Selubung Kesalehan: Kekerasan Seksual Bermodus Agama
Bukankah ruang-ruang agama seharusnya menjadi tempat yang paling aman bagi siapa pun? Tempat berlindung, tempat bertumbuh, tempat pulang? Sayangnya, kenyataan tak selalu seindah ideal. Di balik unsur keagamaan, ada kekerasan yang bersembunyi. Ia tidak tampak, tapi terasa. Ia dibungkam, tapi menghantui. Ia terjadi di tempat yang kita kira paling suci.
Kita tidak bisa lagi menutup mata. Di Indonesia, kasus kekerasan seksual oleh tokoh agama terus terungkap. Seorang pendeta di Surabaya mencabuli jemaatnya selama enam tahun (Lumbanrau, 2020). Seorang ustaz di Sumenep yang juga ketua yayasan pesantren, memperkosa sejumlah santriwati, dan ini hanya puncak gunung es (Rohman, 2025).
Sebagai data tambahan, Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) menyatakan dalam tiga tahun terakhir ada 30 kasus kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan Islam (Kurnianingrum, 2024). Lalu, sepanjang tahun 2023, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat ada 2.078 kasus kekerasan seksual. Pelaku kekerasan seksual tersebut salah satunya dilakukan oknum tokoh agama (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia et al., 2024). Banyak kasus lain yang tenggelam dalam diam. Kenapa? Karena pelaku bukan orang biasa. Mereka pemuka agama. Mereka yang selama ini kita anggap “wakil Tuhan.”
Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari sistem kekuasaan yang berlapis. Agama, seperti yang ditulis Emile Durkheim, membentuk dualisma, yang sakral dan yang profan. Dalam ruang lingkup keagamaan dualisme terjadi, lelaki dilekatkan pada yang tinggi, suci, dan rasional dan perempuan harus tunduk, mengikuti, dan kelas kedua. Dikotomi ini melahirkan struktur sosial yang timpang, di mana laki-laki diberi otoritas, dan perempuan ditempatkan sebagai objek bimbingan. Maka jangan heran jika dalam banyak institusi keagamaan, suara perempuan sering kali dikecilkan, bahkan dihapuskan (Durkheim, 1995; Lynch, 2007).
Lebih dari itu, kepemimpinan agama sering kali didewakan. Figur pendeta, ustaz, atau rohaniwan dianggap suci, tak boleh digugat. Ini yang disebut Michel Foucault sebagai relasi kuasa yang tidak imbang. Ketika satu pihak dianggap memiliki kebenaran mutlak, maka kritik padanya akan dipandang sebagai penghinaan. Di sinilah kekerasan bisa bersembunyi. Ketika pemimpin agama berbuat salah, korban justru merasa bersalah. Ketika ada pelecehan, suara korban dianggap mencemarkan institusi, bukan sebagai seruan keadilan (Foucault, 1997).
Dalam struktur patriarki, perempuan menjadi kelompok yang paling rentan. Tubuh perempuan bukan hanya menjadi objek, tapi juga karena sistem tidak menyediakan ruang aman bagi mereka untuk bersuara.
Gereja, pesantren, atau komunitas keagamaan sering kali mengedepankan “nama baik lembaga” dibanding keberpihakan pada korban. Alih-alih didengar, mereka disuruh diam. Alih-alih dibela, mereka dipersalahkan. Padahal kekerasan seksual bukan soal moral pribadi semata. Ini adalah persoalan sistemik.
Ketika tafsir agama dipakai untuk menindas, ketika otoritas spiritual dijadikan alat dominasi, maka kekerasan menjadi mungkin. Dan jika tidak ada mekanisme akuntabilitas yang jelas, maka pelecehan akan terus berulang.
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Pertama, kita perlu mendekonstruksi cara pandang terhadap kepemimpinan agama. Pemuka agama adalah manusia, bukan malaikat. Mereka bisa salah, dan karena itu harus terbuka terhadap kritik. Kepemimpinan yang sehat bukan yang minta disembah, tapi yang bisa diajak berdialog. Dalam teologi pembebasan, kepemimpinan adalah soal keberpihakan—pada yang lemah, yang tertindas, yang disakiti.
Kedua, perlu membongkar pemisahan antara tubuh dan roh, antara seksualitas dan spiritualitas. Banyak institusi agama menjadikan seks sebagai hal tabu. Akibatnya, pembicaraan soal tubuh dianggap kotor, dan pendidikan seks jadi minim. Padahal, menurut teolog feminis seperti Kwok Pui-Lan, seksualitas adalah bagian dari spiritualitas. Tubuh adalah anugerah ilahi, bukan sumber dosa. Ketika tubuh dihormati, kekerasan akan sulit masuk. Maka pendidikan seksualitas berbasis nilai-nilai spiritual menjadi kunci penting dalam pencegahan kekerasan (Pui-Lan, 2000).
Ketiga, mendorong gereja, pesantren, dan lembaga keagamaan lainnya untuk menciptakan mekanisme perlindungan korban yang berpihak dan transparan. Ruang pengaduan harus dibuka selebar-lebarnya, dan semua bentuk kekerasan harus diproses secara hukum—tanpa ada impunitas, tanpa ditutupi atas nama baik institusi. Lembaga keagamaan yang sungguh-sungguh berpihak pada korban adalah lembaga yang tidak takut dikoreksi.
Keempat, kolaborasi lintas sektor menjadi penting. Komunitas akar rumput, LSM (contoh: Rumah KitaB), aktivis perempuan, lembaga negara seperti Komnas Perempuan dan KPAI, harus bekerja sama untuk menciptakan ruang-ruang aman yang berpihak pada penyintas. Tidak semua penyintas merasa aman melapor ke gereja atau pesantren, perlu ada alternatif. Pendampingan psikologis, hukum, dan spiritual yang berpusat pada pengalaman penyintas menjadi kebutuhan mendesak.
Pada akhirnya, membebaskan perempuan dari kekerasan dalam ruang-ruang religius bukan hanya soal membela korban. Ini adalah perjuangan untuk menciptakan bentuk keberagamaan yang baru: yang adil, yang membebaskan, yang menyembuhkan. Spiritualitas bukan hanya berkutat pada altar ataupun mimbar, tapi yang menjelma menjadi keberanian untuk menolak kekerasan dalam bentuk apa pun—bahkan ketika kekerasan itu datang dari mereka yang berseragam rohani.
Menyambut Hari Kemerdekaan, kita harus bertanya ulang: sudahkah gereja, pesantren, dan institusi agama kita menjadi tempat yang membebaskan? Atau justru menjadi tembok yang menindas diam-diam? Sebab kemerdekaan sejati bukan hanya soal bebas dari penjajah, tapi juga keberanian melawan ketidakadilan dan penindasan dari mana dan oleh siapa pun.
Referensi
Durkheim, E. (1995). The Elementary Forms Of Religious Life (Karen E. Fields (ed.)). The Free Press. https://monoskop.org/images/a/a2/Durkheim_Emile_The_Elementary_Forms_of_Religious_life_1995.pdf
Foucault, M. (1997). Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan. Gramedia Pustaka Utama.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, & Komisi Nasional Disabilitas. (2024). Siaran Pers Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Nasional Disabilitas.
Kurnianingrum, T. P. (2024). Perkuat pemahaman Isu Kekerasan Seksual di Pesantren.
Lumbanrau, R. E. (2020). Kasus Pendeta: Pendeta di Surabaya diduga perkosa jemaat di bawah umur, mengapa terjadi? BBC News Indonesia.Com. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51717311
Pui-Lan, K. (2000). Introducing Asian Feminist Theology. In Sustainability (Switzerland). Sheffield Academic Press. http://scioteca.caf.com/bitstream/handle/123456789/1091/RED2017-Eng-8ene.pdf?sequence=12&isAllowed=y%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.regsciurbeco.2008.06.005%0Ahttps://www.researchgate.net/publication/305320484_SISTEM_PEMBETUNGAN_TERPUSAT_STRATEGI_MELESTARI
Rohman, A. (2025). 5 Fakta Pemerkosaan Ustaz pada Santriwati Terbongkar Lewat Obrolan WA. DetikNews.Com. https://www.detik.com/jatim/hukum-dan-kriminal/d-7960306/5-fakta-pemerkosaan-ustaz-pada-santriwati-terbongkar-lewat-obrolan-wa