kemudian melahirkan aktivis feminis muslim.

Penelitian ini menggunakan metode etnografi-feminis, kualitatif, dan dilakukan oleh 14 peneliti terlatih, dan 4 supervisor. Di lapangan, para peneliti berhasil mengumpulkan informasi dari 165 informan yang diwawancarai di lima kota (Depok, Jakarta, Bandung, Solo, Bekasi), dan 16 kelompok/komunitas. Masing-masing peneliti kemudian mendalami dua hingga tiga studi kasus. Mereka juga melakukan observasi terhadap kelompok-kelompok diskusi dan hobi.

Rumah KitaB memilih lima wilayah penelitian berdasarkan referensi terdahulu terkait aktivitas intoleransi di wilayah ini. Namun, penelitian ini bukan studi wilayah. Pilihan pada lima wilayah untuk menangkap keragaman dan dinamika fundamentalisme bekerja di wilayah masing-masing.

Ada empat pertanyaan yang diuji dalam penelitian ini. Pertama, bagaimana pandangan fundamentalisme tentang perempuan. Kedua, bagaimana pandangan-pandangan itu disosialisasikan dan dinormalisasikan. Ketiga, apa dampak pandangan tersebut terhadap perempuan—kekerasan fisik, non-fisik, simbolik, dan ekonomi. Keempat, bagaimana perempuan melakukan perlawanan dan bagaimana perlawanannya itu terjadi.

Sebagai temuan utama, penelitian ini berhasil mendefinisikan ulang dan mengoreksi definisi kekerasan ekstrem. Selama ini, kekerasan ekstrem didefinisikan dengan kekerasan yang berdampak hanya pada kematian secara fisik, seperti dengan adanya bom, senjata tajam, dan sesuatu yang bersifat fisik lainnya. Penelitian ini melihat terjadinya kematian non-fisik yang dialami oleh perempuan akibat terus menerus digempur oleh ajaran agama yang tidak memberdayakan mereka (disempowered piety). Sebagai manusia, tubuhnya masih hidup, namun jiwanya mati, pikirannya terbelenggu, kebebasan, kemerdekaan, dan kemandirian hilang. Ini disebabkan oleh hegemoni pandangan tentang perempuan (‘everyday oppression’)  yang didengar melalui ajaran: perempuan adalah fitnah, perempuan adalah penyebab kegoncangan dalam masyarakat, karenanya secara fitrah mereka tergantung pada laki-laki karena tidak mampu mengontrol dirinya sendiri.

Hegemoni ajaran ini juga diperkuat oleh adanya kuasa tersamar yang bekerja sangat efektif, yaitu ajaran yang menindas dan mendikte perempuan tentang ajaran-ajaran yang menimbulkan rasa takut, rasa bersalah, tidak berdaya, dan ketergantungan pada lelaki dan budaya patriaki. Mereka melakukannya dengan sangat efektif melalui upaya delegitimasi ajaran-ajaran Islam wasathiyah—yang semula memberikan ruang pada perempuan. Melalui konsep hijrah, antitradisi, anti-keindonesiaan, dan lainnya perempuan dikuasai cara berpikir mereka tentang tubuh dan eksistensinya.

Fundamentalisme yang semula dianggap sebagai gejala perkotaan, dalam temuan penelitian ini, ternyata telah merembes ke perdesaan. Mereka membangun kantong-kantong kelompok baru yang menjadi pusat dakwah. Kelompok ini bertahan karena mereka berkawan dan berkawin dengan kapitalisme. Kapitalisme memanfaatkan sentimen kesalehan sebagai pembeda dengan kelompok lain dengan menggunakan produk layanan dan produksi yang diberi label syari.

Setidaknya ada lima ajaran kunci fundamentalisme mengenai perempuan. Pertama, perempuan merupakan sumber fitnah. Maksud fitnah di sini adalah kegoncangan sosial sehingga tubuh perempuan harus ditutup. Persoalannya, batasan aurat tidak hanya diterjemahkan oleh para juru dakwah, tetapi juga oleh pasar atau kapitalisme. Ajaran ini berdampak lebih luas karena juga memiliki dimensi kekerasan simbolis bagaimana perempuan diletakkan sebagai sumber fitnah. Perempuan tidak hanya ditempatkan di dalam rumah karena itulah satu-satunya tempat yang layak, tetapi juga diberikan tempat di area publik.

Kedua, fitrah perempuan adalah di dalam rumah. Karena perempuan adalah sumber fitnah, maka mereka harus berada di dalam rumah. Dalam ajaran Salafi, laki-laki memiliki peran yang cukup penting untuk melindungi dan mengontrol perempuan. Perempuan boleh bekerja di luar rumah, namun hanya pada dua sektor, yaitu pendidikan dan kesehatan, serta dengan beberapa syarat: izin dari suami dan tidak boleh ikhtilat.

Ketiga, seksualitas dan kontrol tubuh perempuan. Dalam ajaran ini, tubuh perempuan dikontrol; apa yang boleh dan yang tidak boleh. Seksualitasnya dikontrol melalui sunat perempuan. Keempat, anti-feminisme dan anti-LGBT. Dalam pandangan kelompok fundamentalis, feminisme dianggap senjata Barat untuk menghancurkan Islam karena perempuan adalah rahim peradaban.

Kelima, delegitimasi tradisi dan keberagaman. Tradisi keagamaan dan tradisi kultural dianggap tidak memiliki dalil yang kuat dalam agama. Itu dianggap bidah dan dosa besar. Pada akhirnya, ajaran ini masuk pada tindakan takfiri. Orang-orang yang masih melakukan tradisi itu dianggap tidak mendapatkan hidayah dan akan masuk neraka.

Ajaran-ajaran fundamentalis tersebut disosialisasikan dan dinormalisasikan melalui beragam media. Pertama, melalui lembaga formal atau pendidikan. Lembaga pendidikan digunakan untuk mendisiplinkan tubuh perempuan. Sebagai contohnya sebuah SMA negeri di Bekasi mewajibkan siswa perempuan memakai jilbab dan aturan tersebut didasarkan atas aduan seorang guru bahasa Inggris. Ketika melihat siswi perempuan memakai rok pendek dan duduk mengangkang, dia mengatakan bahwa imannya kuat namun ‘amin’-nya tidak kuat. Atas dasar itu, kemudian dibuatlah peraturan wajib memakai jilbab di sekolah itu. Ini juga berlaku di sekolah-sekolah swasta yang sangat eksklusif, seperti yang terjadi di Depok.

Kedua, melalui lembaga non-formal, dimulai dari lingkaran yang paling kecil yaitu keluarga, teman sebaya, rekan kerja, pengajian, dan kegiatan-kegiatan yang bernuansa agama. Ketiga, melalui media luring seperti radio, televisi, dan sinetron. Keempat, media daring—terutama media sosial. Mereka sangat masif menyosialisasikan ajaran-ajarannya di Instagram, YouTube, Facebook, website, grup WhatsApp, dan Telegram.

Ajaran yang dibawa oleh fundamentalisme tentang perempuan itu berdampak pada lahirnya kekerasan berbasis gender yang bermula dari stereotip  — perempuan distigma sebagai sumber fitnah (kekacauan/goncangan). Dari stereotip ini kemudian melahirkan bentuk berbagai jenis kekerasan lainnya, seperti  domestikasi yang tidak bolehkan perempuan untuk beraktivitas di luar rumah, perempuan menjadi subordinasi laki-laki sehingga tidak diberi kesempatan untuk  menjadi pemimpin, meskipun ia memiliki kompetensi, lalu tercerabut dari komunitasnya.

Dampak fundamentalisme lainnya adalah maraknya diskriminasi dan intoleransi pada kelompok rentan, seperti pelarangan praktik ibadah jemaah minoritas, perempuan dilarang memimpin, eksklusif, tidak akomodatif terhadap keragaman, serta menolak tradisi dan budaya.

Penelitian ini menemukan bahwa dampak atau bentuk kekerasan itu dianggap sebagai suatu hal yang biasa dan harus diterima perempuan karena dianggap  bagian dari kodratnya. Perempuan diminta untuk ikhlas menerima segala kekerasan berbasis gender atas dasar keimanan, sehingga balasan yang akan didapatkannya adalah surga.

Rumah KitaB menyebutnya keyakinan seperti itu sebagai gender transendental, yaitu keadilan bagi perempuan tidak bisa dicapai di dunia, tetapi keadilan diyakini akan dicapai ketika di akhirat kelak, dan perempuan bisa masuk surga dari pintu mana saja, asalkan ia taat pada suami. Minimal, keadilan bisa tercapai jika khilafah Islam tegak. Gender transendental bisa berlangsung terus-menerus karena ada kekuasaan tersamar yang bekerja.

Sebagai penelitian feminis, penelitian ini mencoba menangkap resiliensi yang dilakukan perempuan, baik bersifat individual maupun kolektif. Sayangnya, resiliensi yang dapat ditemukan tidak berbasis kesadaran kritis dan bersifat semu dan masih reaktif.

Berdasarkan temuan-temuan itu, Rumah KitaB mengajukan tiga rekomendasi. Pertama, mempopulerkan narasi atau pandangan Islam yang moderat, dengan mendukung kampanye naratif terkait kesetaraan dan Islam moderat di media sosial. Kedua, merebut kembali ruang-ruang moderat, dengan membuka ruang aman bagi korban fundamentalisme dan lainnya. Ketiga, memproduksi pengetahuan baru[]

 

Perempuan Alami Kematian Fisik dan Non Fisik

Selama beberapa tahun terakhir perempuan menjadi target dari kelompok fundamentalis. Sejumlah perempuan bahkan tidak berdaya dan hidupnya dibatasi dalam berbagai hal, terutama jauh dari ruang-ruang publik.

Oleh SONYA HELLEN SINOMBOR

22 Oktober 2020

Jakarta, Kompas – Kendati fenomena keterlibatan perempuan dalam kelompok fundamentalis terus menguat, hingga kini tidak banyak yang menyadari bahaya dan dampak luas yang dialami perempuan. Perempuan tidak hanya mengalami kematian secara fisik karena menjadi korban bom dan sebagainya, tetapi kehidupannya juga mengalami kematian non fisik pada jiwa, pikiran, kebebasan, dan kemandiriannya.

.

Ancaman fundamentalisme terhadap perempuan, terungkap dalam penelitian kualitatif yang dilakukan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) di lima daerah urban yakni di Jakarta, Depok, Bekasi, Bandung, dan Solo Raya pada tahun 2019-2020. Di kalangan fundamentalis, perempuan dianggap sebagai sumber fitnah, karenanya fitrah perempuan adalah tunduk secara permanen kepada lelaki sebagai upaya mengatasi masalah sosial yang ditimbulkan oleh fitnah perempuan.

Penelitian ini berhasil meredefinisi apa itu kekerasan ekstrem. Kami melihat ada kematian non fisik yang dialami oleh perempuan yakni kematian jiwa, pikiran, kebebasan, dan kemandirian yang disebabkan oleh hegemoni pandangan tentang perempuan, bahwa perempuan itu sebagai fitnah dan fitrah.(Lies Marcoes)

“Penelitian ini berhasil meredefinisi apa itu kekerasan ekstrem. Kami melihat ada kematian non fisik yang dialami oleh perempuan yakni kematian jiwa, pikiran, kebebasan, dan kemandirian yang disebabkan oleh hegemoni pandangan tentang perempuan, bahwa perempuan itu sebagai fitnah dan fitrah,” ujar Lies Marcoes, Direktur Rumah KitaB, pada Seminar Internasional “Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan”, Rabu (21/10/2020) secara daring.

.

Seminar yang diselenggarakan Rumah KitaB bekerja sama dengan the Sydney Southeast Asia Centre (SSEAC) The University of Sydney dan Kresna Strategic, membahas temuan penelitian dan rekomendasi akademis untuk advokasi kebijakan, terkait upaya mengatasi kekerasan ekstrem di Indonesia dengan memperhatian aspek-aspek relasi jender dalam membaca perkembangan fundamentalisme di Indonesia.

.

Menurut Lies dampak yang dialami para perempuan di kelompok fundamentalisme, melalui sejumlah pandangan “tersamar” yang menimbulkan rasa khawatir, takut, rasa bersalah dan tak berdaya, serta rasa tergantung yang sangat besar kepada laki-laki yang diyakini akan menyelamatkan perempuan.

.

“Kami menyaksikan bahwa ajaran ini berkawan dan berkawin dengan kapitalisme dan pasar yang memanfaatkan sentimen kesalehan sebagai pembeda dengan produksi-produksi yang mencirikan sebagai sesuatu yang lebih baik dari yang lain,” tegas Lies yang menyampaikan hasil penelitian bersama Nur Hayati Aida, peneliti Rumah KitaB.

.

Narasi sama

.
Dari penelitian yang mengusung tema “Identifikasi Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan akibat Intoleransi dan Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan melalui Penelitian Feminis” tersebut, Aida mengungkapkan ada sejumlah temuan kunci pandangan kelompok fundamentalis tentang perempuan, yang meskipun disuarakan atau dinarasikan oleh beragam orang di beberapa wilayah tetapi narasi yang diajarkan mengenai perempuan itu hampir persis  sama dan serupa.

.

Misalnya, soal perempuan sebagai sumber fitnah (sumber kegonjangan dan kekacauan sosial). Karena itu, keberadaan perempuan harus tertutup bukan hanya secara fisik tetapi juga relasi sosial atau ruang publik.
Karena sumber fitnah, maka fitrah perempuan, adalah tempat perempuan hanya di rumah, baik sebagai anak ketika ia belum menikah atau berperan sebagai istri dan ibu ketika ia sudah menikah. Posisi laki-laki baik sebagai ayah, terutama sebagai suami sangat penting.
“Betapa besarnya posisi laki-laki di kehidupan perempuan. Kalaupun perempuan boleh memiliki pekerjaan di luar rumah, itu hanya ada dua hal yaitu di bidang pendidikan dan di bidang kesehatan,” ujar Aida.
.

Dari  sisi seksualitas, ajaran kelompok fundamentalis juga mengontrol tubuh perempuan, melalui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan, sehingga perempuan kehilangan otoritas tubuh dan seksnya.  Baik janda ataupun gadis akan dipaksa harus menikah.
“Karena apa? Menikah adalah salah satu cara supaya perempuan tidak lagi menjadi fitnah,” kata Aida.

.

Ahmad Nurwakhid, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) penanggulangan radikal terorisme merupakan harus menjadi tanggung jawab kita bersama, tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah, tetapi semua pihak harus terlibat.
“Yang paling utama adalah membangkitkan civil society terutama silent majority, yang mayoritas moderat. Tapi masyarakat Indonesia yang mayoritas mereka  silent, sementara kelompok radikal teroris ini sedikit tapi berisik, terutama di media sosial. Ini yang harus kita bangkitkan,” katanya.

.

Prof Michele Ford (Sydney Southeast Asia Center The University of Sydney, Australia) menilai dampak fundamentalis semakin membahayakan perempuan, kemungkinan karena selama ini suara-suara progresif dalam dunia Islam di ruang publik agak kalah dibandingkan suara-suara yang lebih konservatif.

.

“Jadi mungkin ada kebutuhan untuk meraih kembali ruang-ruang publik dan menempatkan wacana yang lebih progresif, yang lebih lebih mengakui kemungkinan perempuan bisa hidup secara berdaulat, tapi juga bisa jadi orang Islam yang baik,” ujar Michele.

 

Sumber: https://kompas.id/baca/humaniora/dikbud/2020/10/22/perempuan-alami-kematian-fisik-dan-non-fisik/

Laporan Seminar Internasional Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan

Rumah KitaB, 21 Oktober 2020

 

Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, masyarakat Muslim Indonesia dikenal memiliki cara pandang keagamaan moderat (wasathiyyah). Dua aspek yang menonjol dan hampir tak dimiliki oleh negara berpenduduk Muslim lain adalah terbukanya akses bagi perempuan ke ruang publik untuk sektor apapun, dan terjadinya konvergensi alamiah antara feminis sekuler dengan feminis Islam –yang bersama-sama mengatasi persoalan kemanusiaan perempuan. Selain, tentu saja, dipengaruhi dua Ormas keagamaan raksasa di negeri ini, yaitu NU dan Muhammadiyah.

 

Namun, seiring perubahan, baik di tingkat lokal, regional maupun internasional, moderatisme Islam yang menjadi ciri umum masyarakat Indonesia mendapat tantangan serta banyak mengalami pergeseran. Hal ini ditandai semakin menyempitnya ruang gerak perempuan  akibat fundamentalisme agama, yaitu sebuah paham yang memperlakukan teks keagamaan secara tekstual sebagai kebenaran mutlak.

 

Inilah salah satu yang melatarbelakangi penelitian Rumah KitaB tentang dampak fundamentalisme agama terhadap perempuan. Desember 2019 sampai Juni 2020 Rumah KitaB melakukan penelitian di lima wilayah di Indonesia, yaitu Depok, Jakarta, Bogor, Bandung dan Solo Raya. Menurut Lies Marcoes, selaku direktur eksekutif sekaligus koordinator penelitian ini, Rumah KitaB merekrut dan melatih 14 peneliti muda yang  didampingi 4 supervisor untuk melakukan penelitian sekaligus kaderisasi peneliti feminis.

 

Hasil penelitian itu kemarin (21/10) diluncurkan melalui Webinar dengan tajuk “Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan”. Webinar hasil kerjasama Rumah KitaB dengan Sydney Southeast Asian Centre The University of Sydney (SSEAC) ini mengundang sejumlah pembicara dan panelis: Lies Marcoes, M.A. (Direktur Rumah KitaB), Nur Hayati Aida (Peneliti Rumah KitaB), Prof. Dr. Musdah Mulia (Indonesian Conference on Religion and Peace [ICRP]), Prof. Dr. Michele Ford (sydney Southeast Asian Centre, The University of Sydney, Australia), Nurhady Sirimorok, M.A. (peneliti senior Rumah KitaB), Dr. Noor Huda Ismail (Nanyang Technological University, Singapura), Ihsan Ali Fauzi, M.A. (PUSAD Paramadina), R. Ahmad Nurwakhid, S.E, M.M. (Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme [BNPT]). Acara dibuka oleh Ulil Abshar Abdalla (board Rumah KitaB) dan Walter Doetsch (Director Office of Democratic Resilience dan Governance, USAID Indonesia. Acara ini dihadiri sekitar 234 peserta, termasuk di antaranya datang dari Malaysia, New Zealand, Australia, dan Belanda. Peserta yang hadir beragam mulai dari akademisi, peneliti, aktivis CSO, pengurus organisasi kemasyarakatan, wartawan, hingga dari unsur pemerintahan

 

Dalam sambutannya, Doetsch mengucapkan terima kasih kepada Rumah KitaB yang telah melakukan penelitian penting ini. Menurutnya, hal ini sejalan dengan perhatian dan kerja organisasinya dalam mendorong kepemimpinan perempuan dan anak perempuan. Penelitian ini juga sangat berguna dan ikut memberikan kontribusi signifikan dalam CVE dan demokratisasi.

 

Dalam presentasinya, Lies Marcoes menyebut bahwa penelitian ini berhasil menemukan dan meredefinisi konsep kekerasan ekstrem. Selama ini kekerasan lebih banyak dipahami secara maskulin sebagai kekerasan fisik yang menyebabkan kematian fisik. Dengan menelaah everyday oppression melalui hegemoni ajaran tentang fitrah dan fitnah perempuan mengalami kematian jiwa, pikiran, kemandirian dan kebebasan. Kekerasan ini bersifat non-fisik akibat cara pandang tentang perempuan sebagai fitnah dan fitrah. Inilah kekerasan ekstrem yang dialami banyak perempuan yang hanya dapat dilihat jika digunakan alat analisis yang tepat yaitu analisis gender.

 

Cara efektif yang mereka lakukan untuk menyebarkan gagasannya adalah  mendelegitimasi ajaran-ajaran Islam wasathiyyah –yang tadinya bersifat cair dan memberi ruang kepada perempuan. Melalui konsep hijrah, ruang gerak perempuan dipersempit dan selalu dalam pengawasan laki-laki (hegemoni patriarki). “Fenomena ini tak hanya terjadi di perkotaan, tapi sudah merambah ke pedesaan.  Ajaran ini semakin menemukan momentumnya setelah berkawan dan berkawin dengan kapitalisme,” ujar Lies. Dalam maksud itu ajaran fundamentalisme diterjemahkan oleh pasar dan melahirkan “ merek” barang dan jasa yang dicap syar’i dan tidak syar’i.

 

Mempertajam pemaparan Lies Marcoes, Aida menjelaskan bahwa melalui riset feminis-etnografi ini struktur-struktur relasi sosial dan gender yang timpang, yang menjadi ancaman bagi keamanan insani perempuan bisa terlihat dengan jelas. Ancaman itu terjadi sepanjang hari terhadap perempuan, dan hampir-hampir sulit untuk dikenali sebagai sebuah kekerasan. Sebab, peran dan relasi gender dikonstruksikan oleh pandangan keagamaan yang punya daya paksa dalam membentuk kepatuhan. Hasil temuan penelitian ini mengerucut pada ajaran tentang perempuan sebagai fitnah. Karena itu, untuk menjaga stabilitas moral, maka fitrah perempuan harus tunduk secara permanen kepada lelaki sebagai upaya mengatasi masalah sosial yang ditimbulkan oleh fitnah perempuan.

 

Melalui dua ajaran tersebut menghasilkan rumusan tentang konsep gender transendental, yaitu sebuah ide tentang keadilan yang akan diraih perempuan ketika negara Islam atau minimal syarat Islam telah diterapkan, atau kelak di akhirat.

 

Tiga temuan ini menjadi antitesis atas konsep keadilan gender yang selama ini dikembangkan sebagai metode dan strategi untuk meraih kesetaraan gender. Tiga temuan itu menjelaskan tentang narasi dan logika kekerasan berbasis gender terhadap perempuan akibat hegemoni paham fundamentalisme melalui proses penundukkan yang berlangsung terus menerus dan setiap hari. Ajaran fundamentalisme juga mendelegitimasi tradisi dan ajaran Islam wasathiyyah yang selama ini menghargai keberagaman.

 

Selain itu, kata Prof. Michele Ford, ketidakbolehan perempuan bekerja akibat konsep fitnah dan fitrah, menyebabkan ketergantungan perempuan. Bagi mereka yang mapan secara ekonomi, mungkin hal ini tak begitu bermasalah. Namun, bagi mereka yang secara ekonomi kurang mapan, tentu akan menambah beban ganda bagi perempuan. Namun, Michele juga merekomendasikan semestinya penelitian ini lebih jeli dalam melihat bahwa di lapangan pandangan serupa itu tak melulu ditemukan dalam kelompok Salafi Fundamentalis, tetapi di dalam pandangan tradisional pun juga muncul.  Sebagaimana yang ia amati dalam kelompok atau lingkungan buruh yang menjadi pusat amatannya. Karenanya, ia mengusulkan harus melihatnya sebagai sebuah kontinum dari yang moderat sampai yang fundamentalis.

 

Karena itu, menurut Musdah Mulia, penting sekali merebut kembali ruang publik untuk menarasikan bahwa agama sudah seharusnya tegas menyuarakan indahnya cinta, kasih sayang, komitmen persaudaraan, solidaritas, emansipasi, kesetaraan, dan keadilan. Agama harus mampu mengentaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan,dan keterbelakangan. Singkatnya, agama harus mampu mentransformasikan manusia menjadi lebih manusiawi.

 

Di samping mengapresiasi hasil penelitian ini, para panelis juga memberikan masukan dan beberapa catatan. Salah satunya dari Ihsan Fauzi. Menurutnya, penting juga dijelaskan karakteristik masing-masing wilayah penelitian: Mengapa wilayah itu dipilih dan unsur-unsur apa saja yang dilihat. Juga dipertajam bentuk-bentuk resiliensinya.

 

Nurhady Sirimorok mencatat sejumlah rekomendasi sebagai penajaman yang diusulkan Ibu Musdah tentang pentingnya melanjutkan penelitian dan produksi pengetahuan. Sebagai pegiat dalam gerakan sipil, Nurhady menyarankan untuk melakukan penelitian terlibat agar perempuan sendiri dapat mencatat dan menganalisis problem yang mereka alami ketika berhadapan dengan hegemoni fundamentalisme dalam kehidupan sehari-hari mereka.

 

Sementara Noor Huda Ismail menekankan perlunya penggunaan media populer yang kreatif untuk mensosialisasikan ancaman keamanan insani agar tak elitis dan hanya menjadi isu kalangan elit saja.

 

Sejumlah penanggap mengapresiasi tinggi atas penelitian dan merekomendasikan agar kajian ini disosialisasikan dengan cara populer dan dilakukan studi lanjutan untuk mendokumentasikan perempuan yang berhasil melakukan resiliensi. [] JM

ic

 

 

 

 

 

rumah kitab

Merebut Tafsir: Fitnah, Fitrah, dan Kekerasan Berbasis Gender

Oleh Lies Marcoes
.
Hari ini, 21 Oktober 2020, Rumah KitaB mempresentasikan penelitiannya tentang fundamentalisme (dalam) Islam dan dampaknya kepada kekerasan berbasis gender. Penelitian satu tahun di lima kota ini menyajikan temuan yang layak timbang untuk merumuskan penanganan kekerasan ekstrem di Indonesia. Empat pertanyaan diajukan dalam penelitian etnografi feminis ini: pandangan tentang perempuan, sosialisasi ajaran, dampak, dan resiliensinya.
Fundamentalisme dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai paham atau ideologi yang apapun jenis kelompoknya telah memperlakukan teks secara literal dan karenanya pandangannya merasa paling otentik, otoritatif, dan paling benar. Atas dasar itu, watak ideologinya menjadi anti keragaman. Klaim atas otentisitas kebenarannya mengancam secara fisik, non-fisik atau simbolik kepada pihak lain yang berbeda. Ini disebabkan oleh ajaran tentang al walâ’ wal barâ’, sebuah sikap loyal kepada kelompoknya dan melepaskan diri dari keterikatan kepada pihak lain di luar kelompoknya. Konsep itu melahirkan sikap eksklusif, intoleran, dan dapat membenarkan kekerasan untuk memaksakan pandangannya.
.
Hasil paling menonjol dari penelitian ini adalah tuntutan untuk mengkaji ulang tentang kekerasan ekstrem. Selama ini konsep itu didominasi oleh cara pandang maskulin patriarki yang menguncinya ke dalam kekerasan fisik: bom bunuh diri, penyerangan aparat, money laundering, yang keseluruhannya berpusat pada gangguan keamanan negara terkait radikalisme dan terorisme. Cara kaji serupa itu, mengabaikan kekerasan ekstrem lain yang terjadi setiap hari yang dialami perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Kekerasan itu mengancam keamanan insani berupa kematian jiwa, kematian akal sehat yang merampas kebebasan berpikir dan berupaya.
.
Penelitian ini mencatat kekerasan atas keamanan insani perempuan ini juga mengancam pilar-pilar yang selama ini menjadi penyangga kekuatan Islam Indonesia sebagai Islam yang toleran yang peduli pada keragaman sebagai warisan tak ternilai dari Islam Indonesia yang moderat/ wasathiyah.
.
Berdasarkan empat pertanyaan penelitian, secara berturut-turut penelitian ini mencatat sejumlah temuan. Pertama soal apa dan siapa perempuan. Melalui hegemoni ajaran, perempuan terus menerus ditekankan sebagai sumber fitnah (keguncangan) di dunia. Kehadirannya, terutama di ruang publik menjadi lantaran instabilitas moral yang (dapat) merusak tatanan sosial bahkan ekonomi. Untuk mengatasi hal itu, perempuan karenanya musti tunduk pada fitrahnya sebagai pihak yang harus dikontrol, diawasi, dicurigai dan batasi hadirnya di ruang publik baik secara langsung maupun simbolik.
.
“Iman mah kuat, ini si“amin” yang tak kuat. Keluhan personal seorang guru- pemilik si “amin” itu segera menjadi landasan keluarnya regulasi yang kewajiban murid dan guru perempuan (muslimah) memakai jilbab. Ini terjadi di sebuah SMA Negeri di salah satu lokasi penelitian ini. Namun hal sejenis dalam upaya menormalisasikan konsep perempuan sebagai fitnah dapat ditemukan di kelembagaan mana saja hingga perempuan sendiri merasa “salah tempat”.
.
“Setiap kali mau berangkat kerja, rasanya seperti mau ke tempat maksiat, sejak di jalan, di pabrik sampai pulang saya terus ikhtilat [bercampur dengan bukan muhrim]”. Keluhan seorang buruh perempuan yang telah berpakaian rapat ini akhirnya berujung pada “pilihan” mundur dari dunia kerja.
.
Kedua, ajaran serupa itu disosialisasikan dan dinormalisasikan lewat ragam cara. Cara konvensional seperti ceramah:
“Biar nangis darah, Bu, fitrah wanita mah tidak mungkin bisa sama dengan laki-laki, pertama wanita tak bisa sempurna ibadahnya karena ditakdirkan haid, nifas, perempuan suka ghibah (gosip), suka riya (pamer) suka tabarruj (dandan); kedua Allah sudah mengunci, sudah menetapkan laki-laki adalah pemimpin atas perempuan.
.
Ceramah lain di tempat lain begini ujarnya:
“Allah telah menetapkan kepala keluarga itu laki-laki, pencari nafkah itu laki-laki. Bagi yang tidak ada suami, yang jomblo, sama saja. Mereka tanggungan Bapaknya, atau walinya […] Namun Barat telah mengubahnya [..] Wanita sekarang ikut mengejar karier, anak dan rumah ditinggal. Laki-laki kehilangan martabatnya. Aturan Allah laki-laki memimpin, jelas itu, tapi ikut-ikutan [Barat], perempuan jadi manajer, jadi direktur, laki-laki jadi bawahan, hasilnya apa? Ketika ada pelecehan, minta Undang-Undang KDRT, UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kan lucu…, kalian yang tak nutup aurat, kalian yang nggak mau di rumah, pas kena resikonya kalian nyalahin laki-laki”.
.
Sepintas ungkapan itu masuk akal. Terutama bagi mereka yang meyakini bahwa ruang publik sepenuhnya milik lelaki didasarkan kepada teks yang menyatakan lelaki adalah pemimpin bagi perempuan. Namun ceramah serupa yang disuguhkan sebagai keyakinan kebenaran dan bukan sekedar pendapat, dapat merontokkan harapan perempuan untuk layak di ruang publik sekaligus membenarkan ruang publik memang tak aman bagi mereka.
Sosialisasi dan normalisasi ajaran perempuan sebagai fitnah ini gencar bukan main. Ini dilakukan melalui ragam platform sosial media serta kampanye kreatif lainnya. Dalam 13 minggu, peneliti di suatu wilayah, misalnya peneliti mencatat ada 23 flyer yang menyebarkan ajakan perempuan berhijrah.
.
Ketiga, ajaran dan ujaran yang disampaikan terus menerus setiap hari itu mampu membobol mental mereka. Mereka cemas, takut, merasa tidak aman oleh sebuah hidden power yang terus menggedor kesadaran mereka bahwa mereka memang ditakdirkan sebagai suluh neraka. Pengecualiannya adalah jika mereka pasrah ikhlas pada apapun yang didapat dari suami sebagai imamnya.
.
Benar, suami adalah pencari nafkah, itu wajib. Tapi kalau ibu-ibu ikhlas atas apapun pemberian suami, tidak ngomel, tidak melawan, tidak maido (mencela), jannah menanti ibu dari mananpun pintu masuknya”.
.
Namun pelanggengan ajaran dan ujaran ini tak terjadi tanpa kuasa atas modal dan pasar.
“Mau jilbab Dewi Sandra, atau hijab Umi Pipik, atau Peggy Melati Sukma Umi jual, dulu juga jual kerudung bordir model Ibu Gus Dur, tapi sekarang nggak laku lagi, lagian kan nggak syar’i, pakai kerudung tapi leher kelihatan, mana bisa, makanya nggak laku saya juga nggak jual lagi.”
“Aurat perempuan ya aurat, mau bayi mau dewasa, barangnya itu-itu juga. Laki-laki banyak juga yang kegoda lihat aurat bayi perempuan. Jadi bukan asal jualan, kita jualan untuk dakwah, menghindari setan masuk ke pikiran, biar nggak terjadi zina, minimal ndak zina mata.”
.
Adopsi terhadap pandangan serupa ini juga nggak recehan. Mengikuti keyakinan bahwa tempat terbaik perempuan adalah di rumah, para subyek penelitian ”menerima” pembatasan ruang gerak ekonomi dan sosialnya. Sebagian besar, terutama kaum pendatang, seperti para pekerja urban, mengalami keterputusan dengan akar tradisinya karena ajaran [baru] yang mereka ikuti telah memutus mewajibkan untuk seluruh keterhubungan mereka dengan kampung (tradisi beragama, tradisi budaya, cara berpakaian, cara berkeluarga dan cara bersilaturahmi) dengan alasan untuk menghindari perbuatan dosa besar dari bid’ah. Hal ini memunculkan ketergantungan mereka kepada kelompok-kelompok barunya di kota yang diikat oleh keyakinan-keyakinan baru mereka dalam ragam kelompok seperti salafi. Seorang mantan buruh di Bekasi mengurai kegelisahannya.
“Kadang saya kangen pulang ke Jawa (xx), tapi di kampung tidak ada yang pakai hijab begini, Ibu saya karena belum paham juga tidak setuju saya pakai baju ini. Maklum ibu saya petani. Lebaran tahun lalu tersiksa rasanya karena banyak yang nggak ngaji sunah. Wara wiri tetangga saudara-saudara naik motor kreditan, isi rumah mebel baru kreditan. Padahal itu semuanya hasil riba, haram. Badan saya rasanya panas.”
.
Namun penelitian ini juga mencatat ragam perlawanan perempuan meskipun tidak/ belum membentuk agensi. Paling jauh berupa adaptasi terhadap perubahan- perubahan itu, atau perlawanan tanpa kekuatan pengorganisasian dan apalagi sikap kritis. Sebagian bahkan ”melawan” karena tak punya kesanggupan untuk ikut hijrah akibat kemiskinananya.
.
Demikianlah kekerasan ekstrem yang terpetakan dalam penelitian itu. Ini hanya dapat bisa dibaca dengan kaca mata yang peka dan sanggup membaca bagaimana perempuan dibentuk dan didefinisikan. Sistem patriarki telah melanggengkan kuasa laki-laki terhadap perempuan melalui kontrol, dan kepemilikan yang distrukturkan oleh ideologi dan sistem keyakinan. Padahal kontrol, kuasa, dan kepemilikan itu sangat rentan memunculkan kekerasan; fisik non-fisik serta hal-hal yang diakibatkan oleh sistem dominasi dan struktur yang menghasilkan ketidaksetaraan.
Situasi ini semakin gayeng karena pasar dan modal ikut melanggengkannya melalui konsep barang dan jasa serba syar’i. Namun, sikap negara yang seolah menarik jarak dari campur tangan terhadap masuk dan berkembangnya pandangan ekstrem serupa ini, telah melanggengkan kekerasan terhadap perempuan melalui hegemoni nilai-nilai patriarki yang terkandung dalam tafsir dan praktik keagamaan fundamentalis.
.
Hal ini jelas tak bisa terus berlangsung. Karenanya, penelitian ini merekomendasikan hal-hal yang seyogyanya dilakukan negara, masyarakat sipil, pelaku usaha utamanya para pendukung Islam moderat Indonesia secara lebih luas. Mewujudkan human security yang komprehensif dengan menggunakan perspektif gender yang mengharuskan tersedianya sistem perlindungan (protection) sekaligus pemberdayaan (empowerment) akibat cuci otak fitnah dan fitrah.
.
[] #Lies Marcoes 21102020