Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Seorang selebgram asal Aceh, Cut Intan Nabila, mengunggah video Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh suaminya, Amor Toreador. Video tersebut menjadi viral dan mendapatkan reaksi keras dari netizen. Aparat hukum langsung turun tangan menyelidiki kasus ini. Tak butuh waktu lama, suami Cut Intan segera dibekuk polisi di sebuah hotel di kawasan Jakarta Selatan.

Kejadian serupa pernah dialami oleh penyanyi terkenal, Lesti Kejora. Ia melaporkan KDRT yang dilakukan oleh suaminya, Rizky Biliar. Rekaman CCTV terkait insiden tersebut viral di media sosial dan segera ditanggapi oleh pihak kepolisian. Rizky pun langsung ditangkap dan diproses hukum.

Kasus KDRT yang melibatkan pesohor biasanya akan mendapat sorotan utama dari media. Beritanya laris manis, muncul berulang setiap hari, ditanggapi, dan diulas oleh banyak pihak. Biasanya, kasus ini akan terus dikawal dan dipantau oleh netizen.

Namun, kejadian serupa sering kali dialami oleh masyarakat umum, yang sayangnya sering luput dari pantauan media. Banyak korban yang memilih untuk diam dan menutupi kejadian tersebut. Menurut laporan Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2024, sebanyak 34.682 perempuan menjadi korban tindak kekerasan (Kompas.com, 13/07).

Mayoritas korban KDRT adalah perempuan. Di negara hukum, setiap orang diperlakukan sama di hadapan hukum, tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, latar belakang sosial, dan lainnya. Lantas, mengapa perempuan sering menjadi korban? Salah satu alasannya adalah karena adanya relasi kuasa yang timpang, terutama relasi kuasa berbasis gender.

Relasi kuasa, sebagaimana didefinisikan dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Yang Berhadapan Dengan Hukum, adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan, dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan, dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks relasi antargender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah.

Dalam budaya Jawa, misalnya, perempuan (istri) disebut sebagai “konco wingking” (teman di belakang). Kultur Jawa menempatkan peran serta tugas perempuan di belakang suami, mengurus urusan domestik seperti sumur, dapur, dan kasur. Norma-norma gender seperti ini dikonstruksi oleh nilai-nilai budaya.

Norma gender juga bisa diciptakan dan dikondisikan oleh nilai-nilai agama. Sebagaimana umum diketahui dalam penafsiran QS An-Nisa: 34, laki-laki adalah pemimpin/kepala (qawwam) rumah tangga, yang bertanggung jawab atas perekonomian keluarga. Perempuan yang baik (salihah) adalah perempuan yang taat (qanitat) kepada suami dan senantiasa menjaga kehormatannya, tidak membangkang (nusyuz) kepada suami. Suami bahkan diperbolehkan melakukan kekerasan (memukul) terhadap istri yang nusyuz.

Interpretasi tekstual terhadap ayat ini bisa membentuk norma-norma gender, mengkonstruksi sikap dan perilaku seorang istri terhadap suaminya, serta menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan dalam relasi gender. Oleh karena itu, dalam memahami ayat tersebut, diperlukan sikap kritis dan terbuka, karena di ayat-ayat lain Allah SWT menegaskan kesetaraan dan kesalingan (mubadalah) antara perempuan dan laki-laki, seperti yang disebutkan dalam QS Al-Hujurat: 13 dan Al-Baqarah: 178.

Realitas terus berubah, begitu juga nilai-nilai dan norma-norma masyarakat. Kita dihadapkan pada pilihan: bertahan dan mempertahankan status quo, atau membuka diri terhadap realitas yang terus bergerak dinamis (al-‘alamu mutaghayyirun).

Salam,
JM

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.