Pos

Selubung Kesalehan: Kekerasan Seksual Bermodus Agama

Bukankah ruang-ruang agama seharusnya menjadi tempat yang paling aman bagi siapa pun? Tempat berlindung, tempat bertumbuh, tempat pulang? Sayangnya, kenyataan tak selalu seindah ideal. Di balik unsur keagamaan, ada kekerasan yang bersembunyi. Ia tidak tampak, tapi terasa. Ia dibungkam, tapi menghantui. Ia terjadi di tempat yang kita kira paling suci.

Kita tidak bisa lagi menutup mata. Di Indonesia, kasus kekerasan seksual oleh tokoh agama terus terungkap. Seorang pendeta di Surabaya mencabuli jemaatnya selama enam tahun (Lumbanrau, 2020). Seorang ustaz di Sumenep yang juga ketua yayasan pesantren, memperkosa sejumlah santriwati, dan ini hanya puncak gunung es (Rohman, 2025).

Sebagai data tambahan, Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI)  menyatakan dalam tiga tahun terakhir ada 30 kasus kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan Islam (Kurnianingrum, 2024). Lalu, sepanjang tahun 2023, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat ada 2.078 kasus kekerasan seksual. Pelaku kekerasan seksual tersebut salah satunya dilakukan oknum tokoh agama (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia et al., 2024). Banyak kasus lain yang tenggelam dalam diam. Kenapa? Karena pelaku bukan orang biasa. Mereka pemuka agama. Mereka yang selama ini kita anggap “wakil Tuhan.”

Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari sistem kekuasaan yang berlapis. Agama, seperti yang ditulis Emile Durkheim, membentuk dualisma, yang sakral dan yang profan. Dalam ruang lingkup keagamaan dualisme terjadi, lelaki dilekatkan pada yang tinggi, suci, dan rasional dan perempuan harus tunduk, mengikuti, dan kelas kedua. Dikotomi ini melahirkan struktur sosial yang timpang, di mana laki-laki diberi otoritas, dan perempuan ditempatkan sebagai objek bimbingan. Maka jangan heran jika dalam banyak institusi keagamaan, suara perempuan sering kali dikecilkan, bahkan dihapuskan (Durkheim, 1995; Lynch, 2007).

Lebih dari itu, kepemimpinan agama sering kali didewakan. Figur pendeta, ustaz, atau rohaniwan dianggap suci, tak boleh digugat. Ini yang disebut Michel Foucault sebagai relasi kuasa yang tidak imbang. Ketika satu pihak dianggap memiliki kebenaran mutlak, maka kritik padanya akan dipandang sebagai penghinaan. Di sinilah kekerasan bisa bersembunyi. Ketika pemimpin agama berbuat salah, korban justru merasa bersalah. Ketika ada pelecehan, suara korban dianggap mencemarkan institusi, bukan sebagai seruan keadilan (Foucault, 1997).

Dalam struktur patriarki, perempuan menjadi kelompok yang paling rentan. Tubuh perempuan bukan hanya menjadi objek, tapi juga karena sistem tidak menyediakan ruang aman bagi mereka untuk bersuara.

Gereja, pesantren, atau komunitas keagamaan sering kali mengedepankan “nama baik lembaga” dibanding keberpihakan pada korban. Alih-alih didengar, mereka disuruh diam. Alih-alih dibela, mereka dipersalahkan. Padahal kekerasan seksual bukan soal moral pribadi semata. Ini adalah persoalan sistemik.

Ketika tafsir agama dipakai untuk menindas, ketika otoritas spiritual dijadikan alat dominasi, maka kekerasan menjadi mungkin. Dan jika tidak ada mekanisme akuntabilitas yang jelas, maka pelecehan akan terus berulang.

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Pertama, kita perlu mendekonstruksi cara pandang terhadap kepemimpinan agama. Pemuka agama adalah manusia, bukan malaikat. Mereka bisa salah, dan karena itu harus terbuka terhadap kritik. Kepemimpinan yang sehat bukan yang minta disembah, tapi yang bisa diajak berdialog. Dalam teologi pembebasan, kepemimpinan adalah soal keberpihakan—pada yang lemah, yang tertindas, yang disakiti.

Kedua, perlu membongkar pemisahan antara tubuh dan roh, antara seksualitas dan spiritualitas. Banyak institusi agama menjadikan seks sebagai hal tabu. Akibatnya, pembicaraan soal tubuh dianggap kotor, dan pendidikan seks jadi minim. Padahal, menurut teolog feminis seperti Kwok Pui-Lan, seksualitas adalah bagian dari spiritualitas. Tubuh adalah anugerah ilahi, bukan sumber dosa. Ketika tubuh dihormati, kekerasan akan sulit masuk. Maka pendidikan seksualitas berbasis nilai-nilai spiritual menjadi kunci penting dalam pencegahan kekerasan (Pui-Lan, 2000).

Ketiga, mendorong gereja, pesantren, dan lembaga keagamaan lainnya untuk menciptakan mekanisme perlindungan korban yang berpihak dan transparan. Ruang pengaduan harus dibuka selebar-lebarnya, dan semua bentuk kekerasan harus diproses secara hukum—tanpa ada impunitas, tanpa ditutupi atas nama baik institusi. Lembaga keagamaan yang sungguh-sungguh berpihak pada korban adalah lembaga yang tidak takut dikoreksi.

Keempat, kolaborasi lintas sektor menjadi penting. Komunitas akar rumput, LSM (contoh: Rumah KitaB), aktivis perempuan, lembaga negara seperti Komnas Perempuan dan KPAI, harus bekerja sama untuk menciptakan ruang-ruang aman yang berpihak pada penyintas. Tidak semua penyintas merasa aman melapor ke gereja atau pesantren, perlu ada alternatif. Pendampingan psikologis, hukum, dan spiritual yang berpusat pada pengalaman penyintas menjadi kebutuhan mendesak.

Pada akhirnya, membebaskan perempuan dari kekerasan dalam ruang-ruang religius bukan hanya soal membela korban. Ini adalah perjuangan untuk menciptakan bentuk keberagamaan yang baru: yang adil, yang membebaskan, yang menyembuhkan. Spiritualitas bukan hanya berkutat pada altar ataupun mimbar, tapi yang menjelma menjadi keberanian untuk menolak kekerasan dalam bentuk apa pun—bahkan ketika kekerasan itu datang dari mereka yang berseragam rohani.

Menyambut Hari Kemerdekaan, kita harus bertanya ulang: sudahkah gereja, pesantren, dan institusi agama kita menjadi tempat yang membebaskan? Atau justru menjadi tembok yang menindas diam-diam? Sebab kemerdekaan sejati bukan hanya soal bebas dari penjajah, tapi juga keberanian melawan ketidakadilan dan penindasan dari mana dan oleh siapa pun.

 

Referensi

Durkheim, E. (1995). The Elementary Forms Of Religious Life (Karen E. Fields (ed.)). The Free Press. https://monoskop.org/images/a/a2/Durkheim_Emile_The_Elementary_Forms_of_Religious_life_1995.pdf

Foucault, M. (1997). Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan. Gramedia Pustaka Utama.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, & Komisi Nasional Disabilitas. (2024). Siaran Pers Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Nasional Disabilitas.

Kurnianingrum, T. P. (2024). Perkuat pemahaman Isu Kekerasan Seksual di Pesantren.

Lumbanrau, R. E. (2020). Kasus Pendeta: Pendeta di Surabaya diduga perkosa jemaat di bawah umur, mengapa terjadi? BBC News Indonesia.Com. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51717311

Pui-Lan, K. (2000). Introducing Asian Feminist Theology. In Sustainability (Switzerland). Sheffield Academic Press. http://scioteca.caf.com/bitstream/handle/123456789/1091/RED2017-Eng-8ene.pdf?sequence=12&isAllowed=y%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.regsciurbeco.2008.06.005%0Ahttps://www.researchgate.net/publication/305320484_SISTEM_PEMBETUNGAN_TERPUSAT_STRATEGI_MELESTARI

Rohman, A. (2025). 5 Fakta Pemerkosaan Ustaz pada Santriwati Terbongkar Lewat Obrolan WA. DetikNews.Com. https://www.detik.com/jatim/hukum-dan-kriminal/d-7960306/5-fakta-pemerkosaan-ustaz-pada-santriwati-terbongkar-lewat-obrolan-wa

Kala Rumah Doa Menjadi Rumah Duka

Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran (QS. Al-Baqarah [2]: 186).

Ayat tersebut menjadi rangkaian ayat yang tertulis dalam Al-Quran bersanding dengan ayat perintah puasa. Mengapa perintah berdoa berdampingan dengan ajakan untuk berpuasa? Esensi puasa adalah menahan dan mengendalikan hawa nafsu, termasuk dalam berdoa. Sering kali kita berdoa dengan penuh luapan nafsu agar keinginan segera terpenuhi.

Padahal doa bukanlah lampu aladin, kata Kang Jalal allahu yarham. Apa yang kita panjatkan belum tentu langsung dikabulkan. Sebab Tuhan tahu yang terbaik bagi hamba-Nya. Boleh jadi doa kita diijabah dengan cara lain atau ditunda untuk kemaslahatan yang lebih utama. Doa butuh pengendalian dan kesabaran. Ketika Tuhan belum mengabulkan, boleh jadi pula karena Tuhan rindu mendengar suara rintihan hamba-Nya di malam hari. Intinya, ada banyak alasan mengapa doa belum terlaksana.

Selain soal itu, munasabah ayat tentang doa dan puasa dalam kitab suci itu juga memberikan refleksi terbaru bagi penulis. Tepatnya setelah membaca berita pembubaran dan penyerangan rumah doa umat Kristiani di Padang. Dalam video yang beredar, tampak sekelompok orang yang dengan angkuh membawa balok kayu dan merusak bangunan milik jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI), di Padang Sarai, Padang.

Ini bukan lagi soal oknum, tetapi ada masalah sistemik dari cara keberagamaan kita hari ini. Ketika agama hanya ingin dipahami secara parsial dan sesuai dengan nafsunya saja. Karenanya ayat di atas menjadi relevan untuk kita renungkan dalam kejadian ini. Peristiwa tersebut bukan satu-satunya. Ada banyak catatan kelam, umat Kristiani, Hindu, Buddha, Syiah, Ahmadiyah, Muhammadiyah, penghayat kepercayaan, yang rumah ibadah, tempat mereka berdoa, justru dihancurkan atas nama Tuhan.

Ayat di atas mengajarkan kepada kita bahwa Tuhan itu amat dekat. Dia bisa disembah dan didatangi dari mana saja. Kita bisa berdoa kapan pun, bahkan dalam relung hati terdalam yang tak terdengar oleh suara manusia. Pun doa mereka yang terzalimi, tersiksa, terluka adalah rintihan pertama yang akan didengar oleh Sang Pencipta. Bukan hanya kita perlu bersabar dalam berdoa, tetapi kita juga perlu mengendalikan nafsu, menghormati mereka yang berbeda cara dalam berdoa. Bahwa kita tidak sepakat dengan caranya, tak bisa jadi alasan untuk membubarkan secara paksa.

Pola pikir dikotomis-parsial-diskriminatif ini juga tercermin dari bagaimana sebagian besar masyarakat Indonesia mengidolakan dan menyambut kedatangan Zakir Naik. Bagi sebagian orang, ia adalah manifestasi dari penyelamat akidah. Tentu perlu digarisbawahi juga, tidak masalah orang mau memujanya atau tidak. Itu bagian dari kebebasan. Yang menjadi persoalan adalah, gaya dakwah Zakir Naik yang terbuka secara lebar menantang dan mencari kesalahan dari ajaran agama lain, justru memperuncing diskriminasi yang terjadi di akar rumput.

Gaya dakwah konfrontatif itu, meskipun sah, tidak elegan dan bermartabat. Ditambah lagi, ada standar ganda yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat kita. Ketika Zakir Naik diberikan panggung begitu lebar, tatkala tokoh agama lainnya mau ‘berdakwah’ secara terbuka, justru dilarang dan dibubarkan. Jangankan berdakwah di ruang terbuka, berdoa di rumah sendiri saja masih mengalami persekusi.

Dalam Al-Quran surat Al-Hajj ayat 39-40, Allah Swt berfirman:

اُذِنَ لِلَّذِيْنَ يُقَاتَلُوْنَ بِاَنَّهُمْ ظُلِمُوْاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ عَلٰى نَصْرِهِمْ لَقَدِيْرٌ ۙ ٣٩ ۨالَّذِيْنَ اُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ اِلَّآ اَنْ يَّقُوْلُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ۗوَلَوْلَا دَفْعُ اللّٰهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَّصَلَوٰتٌ وَّمَسٰجِدُ يُذْكَرُ فِيْهَا اسْمُ اللّٰهِ كَثِيْرًاۗ وَلَيَنْصُرَنَّ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ لَقَوِيٌّ عَزِيْزٌ ٤٠

39. Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka dizalimi. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa membela mereka. 40. (Yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya, tanpa alasan yang benar hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami adalah Allah.” Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, sinagoge-sinagoge, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

Ayat ke 39 surat Al-Hajj tersebut memang menjadi legitimasi untuk berperang. Namun, perlu membacanya secara cermat agar tidak menjadi umat yang gampang menebar laknat. Perang hanya diperbolehkan jika kita terlebih dahulu diserang. Seperti apa yang dilakukan oleh Zionis kepada warga Gaza hari ini. Ketika kita marah ada masjid dan gereja yang dibom di Gaza, lantas mengapa justru dengan bangga kita melakukan kekejaman yang sama, seperti apa yang dilakukan oleh zionis di sana.

Pun dalam keadaan berperang, etika yang perlu dijaga, tak boleh sekecil pun kerusakan dalam rumah ibadah. Ayat tersebut tidak menyebutkan masjid saja, tetapi juga biara, gereja dan sinagoge. Semua rumah ibadah, yang di dalamnya disebut nama Allah, tak boleh dirusak. Apalagi atas nama Allah. Sekarang mari berkaca lagi dengan kasus yang terjadi di negeri ini. Kita tidak dalam kondisi berperang, tetapi rumah ibadah terus diserang. Padahal ketika peperangan berlangsung sekali pun, haram merusak rumah ibadah.

Sebagai informasi tambahan, dalam ayat tersebut, sinagoge, rumah ibadah Yahudi, menggunakan redaksi shalawaat, satu akar kata dengan shalat, yang saat ini dimaknai secara eksklusif sebagai ritual ibadah umat Islam. Mengapa Al-Quran menggunakan redaksi shalawat untuk sinagoge? Ini juga berkaitan erat dengan bagaimana kesinambungan tradisi Yahudi, Kristen dan Islam sebagai agama Ibrahim. Lagi-lagi, informasi seperti ini hanya berguna bagi mereka yang mau membaca dengan hati dan pikiran, bukan dengan caci dan kebencian.

Kasus pembubaran tersebut juga kian menyayat hati, karena yang dirusak bukan hanya bangunan, tetapi juga kemanusiaan. Ada dua anak yang menjadi korban. Selain luka fisik, ada puluhan anak juga orang dewasa yang hadir di sana, mempunyai trauma mendalam. Luka yang mendalam itu juga hadir kembali bagi ribuan kelompok minoritas di negeri ini yang punya pengalaman sama, setelah menonton cuplikan video amukan massa tersebut.

Menghancurkan rumah ibadah saja terlarang, apalagi menyerang mereka yang dalam hatinya ada Tuhan. Terlebih anak kecil yang belum mempunyai kesalahan. Kasus ini hanyalah satu di antara tumpukan kejadian intoleransi yang terjadi di negeri ini.

Jika tidak ditangani dan dipulihkan, kejadian ini akan menggelinding menjadi bola salju, makin hari kian membatu, menguat dan kapan pun bisa meledak menjadi bom waktu. Para korban layak untuk marah, apalagi di tengah kondisi negara yang kian payah. Tetapi sampai kapan luapan marah dan dendam itu terus ditanam?

Mari kelola kemarahan itu untuk memulihkan hubungan. Dan itu perlu dimulai dari sikap tegas negara yang hadir berpihak pada korban. Dalam hal ini, Kementerian Agama perlu menjadi menteri yang benar-benar mengayomi semua warga. Di samping itu, gerakan dialog dan ruang jumpa di akar rumput juga perlu terus didukung. Kita sadar bahwa relasi ini sedang sakit, maka saatnya kita bangkit.

Sebagaimana teladan Almasih yang memberikan kasih, hatta kepada musuh sekali pun, memang berat, tapi dengan cara itulah kita bisa kembali melangkah. “Dengan hidup yang hanya sepanjang tarikan nafas, jangan tanam apa pun selain cinta”, demikian kata Rumi.

Bangkit Melawan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia kian hari kian menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Alih-alih menurun, angka kekerasan justru meningkat dari tahun ke tahun. Ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan luka sosial yang terus terbuka.

Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), pada tahun 2024 tercatat 28.831 kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia. Sementara pada awal tahun 2025, data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) mencatat bahwa sejak 1 Januari hingga 12 Maret saja, telah terjadi 4.821 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ini artinya, dalam waktu kurang dari tiga bulan, ribuan jiwa kembali mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk.

Kasus-kasus tersebut tersebar di berbagai daerah, dengan angka yang fantastis. Di Kota Tangerang Selatan, sepanjang Januari hingga Juni 2025, tercatat 193 kasus kekerasan. Korban terbanyak adalah anak perempuan (76 orang), diikuti perempuan dewasa (67 orang) dan anak laki-laki (50 orang). Mayoritas kasus menimpa kelompok rentan seperti pelajar dan ibu rumah tangga. Ironisnya, 73 kasus terjadi di ruang publik dengan 17 kasus terjadi di sekolah, 8 kekerasan berbasis daring, dan 3 di tempat kerja.

Kondisi serupa terjadi di Banjarmasin, yang mencatat sekitar 90 kasus kekerasan sepanjang semester pertama 2025. Korban terdiri dari 30 anak laki-laki, 26 anak perempuan, dan 34 perempuan dewasa.

Di Yogyakarta, lonjakan kekerasan tak kalah mencemaskan. Dinas P3AP2 DIY mencatat sepanjang 2024 terjadi 1.326 kasus, dengan rincian 822 kasus menimpa orang dewasa dan 504 kasus anak-anak. Kekerasan psikis menduduki posisi teratas (498 korban), disusul kekerasan fisik (432 korban), dan kekerasan seksual (340 korban). Yang menyedihkan, sebagian besar pelaku kekerasan berasal dari lingkaran terdekat korban. Kasus serupa juga terjadi di belahan kota lainnya. Dan banyak tentunya.

Krisis Sosial dan Budaya

Peningkatan angka kekerasan ini mencerminkan keretakan mendalam dalam sistem sosial kita. Kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan sekadar masalah hukum atau kriminalitas, apalagi dianggap statistik angka. Peningkatan angka kekerasan ini adalah gejala dari tatanan masyarakat yang rapuh.

Sudah banyak yang menjelaskan bahwa peningkatan angka kekerasan anak dan perempuan akibat dari ketimpangan relasi kuasa, ketidaksetaraan gender, kondisi ekonomi, serta lemahnya kesadaran dan perlindungan menjadi faktor-faktor penyebab yang saling bertaut. Namun, sejauh ini apa yang pemerintah dan kita lakukan, selain mencatat berapa biji tambahan dari korban ke korban?

Anak-anak dan perempuan dianggap lemah, tidak berdaya, dan mudah dikendalikan. Pandangan ini tak hanya hidup dalam rumah tangga, tapi juga dalam institusi pendidikan, tempat kerja, bahkan ruang digital. Tak heran bila kekerasan kini juga banyak terjadi melalui sarana daring, terutama dalam bentuk kekerasan seksual.

Namun, ada hal lain yang juga patut dicatat: meningkatnya pelaporan kasus kekerasan juga menandakan tumbuhnya kesadaran masyarakat. Banyak orang kini lebih berani melapor. Mereka tahu bahwa kekerasan bukan untuk disembunyikan, dan bahwa korban berhak mendapatkan perlindungan. Tapi setelah melapor, bagaimana kejelasan kasusnya?

Langkah Konkret dan Terukur

Tentu saja kesadaran saja tidak cukup. Diperlukan langkah konkret yang sistematis dan berkelanjutan untuk mencegah dan menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Pertama, sosialisasi dan edukasi publik harus dilakukan secara masif dan menyeluruh. Banyak masyarakat mengetahui adanya kekerasan di sekitar mereka, namun tidak tahu ke mana harus melapor atau ragu karena takut identitas mereka tidak aman. Edukasi ini tidak cukup lewat selebaran, tetapi harus melalui pendekatan berbasis komunitas.

Kedua, layanan advokasi dan konseling psikologis bagi korban perlu diperluas. Pendampingan terhadap korban kekerasan harus lebih dari sekadar administrasi laporan. Di sini harus ada ruang aman yang memungkinkan pemulihan mental dan sosial mereka.

Ketiga, peningkatan kapasitas petugas layanan di UPT PPA kabupaten/kota dan desa menjadi sangat penting. Banyak petugas masih kesulitan menjelaskan bentuk dan dampak kekerasan secara holistik. Dinas P3A dapat menggandeng penyuluh keagamaan, kader PKK, dan aparat desa untuk memperkuat pemahaman di tingkat akar rumput.

Keempat, pemerintah daerah dan pusat perlu memberikan dukungan anggaran dan sumber daya manusia yang cukup untuk lembaga-lembaga perlindungan ini. Tanpa dukungan konkret, upaya perlindungan hanya akan berakhir pada seremoni. Dan kalau perlu bisa menggandeng NGO dan komunitas setempat.

Kelima, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) harus menunjukkan komitmennya dalam memperkuat perlindungan perempuan dan anak. Komitmen ini bukan sekadar rapat, melainkan turun melalui kebijakan strategis lintas sektor.

Salah satu langkah konkret segera lakukan dan sahkan Rancangan Inti Penyusunan Rancangan Instruksi Presiden (Inpres) tentang Gerakan Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (GN-AKPA). Mengingat rekomendasi dalam laporan Catatan Tahunan (CATAHU) Kekerasan terhadap Perempuan oleh Komnas HAM 2025, masih memerlukan harmonisasi kebijakan, efektivitas pelaksanaan, dan sinergi lintas sektor di tingkat pusat maupun daerah.

Tanggung Jawab Bersama

Kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan semata urusan negara, melainkan tanggung jawab bersama. Perlu ada sinergi multisektor: antara negara, masyarakat sipil, media, dan institusi pendidikan untuk mencegah terjadinya kekerasan sejak dini.

Deteksi dini hanya mungkin dilakukan jika masyarakat memiliki tempat untuk melapor dan merasa dilindungi. Dalam konteks ini, negara harus hadir secara aktif, bukan hanya dalam bentuk kebijakan, tetapi dalam kehadiran nyata di tengah masyarakat.

Di tengah situasi yang kian genting ini, kita tidak bisa tinggal diam. Kita harus menolak untuk menganggap kekerasan sebagai hal biasa. Karena ketika kekerasan dianggap wajar, maka kita sedang membiarkan kekejaman hidup berdampingan dengan masa depan anak-anak kita.

Islam Melindungi Anak: Jalan Menuju Generasi Rahmatan lil ‘Alamin

Dalam Islam, anak bukan hanya bagian dari keluarga, melainkan amanah langsung dari Allah Swt. Mereka adalah titipan yang harus dijaga kehormatannya, tumbuh kembangnya, dan hak-haknya. Dalam sebuah ayat, Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS At-Tin: 4). Ini merupakan fondasi teologis yang menegaskan bahwa anak-anak memiliki martabat dan kehormatan yang harus dijaga sejak awal kehidupan mereka.

Kekerasan terhadap anak, baik dalam bentuk fisik, psikis, seksual, verbal, maupun eksploitasi, bukan saja bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syariat. Dalam Al-Qur’an, pembunuhan satu jiwa diibaratkan sebagai pembunuhan seluruh umat manusia (QS Al-Maidah: 32). Maka menyakiti dan merampas hak tumbuh-kembang seorang anak adalah kezaliman yang dampaknya bisa meluas hingga mencederai masa depan umat.

Islam memberikan perhatian besar pada pemenuhan hak anak. Nabi Muhammad Saw. menekankan pentingnya memberi nama yang baik, memperlakukan anak dengan kasih sayang, serta memastikan mereka mendapat pendidikan dan perlindungan. Bahkan, dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda: “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak menghormati yang tua” (HR. Tirmidzi). Ini menunjukkan bahwa kasih sayang terhadap anak bukan sekadar etika sosial, tetapi bagian dari keimanan.

Kekerasan dan Diskriminasi Bukan Bagian dari Fitrah Islam

Hari ini, pelbagai bentuk kekerasan yang masih menimpa anak, baik dalam rumah tangga, lembaga pendidikan, hingga media daring, adalah manifestasi dari rusaknya tatanan sosial dan lemahnya pemahaman terhadap ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Padahal Islam secara tegas menolak segala bentuk perlakuan yang menjatuhkan martabat anak, termasuk diskriminasi berbasis gender, pekerjaan berat yang membahayakan, maupun pernikahan anak yang dipaksakan.

Prinsip la yukallifullāhu nafsan illā wus‘ahā (Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya) (QS Al-Baqarah: 286) menjadi dasar teologis untuk menolak segala bentuk pemaksaan terhadap anak, termasuk dalam praktik perkawinan dini. Begitu pula, praktik-praktik seperti khitan perempuan yang tidak memiliki dasar syariat dan tidak mendatangkan manfaat medis, seharusnya dihentikan karena bertentangan dengan maqashid syariah: yakni menjaga jiwa, akal, dan keturunan.

Mengarusutamakan Perlindungan Anak dalam Syariat dan HAM

Dalam pemartabatan anak dan perempuan, mengambil konsep HAM sudah sesuai dengan syariat Islam. Islam dan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia tidaklah bertentangan. Keduanya justru dapat saling menguatkan dalam menjaga harkat dan martabat anak. Hak hidup, hak mendapatkan kasih sayang, pendidikan, kesehatan, dan pengasuhan adalah hak-hak dasar anak yang juga merupakan bagian dari ajaran Islam.

Lebih jauh, dalam konteks kenegaraan, perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi juga tanggung jawab masyarakat dan negara. Hal ini selaras dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mendasarkan prinsip pelindungan anak pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hal demikian mengacu pada konvensi internasional tentang hak anak. Negara telah memiliki regulasi dan instrumen hukum yang lengkap, yang kini tinggal menunggu komitmen kolektif untuk diterapkan dengan serius dan konsisten.

Islam juga melarang segala bentuk kekerasan dalam pendidikan. Dalam pengajaran dan proses pedagogis, pendekatan penuh kasih dan non-kekerasan harus diutamakan. Rasulullah tidak pernah memukul anak-anak, bahkan ketika mereka melakukan kesalahan. Beliau memilih membimbing dengan sabar, menyentuh hati dengan akhlak, dan menunjukkan teladan yang baik.

Urgensi Preventif: Menanamkan Nilai, Memperkuat Sistem

Perlindungan terhadap anak tidak cukup dilakukan setelah kekerasan terjadi. Upaya preventif lebih utama dan sangat dianjurkan dalam Islam. Memberi anak pondasi keimanan, budi pekerti, dan kasih sayang sejak dini adalah kunci agar mereka tumbuh menjadi pribadi tangguh, adil, dan mulia.

Dalam hal ini, negara dan masyarakat harus bergandengan tangan menyediakan ruang aman bagi anak. Pemerintah perlu memperkuat kapasitas lembaga perlindungan anak, memperluas akses ke layanan pengaduan, serta meningkatkan literasi masyarakat tentang kekerasan berbasis gender dan anak.

Keluarga, sebagai madrasah pertama, juga harus menjadi tempat yang aman dan nyaman, bukan sumber trauma dan kekerasan. Tugas kita bersama adalah membangun lingkungan yang menghargai hak anak sebagai manusia seutuhnya, bukan sekadar “milik” orang tua, budak atau alat pencitraan sosial.

Menjadi Generasi Penjaga Titipan Ilahi

Anak-anak adalah harapan masa depan, pewaris peradaban, dan cerminan keimanan kita hari ini. Maka, siapa yang menyakiti mereka, sejatinya telah merusak tatanan dunia yang dipercayakan Allah kepada manusia. Islam telah memberikan tuntunan yang sangat lengkap untuk melindungi anak, baik dari segi spiritual, hukum, maupun sosial.

Kini saatnya kita bertanya: sudahkah kita menjadi penjaga titipan Ilahi itu dengan sebaik-baiknya?

Pendidikan Merosot, Salah Siapa?

Kemerosotan pendidikan di bumi pertiwi sudah menjadi sorotan sejak lama. Namun, semakin ke sini semakin tampak keburukannya. Mulai dari siswa yang tidak bisa baca tulis (lihat di sini), tidak paham penjumlahan dan perkalian dasar, budaya joki tugas, sampai pada bullying dan kekerasan lainnya. Setidaknya yang tercatat ada 573 kasus kekerasan yang terjadi sepanjang tahun 2024 (lihat di sini). Satgas kekerasan yang dibentuk di sekolah pun banyak yang tidak tahu bagaimana mengatasi permasalahan tersebut. Belum lagi problem kebijakan yang gonta-ganti tiap lima tahunan. Personifikasi menteri seakan ingin menunjukkan bahwasanya negara tidak memiliki arah yang jelas terkait pendidikan anak bangsa.

Tulisan ini tidak ingin menyudutkan ataupun  membela pemerintah, apalagi mencari kambing hitam lainnya. Tulisan pendek ini akan mengajak untuk memikirkan bersama tentang permasalahan pendidikan kita.

Negara memang diamanati untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun tanggung jawab pendidikan ini bukanlah tanggung jawab pemerintah semata. Dalam mewujudkan pendidikan yang baik setidaknya ada tiga kelompok yang harus saling mendukung, saling bahu membahu untuk mewujudkan generasi yang bermartabat. Peran orang tua, masyarakat dan sekolah dalam pendidikan tidak bisa dipilih salah satunya saja. Seperti yang banyak terjadi pada saat ini. Orang tua mengandalkan sekolah, pasrah pada sekolah begitu saja tanpa ingin terlibat dalam proses perkembangan anaknya. Sekolah kualahan dan mendidik asal-asalan saja, yang penting nama baik sekolah tetap terjaga. Selebihnya masyarakat diacuhkan atau kemungkinan terburuknya sudah tidak ingin terlibat lagi dengan anak-anak sekolah.

Kita mengenal ungkapan “Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya”. Ungkapan ini mengajarkan bahwasanya pendidikan dalam keluarga amatlah penting. Untuk itu diperlukan bekal yang cukup untuk mendidik seorang anak. Ketika orang tua menyekolahkan anaknya bukan berarti tugas mendidik orang tua telah selesai. Bukankah orang tua memiliki tanggung jawab untuk mengetahui kondisi anaknya karena telah memercayakannya pada sebuah lembaga atau institusi pendidikan?  Bagaimana kondisi anaknya di sana, hal-hal apa saja yang menyulitkannya, apakah anaknya sudah bisa berbaur dengan teman-teman yang lain, dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan serupa. Dengan menaruh anak di sekolah, boarding school, ataupun pesantren tidak menjadikan orang tua melepaskan anaknya begitu saja.

Sekolah pada mulanya hanyalah kegiatan untuk mengisi waktu luang. Akar kata sekolah berasal dari bahasa Latin, schola yang berarti waktu senggang atau waktu luang.

Dahulu dalam tradisi Yunani, orang-orang mengisi waktu luang dengan mengunjungi suatu tempat yang di situ terdapat orang bijaksana yang dianggap banyak orang bisa menjadi tempat rujukan pertanyaan-pertanyaan. Dari sana orang-orang belajar hal-hal yang dirasa perlu diketahui. Dahulu sekolah tidak diwajibkan, tapi masyarakat memiliki kesadaran untuk mencari tahu suatu hal sehingga memanfaatkan waktu luangnya untuk mempelajari berbagai macam hal. Sekarang sekolah diwajibkan, tapi apakah yang datang ke sekolah adalah orang-orang yang berkesadaran untuk ingin mencari suatu pengetahuan?

Sekolah pada saat ini memiliki citra yang kurang begitu baik. Banyak problem yang belum terselesaikan, bahkan bertambah-tambah problemnya. Guru-guru sekolah mengeluhkan administrasi yang lebih ribet sehingga menguras waktu dan tenaga. Belum lagi honor guru yang kembang-kempis. Akreditasi yang seharusnya menjadi penjaga atau penjamin kualitas pendidikan menjelma jadi ajang cari nama belaka. Sekolah disibukkan bagaimana cara mendapatkan akreditasi unggul dan terkuras tenaganya sehingga tidak ada waktu untuk benar-benar memikirkan problem yang dihadapi anak didiknya. Banyak sekolah yang dipandang tidak ramah anak, praktik bullying yang akibat buruknya menimbulkan rasa trauma, praktik kecurangan, manipulasi, kekerasan seksual dan isu-isu lainnya.

Masyarakat tidak lagi memiliki peranan yang berarti dalam pendidikan. Sekolah menutup diri dari masyarakat. Membangun tembok tinggi-tinggi. Pendidikan hanya dipandang pekerjaan dari lembaga sekolah. Kepedualian masyarakat sebatas memberikan sumbangan semampunya kepada lembaga pendidikan yang membutuhkan. Mindset pendidikan kita menjadi sempit dan terbatas pada pendidikan formal saja. Ada yang hilang di tengah-tengah masyarakat modern saat ini, kepedulian. Kesalahan yang memalukan adalah ketika kita mulai pura-pura tidak melihat, pura-pura tidak mendengar dan mengabaikan kenyataaan. Kita pura-pura tidak melihat anak yang seharian main game, yang penting anak bisa diam di rumah. Kita pura-pura tidak melihat tetangga yang kesulitan menyekolahkan anaknya. Kita tidak peduli dana pendidikan kita apakah dipakai betul untuk pendidikan atau terjadi kebocoran di mana-mana.

Dengan banyaknya problem pendidikan yang sedang kita hadapi, bukan berarti kita patah arang untuk mengidamkan pendidikan yang baik. Masih banyak orang-orang yang sedang berjuang untuk pendidikan bersama. Banyak guru-guru yang terus berkembang dan mengupayakan pendidikan yang baik bagi para muridnya. Tidak seluruhnya kepedulian itu hilang dari masyarakat. Orang tua, masyarakat dan sekolah perlu kembali menemukan jati dirinya dalam mendidik anak-anak zamannya.

Tiga pilar utama pendidikan perlu sama-sama merumuskan ulang peranannya dalam mendidik generasi penerus bangsa. Mungkin bisa dimulai dari peran aktif orang tua yang menjadi partner dalam pendidikan anak. Orang tua bisa mulai bertanya terkait proses belajar di sekolah, kebutuhan anak, tantangan yang dihadapi anak. Orang tua tidak harus pasif dan hanya bereaksi ketika mendapat laporan atau panggilan dari sekolah. Sekolah bisa kembali pada asal mula peranannya sebagai tempat dialektika dari berbagai macam pertanyaan. Sekolah tidak menjadi tempat yang menyeramkan yang penuh kekerasan atau penghakiman. Tidak pula tempat yang menyeragamkan pemikiran, mematikan kreatifitas dengan menanamkan fixed mindset.

Pemerintah atau para menteri pendidikan perlu menurunkan ego untuk berlomba menciptakan kebijakan baru sebagai legacy. Jangan-jangan anggaran pendidikan banyak terkuras untuk proses perumusan kebijakan-kebijakan tersebut. Kebijakan yang pada akhirnya akan diganti sebelum diterapkan. Masyarakat perlu kembali menemukan ruang-ruang untuk terlibat dalam mendidik generasi berikutnya. Fungsi masyarakat sebagai kontrol sosial dan juga agen pendidikan perlu menemukan format yang relevan. Orang tua, masyarakat dan sekolah perlu menjaga naluri anak untuk terus mencari dan mengeksplorasi hal-hal di sekitarnya. Sekolah dari awalnya adalah kegiatan untuk melakukan proses penemuan, bertemunya keresahan, problem dan pengetahuan-pengetahuan kehidupan.

 

Sumber bacaan refleksi

  1. Ki Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan
  2. Toto Rahardjo, Sekolah Biasa Saja
  3. Asep Sunandar, “Memotret Permasalahan Mendasar Pendidikan Indonesia”, id
  4. Hoirunnisa, “JPPI: 2024, Kekerasan di Lingkungan Pendidikan Melonjak Lebih dari 100 Persen”, id

Kekerasan yang Diwariskan: Refleksi Film “Pengepungan di Bukit Duri”

Pekan ini, film “Pengepungan di Bukit Duri” sudah menembus satu juta penonton. Film karya Joko Anwar ini memang sudah dinanti oleh banyak orang, terutama penikmat film Joko Anwar. Ada yang menarik dari setiap film yang dibuatnya, yaitu menyimpan tanda tanya untuk didiskusikan secara publik. Sebelumnya di Netflix, Joko Anwar juga menghasilkan series “Nightmares and Daydreams” yang sarat dengan kritik sosial.

Karenanya, film terbaru ini pun dinanti kehadirannya dengan semangat kritisisme terhadap kondisi bangsa yang kian carut-marut. Bagi beberapa kalangan, termasuk yang saya saksikan sendiri, film ini terlampau luas mengekspos adegan kekerasan. Memang adegan ini bisa memicu adrenalin penonton. Kita diajak dag dig dug bareng selama dua jam di bioskop. Berasa dikejar ketakutan, kekhawatiran, dan boom terjadilah pertumpahan darah bertubi-tubi. Di satu sisi, film ini berhasil menyihir penonton untuk tidak mengantuk karena ketegangannya. Emosi yang dibangun dengan potret kebencian terhadap etnis Tionghoa juga sangat mendebarkan.

Sayangnya, film ini kurang berhasil mengekspos mengapa kebencian itu bisa terjadi? Bagaimana kekerasan itu bisa terus dilakukan? Juga bagaimana pihak pemerintah menyikapi kekerasan tersebut? Film ini hanya membicarakan sisi personal Edwin yang sedang mencari keponakannya yang hilang di Bukit Duri. Tidak banyak menyoroti sisi chaos negara yang bersimbah darah kebencian.

Meski demikian, film ini tetap menarik didiskusikan. Bukan menyoroti apa yang tersurat dari film ini, melainkan apa yang tersirat. Melalui film ini, sang kreator mengajak penonton untuk kritis melihat apa yang tidak diputar di layar lebar.

Ke Mana Orang Tua Mereka?

Selama pemutaran film, penonton hampir tidak melihat sosok orang tua, baik ibu maupun ayah yang terekspos. Alih-alih melihat sosok orang tua, yang dihadirkan justru cerita bobrok orang tua mereka. Ada yang korupsi, main perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga perceraian. Potret orang tua sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak mempunyai elan vital.

Anak yang tidak mendapatkan kasih sayang orang tua sangat rentan terjerumus dalam lubang kekerasan. Pun anak yang sering menjadi korban pelampiasan keganasan orang tua di rumah pun dapat menjadi pelaku di lingkungan masyarakat. Data dari UNICEF pada tahun 2021, sekitar 20,9% anak-anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah. Hal ini sama seperti 30,83 juta anak usia dini di Indonesia, sekitar 2.999.577 anak kehilangan sosok ayah. Bayangkan jutaan anak yang kehilangan sosok panutan amat rentan menjadi pelaku kekerasan berikutnya. Film ini bisa menjadi alarm bagi orang tua untuk memperhatikan masa depan sang anak.

Mana Peran Pemerintah?

Film ini juga absen memotret kehadiran pemerintah sebagai corong utama penyelesaian konflik berdarah di masyarakat. Latar waktu film ini berasal dari tahun 2009 sebagai konflik awal yang memecah kehancuran. Kemudian berjalan ke masa depan di tahun 2027 dengan mengulang konflik yang sama. Kebencian terhadap ras Tionghoa. Artinya ada jeda waktu 18 tahun kebencian terhadap kelompok lian itu terus dipelihara. Tidak ada penyelesaian dan pemulihan yang dilakukan pemerintah selama waktu tersebut.

Abainya pemerintah terhadap kasus kekerasan akan menjadi bom waktu. Saat ada pemantiknya, bom itu bisa meledak. Hari ini, Indonesia sudah masuk pada tahap reformasi setelah menurunkan rezim Orde Baru pada tahun 1998. Proses penurunannya pun dengan menyisakan banyak luka dan korban. Kerusuhan tahun 1998, disebut sebagai latar utama film ini.

Namun, apakah kerusuhan 1998 sudah diselesaikan? Apakah negara sudah hadir memulihkan korban? Apakah semua pelakunya sudah diusut tuntas di pengadilan? Aksi Kamisan yang terus berlangsung hingga detik ini menjadi bukti bahwa korban belum mendapatkan haknya. Di sinilah letak krusial yang perlu diperhatikan. Luka yang tidak dipulihkan dan disembuhkan cenderung akan membuat luka baru. Dalam film, kita menyaksikan orang-orang yang membenci etnis Cina terus saja dirawat oleh waktu. Dalam realitanya, ada banyak kebencian: ras, agama, dan gender. Luka dan kebencian terus diwariskan.

Mengapa Peran Perempuan Sedikit?

Iya, sangat terasa maskulinitas film ini. Mulai dari amukan massa yang dominan laki-laki hingga sekolah di Bukit Duri yang mayoritas pria. Tidak banyak sosok perempuan yang diangkat. Bahkan perempuan dan anak cenderung menjadi korban dalam pusaran kekerasan. Ini menyiratkan satu pesan penting, ketidakhadiran perempuan dalam ruang publik rawan dominasi pria yang berujung kekerasan. Dalam aspek yang lebih luas, spirit feminitas perlu bersanding dengan maskulinitas. Keseimbangan adalah kata kunci agar hidup tertata.

Konsep mubadalah yang hari ini banyak disuarakan oleh kelompok feminis Muslim di Indonesia adalah upaya menghapus dominasi pria. Tetapi, menolak dominasi pria bukan dengan cara menciptakan dominasi baru bagi wanita. Melainkan ada kesalingan, pembagian ruang dan tata kelola di masyarakat dan menolak segala bentuk kekerasan.

Idealkah Sekolah di Bukit Duri?

Selain soal dominasi gender, yang perlu disoroti dari film ini adalah konsep pendidikan. Ada banyak cacat pendidikan di Bukit Duri yang menjadi potret buram pendidikan Indonesia hari ini. Pertama soal segregasi pendidikan. Istilah sekolah ‘buangan’ dan ‘unggulan’ menjadi sebab kekerasan di sekolah kian marak terjadi. Mereka yang dianggap bermasalah disatukan dalam satu lingkungan. Konsep semacam ini bukanlah solusi melainkan upaya lari dari akar masalah.

Pendidikan bukan penjara yang menyatukan anak yang ‘bermasalah’. Apalagi sekolah yang berpagar tinggi berkawat duri. Pendidikan yang berbasis ketakutan dan ancaman tidak akan melahirkan kesadaran. Konsep sekolah buangan hanya akan membuat mereka yang terpinggirkan semakin memuncak ekspresi kebenciannya.

Segregasi ini juga bisa dilihat dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Pengumpulan lingkungan berdasarkan etnis suku dan agama tertentu justru kurang sehat untuk menciptakan harmoni. Alih-alih membuka ruang dialog dengan kelompok yang berbeda, hidup dalam lingkungan yang homogen hanya akan melanggengkan kebencian dan stigma.

Selain soal segregasi, tantangan yang nyata dari dunia pendidikan hari ini adalah moral. Siswa tak lagi beretika kepada guru. Dengan mudah membentak bahkan melawan. Pada saat yang sama, guru pun banyak yang tak memberikan keteladanan. Salah satunya motivasi mengajar. Ini bisa dilihat dari tujuan Pak Edwin yang diperankan oleh Morgan untuk mengajar di SMA. Tujuan utamanya adalah mencari keponakannya yang hilang. Tentu tidak sepenuhnya salah. Tetapi motivasi ini akan menentukan bagaimana seorang guru mengajar.

Guru yang hanya menjadikan motif ekonomi untuk mengajar akan berorientasi pada pragmatisme. Ada uang, siswa disayang, tak ada uang, siswa ditendang dari sekolahan. Panggilan menjadi guru adalah nurani untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. ‘Pahlawan tanpa tanda jasa’, demikian ungkapannya.

Mengapa Kekerasan Bisa Terjadi?

Dari film ini, kita belajar bahwa kekerasan itu nyata dan dapat diwariskan. Tetapi mengapa itu bisa terjadi? Film ini memang tidak membahasnya. Film ini justru menampilkan dampak dari kekerasan yang melahirkan kekerasan baru.

Kekerasan bisa terjadi karena berbagai hal. Mulai dari kekosongan sosok orang tua; absennya pemerintah memberikan ruang yang adil; dominasi gender, etnis atau agama tertentu hingga bobroknya dunia pendidikan. Namun, ada satu hal yang pasti bahwa kekerasan itu bukanlah hal baru atau kejadian luar biasa di luar sana yang jauh dari kehidupan kita. Kekerasan adalah realitas keseharian. Boleh jadi karena sudah terlampau sering melihat berita anak membunuh orang tua, guru memperkosa murid, dan kekerasan lainnya; kita menjadi pribadi yang permisif dengan kekerasan.

Kita baru marah dan cemas dengan kebrutalan Jefri dan kawan-kawan di dalam film tersebut. Tetapi kita melihat biasa saja kalau siswa melakukan perundungan, guru memukul hingga babak belur atau hate speech di media sosial. Padahal kebengisan brutal lahir dari kebencian ‘kecil’ yang dinormalisasikan tanpa dipulihkan. Tak akan ada asap kalau tidak ada api dan tidak akan ada api kalau tidak ada bahan bakar. Semua saling berkaitan. Dan bisa jadi, diamnya manusia waras bersuara di ruang publik juga menjadi bahan bakar untuk menyulut api kebencian yang kian besar. Wallahu a’lam.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Seorang selebgram asal Aceh, Cut Intan Nabila, mengunggah video Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh suaminya, Amor Toreador. Video tersebut menjadi viral dan mendapatkan reaksi keras dari netizen. Aparat hukum langsung turun tangan menyelidiki kasus ini. Tak butuh waktu lama, suami Cut Intan segera dibekuk polisi di sebuah hotel di kawasan Jakarta Selatan.

Kejadian serupa pernah dialami oleh penyanyi terkenal, Lesti Kejora. Ia melaporkan KDRT yang dilakukan oleh suaminya, Rizky Biliar. Rekaman CCTV terkait insiden tersebut viral di media sosial dan segera ditanggapi oleh pihak kepolisian. Rizky pun langsung ditangkap dan diproses hukum.

Kasus KDRT yang melibatkan pesohor biasanya akan mendapat sorotan utama dari media. Beritanya laris manis, muncul berulang setiap hari, ditanggapi, dan diulas oleh banyak pihak. Biasanya, kasus ini akan terus dikawal dan dipantau oleh netizen.

Namun, kejadian serupa sering kali dialami oleh masyarakat umum, yang sayangnya sering luput dari pantauan media. Banyak korban yang memilih untuk diam dan menutupi kejadian tersebut. Menurut laporan Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2024, sebanyak 34.682 perempuan menjadi korban tindak kekerasan (Kompas.com, 13/07).

Mayoritas korban KDRT adalah perempuan. Di negara hukum, setiap orang diperlakukan sama di hadapan hukum, tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, latar belakang sosial, dan lainnya. Lantas, mengapa perempuan sering menjadi korban? Salah satu alasannya adalah karena adanya relasi kuasa yang timpang, terutama relasi kuasa berbasis gender.

Relasi kuasa, sebagaimana didefinisikan dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Yang Berhadapan Dengan Hukum, adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan, dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan, dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks relasi antargender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah.

Dalam budaya Jawa, misalnya, perempuan (istri) disebut sebagai “konco wingking” (teman di belakang). Kultur Jawa menempatkan peran serta tugas perempuan di belakang suami, mengurus urusan domestik seperti sumur, dapur, dan kasur. Norma-norma gender seperti ini dikonstruksi oleh nilai-nilai budaya.

Norma gender juga bisa diciptakan dan dikondisikan oleh nilai-nilai agama. Sebagaimana umum diketahui dalam penafsiran QS An-Nisa: 34, laki-laki adalah pemimpin/kepala (qawwam) rumah tangga, yang bertanggung jawab atas perekonomian keluarga. Perempuan yang baik (salihah) adalah perempuan yang taat (qanitat) kepada suami dan senantiasa menjaga kehormatannya, tidak membangkang (nusyuz) kepada suami. Suami bahkan diperbolehkan melakukan kekerasan (memukul) terhadap istri yang nusyuz.

Interpretasi tekstual terhadap ayat ini bisa membentuk norma-norma gender, mengkonstruksi sikap dan perilaku seorang istri terhadap suaminya, serta menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan dalam relasi gender. Oleh karena itu, dalam memahami ayat tersebut, diperlukan sikap kritis dan terbuka, karena di ayat-ayat lain Allah SWT menegaskan kesetaraan dan kesalingan (mubadalah) antara perempuan dan laki-laki, seperti yang disebutkan dalam QS Al-Hujurat: 13 dan Al-Baqarah: 178.

Realitas terus berubah, begitu juga nilai-nilai dan norma-norma masyarakat. Kita dihadapkan pada pilihan: bertahan dan mempertahankan status quo, atau membuka diri terhadap realitas yang terus bergerak dinamis (al-‘alamu mutaghayyirun).

Salam,
JM

rumah kitab

Merebut Tafsir: Yang Tersisa dari Kontroversi Oki Setiana Dewi

Kontroversi “ceramah” Oki Setiana Dewi (OSD) meninggalkan beberapa catatan penting. Pertama, kesadaran tentang kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) telah “go public”. Begitu potongan ceramahnya mengudara, reaksi pun muncul, dari yang tipis-tipis sampai yang teoretis. Tak hanya perempuan yang ahli di bidangnya tetapi para lelaki yang merasa dipermalukan. Ini sebuah capaian hebat. Ini sungguh buah dari kerja keras kampanye dan aksi anti kekerasan terhadap perempuan yang bergulir sejak era reformasi, terutama setelah terbentuknya Komnas Perempuan di era Presiden Habibie, dan keluarnya kebijakan Pengarusutamaan Gender di era Presiden Abdurrahman Wahid dan keluarnya UU anti kekerasan teradap perempuan di era Presiden Megawati, untuk sekedar menyebut beberapa tonggak penting.

Kedua, isu kekerasan juga telah mengalami proses konseptualisasi teoretis. Istilah “normalisasi KDRT” yang digunakan untuk melawan pandangan Oki adalah sebuah konsep yang mengekstraksi bahwa kekerasan bukanlah sesuatu yang normal dan biasa saja, itu adalah sebuah tindakan kejahatan kemanusiaan. Kerangka teori untuk menjelaskan apa, mengapa kekerasan terjadi dengan basis ketimpangan gender dan karenanya bukan sesuatu yang tak disengaja telah menjadi pengetahuan yang dapat menjelaskan seluk beluk tentang kekerasan terhadap perempuan (Silahkan Oki baca-baca buku dulu ya sebelum ceramah, referensinya telah bertebaran dalam bahasa Indonesia, himbauan yang sama berlaku bagi anggota DPR yang menggantung RUU kekerasan seksual).

Ketiga, kekerasan yang berbungkus pandangan agama telah dikupas tuntas untuk melawan pendekatan tekstualis. Meski ada ustadz mazhab “sejenis” yang mengutip ayat untuk membenarkan pandangan OSD, namun pandangan itu hancur lebur oleh konsep yang lebih matang yang telah dibangun dalam tradisi pemikiran di lingkungan kiai, nyai, ustadz dan ustadzah yang telah khatam baca kitab dalam tradisi pesantren. Mereka membaca dan faham konsep maqashid syariah – tujuan-tujuan inti ajaran/ syariat Islam, antara lain tentang konsep hifdzun nafs (menjaga nyawa/menjaga jiwa). Dalam konsep itu kekerasan apapun bentuknya adalah manifestasi dari pelanggaran salah satu dari lima maqashid syariah itu. OSD sebaiknya belajar lagi tentang prinsip-prinsip hak asasi manusia termasuk hak asasi perempuan dalam hasanah pemikiran Islam yang terus dikembangkan sejak era Imam Ghazali di abad ke 11. (Oki sekali kali ikut deh Kajian Islam dan Gender yang diasuh Nyai Dr. Nur Rofiah, atau ngaji di lingkungan KUPI dengan ibu nyai Badriah Fayumi  atau ngaji Mubadalah yang diasuh Kiai Faqihuddin Abdul Kodir, Dr (HC) Kiai Husein Muhammad, atau ngaji tafsir dari Prof. Nasaruddn Umar, Prof. Hamim Ilyas dan banyak lagi).

Keempat, dan ini tampaknya kurang tereksplorasi dalam diskusi, bahwa kekerasan adalah sebuah siklus. Jika hari itu OSD menceritakan suami perempuan itu memukul (OSD malah mencontohkannya menggampar sekuat tenaga), maka ketahuilah bahwa kekerasan itu PASTI telah berlangsung bertahun-tahun ke belakang. Kekerasan fisik yang terjadi hari itu, menurut catatan lembaga-lembaga perlindungan perempuan korban KDRT di seluruh dunia, memberi isyarat bahwa kejadian kekerasannya bukan baru pagi itu tetapi minimal telah berlangsung dua tahun ke belakang. Dari yang berbentuk hardikan, bentakan, merendahkan, ancaman, sumpah serapah, predikat sebutan sekebun binatang, sampai kekerasan fisik, memukul, menyundut dengan rokok, dilempar benda-benda yang ada didekat pelaku,  dan berakhir dengan kekerasan yang benar-benar merampas nyawa.

Ini beda dari kekerasan non gender seperti kekerasan berbasis konflik SARA yang eskalasinya linier memuncak, dari adu mulut sampai benar-benar adu fisik. Hal yang bahaya dari KDRT (perhatikan ya Oki!) adalah kejadian kekerasan itu berbentuk siklus melingkar, bukan linier. Siklus melingkar artinya, satu kejadian kekerasan dalam rumah tangga biasanya diikuti dengan penyesalan pelaku, lalu suasa psikologisnya masuk ke masa pemakluman dan pengampunan dari istri, lalu masa “bulan madu”, lalu diikuti masa jeda kekerasan dan jika ada pemicu lagi pelaku akan menghajar lebih keras lagi. Begitu seterusnya dengan intensitas yang makin kuat dan siklus waktu yang makin pendek. Karena KDRT membentuk siklus, karenanya KDRT menjadi sangat berbahaya dan menjadi biang pembunuh dalam rumah tangga.

Kelima, ini juga kurang tereksplorasi dalam diskusi kali ini. Soal standar ganda dan stereotype kekerasan. Oki mengatakan perempuan itu suka “lebay”. Suka mengadu dan melebih-lebihkan. Ini sebuah pernyataan yang menjadi setero/gaung suara yang bergema tapi menyesatkan. Perempuan, seperti Oki ya, dikonstruksikan secara sosial (termasuk dari ceramah agama) agar menjadi “perempuan”. Itu artinya perempuan dibentuk sesuai dengan harapan sosialnya dalam bertingkah laku. Mereka harus lemah, sabar, pasrah, mengalah, tidak boleh lebih dari lelaki dan seterusnya. Harapan sosial itu tentu harus diekspresikan dalam tingkah laku; ramah tidak judes, baik tidak galak, diam tidak bersuara, dan tak masalah jika emosional. Nah jika asuhannya menghendaki begitu, tentu perempuan dikonstruksikan untuk menyampaikan segala sesuatu dengan ekspresi dan harapan sosialnya itu. Bicara hal yang rasional (anak sakit, mahar mahal, suami selingkuh) tapi dengan ekspresi emosional, menangis misalnya. Tapi karena penilaiannya menggunakan standar ganda sikap serupa itu dinilai “berlebih-lebihan”. Coba bandingkan kalau hal serupa terjadi kepada lelaki, ia menangis dalam mengekpresikan perasannya, tanggapannya bukan “berlebih-lebihan” tapi dianggap lelaki yang lembut, sensitif, yang perasa. Air matanya dinilai sebagai bentuk sikap sportifnya, sementara pada perempuan dianggap emosional karena mendahulukan rasa daripada otak. Nah!

Lies Marcoes #6 Februari 2022

 

Peran Perempuan dalam Counter Violent Extremism (CVE)

Keterlibatan perempuan dalam Counter-Violent Extremism (CVE) sebagai preventer atau pencegah paham radikalisme dan esktermisme semakin terlihat. Salah satu peran perempuan yang sering dikampanyekan adalah ibu.

Unaesah Rahmah

 

Keterlibatan perempuan dalam Counter-Violent Extremism (CVE) sebagai preventer atau pencegah paham radikalisme dan esktermisme semakin terlihat. Salah satu peran perempuan yang sering dikampanyekan adalah ibu.

Ada dua alasan mengapa ibu memegang peranan penting di dalam CVE; pertama, Ibu dianggap memiliki pengaruh yang besar terhadap keluarga dan komunitas mereka. Hal ini karena perempuan diyakini memberikan perhatian yang lebih besar terhadap keluarga dibandingkan laki-laki. Sehingga, keterlibatan para ibu di dalam CVE juga diharapkan akan mengajarkan mengajarkan anak-anak mereka mengenai toleransi, moderasi dan nilai-nilai demokrasi.

Kedua, Edit Schlaffer, ketua Women without Borders di Australia, mengungkapkan bahwa Ibu seringkali disalahkan ketika suami atau anak-anak mereka terlibat di dalam aksi terorisme. Mereka dianggap gagal dalam mendeteksi proses radikalisasi yang terjadi pada keluarga mereka. Hal inilah yang mendorong Schlaffer untuk mendirikan Mother’s School untuk melatih para ibu dalam masalah parenting skill, self-confidence, dan isu seputar violent extremism (VE). Sehingga para ibu ini kemudian menjadi sosok yang memiliki kepercayaan diri dan menjadi tempat berkonsultasi bagi anak-anak mereka. Tidak bisa dipungkiri bahwa keluarga memang memegang peranan penting dalam mendeteksi proses radikalisasi yang terjadi pada anggota keluarga.

Selain memberdayakan peranan Ibu, program CVE juga dianggap akan berjalan dengan baik jika menerapkan pemberdayaan perempuan. Sebagai contoh, penelitian Krista London Couture pada 2014 menunjukkan bahwa pemberdayaan perempuan yang terjadi di Bangladesh dan Moroko memberikan dampak positif terhadap penurunan angkat VE di kedua negara tersebut. Moroko, sejak tahun 2005, sudah melatih perempuan untuk menjadi penceramah dalam moderasi beragama.

Sedangkan Bangladesh, memberikan kesempatan kerja dan pendidikan yang lebih luas kepada perempuan. Couture berpendapat bahwa pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender merupakan hal yang penting untuk menciptakan perdamaian dan menjaga keberlangsungannya. Pemberdayaan perempuan pada level sosial, politik dan ekonomi akan meningkatkan kualitas hidup mereja dan menjadikan mereka untuk berfikir lebih jauh dari sekedar pemenuhan kebutuhan dasar merela. Ketika perempuan lebih terberdayakan, maka ia akan mampu memiliki peran dalam peacebuilding.

Kritik

Meski perempuan telah sering dilibatkan dalam CVE, ada beberapa kritik yang perlu dijadikan bahan renungan untuk menciptakan program CVE yang lebih baik. Pertama, beberapa peneliti mengkritik dasar yang digunakan untuk melibatkan perempuan dalam CVE, yakni keyakinan bahwa perempuan merupakan makhluk lembut dan terlahir dengan sifat damai dan tenang. Argumen ini dianggap tidak tepat karena bisa mengantarkan kepada kesimpulan bahwa perempuan merupakan solusi paling tepat terhadap VE, karena mereka memang dasarnya sudah lembut dan damai.

Padahal kalau kita lihat kejadian dalam beberapa tahun terakhir, perempuan juga menjadi pelaku aksi teror dan juga terlibat didalam beberapa kegiatan kelompok terorisme. Anggapan tersebut menyebabkan adanya bias yang tidak melihat potensi keterlibatan perempuan sebagai aktor atau supporter dalam kelompok ekstremisme. Selain itu, anggapan seperti itu juga tidak tepat karena mereduksi agensi, kemampuan, keahlian dan ketertarikan perempuan dalam CVE. Keberhasilan perempuan dalam CVE akan dilihat sebagai sesuatu yang wajar karena perempuan memang dari sononya sudah punya sifat cinta damai dan toleransi. Padahal perempuan juga mengalami proses belajar dan mencurahkan keahlian mereka ketika terlibat sebagai agen perdamaian atau aktor dalam CVE.

Kedua, kritik lainnya juga dilayangkan adalah adanya penekanan yang terlalu besar pada peran perempuan sebagai istri dan ibu dalam CVE. Walaupun hal ini memang membawa dampak yang baik, tetapi dominasi peran ibu yang besar menghilangkan peran-peran perempuan lain dalam CVE. Padahal ada banyak peran yang bisa dilakukan oleh perempuan selain menjadi seorang ibu, seperti pemimpin agama, psikologis, guru, politisi, PNS, atau lainnya yang memberikan pengaruh bukan hanya kepada keluarga, tetapi komunitas yang lebih luas.

Ketiga, keterlibatan perempuan seringkali menjadikan program CVE terlihat jadi otomatis sensitive gender. Hal ini karena biasanya perempuan dalam CVE akan diharapkan untuk bicara soal CVE dan perempuan. Padahal mengadopsi perspektif gender dalam CVE lebih dari sekedar membicarakan peran perempuan atau laki-laki dalam terorisme. Analisa gender dibutuhkan dalam program CVE untuk memahami bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki potensi untuk menjadi korban, pelaku dan agen perdamaian; memahami bahwa motivasi antara perempuan dan laki-laki dalam kelompok terorisme dan ekstremisme berbeda karena peran gender mereka, latar belakang, kelas sosial dan lainnya. Sehingga program CVE yang ada diharapkan lebih mampu menyasar dan memperhatikan konteks dan situasi dari target atau partisipan program CVE.

Pelibatan perempuan dalam CVE itu penting, tetapi program CVE juga perlu mengadopsi perspektif gender untuk menganalisa faktor-faktor seseorang teradikalisasi, sebelum menciptakan program CVE.

Sumber Bacaan:

Eleanor Gordon dan Jacqui True, “Gender Stereotyped or Gender Responsive?: Hidden Threats and Missed Opportunities to Prevent and Counter Violent Extremism in Indonesia and Bangladesh,” The RUSI Journal, 164:4, 74-91, September 2019

Emily Winterbotham, “Do Mothers Know Best? How Assumptions Harm CVE”Tony Blair Institute for Global Change, 17 September 2018

Krista London Couture, “National Counterterrorism Center, A Gendered Approach to Countering Violent Extremism Lessons Learned from Women in Peacebuilding and Conflict Prevention Applied Successfully in Bangladesh and Morocco”, Centre for 21st Security and Intelligence, Policy Paper, 17 July 2014

Sumber: https://islami.co/peran-perempuan-dalam-counter-violent-extremism-cve/

rumah kitab

Merebut Tafsir: “Apa masih ada yang ingat CEDAW”? (24 Juli Hari Ratifikasi konvensi CEDAW)

Oleh Lies Marcoes

Kemarin sore saya bertukar kabar melalui WA dengan Ibu Saparinah Sadli dan Mbak Nursyahbani Katjasungkana. Saya bertanya isu seputar CEDAW mengingat hari ini 24 Juli 2020 menandai 36 tahun penandatanganan konvensi CEDAW bagi Indonesia.

Ibu Sap, demikian kami biasa menyapanya adalah tokoh paling penting ,bersama Ibu Achi Luhulima, Ibu TO Ichromi (alm), Ibu Syamsiah Ahmad, Mbak Nursyahbani Katjasungkana dan beberapa tokoh lain yang aktif sekali mensosialisasikan CEDAW. Namun tadi sore Ibu Sap membalas WA saya dengan nada pesimis. “Selain kalian para aktivis, teman-teman di di Komnas Perempuan, apa pejabat-pejabat, anggota legeslatif, masih ada yang ingat CEDAW”? Pertanyaan itu tak urung membuat saya menenung. Siapa yang (masih) ingat CEDAW?

CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan merupakan salah satu perjanjian hak asasi paling pokok dalam sistem kesepakatan internasional Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Di dalamnya memuat jaminan kesetaraan substantif bagi perempuan melalui penghapusan segala bentuk diskriminasi berbasis prasangka gender.

Konvensi ini disahkan PBB tahun 1979. Ini merupakan kesepakatan global yang mendefinisikan prinsip-prinsip Hak Asasi Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia. Di dalamnya memuat norma-norma dan standar-standar kewajiban, serta tanggung jawab negara dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.

Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani Konvensi ini. Pada 24 Juli 1984 Indonesia meratifikasinya menjadi UU RI No. 7 Tahun 1984. Dengan begitu Indonesia sebetulnya terikat secara hukum (legally binding) untuk melakukan upaya penghapusan diskriminasi berbasis gender kepada perempuan, dan melaporkan perkembangannya. Pemerintah Indonesia berkewajiban membuat laporan perkembangan pelaksanaan penghapusan diskriminasi gender itu.

Pertanyaan Ibu Saparinah Sadli menjadi relevan di sini, “Apa ada yang masih ingat CEDAW”? Artinya apakah Pemerintah Indonesia sudah mengecek bagaimana upaya penghapusan diskriminasi berbasis gender dilakukan dan mengirimkan laporan pelaksanaannya kepada Komite CEDAW di PBB?

Wallau’alam, mudah-mudahan sih sudah. Cuma sudah lama Indonesia mangkir lapor.

Isu paling relevan terkait praktik diskrimiansi sebetulnya masih sama dari tahun ketahun. Mbak Nur mengingatkan dua hal: penghapusan stereotyping perempuan yang saat ini justru makin kental akibat menguatnya pandangan primordial keagamaan yang semakin konservatif dalam mendefinisikan peran dan status perempuan.

Kita patut bersyukur usia kawin sudah sama antara lelaki dan perempuan, 19 tahun. Namun upaya pencegahan perkawinan anak masih harus kerja keras mengingat masih 20 daerah yang kedapatan angka kawin anaknya ampun-ampunan.

Lalu UU Perkawinan yang belum kunjung direvisi pasal yang meletakkan secara tidak setara antara lelaki (suami) yang diberi predikat kepala keluarga, dan perempuan (istri) sebagai ibu rumah tangga. Padahal definisi ini melahirkan praktik diskriminasi yang bukan main kepada perempuan dan terbawa ke mana-mana. Antara lain dalam dunia kerja.

Secara normatif, perempuan keukeuh dianggap sebagai pencari nafkah tambahan apapun status perkawinannya. Padahal perempuan kepala keluarga dengan status menikah, atau suami minggat, atau cerai, atau lajang adalah para pencari nafkah utama. Namun dengan status pencari nafkah tambahan perempuan pekerja di sektor apapun rentan untuk dipinggirkan atau disingkirkan.

CEDAW bagi Indonesia adalah mutiara yang sangat tinggi kualitasnya dalam upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, tapi dimana mutiara itu disembunyikan? #Lies Marcoes, 24 Juli 2020