RINGKASAN HASIL SEMINAR INTERNASIONAL: Tanggapan Prof. Musdah Mulia atas Hasil Penelitian Rumah KitaB Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan

Prof. Musdah Mulia, Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace, dalam tanggapan atas presentasi ringkasan Penelitian sebagaimana disampaikan Ibu Lies Marcoes dan Nurhayati Aida menyatakan bahwa penelitian ini sangat penting dan ia sangat mengapresiasinya.

Namun begitu, ada beberapa pertanyaan untuk para peneliti yang masih harus dijelaskan secara lebih ringkas dan tegas. Pertama, apa faktor utama yang mendorong perempuan bergabung dengan fundamentalisme? Dalam beberapa penelitian, ada banyak faktor yang mendorong perempuan bergabung dengan fundamentalisme misalnya ideologi, ekonomi, sosial, politik, dan lainnya. Kedua, apakah informan merupakan kelompok inti yang militan, pendukung, atau hanya sekadar simpatisan. Ketiga, secara sosiologis, identitas perempuan yang tergabung dalam fundamentalisme ini gambarannya seperti apa, misalnya, latar belakang politiknya, atau latar belakang ormas keagamaannya. Keempat, pola masuk ke dalam jaringan (rekrutmen) ini seperti apa. Apakah melalui perkawinan, pertemanan, atau lainnya. Kelima, rata-rata sudah berapa lama mereka bergabung dalam kelompok tersebut. Keenam, bagaimana mereka mengimplementasikan ajaran fundamentalisme dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupannya, mereka mungkin mengalami benturan-benturan. Misalnya, jika mereka pegawai negeri, maka mereka tidak bisa memakai pakaian syar’i ke kantor atau yang lain sebagainya.

BNPT sudah pasti telah melihat gejala-gejala ini. Pemerintah semestinya sudah melakukan sesuatu atas gejala yang ditemukan dalam penelitian ini. BNPT tidak harus melakukannya sendiri, tetapi BNPT bisa bersinergi dengan lembaga/kementerian lain dan civil society. Penelitian Rumah KitaB ini bisa dilihat dengan teori yang dikemukakan Charles Kimball dalam bukunya When Religion Becomes Evil (2013). Kata Kimbal, agama menjadi berbahaya atau thaghut jika: Pertama, pemeluk agama mengklaim agamanya sebagai satu-satunya kebenaran yang mutlak. Jika sudah demikian, maka pemeluk agama tersebut akan melakukan apa saja untuk mendukung klaim kebenarannya. Kedua, pemeluk agama mengkultuskan pemimpin agama dan bertaklid buta kepadanya. Ketiga, pemeluk agama gandrung memimpikan romantisme zaman ideal. Dalam Islam misalnya, bermimpi menegakkan khilafah. Keempat, membenarkan penggunaan segala cara. Kelima, mulai meneriakkan perang suci atau meneriakkan agama untuk kepentingan-kepentingan jangka pendek.

Sikap yang bisa kita lakukan dalam mengatasi gejala-gejala yang lahir dari fundamentalisme di antaranya merebut ruang publik untuk menarasikan indahnya cinta, kasih sayang, komitmen persaudaraan dan emansipasi dalam beragama. Dengan begitu agama mampu membebaskan manusia dari ketidakadilan, kebodohan, dan mengentaskan dari kemiskinan dan keterbelakangan. Serta agama mampu untuk membimbing dan mentransformasikan manusia menjadi lebih manusiawi. Narasi-narasi ini harus menjadi mainstream di publik, namun tidak dengan cara memaksa.

Penelitian Rumah KitaB ini mengafirmasi penelitian-penelitian sebelumnya tentang fundamentalisme di berbagai tempat; bahwa kelompok fundamentalisme cenderung melakukan tuntutan kolektif agar nilai-nilai etika dan keyakinan mereka diterima oleh masyarakat dan secara legal wajib dilaksanakan. Sebetulnya, apa yang disampaikan para penceramah fundamentalis adalah hal yang biasa karena itu juga didengar di pesantren (apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan perempuan).

Namun, kita menemukan beberapa hal yang berbeda. Pertama, dalam kelompok konservatis seperti NU, Muhammadiyah, dan pesantren, hal itu masuk domain fikih yang bersifat cair, dan terbuka. Namun kelompok fundamentalis menganggap itu sebagai doktrin akidah. Misalnya mereka meyakini apabila ada perempuan yang terlihat rambutnya maka dia tidak akan bisa mencium bau surga. Pandangan itu tidak diletakkan sebagai suatu pendapat atau tafsir keagamaan yang bisa saja ada pendapat lain yang berbeda, namun sedemikian rupa ditutup sebagai satu-satunya pandangan. Tak heran pendapat seperti  membuat perempuan d lingkungan mereka merasa bersalah jika tidak menutup tubuhnya. Kedua, kelompok fundamentalis itu anti-Barat. Ini terlihat dari sikap mereka yang mengutuk modernisme. Ketiga, kelompok fundamentalis memandang persoalan-persoalan masyarakat secara simplistik mengabaikan logika sebat akibat yang kompleks. Apapun persoalannya, akan bisa diselesaikan jika khilafah tegak. Keempat, kelompok fundamentalis memiliki konsep al-wala wal bara, sebuah konsep tentang keharusan bersikap loyal hanya kepada pendapatnya, atau kelompoknya dan berkewajiban memutus hubungan dengan kelompok yang berada di luar kelompoknya sendiri. Konsep ini menafikan pluralisme karena menganggap masyarakat hanya dua kelompok saja, yaitu Muslim dan jahiliyah. Kelima, mereka membakar emosi dengan slogan-slogan pendek yang mengancam, menakut-nakuti, menutup kesempatan untuk berpikir. Keenam, mengedepankan sikap doktriner dalam menyikapi persoalan. Ketujuh, mengendalikan dan memobilisasi penganut mereka dengan cara cuci otak anti rasionalitas berpikir.

Fundamentalisme penting untuk diketahui dan diidentifikasi, karena bahayanya luar biasa; mereka anti-feminisme, anti-humanisme, anti-demokrasi, anti-tasawuf, anti-Barat, anti-modernisme, anti-nalar, dan lainnya. Bahaya-bahaya fundamentalisme penting dikenali karena akan mengganggu upaya-upaya Indonesia untuk membangun sumber daya manusia, khususnya perempuan yang jumlahnya setengah dari populasi Indonesia (135 juta jiwa). Kalau fundamentalisme berhasil meyakinkan perempuan sebagai sumber fitnah, sumber dosa, maka mereka akan mematikan pikiran umat Islam, pikiran kaum perempuan untuk beragama dengan menggunakan nalar. Padahal Islam itu agama nalar, agama pengetahuan. Al Qur’an terus menerus mengingatkan, apakah kamu tidak berpikir dalam melihat tanda-tanda keagungan Allah. Modal untuk beriman adalah akal, berpikir, bukan taqlid buta. Kalau fundamentalsime berhasil mengharamkan KB, mendorong perempuan menjadi mesin reproduksi, melarang perempuan bekerja, maka semua upaya dan program pembangunan yang dicanangkan pemerintah akan berantakan.

Dampak fundamentalisme terhadap perempuan melahirkan kondisi ketidakadilan. Fundamentalisme mengekalkan pandangan-pandangan yang tidak adil bagi perempuan. Ini akan melahirkan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan lain sebagainya.

Pemetaan Resiliensi Perempuan

Penelitian Rumah Kitab telah memetakan sejumlah resiliensi yang dilakukan perempuan. Namun, sebagaimana disebutkan, resiliensi itu masih sangat lemah, sporadis, tidak berbasis pengorganisasian dan pengetahuan untuk pemberdayaan. Ini karena organisasi-organisasi keagamaan yang telah mapan kurang memberi perhatian kepada kaum perempuan yang terdampak oleh fundamentalisme. Prof. Musdah Mulia mencontohkan  bentuk-bentuk resiliensi perempuan di beberapa negara berpenduduk Islam. Rafatu Abdul Hamid di Nigeria mengkonter fundamentalisme dengan melakukan penguatan dan pemberdayaan di tingkat keluarga. Di Kenya, konter fundamentalisme juga dilakukan dengan memperkuat struktur keluarga dan pendidikan. Konsep moderasi beragama sangat penting untuk disosialisasikan hingga ke level yang paling bawah. Di Pakistan, perempuan-perempuan ulama diberdayakan. Mereka berkumpul dan menjadi agen-agen pembaharuan. Di Maroko, perempuan mendesak pemerintah untuk menciptakan kelompok religius moderat dan membahas hukum-hukum keluarga yang berangkat dari pandangan Islam moderat masuk ke dalam hukum keluarga yang progresif. Soal batas usia kawin misalnya, Mereka berhasil mengubah UU Perkawinan yang dapat melindungi perempuan dari praktik tradisional perkawinan anak.  Praktik-praktik serupa ini dapat menjadi pembelajaran, dan semuanya dilakukan oleh para perempuan di beberapa negara yang mengalami hal yang sama dengan Indonesia. Pemerintah perlu melakukan itu dengan mengajak semua stakeholders. Dan hal itu hanya dapat dilakukan jika pemerintah dapat melihat dampak fundamentalisme kepada perempuan sebagaimana ditunjukkan dari hasil penelitian Rumah Kitab. Dengan metode penelitian kritis feminis atau metode yang melihat secara seksama  perbedaan lelaki dan perempuan ini menghasilkan temuan penelitian yang menyumbang kepada pengetahuan juga advokasi. Selamat Rumah KitaB![]   

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.